Quantcast
Channel: Archives – Sekretariat Kabinet Republik Indonesia
Viewing all 380 articles
Browse latest View live

Mengapa Undang-Undang Perlu Peraturan Pelaksanaan?

$
0
0

PurnomoOleh: Purnomo Sucipto, Pemerhati Penyusunan Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Pelaksanaan yang dimaksud disini adalah aturan yang dibuat oleh eksekutif (pemerintah) atau badan lain dalam rangka melaksanakan undang-undang. Berbeda dengan pembuatan undang-undang, peraturan pelaksanaan dibuat dengan tidak melibatkan lembaga legislatif (DPR). Di berbagai negara, istilah yang digunakan antara lain delegated legislation, subordinate legislation, secondary legislation, subsidiary legislation, legislative instruments, atau statutory instruments.

Pada dasarnya kewenangan membuat undang-undang, termasuk peraturan pelaksanaannya, ada di tangan lembaga legislatif. Eksekutif memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya. Namun, suatu peraturan perlu didelegasikan karena mendesaknya pemberlakuan suatu aturan, perlunya pengaturan yang detil, memerlukan keahlian khusus, dan pengaturan yang harus sesuai dengan karakter masing-masing daerah. Selain itu, secara praktis, mekanisme penetapan suatu keputusan yang panjang dan rumit tidak memungkinkan dibuat sendiri oleh DPR.

Pendelegasian pembuatan peraturan pelaksanaan kepada eksekutif menjadi lebih cepat prosesnya karena tidak memerlukan debat di DPR yang seringkali berlarut-larut. Waktu DPR akan tersita untuk membahas hal detil. Seringkali diperlukan pengaturan yang mendesak dan segera harus diberlakukan, misalnya pengaturan mengenai kenaikan jalan tol atau kenaikan harga BBM. DPR dengan mekanisme pengambilan keputusan yang ada tidak mungkin dapat menghasilkan peraturan seperti itu.

Seringkali kebijakan teknis perlu diubah sehingga akan lebih cepat mengubah peraturan pelaksanaan daripada mengubah undang-undangnya. Apabila kebijakan teknis diserahkan kepada DPR, maka waktu DPR akan tersita untuk membahas hal yang bersifat teknis. Contoh peraturan yang demikian adalah peraturan mengenai perubahan organisasi pada kementerian.

Kementerian dan lembaga cenderung lebih mampu membuat pengaturan yang efektif karena merupakan area keahlian mereka. Khusus peraturan daerah, mereka lebih mengetahui kondisi masing-masing daerah setempat. Sebagai contoh peraturan mengenai tata ruang suatu wilayah.

Pendelegasian pembuatan peraturan pelaksanaan memiliki beberapa manfaat, yakni menghindari salah satu cabang kekuasaan (eksekutif atau legislatif) mendominasi kekuasaan sehingga dan tidak menciptakan prinsip checks and balances kekuasaan. Apabila peraturan pelaksanaan didominasi oleh legislatif, dalam arti peraturan pelaksanaan dibuat oleh legislatif, secara praktis dapat menghambat pelaksanaan suatu undang-undang oleh eksekutif mengingat legislatif tidak mengetahui praktik pelaksanaan secara detail dan pengaturan lokal. Sebaliknya apabila peraturan pelaksanaan dibuat secara penuh oleh eksekutif, maka akan berpotensi kekuasaan legislatif akan diambil alih oleh eksekutif. Selain itu, mencegah eksekutif menyelenggarakan pemerintahan secara tidak terkendali. Adanya delegasi kewenangan dari legislatif kepada eksekutif akan mencegah eksekutif melakukan improvisasi yang tidak tepat dalam menyelanggarakan pemerintahan.

Jenis Peraturan Pelaksanaan

1. Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan.

2. Peraturan Presiden

Peraturan Presiden yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.

3. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah terdiri dari peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

4. Peraturan Menteri

Keberadaaan peraturan menteri sebagai peraturan pelaksanaan merupakan perkembangan baru. Beberapa undang-undang belakangan ini mendelegasikan kewenangan legislasi secara langsung kepada menteri. Sebelumnya instrumen peraturan pelaksanaan yang digunakan untuk mengatur lebih lanjut undang-undang adalah peraturan pemerintah atau peraturan presiden.

5. Peraturan Kepala Lembaga (BI, BPK, DPR)

Beberapa undang-undang mendelegasikan kepada lembaga tertentu seperti Bank Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan, dan DPR.

Kekurangan Peraturan Pelaksanaan

Pemberian delegasi pembuatan peraturan pelaksanaan kepada eksekutif mengandung risiko kurangnya publikasi dan diseminasi. Kurangnya pengawasan serta kurangnya publikasi dan diseminasi mengakibatkan ketentuan yang dibuat dalam peraturan pelaksanaan berpotensi menyimpangi, memperluas, atau mempersempit materi undang-undang. Selain itu, lembaga eksekutif juga cenderung membuat ketentuan yang menguntungkan dirinya ketika terdapat ketentuan dalam undang-undang yang tidak jelas atau tidak diatur. Hal ini banyak terjadi ketika peraturan pelaksanaan mengatur mengenai kewenangan kelembagaan. Kementerian/lembaga secara naluriah cenderung menginginkan kewenangan yang besar.

Akibat lainnya adalah pengambilan keputusan dalam membuat peraturan pelaksanaan kurang transparan dan demokratis. Oleh karenanya,  diperlukan pengawasan atas penggunaan wewenang pembuatan peraturan pelaksanaan undang-undang setidaknya oleh internal eksekutif.

Pengawasan Peraturan Pelaksanaan

Secara teori, terdapat tiga jenis pengawasan pembuatan peraturan pelaksanaan undang-undang yakni pengawasan oleh internal lembaga eksekutif, oleh lembaga legislatif (DPR), dan oleh pengadilan (Mahkamah Agung/MA). Pengawasan oleh internal eksekutif dilaksanakan melalui forum harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM dan forum finalisasi di Kementerian Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet. Sementara, pengawasan oleh lembaga legislatif dilakukan secara tidak langsung. Pengawasan oleh lembaga legislatif biasanya dilakukan ketika suatu peraturan pelaksanaan menjadi kontroversial di masyarakat, seperti perpres tentang minuman beralkohol yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Anggota DPR berpendapat atas masalah ini. Namun, tidak ada instrumen khusus dan kewenangan langsung DPR untuk bisa mengevaluasi perpres tersebut, sehingga pendapat Dewan hanya sebatas menekan untuk membatalkan suatu peraturan pelaksanaan.

Pengawasan oleh Pengadilan dilakukan dengan mekanisme uji materi (judicial review). MA dapat menyatakan suatu peraturan pelaksanaan bertentangan dengan undang-undang, baik bertentangan secara substantif maupun secara formal (prosedural). Pertentangan dengan undang-undang terjadi ketika suatu peraturan pelaksanaan undang-undang menyimpangi, memperluas, atau mempersempit ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Selain menguji pertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi MA juga dapat menguji apakah suatu peraturan pelaksanaan bertentangan dengan kepentingan umum atau mengandung ketentuan yang bertentangan dengan norma susila.


Bijak Merespon Para Penolak Pajak

$
0
0

Bayar-Pajak-750x422Oleh: Budi Sulistyo, pegawai Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI*)

Di tengah menjulangnya target pajak, strategi Direktorat Jenderal Pajak untuk meraih target menuai keberatan dari berbagai pihak. Tidak hanya wacana kebijakan yang akan disusun, beberapa aturan perpajakan yang telah ada pun tidak luput dari usulan penghapusan atau penundaan. Berbagai alasan dilontarkan untuk menghapus kebijakan fiskal tersebut, antara lain pengenaan pajak akan merugikan masyarakat tertentu, mengurangi pertumbuhan ekonomi, dan menambah pengangguran.

Secara umum, pihak-pihak yang menyatakan keberatan adalah pelaku usaha, akademisi, dan regulator di sektor terkait. Pelaku usaha maupun asosiasi pengusaha yang terkena imbas secara langsung tentu tidak menginginkan usahanya dikenai beban tambahan, yaitu pajak. Regulator usaha terkait juga tidak ingin sektor yang diawasi menjadi terhambat pertumbuhannya karena dikenakan pajak. Adapun akademisi lebih melihat secara helicopter view, yaitu pengaruh pajak terhadap perekonomian. Meskipun tidak selalu menolak wacana kebijakan pajak, adanya sikap kontra dari akademisi seolah menguatkan bahwa wacana kebijakan maupun sebuah aturan pajak layak untuk ditiadakan atau ditangguhkan.

Pro Kontra Wacana Aturan

Sebelum diketok palu oleh DPR, kenaikan target pajak menjadi sebesar Rp1.484,6 triliun mendapat respon dingin dari pelaku usaha. Pada awal Januari lalu, tiga asosiasi usaha yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia, Indonesia National Shipowners Assosiation (INSA) dan Dewan Pengurus Pusat Real Estate Indonesia (REI) menilai meroketnya target pajak akan mempengaruhi industri mereka. Kenaikan target pajak sebesar 40,3% tidak logis di tengah belum membaiknya perekonomian dunia dan akan menyebabkan kenaikan 45% pada pajak yang ditanggung konsumen yang pada akhirnya akan mengakibatkan perlambatan ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi.

Keresahan asosiasi pengusaha semakin terlihat ketika Pemerintah mewacanakan akan mengubah Peraturan Menteri Keuangan No 416 tahun 1996 yang mengenakan PPh final sebesar 1,2% menjadi PPh non final. Pajak tersebut akan diterapkan efektif pada Maret 2015 melalui pajak penghasilan (PPh) non final. Pengenaan PPh non final tersebut akan menggenjot penerimaan pajak dari sektor angkutan laut menjadi sebesar Rp1 triliun dari realisasi 2014 sebesar Rp80,19 miliar. Suara pengusaha juga disampaikan pada waktu pemerintah mewacanakan perubahan tarif PPnBM barang mewah, pajak properti, sampai dengan wacana PPnBM batu akik.

Protes Aturan yang Ada

Tidak hanya wacana aturan yang akan ditetapkan, kebijakan yang telah digulirkan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pun tidak luput dari keberatan dari berbagai pihak. Pajak Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang diberlakukan berdasarkan PP Nomor 46 tahun 2013 pendapat protes dari pelaku industri. Pelaku UKM keberatan dengan pungutan PPh final 1 persen dari omset usaha, dan mengusulkan diambil dari keuntungan bersih. Wirausaha pemula meminta penangguhan aturan pemotongan pajak final karena masih rentan rugi di tengah ketatnya persaingan dunia usaha.

Terakhir, Ditjen Pajak akhirnya menangguhkan Perdirjen Nomor PER-01/PJ/2015 tentang pemotongan pajak deposito yang baru diterbitkan 26 Januari lalu. Selain karena belum siapnya sistem IT, terdapat desakan dari asosiasi bank dan regulator perbankan untuk meniadakan aturan tersebut. Praktisi perbankan khawatir diwajibkannya perbankan menyerahkan rincian bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan deposito dan tabungan nasabah akan menyebabkan larinya nasabah Indonesia ke luar negeri. Adapun Otoritas Jasa Keuangan mengingatkan pemberlakuan aturan tersebut akan menabrak aturan kerahasian perbankan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan.

Perlu Langkah Bijak

Direktorat Jenderal Pajak memerlukan langkah bijaksana untuk menanggapi keberatan sejumlah kalangan. Dalam menghadapi para pihak yang keberatan, tentu saja tidak ada satu jurus pamungkas untuk menghadapinya. Direktorat Jenderal Pajak telah membuat berbagai strategi untuk meningkatkan penerimaan pajak yang perlu disosialisasikan dengan baik. Dalam sosialisasi ke masyarakat, perlu ditekankan bahwa kebijakan fiskal dilakukan atas dasar kajian-kajian yang dilakukan baik oleh para peneliti Badan Kebijakan Fiskal maupun akademisi. Penelitian yang berisi data dan rekomendasi digunakan sebagai acuan peningkatan, perubahan atau justru penghapusan kebijakan pajak tertentu. Perubahan aturan tidak semata-mata hanya untuk meningkatkan penerimaan negara, namun juga untuk belanja yang pada pemerintahan sekarang diprioritaskan infrastruktur. Infrastruktur yang diprioritaskan adalah sektor vital di daerah-daerah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, yaitu pembangunan irigasi pertanian, proyek pekerjaan umum (PU), proyek infrastruktur kelautan, dan infrastruktur transportasi.

Selain dibuktikan dengan kajian, potensi pajak yang masih bisa digali juga didapat dari koordinasi yang erat dengan regulator industri dan asosiasi pengusaha. Hasil dari koordinasi yang baik dapat menghasilkan rekomendasi langkah ekstensifikasi maupun intensifikasi pajak yang mana yang potensial untuk digulirkan. Selain itu, dengan koordinasi yang baik dengan regulator dan asosiasi industri, otoritas fiskal dapat mendorong industri untuk meningkatkan praktik good corporate governance. Beberapa studi menunjukkan good corporate governance yang bagus akan meningkatkan potensi pajak dan meminimalisir adanya tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak).

Duduk bersama dengan asosiasi usaha dan para pelaku industri bisa memberikan salah satu perlu tidaknya pengenaan pajak dan mendapatkan masukan potensi pajaknya. Tentu saja, apabila industri dikenakan pajak tambahan akan ada resistensi di tengah belum membaiknya perekonomian. Sekali lagi, hasil kajian yang membuat simulasi kebijakan pajak dan manfaatnya terhadap perekonomian perlu untuk disosialisasikan agar otoritas fiskal dan para pelaku usaha mempunyai sudut pandang yang sama. Kajian yang dilakukan harus memastikan aturan baru tidak berbenturan dengan aturan yang telah ada, dan industri yang dikenakan pajak tidak dikenakan pajak berganda dengan aturan baru tersebut.

Persiapan Internal

Dengan target penerimaan yang sudah ditetapkan sejak pengesahan APBN-P 2014 pada Februari lalu, tentu saja Direktorat Jenderal Pajak harus segera membuat payung hukum untuk mengejar penerimaan Rp1.484,6 triliun. Wacana-wacana tambahan penerimaan negara sebesar Rp400 triliun harus segera ditetapkan menjadi aturan untuk kemudian disosialisasikan kepada masyarakat.

Setelah menjadi aturan, keberatan dari pihak-pihak yang terimbas kebijakan pasti akan selalu ada. Sepanjang sudah didiskusikan dan dilakukan sosialisasi dengan baik, otoritas fiskal harus secara tegas menerapkan aturan tersebut. Sumber daya manusia yang handal dan dukungan sistem IT pun menjadi prasyarat utama keberhasilan pencapaian target pajak 2015. Jangan sampai aturan yang telah ditetapkan kemudian dibatalkan karena kurangnya persiapan baik sumber daya manusia internal pajak maupun sistem IT yang belum support. Bukan pekerjaan yang mudah memang, namun dengan berbagai insentif dan dukungan pemerintah pusat bagi Direktorat Jenderal Pajak, target yang ada akan bisa tercapai tanpa banyak kendala dari para penolak kebijakan pajak.

*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

 

Can Death Penalty against Drug Criminals be justified?

$
0
0

Manusia dan KeadilanOleh: Roby Arya Brata*)

Drug-related crimes in Indonesia have entered an emergency phase, threatening Indonesia’s resilience as a nation and a country. According President Joko Widodo in this country, every day such crimes have caused death and taken away the right to life around 40-50 Indonesia’s citizens and youth, as well as leaving grief and agony for the families of the victim. Can, therefore, capital punishment be imposed against drug offenders?

The death penalty controversy has been long and will always be a classical debate among legal philosophers and jurists. Each side, whether those who oppose (the abolitionist) or support it (the retentionist), has their own strong arguments.

The arguments of the abolitionists are essentially based on three reasonings. First, it is against human rights, a form of inhuman punishment. Based on this argument, therefore many countries remove capital punishment from their criminal justice systems. Until recently some 97 countries have revoked it. Moreover, according to Article 2 Charter of Fundamental Rights of the European Union year 2000 European Union states are forbidden to impose death penalty.

United Nations’ General Assembly in the years 2007, 2008 and 2010 had adopted non-binding resolutions demanding a global moratorium against death penalty. Optional Protocol II of the International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR at last prohibits the use of capital punishment by its state parties.

The abolitionists further argue on the constitutionality of capital punishment. The abolitionists in the United States, for instance, oppose it as such a harsh punishment contradicts with Amendment VIII of the America Constitution.

The constitutional argument has also been used by the abolitionists in Indonesia. In 2007, two Indonesian drug-related convicts Edith Sianturi and Rani Andriani, and three Australians well known as members of “Bali Nine”― Myuran Sukumaran, Andrew Chan, and Scott Rush―applied for a constitutional review to the Constitutional Court on death penalty article in Act No.22/1997 on Narcotics.

The lawyer for the appellants argued that such an article was contradictory with Article 28A Amendment II of the 1945 Constitution. However, such an appeal was rejected by the Judges of the Constitutional Court, arguing that death penalty for serious crimes were a form of human rights restriction.

The abolitionists also reject the arguments of the retentionists who believe that death penalty will deter the potential offenders and, therefore, will reduce the rate of (drug-related) crimes. There is, they argue, no conclusive, scientific evidence confirming positive correlations between the rate of crimes and the imposition of death penalty.

On the other side, the retentionists also strongly argue for supporting the death penalty. The main argument is that death penalty has a deterrent effect preventing potential offender to commit (drug) offenses. Having realized such a severe punishment, he or she will think a thousand times to commit such crimes.

The fact has proven, compared to the countries which do not enforce capital punishment, Saudi Arabia that imposes it based on Islamic law has a low rate of crime. For example, in 2012 the data from United Nations Office on Drugs and Crime showed that the rate of murder in this country was ‘only’ 1.0 per 100.000 people. Compare this with the same crime in Finland (2.2), Belgium (1.7), and Russia (10.2).

The retentionists further reject the claim of the abolitionist that death penalty is inhuman. On the contrary, they assert that drug-related offenses are a form of extraordinary crime which disregards humanity. This kind of crime has not only taken the right to life (fundamental human rights) of one person but many people, as the Indonesia case has shown.

But, the abolitionists then ask a critical question: if (the producer of) narcotic drugs has caused death, can therefore (the producer of) cigarettes, which has also caused many casualties, be senteced to death?  The retentionists argue that the impact of the cigarette consumption to human life and society is much different with that of narcotic drugs. The abuse and misuse of narcotic drugs have in fact trigerred many various (organized) crimes (it is the ‘mother’ of other crimes), corrupted the law enforcers with all its destructive effect to the state and society (like in Mexico and other latin american countries), spread contagious diseases particularly HIV/AIDS, and therefore weakened the state and society in the long term. If drug-related crimes (and systemic corruption in the law enforcement agencies and the government) are not effectively combated, the state itself can turn into an organized crime state.

Moreover, in the case of Indonesia the retentionists, referring to the Indonesian Constitutional Court, argue that the death penalty does not contradict with the 1945 Constitution. In the United States, such a punishment is also constitutional. In the case of Gregg vs. Georgia, the American Supreme Court declared that, “the punishment of death does not violate the Constitution.”

Drug-related crimes are extraordinary crimes, a common enemy that cripples the joints of most basic humanity and human rights, not only in Indonesia but in many countries.

Therefore, we impose a harsh punishment of death penalty for anyone, either Indonesian citizens or foreigners who involved in drug-related offenses.

However, we must realize that imposing the capital punishment alone will not be able to effectively fight drug-related crimes. Enforcing the narcotic drug abuse laws with integrity or combating corruption in the law enforcement agencies, reducing the demand for narcotic drugs, and rehabilitating the drug addicts are the main effective solutions.

We must also be very careful in imposing death penalty. In a corrupt criminal justice system, an innocent person can become a victim of  miscarriage of justice. Even in the United States with a relatively good criminal justice system, 23 convicts in the period 1900–1987 were wrongly executed due to the miscarriage of justice. Therefore, the convicts must have any fair chance to appeal such a harsh punishment.

In the future, if drug-related crimes in this country are not in the state of emergency death penalty may not be imposed. The Government of Indonesia may need to study a policy option to give clemency to foreign drug criminals by imposing the most severe punishment according to his or her criminal penal system, i.e. death penalty or life sentence.

We realize that the imposition of the death penalty has caused many controversies. However, we, just like other democratic countries that impose it, still believe that this punishment at least will give a strong signal to anyone that we do not compromise with those criminals. As this kind of extraordinary crime has killed and taken the right to life of many people, such a harsh punishment should be justified to provide justice especially for those victims and their families.

Many Indonesia citizens have also been threatened by death penalty in other countries. As a state we will certainly do any effort to help and protect them. However, as affirmed in the United Nations Charter and international law, we respect and will not intervene in the sovereignty (law) of those countries.

We hope that the imposition of death penalty by Indonesia against drug criminals should not sacrifice the good relations and bilateral cooperations between Indonesia and other countries which have long been built. If that happens, it is surely a lost for the people of both countries. Instead, we must be hand in hand and united in the fight against such a serious crime.

*) The writer is an international legal and political analyst and senior lecturer at the University of Indonesia; the author of a book, “Why Did Anticorruption Policies Fail? A Study of Anticorruption Policy Implementation Failure in Indonesia”, Information Age Publishing, North Carolina, 2014. (This article is the original version of the one published in Jakarta Post, 6 March 2015).

Peran Humas Dalam Mensukseskan Program Pemerintah

$
0
0

Foto Sendiri OkeOleh : Alfurkon Setiawan  (Kepala Pusat Data dan Informasi, Sekretariat Kabinet RI)

Humas pemerintah merupakan ujung tombak dalam menyampaikan program dan kinerja pemerintah.  Selain itu, humas sebagai corong atau sumber informasi, dituntut kemampuannya dalam menghadapi tantangan dan perubahan zaman yang sangat cepat terutama menghadapi perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi.

Humas pemerintah juga diharapkan dapat meningkatkan pelayanan dan pengelolaan  informasi  di setiap instansinya, serta mampu mendorong partisipasi masyarakat dalam mensukseskan berbagai program pemerintah yang hasilnya dapat dinikmati oleh publik.

Untuk meningkatkan kemampuan, perangkat  humas harus menguasai teknologi informasi dan komunikasi, termasuk di dalamnya media sosial sehingga dapat mengetahui kebutuhan publik. Lebih penting lagi, humas harus menjalin sinergi dan akrab dengan wartawan, agar dapat mengontrol informasi yang disampaikan kepada publik.

Menurut difinisi dari Scott M. Cutlip dan Allen H. Center, humas merupakan fungsi manajemen yang menilai sikap publik, mengidentifikasi kebijakan dan tata cara seseorang atau organisasi demi kepentingan publik, serta merencanakan dan melakukan suatu program kegiatan untuk memperoleh pengertian, pemahaman, dan dukungan dari publiknya.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pada acara Forum Tematik Kehumasan yang bertema “ Penguatan Kelembagaan Humas Pemerintah Pusat dan Daerah Untuk Mendukung Fungsi Government Public Relation “ (GPR), pada 5 Maret 2015, di Aula Sekretariat Negara, mengingatkan kalangan humas harus mengubah pola pendekatan kepada masyarakat, yakni dari cara kuno ke modern yang lebih partisifatif. Selain itu, humas harus mengajak masyarakat menjadi bagian dari proses sehingga ada jalinan emosional dengan humas, dan  masyarakat pun akan merasa memiliki tanggungjawab dan melakukan sharing kepedulian yang lebih banyak lagi.

Pengamat dan Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto juga mengatakan, salah satu program “Nawacita” Jokowi – JK terkait bidang komunikasi dan informasi adalah membangun tata kelola pemerintahan yang efektif dan terpercaya. “Artinya, humas pemerintah dituntut meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi serta mempermudah akses informasi tersebut bagi masyarakat,”.

Jadi pada prinsipnya, pada era keterbukaan informasi publik, posisi pranata humas harus berperan penting dalam menjaga citra positif lembaga pemerintahan, agar sembilan program pemerintah Jokwi dan JK yang biasa disebut program “Nawa Cita” dapat dilaksanakan dengan penuh semangat kerja. Program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Penggunaan Teknologi  Informasi dan Komunikasi

Seiring semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi yang beredar di tengah masyarakat sebagai  akibat dari tuntutan zaman, humas harus mampu menggunakan perangkat teknologi tersebut, guna mendistribusikan inforrmasi kepada publik secara cepat, tepat dan efektif.

Para praktisi humas mengungkapkan bahwa dunia public relation  sedang memasuki masa kebangkitan dengan keberadaan teknologi informasi dan komunikasi. Keberadaannya membuat para praktisi humas mampu mencapai sasarannya kepada publik secara langsung tanpa intervensi pihak-pihak yang dapat menghambat kegiatan komunikasinya.

Teknologi informasi dibutuhkan keberadaanya sebagai alat penunjang dan media. Dalam melaksanakan relasi/hubungan  yang baik, penggunaan teknologi informasi dapat memberikan ruang bagi praktisi humas dalam merealisasikan tujuan yang ingin dicapai. Contoh dari teknologi informasi yang digunakan dalam praktek public relation adalah komputer dan internet. Para praktisi humas dapat memperoleh informasi yang berkaitan dengan publik yang perlu mereka ketahui dan gunakan dalam relasinya.

Selain itu, teknologi komunikasi yang dapat digunakan dalam public relation adalah internet dan telepon. Internet bukan hanya sarana untuk mencari informasi, melainkan sarana yang baik untuk berkomunikasi. Misal, dengan e-mail, media social, website, semua kegiatan komunikasi dan hubungan dapat berjalan dengan lancar. Jadi dengan teknologi komunikasi, kemampuan untuk menyampaikan dan menerima pesan,  jauh lebih mudah dan efektif.

Humas Bersinergi dengan Wartawan

Humas pemerintah harus mampu bersinergi/bermitra dengan wartawan (Media Cetak, Media Elektronik dan Media Sosial), serta  lembaga pers lainnya dalam membantu pemerintah untuk menyebarluaskan informasi program pembangunan  kepada masyarakat.

Waktu menjabat sebagai Kepala Sub. Bagian : Kewartawanan, Pemberitaan dan Analisa Berita di Biro Dokumentasi dan Pers Media, Sekretariat Presiden, penulis selalu bersinergi dalam memberikan pelayanan peliputan kepada para Wartawan Kelompok Sekretariat Negara atau istilah singkatnya WKS.

Penulis dalam melaksanakan tugas kesehariannya selalu dekat dengan wartawan, baik itu wartawan pusat atau ibukota maupun wartawan daerah, serta  tidak ada jarak  dengan para wartawan. Penulis akrab dan selalu berdiskusi jika ada masalah/berita yang muncul ke permukaan yang sifatnya merugikan kedua belah pihak ( Pemerintah dan wartawan/Media ).

Salah satu contoh, misalnya ada kegiatan/acara Presiden di luar kota, seperti peresmian, peninjauan dan temu wicara. Penulis yang ditugaskan sebagai Tim Advance, selalu bekerjasama dengan Humas Daerah dalam mempersiapkan sarana dan prasarana untuk peliputan wartawan pusat dan Daerah, sehingga para wartawan merasa nyaman dan mudah dalam melaksanakan peliputan tersebut.

Jadi, pada prinsipnya bahwa sinergitas atau hubungan kemitraan antara Humas dan Wartawan dapat berjalan dengan baik dan tujuan dapat diwujudkan secara optimal, maka ada beberapa hal yang sangat penting dilaksanakan oleh setiap pejabat atau pranata humas, diantaranya : 1. Hubungan Humas dengan Wartawan bersifat professional; 2. Humas harus mengetahui seluk beluk wartawan, termasuk irama kerjanya wartawan serta fungsi media massa; dan 3. Humas harus memiliki kemampuan praktik jurnalisme seperti meliput wawancara, memotret, menulis berita langsung, berita khas (feature news) dan artikel.

Selain itu, humas harus mampu mengenali wartawan dan redaktur secara personal. Serta  humas jangan bersifat diskriminatif terhadap wartawan/media massa, namun harus memperlakukan secara adil terhadap wartawan.

Semoga Humas ke depan lebih profesional dalam melaksanakan tugasnya.

 

Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan (Bag-3)

$
0
0

Oleh: Kukuh Pamuji

Foto. 1.  Penangkapan Diponegoro (Die Gefangenhame Diepo Negoro), Raden Saleh (1857), 112 x 179 cm (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto. 1. Penangkapan Diponegoro (Die Gefangenhame Diepo Negoro), Raden Saleh (1857), 112 x 179 cm
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Pada tulisan yang ke-3 ini masih menghadirkan lukisan mahakarya dari seorang maestro bernama Raden Saleh Sjarif Bustaman. Lukisan yang dimaksud adalah lukisan yang berjudul “Penangkapan Diponegoro” (Die Gefangenhame Diepo Negoro). Lukisan yang menjadi koleksi Negara ini dan saat ini terpasang di dinding Ruang Pamer Utama Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta.

Lukisan ini dibuat pada saat Raden Saleh masih menjabat sebagai pelukis kerajaan Belanda. Lukisan  yang menggambarkan peristiwa yang terjadi pada tanggal 28 Maret 1830 di rumah Residen Kedu di Magelang ini merupakan hasil pengembalian dari pemerintah Belanda yang diserahkan kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1978, sesuai dengan perjanjian kerja sama di bidang budaya antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah kerajaan Belanda.

Lukisan“Penangkapan Diponegoro” memiliki satu keistimewaan tersendiri karena merupakan lukisan sejarah pertama di Asia Tenggara di antara sejarah lukisan aliran Eropa yang dilukis oleh orang Asia Tenggara sendiri. Lukisan ini diakui sebagai sejarah kejadian di Asia Tenggara seiring dengan adanya lukisan lain versi kaum kolonial (Kraus dalam I Ketut Winata, 2007: 107). Untuk mengungkap misteri yang terkandung dalam lukisan ini, maka sejarah lukisan “Penangkapan Diponegoro” harus dijadikan dasar pemikiran untuk menggali lebih dalam misteri yang terkandung, sehingga dapat mengungkapkan sejarah dan peran serta Raden Saleh terhadap perjuangan melawan kolonialisme di Indonesia.

Foto. 2. Penangkapan Diponegoro, Raden Saleh pada Dinding Display Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta. (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto. 2. Penangkapan Diponegoro, Raden Saleh pada Dinding Display Museum Istana Kepresidenan Yogyakarta. (Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro dan pasukannya terjadi pada saat bulan Ramadhan, hal ini ditandai dengan tidak adanya keris yang merupakan senjata yang menjadi salah satu ciri khas Pangeran Diponegoro yang selalu terselip dipinggangnya. Dalam ajaran Islam, bulan Ramadhan merupakan bulan dimana umat Islam dilarang untuk berperang. Disamping itu, Pangeran Diponegoro beserta pasukannya mempunyai niat yang baik untuk menyambut tawaran berunding. Belanda meminta gencatan senjata. Namun yang terjadi kemudian adalah sebuah pengkhianatan oleh Belanda yang berujung dengan peristiwa penangkapan.

Tampak jelas Jenderal de Kock diam membisu tanda mengalah dari Pangeran Diponegoro atau merasa malu dengan cara penangkapan tersebut. Melalui lukisan yang syarat dengan makna simbolis ini sang maestro ingin mengungkapkan perasaan yang sangat mendalam pada dua sosok utama, yaitu Pangeran Diponegoro dan Jenderal de Kock. Pangeran Diponegoro dilukiskan sebagai seorang pejuang muslim dengan mengenakan pakaian ulama yang terdiri dari sorban, baju koko, jubah, selempang di bahu kanan, dan tasbih yang terselip di pinggang. Sementara keris pusaka Kanjeng Kyai Ageng Bondoyudho tidak terlihat karena sebelumnya telah dilucuti sehingga dengan mudah dapat ditangkap oleh Belanda yang licik.

Apabila kita mengamati dengan baik, terlihat di atas dan di tengah-tengah sorbannya terdapat warna merah dan putih. Hal ini menunjukkan ada sebuah pesan simbolis yang ingin disampaikan Raden Saleh bahwa Pangeran Diponegoro adalah seorang bangsawan, panglima pemberontak terhadap kolonial Hindia Belanda yang memiliki jiwa, pikiran, dan hati yang bersih, serta tetap mempunyai keberanian dalam menghadapi kaum penjajah.

Simbol merah putih pada sorban Pangeran Diponegoro digunakan sebagai simbol perjuangan dan perlawanan rakyat Indonesia melawan kolonial Belanda. Dalam hal ini jelaslah bahwa Raden saleh mempergunakan lambang atau simbol merah putih tersebut sebagai perlawanan dalam ekspresi lukisan anti kolonial jauh sebelum bangsa Indonesia menjadikan lambang nasional yang berupa bendera kebangsaan.

Secara visual kita  juga dapat menyaksikan bagaimana keberanian Pangeran Diponegoro yang tergambar melalui gesture berdiri tegak dengan dada membusung dan ekspresi wajah dengan mata tegas menatap Jenderal de Kock. Bahasa tubuhnya mencerminkan bahwa ia adalah seorang pejuang yang kuat, berani, dan tidak takut sedikitpun kepada petinggi Belanda. Raden Saleh menempatkan Pangeran Diponegoro di sebelah kanan sejajar dengan posisi de Kock. Sedangkan komandan Belanda berada di sebelah kirinya, yang dalam budaya Jawa merupakan sebuah simbol sebagai tempat untuk perempuan. Hal ini juga merupakan simbol bahwa pejabat Belanda menempati posisi kedua.

Objek menarik lainnya dalam lukisan ini adalah postur tubuh para opsir Belanda yang digambarkan dengan anatomi yang tidak proporsional. Kita dapat menyaksikan bahwa tinggi postur orang-orang Belanda dibuat sejajar dengan tinggi postur orang pribumi. Melalui penggambaran ini Raden Saleh ingin menegaskan bahwa orang “Jawa” memiliki derajat yang sejajar dengan para penjajah. Selain itu, kepala opsir yang digambarkan lebih besar dari ukuran yang seharusnya menggambarkan bahwa mereka sebagai penjajah yang angkuh dan sombong.

Bila kita cermati beberapa sosok pribumi yang dihadirkan dalam lukisan itu memiliki wajah yang sama dengan Raden Saleh. Hal ini menyiratkan bahwa Ia seolah-olah menyaksikan secara langsung peristiwa penangkapan ini, padahal ketika peristiwa ini terjadi, ia masih berada di Jerman. Lukisan yang merupakan “tandingan” dari karya dengan tema serupa yang dibuat oleh Nicolas Pieneman sebelumnya, sekilas tampak serupa. Tetapi karena sudut pandang yang digunakan oleh kedua pelukis itu berbeda maka memunculkan interpretasi yang berbeda juga. Lukisan Pieneman dibuat setelah Perang Diponegoro berakhir. Tujuan pembuatan lukisan ini adalah sebagai catatan peristiwa penting dalam sejarah administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Penangkapan Pangeran Diponegoro dianggap sebagai sebuah peristiwa besar karena dalam perang yang dipimpin langsung Pangeran Diponegoro ini sangat menguras waktu, korban, dan  keuangan Hindia Belanda.

Foto. 2.  Penaklukan Diponegoro (De Onderwerping van Diepo Negoro), N. Pieneman (1835), 77 x 100 cm. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro)

Foto. 2. Penaklukan Diponegoro (De Onderwerping van Diepo Negoro), N. Pieneman (1835), 77 x 100 cm. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro)

Untuk dapat membedakan kedua lukisan tersebut, di bawah ini disajikan lukisan karya Pieneman yang berjudul  “Penaklukan Diponegoro” (De Onderwerping Van Diepo Negoro).

Berbeda dengan lukisan Raden Saleh yang menggambarkan kegagahan dan keberanian Pangeran Diponegoro dengan gesture yang memancarkan perlawanan, maka Pieneman  menghadirkan sosok Pangeran Diponegoro yang tidak berdaya dengan raut muka penuh kepasrahan, dengan kedua tangan terbentang. Tumpukan tombak yang berada di hadapan pasukan Pangeran Diponegoro merupakan sebuah pertanda bagi pasukan yang kalah dalam peperangan. Jenderal De Kock yang berdiri dan bertolak pinggang menunjuk kereta tahanan di belakang Pangeran Diponegoro, seolah memerintahkan penahanan Pangeran Diponegoro. Di sisi lain para pengikut Pangeran Diponegoro seolah-olah dapat menerima hal tersebut karena tidak tercermin rasa sedih dan kecewa. Semua ini menggambarkan seakan-akan peristiwa penangkapan itu dapat diterima dan yang terbaik bagi masyarakat Jawa.

Suasana yang kaku dan resmi sangat terlihat jelas dalam lukisan Pieneman, tidak mencerminkan penangkapan seorang pemimpin besar bagi perlawanan kolonial Hindia Belanda. Suasana yang digambarkan layaknya sebuah kejadian yang telah direkayasa, begitu tenang dan begitu mudah. Padahl yang terjadi sebenarnya adalah betapa gigihnya Pangeran Diponegoro mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Dari kedua lukisan di atas, kita dapat melihat ada dua sudut pandang yang ditampilkan sangat kontras oleh masing-masing pelukis. Raden Saleh sebagai seorang pejuang menghadirkan sebuah sosok Pangeran Diponegoro yang penuh dengan semangat patriotisme, sementara Pieneman memandangnya dari perspektif kolonial. Lukisan “Penangkapan Diponegoro” tersebut menunjukkan bahwa Raden Saleh yang memiliki status “Pelukis Kerajaan Belanda” berpihak pada pemberontak menentang pemerintah Hindia Belanda. Lebih dari itu, lukisan “Penangkapan Diponegoro” adalah lukisan yang menggambarkan kejadian yang sebenarnya.

Dengan menyimak lukisan “Penangkapan Diponegoro” Raden Saleh ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang nasionalis sejati dan lukisan tersebut mengandung makna historis. Nilai sejarah bahwa dirinya telah mengungkap kebenaran suatu fakta kebenaran, sehingga sudah sepantasnyalah pemerintah Republik Indonesia memberikan suatu apresiasi tertinggi. Raden Saleh telah berani mengungkapkan kejadian sejarah bangsanya dengan sebenar-benarnya melalui hasil karya seninya. Raden Saleh lebih mengutamakan kemuliaan bangsanya walaupun ia telah banyak dibantu oleh Pemerintah Belanda sampai menjadi seorang pelukis yang terkenal.

 

Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Melalui KKR

$
0
0

PurnomoOleh: Purnomo Sucipto, S.H., LL.M, Calon Anggota KKR 2006

Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi di masa lalu terus tertunda. Semua Pemerintah yang berkuasa sejak era reformasi tidak kuasa menyelesaikannya. Mereka menemui banyak kesulitan.

Pertama, setiap rezim pemerintahan memiliki naluri untuk mempertahankan kekuasaan. Penyelesaian HAM yang berat di masa lalu memang berpotensi merongrong kelangsungan pemerintahan. Hal ini terjadi karena pihak yang merasa jadi korban tidak ingin mengampuni begitu saja. Mereka biasanya akan menekan pemerintah yang berusaha menyelesaikan masalah. Saat ini harapan digantungkan pada pemerintahan baru Jokowi-JK.

Kedua, adanya masalah teknis-yuridis penyelesaian melalui Pengadilan HAM, yakni perbedaan pendapat antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung. Komnas HAM merasa telah melakukan penyelidikan dan telah menyerahkan hasilnya kepada Kejaksaan Agung untuk meneruskan ke tingkat penyidikan dan membawa kasusnya ke pengadilan. Sementara, Kejaksaan Agung berpendapat penyelidikan oleh Komnas HAM tidak kuat karena penyelidikan yang dihasilkan bukanlah bukti-bukti hukum (pro justicia). Selain itu, perbedaan pendapat mengenai sudah atau belum adanya rekomendasi DPR juga menjadi masalah teknis yang menghalangi penyelesaian.

Ketiga, payung hukum yang menaungi penyelesaian menjadi hilang dengan dicabutnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) oleh MK. Pencabutan UU KKR berkonsekuensi terhentinya gagasan pemyelesaian masalah melalui KKR.

Terhadap kesulitan-kesulitan di atas terdapat beberapa gagasan penyelesaian. Pertama, membentuk Pengadilan HAM dengan melakukan terobosan atas masalah teknis yuridis yang ada. Apabila instansi yang berwenang Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR mempunyai semangat dan kepentingan yang sama, yaitu menyelesaikan masalah, maka kesulitan teknis yang muncul akan mudah diatasi.

Kedua, membentuk KKR dengan atau tanpa UU KKR. Idealnya UU KKR itulah payung hukum yang terkuat untuk membentuk KKR. Namun apabila proses penetapan undang-undang itu berlarut-larut, maka Pemerintah dapat menggunakan instrumen lain, misalnya peraturan presiden.

Ketiga, pernyataan langsung Presiden atas nama negara meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM yang berat masa lalu beserta keluarganya dan memberikan kompensasi atas kerugian yang diderita.

Semua alternatif di atas, baik dilakukan sendiri-sendiri atau bersamaan, perlu keteguhan tekad Pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Mengapa tekad Pemerintah harus teguh? Karena kalau tidak, Pemerintah akan tergoda bermain di zona aman dan nyaman: mendiamkan dan tidak melakukan upaya penyelesaian.

Berikut disampaikan tawaran beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan apabila skema KKR yang dipilih. KKR akan dibebani tugas menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, menciptakan perdamaian dan persatuan bangsa, dan mewujudkan rekonsiliasi. Namun, sejak gagasan pembentukan KKR dimunculkan pada tahun 1998 telah muncul sikap pro dan kontra mengenai efektivitas Komisi ini dalam melaksanakan tugasnya. Pihak yang optimistis menyatakan Komisi ini merupakan alternatif terbaik dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat di masa lalu dan menyelamatkan Indonesia melalui masa transisi menuju demokrasi. Sebaliknya, pihak yang pesismistis memperkirakan KKR akan menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang sulit dihadapi, bahkan KKR dianggap akan menutup kemungkinan menghukum pelaku pelanggaran HAM yang berat.

Terlepas dari kedua sikap di atas, kiranya suatu pilihan untuk melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah harus dilakukan. Dari beberapa alternatif yang ada, KKR merupakan jawaban yang terbaik. Sebagai institusi baru, tentu saja kesulitan akan menghadang baik dari dalam maupun dari luar organisasi.

Secara singkat dapat disebutkan di sini beberapa kesulitan tersebut:

  1. Berbedanya visi masing-masing anggota KKR. Dalam penyelesaian suatu pengaduan sebagian anggota KKR akan lebih menekankan pada pengungkapan kebenaran, sedangkan sebagian lainnya lebih menekankan pada rekonsiliasi. Hal ini mengakibatkan kesulitan dalam pengambilan keputusan. Belum lagi apabila terdapat anggota sebagai wakil kelompok kepentingan.
  2. Sulitnya mendapatkan kepercayaan masyarakat (public trust) bahwa Komisi akan berfungsi secara efektif sesuai dengan yang diharapkan. Kepercayaan baru akan didapat apabila pengaduan yang masuk pada awal terbentuknya KKR diselesaikan dengan baik. Kepercayaan ini merupakan kunci keberhasilan bekerjanya KKR.
  3. Waktu penyelesaian yang sempit untuk menangani pengaduan yang disertai permohonan kompensasi restitusi, rehabilitasi, atau amnesti akan membuat proses penyelesaian tidak efektif. Waktu 90 hari yang diberikan UU Nomor 27 Tahun 2004 tidak rasional karena sulit untuk mendapatkan kebenaran yang komprehensif dengan batas waktu yang ketat ini. Kesulitan ini akan bertambah apabila pengaduan disampaikan secara bersamaan.
  4. Adanya proses bahwa pelaksanaan rekomendasi kompensasi/ganti rugi dari KKR digantungkan pada pemberian amnesti oleh Presiden. Hal ini sulit dalam pelaksanaannya. Seharusnya, setelah KKR menyelesaikan suatu pengaduan dan memberikan rekomendasi amnesti pada pelaku dan pemberian kompensasi kepada korban, keputusan yang dibuat dapat dilaksanakan.
  5. Terbatasnya kemampuan Pemerintah untuk menyediakan dana untuk kompensasi dan sulit memperkirakan berapa besar dana yang harus disediakan Pemerintah karena kemungkinan korban pelanggaran HAM yang berat sangat banyak.
  6. Terbatasnya akses bagi korban/ahli warisnya untuk mengadukan pelanggaran HAM yang berat yang dideritanya disebabkan berbagai masalah seperti masalah jarak, pengetahuan, maupun biaya.

Visi, Misi, dan Program KKR

Berikut visi, misi, dan program yang perlu dilakukan KKR dalam melaksanakan tugasnya.

Kemampuan untuk menentukan visi, misi, dan program kerja dan kecakapan orang-orang untuk melaksanakannya sangat penting karena akan menentukan berhasil tidaknya KKR menjalankan tugasnya. Visi dimaksudkan sebagai keadaan di masa depan yang ingin diwujudkan dengan terbentuknya Komisi; misi merupakan dasar arahan atau tujuan kerja Komisi dan arti penting keberadaan Komisi dalam menciptakan kondisi yang ingin dicapai; program kerja merupakan terjemahan dan implementasi dari visi dan misi dalam bentuk kerangka kerja yang berisi apa, bagaimana, kapan pekerjaan harus dilakukan, dan indikator keberhasilan kerja Komisi.

  1. I.        Visi KKR

KKR mewujudkan perdamaian dan persatuan di antara elemen bangsa pada dasawarsa kedua abad 21 menuju masa depan Indonesia yang adil dan sejahtera.

Setelah berakhirnya masa tugas KKR pada tahun 2019 diharapkan terjadi perdamaian dan persatuan di antara elemen bangsa. Tidak terulang lagi peristiwa pelanggaran HAM yang berat dan tidak ada lagi dendam akibat peristiwa yang telah diselesaikan KKR. Kondisi ini merupakan prasyarat menuju masa depan Indonesia yang adil dan sejahtera.

  1. II.      Misi KKR

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KKR membawa misi:

  1. Mewujudkan perdamaian antara pelaku dan korban/ahli waris peristiwa pelanggaran HAM yang berat.
  2. Mencari kebenaran dari peristiwa pelanggaran HAM yang berat di masa lalu dalam rangka menegakkan keadilan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia.
  3. Mengembalikan hak-hak dan martabat korban/ahli waris pelanggaran HAM yang berat dengan memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
  4. Membangun citra bahwa KKR bukanlah institusi pengampunan dosa untuk pelaku dan juga bukan institusi balas dendam dari korban/ahli waris pelanggaran HAM yang berat.
  5. Memberikan amnesti sebagai bentuk penyelamatan proses transisi menuju iklim demokrasi dan bukan sebagai bentuk perlindungan terhadap para pelaku pelanggaran HAM yang berat.
  6. Melahirkan kesadaran baru bahwa jangan terulang kembali terjadinya hal-hal yang buruk dalam kehidupan HAM di masa mendatang.

 

III.    Program Kerja KKR

Program Jangka Pendek (2015-2016)

NO

SASARAN

KEGIATAN

INDIKATOR KINERJA

 

1.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.

 

 

 

 

 

 

 

3.

 

 

 

 

4.

 

 

 

Memperkuat organisasi KKR

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Meningkatkan kepercayaan masyarakat  terhadap KKR

 

 

 

 

 

 

Memastikan KKR dapat melaksanakan tugasnya

 

 

 

 

 

 

Memenuhi asas akuntabilitas dan transparansi kerja KKR

 

*Menyusun rancangan PP, Perpres,  Kepres, dan Peraturan Komisi yang mengatur mengenai pembentukan keanggotaan, tata kerja, dan kode etik komisi.

*Menyusun keanggotaan, tata kerja dan kode etik komisi

 

Sosialisasi KKR  dengan mengadakan pertemuan dengan  masyarakat terutama pihak yang terkait dengan pelanggaran HAM yang berat, termasuk instansi pemerintah sipil dan militer

 

Inventarisasi pelanggaran HAM dengan menyusun data mengenai perkiraan peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang diadukan, siapa pelaku, siapa korbannya, dan jumlahnya

 

Membuat laporan tahunan kinerja KKR

 

-      Terbentuknnya rancang-an PP, Perpres, Keppres dan Peraturan Komisi tata kerja Komisi.

-    Terbentuknya susunan keanggotaan, tata kerja, dan kode etik komisi.

 

Terinformasikannya keberadaan KKR kepada masyarakat terutama  pihak yang terkait dengan pelanggaran HAM yang berat, termasuk instansi pemerintah sipil dan militer

 

 

 

Tersusunnya data tertulis berupa perkiraan peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang diadukan kepada KKR, siapa pelaku, siapa korbannya, dan jumlahnya

 

 

 

 

Diserahkannya laporan tahunan kepada Presiden, DPR, MA dan diumumkan kepada masyarakat luas

Program Jangka Panjang (2016-2019)

NO

SASARAN

KEGIATAN

INDIKATOR

1.

2.

 3

 4.

5.

 

Menyelesaikan pelang-garan HAM yang berat masa lalu yang diajukan kepada KKR

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Mewujudkan perdamaian dan persatuan di antara pelaku dan korban pelanggaran HAM yang berat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Memenuhi asas akuntabilitas dan transparansi kerja KKR

 

Menginformasikan hasil-hasil kerja KKR

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa perdamaian dan persatuan harus tetap dijaga untuk menyongsong masa depan Indonesia yang adil dan sejahtera

 

 

*Memutuskan apakah suatu peristiwa termasuk dalam pelanggaran HAM yang berat

*                Menerima pengaduan, melakukan penyelidik-an, pemeriksaan, pengungkapan kebenaran, menerima pengakuan dari pelaku pelanggaran HAM yang berat

 

 

 

 

*Mendamaikan pelaku dan korban/ahli waris.

 

*Sosialisasi hasil-hasil perdamaian

 

*Memberikan pertimbangan hukum mengenai pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran ham yang berat

 

*Memberikan pertimbangan hukum mengenai pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.

 

 

 

Membuat laporan tahunan kinerja KKR.

 

 

 

Menyusun kejadian sebenarnya dari peristiwa pelanggaran ham yang berat yang telah diselesaikan oleh KKR meliputi tempat, waktu, proses kejadian, pelaku dan korban/ahli warisnya dan keputusan KKR.

 

 

 

Pertemuan dengan korban dan pelaku pelanggaran HAM yang berat dan memberi informasi mengenai hasil-hasil kerja KKR.

 

 

-    Adanya keputusan bahwa suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM yang berat yang menjadi wewenang KKR atau bukan

-      Adanya keputusan mengenai siapa pelaku, apakah diberikan amnesti kepada pelaku, siapa korbannya apakah diberikan kompensasi, restitusi, dan rehabi-litasi kepada korban/ahli warisnya sesuai alokasi waktu yang telah ditentukan

 

-    Dibuatnya perjanjian ter-tulis mengenai perdamai-an yang telah dibuat.

-    Terinformasikannya kor-ban dan pelaku dan korban mengenai perjanjian perdamaian yang telah dibuat.

-      Dibuatnya rekomendasi kepada Presiden mengenai pemberian amnesti.

-      Dibuatnya rekomendasi mengenai pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

 

 

 

 

 

Diserahkannya laporan tahunan kepada presiden, DPR, MA dan diumumkan kepada masyarakat luas.

 

Dibuatnya laporan komprehensif dalam bentuk semacam buku putih yang dilaporkan kepada Presiden, DPR, Mahkamah Agung dan masyarakat luas mengenai pelanggaran HAM yang berat yang telah diselesaikan oleh KKR meliputi tempat, waktu, proses kejadian, pelaku dan korban/ahli wariskorban dan keputusan KKR .

 

Pengertian segenap elemen bangsa yang ditandai dengan tidak terjadinya kembali pelanggaran HAM yang berat dan tidak adanya dendam di kemudian hari.

 

 

 

Paradigma Baru Pembangunan Nasional

$
0
0

fasilitatorOleh: Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*)

Ada yang sedikit berbeda dalam dokumen APBN-P 2015 hasil kesepakatan pemerintah dan DPR. APBN pertama di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini mencantumkan target-target pembangunan manusia sebagai bentuk komitmen untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia. Secara umum, sejumlah indikator pembangunan manusia yang masuk ke APBN-P 2015 diantaranya: angka kemiskinan 10,3%, angka pengangguran 5,6%, gini rasio 0,40 serta  Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 69,4. Target-target tersebut menjadi ukuran dalam keberhasilan menilai keberhasilan pembanguna nasional ke depan.

Dalam kesempatan yang sama, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis laporan Indeks Kebahagiaan Nasional 2014 berdasarkan survei di sekitar 1.129 rumah tangga di seluruh Indonesia. Hasilnya, Indeks Kebahagiaan Nasional mencapai 68,28 dimana semakin mendekati angka 100 artinya tingkat kebahagiaan masyarakat semakin tinggi. Namun demikian, jika dibandingkan laporan yang sama di tahun 2013, diasumsikan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan kebahagiaan.

Indeks Kebahagiaan Nasional dihitung berdasarkan penilaian atas kepuasan masyarakat terhadap 10 aspek kehidupan di antaranya pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keharmonisan keluarga, kondisi keamanan serta kondisi lingkungan. Jika dibandingkan tahun 2013, maka aspek pendapatan rumah tangga mengalami kenaikan paling signifikan hingga 5,06 poin menjadi 63,09. Sementara keharmonisan keluarga mengalami peningkatan paling rendah 0,78 poin ke level 78,89. Yang sedikit memprihatinkan, aspek pendidikan justru menjadi indeks kebahagiaan yang paling rendah sekitar 58,28.

Masyarakat yang tinggal di perkotaan juga dinilai memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi 69,62 dibandingkan indeks kebahagiaan masyarakat perdesaan yang hanya 66,95. Berdasarkan kategori jenis kelamin, wanita memiliki tingkat kebahagiaan 68,61 dibandingkan pria yang memiliki indeks kebahagiaan 67,94. Untuk wilayah, daerah yang memiliki indeks kebahagiaan tertinggi adalah Kepulauan Riau sebesar 72,42, disusul Maluku sebesar 72,12 kemudian Kalimantan Timur 71,45.

Paradigma Baru Pembangunan    

Berdasarkan uraian tersebut di atas, ada suatu perubahan paradigma baru dari pemerintah dalam memandang kinerja serta keberhasilan pembangunan. Secara teori, indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara, selalu didasarkan pada perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) semata. Dan ukuran inilah yang selama ini selalu menjadi pedoman oleh pemerintah dalam menilai kinerja ekonominya, meskipun sebetulnya penggunaan konsep PDB sebagai indikator kesejahteraan ekonomi negara, dalam perjalanannya mengalami evolusi yang cukup signifikan.

Evolusi pertama muncul seiring dengan fakta bahwa tingkat populasi penduduk antar negara sangat heterogen. Ada negara yang kaya namun populasi penduduknya juga relatif besar, sebaliknya ada negara yang kaya namun populasi penduduknya rendah. Adapula negara yang miskin dan populasi penduduknya besar dan sebaliknya. Keanekaragaman modalitas tersebut tentu akan menimbulkan kesalahan dalam intepretasi jika indikator kesejahteraan hanya menggunakan PDB semata.

Karenanya kemudian muncul konsep PDB/PNB per kapita sebagai upaya mereduksi kelemahan tersebut. Tantangan berikutnya muncul ketika ada perbedaan standar biaya hidup antar negara. Tokyo di Jepang dan beberapa kota besar di Eropa dikenal sebagai kota dengan standar biaya hidup termahal di dunia. Menjadi hal yang sangat menggelikan jika standar hidup yang berbeda-beda tersebut dinafikan dalam proses penghitungan indikator kesejahteraan negara. Kelemahan tersebut kemudian diperbaiki dengan menggunakan konsep Purchasing Power Parity (PPP) yang akan menyamakan standar biaya hidup seluruh negara.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran negara akan pentingnya aspek-aspek non-ekonomi yang selama ini justru terpinggirkan dalam konsepsi PDB, kemudian muncul pendekatan Gross National Happiness yang digagas oleh negara Bhutan sebagai sebuah terobosan spektakuler dalam menghitung konsep kesejahteraan negaranya. Bhutan inilah yang kemudian menjadi acuan dalam penyusunan Indeks Kebahagiaan di banyak negara lainnya termasuk Indonesia.

Ide mengukur tingkat kebahagiaan bangsa itu pertama kali dicetuskan oleh Raja ke IV Bhutan, Jigme Singye Wangchuck, pada tahun 1970-an. Dalam pemikirannya, konsep pembangunan yang berlanjut adalah sebuah konsepsi pembangunan yang menggunakan pendekatan holistik dalam mencapai kemajuan bangsa. Karenanya faktor non-ekonomi perlu diberikan bobot penting setara dengan aspek ekonomi dalam pendekatan PDB yang hanya memperhitungkan aspek ekonomi semata. Upaya penyusunan GHN di Bhutan dimulai sejak 2005, ketika the Centre for Bhutan Studies (CBS) merumuskan indikator untuk mengukur tingkat kebahagiaan bangsa, melalui kajian literatur dan konsultasi dengan berbagai pihak.

Survei pendahuluan kemudian dilakukan pada tahun 2006 sebelum survei pertama kali mengukur Indeks GHN dilakukan pada tahun 2007, di mana kuesioner yang mencakup 750 variabel (meliputi variabel obyektif, subyektif dan terbuka) ditanyakan kepada 950 orang di 12 daerah. Namun sedikitnya responden memaksa CBS tidak mengangap hasil survei tersebut cukup sahih untuk ditetapkan secara resmi. Survei berikutnya dilakukan pada tahun 2010, dalam waktu 9 bulan, dengan jumlah kuesioner yang terisi lengkap sebanyak 7000 lembar lebih, dari 20 daerah perkotaan dan pedesaan. Berdasarkan survei inilah kemudian GNH dijadikan momentum keberpihakan Bhutan dalam pemenuhan aspek kebahagian hidup kepada masyarakatnya.

Konsep GNH diukur dari sembilan aspek kebahagiaan bangsa, yaitu: ketenangan psikologis, kesehatan, pendidikan, penggunaan waktu, ketahanan dan keragaman budaya, tata kelola pemerintahan, vitalitas komunitas, ketahanan dan keragaman lingkungan hidup, dan standar hidup. Keseluruhan aspek kebahagiaan ini kemudian diuraikan menjadi 33 indikator yang terukur untuk menentukan tingkat kebahagiaan bangsa. Ke-33 indikator dipilih untuk memenuhi kriteria handal secara statistik, penting secara normatif, dan mudah dimengerti oleh kalangan luas.

Keseluruhan aspek kebahagiaan tersebut kemudian mendapat bobot yang sama, karena dianggap sama pentingnya dalam menentukan tingkat kebahagian bangsa. Namun dalam setiap ranah, indikator obyektif diberi bobot yang lebih besar daripada indikator subyektif dan jawaban terbuka. GHN dapat dipilah ke dalam kelompok-kelompok penduduk dan wilayah, sehingga dapat digunakan  untuk merancang kebijakan dan program peningkatan kebahagiaan bangsa secara rinci dan terpadu; baik oleh pemerintah pusat, daerah, LSM atau dunia usaha.

Survei GHN menghasilkan 3 jenis hasil hitungan: hitungan kepala/headcount, intensitas dan indeks GHN. Hitungan kepala menunjukkan persentase penduduk yang merasa bahagia; intensitas menunjukkan rata-rata kecukupan yang dinikmati oleh penduduk; dan indeks GHN menggambarkan keadaan keseluruhan kebahagiaan suatu bangsa. Indeks GHN berkisar antara 0-1, angka lebih besar  menunjukkan indeks kebahagiaan lebih tinggi.

Berkaca kepada kesuksesan Bhutan dalam mengartikulasikan kebahagian masyarakatnya sebagai sebuah tolok ukur kesejahteraan bangsa serta inisiatif yang sudah dijalankan oleh BPS di level nasional, sepertinya perlu diwacanakan penerapan Indeks Kebahagiaan di level daerah (Gross Regional Happines/GRH). Terlebih seiring dengan pencapaian tujuan Millenium Development Goal’s (MDG’s) ataupun Sustainable Development Goal’s (SDG’s) yang memberikan perhatian besar pada keseimbangan pencapaian tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan. Perubahan habitat masyarakat dunia yang makin menghargai aspek budaya, sosial, religi dan kearifan lokal sebagai sebuah bentuk kesuksesan, makin mendukung perlunya penerapan GRH di Indonesia, khususnya di beberapa daerah yang dianggap masih memegang teguh nilai-nilai budaya dan aspek kekayaan tradisionalnya. Kota Yogyakarta, NAD, Sumatera Barat, Manado, Makassar dan Bali sepertinya menjadi usulan kasus yang sangat menarik untuk penerapan GRH. Best practice yang nantinya didapat dari kasus GRH inilah yang nantinya dapat menjadi amunisi di dalam proses konsensus nasional terkait penerapan di level nasional.

Jika ide tersebut sekiranya dapat diwujudkan, sepertinya mimpi tentang Indonesia yang lebih berbudaya dan tidak sekedar mementingkan aspek materi dalam penghitungan kesejahteraan masyarakat akan terwujud. Pemerintah akan bekerja seoptimal mungkin dengan menempatkan kesejahteraan masyarakat di atas segalanya. Masyarakat juga akan makin cinta kepada Pemerintah dan merasakan dengan segenap kesadarannya bahwa Pemerintah ada dan bekerja untuk mereka.

*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

 

Bangkitnya Reformasi dan Revolusi Mental di Indonesia

$
0
0

Foto Sendiri OkeOleh : Alfurkon Setiawan  ( Kepala Pusat Data dan Informasi, Sekretariat Kabinet RI )

Gaung Reformasi di Indonesia menggema sejak tumbangnya rezim Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Jenderal Soeharto tahun 1998. Reformasi ini  belum menyentuh paradigma, mindset, dan budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Untuk itu, agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, serta sesuai cita-cita pendiri bangsa, maka kita perlu melakukan reformasi dan revolusi mental yang fundamental.

Reformasi, yang baru menyentuh sektor kelembagaan negara saja, seperti yang sekarang berjalan, tidak  cukup untuk menghantarkan Indonesia menuju cita-cita bangsa seperti yang telah diproklamirkan oleh para pendiri bangsa. Jika, kita gagal melakukan perubahan dan pemberantasan terhadap KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan pelecehan terhadap hukum/peraturan yang berlaku, maka semua keberhasilan reformasi ini akan lenyap dan hancur ditelan zaman.

Reformasi menurut “Khan” adalah perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama.

Birokrasi pemerintahan yang seharusnya menjadi motor penggerak dalam meningkatkan daya saing bangsa, kenyataannya justru menunjukkan sebaliknya, alias masih belum sesuai dengan harapan. Untuk itu, transformasi organisasi dan budaya kerja di lingkungan birokrasi ke arah yang lebih baik harus digalakkan.

Transformasi organisasi dilakukan melalui revitalisasi strategi, konsolidasi struktur dan bisnis proses, sedangkan transformasi budaya kerja dilakukan melalui penguatan keyakinan, nilai-nilai dan perilaku. Selain itu,  perubahan mindset dan cultur birokrasi, dari birokrasi priyayi ke birokrasi melayani serta dari birokrasi inefisien ke birokrasi efisien  melalui reformasi birokrasi dan revolusi mental harus dilakukan bersamaan.

Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental, menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi. Kita juga memerlukan birokrat dan birokrasi yang bersih, handal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pelaksanaan  pemerintahan.

Di Indonesia puncaknya reformasi terjadi pada tahun 1998. Reformasi tersebut dipelopori oleh beberapa tokoh seperti : Amien Rais, BJ. Habibie, Gus Dur, Megawati. Mereka tampil bagaikan Proklamator ke-2 di negeri ini. Hampir seluruh penghuni Republik ini mengemas harapan terhadap empat tokoh Reformasi tersebut.  Masih adakah semangat juang yang akan dipersembahkan kepada negara dan bangsa Indonesia ?

Momentum Revolusi Mental

Istilah “Revolusi Mental” di Indonesia digagas oleh Soekarno ( Presiden Pertama RI ). Revolusi Mental ini sebagai kelanjutan dari Revolusi Fisik. Revolusi mental  tidak hanya berhenti sampai di sini, namun harus ditumbuhkan dan digalakan sampai akhir generasi yang akan datang.

Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya hukum dan politik untuk memberantas sampai tuntas segala perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan terlalu lama dibiarkan, dari rezim Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik, revolusi mental ini tidak dengan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen para pemimpin, dan selayaknya setiap revolusi mental diperlukan pengorbanan.

Revolusi mental harus menjadi momentum dan gerakan nasional bangsa Indonesia. Usaha kita bersama untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang maju, merdeka, adil, dan makmur diperlukan. Kita harus berani mengendalikan masa depan negara dan bangsa kita sendiri dengan restu Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada diri mereka.

Bachtiar Alam, Antropolog yang juga dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menyebut, konsep revolusi mental adalah konsep Mahatma Gandhi. Bachtiar mengutip dalam buku Gandhi’s Experiments with Truth: Essential Writings by and about Mahatma Gandhi (Richard L. Johnson ed., 2007), Gandhi mengedepankan argumen bahwa kemerdekaan politik (self-rule) harus berdasarkan pada revolusi mental, yaitu perubahan total mental rakyat negara jajahan.

Sebagai seorang pejuang nilai-nilai kemanusiaan di Indonesia, Gus Dur           ( Abdurahman Wahid, Presiden RI ke-4 ) mengagumi pemikiran Gandhi. Pernyataannya yang terkenal berbunyi “I am a follower of Mahatma Gandhi.” Ciri yang menonjol dalam pemikiran Gus Dur adalah melihat demokrasi sebagai suatu proses transformasi mental secara terus-menerus dengan bertumpu pada penghargaan terhadap persamaan hak, pluralisme serta kebebasan menyampaikan aspirasi. “Di sini tampak jelas pengaruh gagasan revolusi mental Gandhi pada Gus Dur,” papar Bachtiar.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Yuddy Chrisnandi menambahkan, bahwa Presiden Joko Widodo juga meminta kepada seluruh aparatur negara terutama yang tergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) untuk mempercepat perubahan pola pikir dan budaya kerja aparatur Negara. “Kita harus lebih gigih, cerdas, inovatif, dan tanggap terhadap dinamika perubahan strategis,”.

Menteri PAN dan RB sebagai penggerak utama reformasi birokrasi merupakan institusi yang bertugas untuk merumuskan kebijakan dan mengkoordinasikan pelaksanaan atas kebijakan revolusi mental birokrasi tersebut. Semua akan dikembangkan dalam rangka penjabaran visi pemerintahan Jokowi-JK, yakni terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong, serta dalam kerangka operasionalisasi 9 agenda prioritas (Nawa Cita), antara lain menghadirkan kembali negara untuk melindungi rasa aman pada seluruh warga negara serta membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.

Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.

Ingat, masih banyak masalah di negara Indonesia yang harus dibenahi sejalan dengan semangat Reformasi dan Revolusi Mental bangsa Indonesia. Namun yang pasti, sudah saatnya bangsa Indonesia berbenah, dan memperbaiki negerinya. Siapapun Presidennya, diharapkan agar pelaksanaan Reformasi Birokrasi dan Revolusi Mental yang sudah berjalan, tidak berhenti hanya di tataran konsep saja, tapi harus dijalankan dengan optimal dan maksimal, demi masa depan negara dan bangsa Indonesia tercinta.

Majulah Negara dan Bangsa Ku Tercinta. Kerja…Kerja…. dan Kerja.


Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan (Bag-4)

$
0
0

Oleh: Kukuh Pamuji

Foto.1.: Jika Tuhan Murka, Basoeki Abdullah (1950),  200 x 300 cm  (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto.1.: Jika Tuhan Murka, Basoeki Abdullah (1950), 200 x 300 cm
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Pada bagian ke -4 kita akan mengenal lebih dekat koleksi Benda Seni Kenegaraan Karya Maestro Lukis Indonesia yang memiliki kemampuan melukis cukup lengkap dalam mengolah berbagai bentuk objek yang menjadi karya lukisnya setelah era Raden Saleh. Sang maestro yang dimaksud adalah Basoeki Abdullah. Kelengkapan sebagai seorang pelukis dapat dilihat dari tema lukisan yang dibuatnya, disamping bentuk objek yang beraneka ragam, tema lukisannya tidak terbatas pada lukisan pemandangan , tetapi juga menghadirkan tema-tema yang lain, seperti tema:  perjuangan, flora dan fauna, mitologi, potret, sosial dan kemanusiaan, dan sebagainya.

Basoeki Abdullah lahir di Solo, 27 Januari 1915. Bapaknya bernama Abdullah Surio Subroto, seorang pelukis pemandangan ternama. Ibunya R.A. Sukarsih, pembatik kraton. Kakeknya merupakan tokoh nasionalis yang juga merupakan pahlawan nasional, Dr. Wahidin Sudirohusodo. Berdasarkan catatan yang ada, lukisan Basoeki Abdullah yang tersimpan di Istana Kepresidenan jumlahnya tidak kurang dari 86 buah.

Lukisan Jika Tuhan Murka menggambarkan manusia yang sedang dalam kondisi panik dimana bumi tempat berpijaknya dikelilingi kobaran api dan gumpalan asap, sementara yang lainnya terpanggang. Lukisan yang menghadirkan aura mengerikan ini ditampilkan dengan gaya surealisme dengan tema dongeng. Warna merah dengan gradasi oranye menuju putih, menggambarkan nyala api. Sementara itu asap digambarkan dengan warna hitam, abu-abu, putih dan sedikit campuran warna biru berhasil memberikan kesan yang dinamis, tidak monoton. Gumpalan asap putih menjadi point of interest dan terlihat dominan.

Lukisan yang menggambarkan kehancuran pada saat kiamat ini ditandai dengan bumi yang runtuh, api yang keluar dari dalam bumi, dan bebatuan gunung yang berhamburan dengan setting penggambaran sebuah tebing mengandung makna simbolis dari tiga lapisan dunia, yaitu dunia bawah yang mengeluarkan api membakar dunia tengah yang menjadi tempat tinggal manusia, serta dunia atas, alam supranatural yang mengalami petaka.

Lukisan ini menyampaikan pesan moral yang dapat menjadi contoh bagi manusia agar selalu menjaga keseimbangan lingkungannya, menghindari peperangan, dan konflik yang akan membawa bencana, serta mengajak setiap manusia untuk selalu melakukan introspeksi sehingga azab Tuhan tidak terjadi. Lukisan yang dpsimpan di Ruang Film Gedung Induk Istana Kepresidenan Bogor, berdasarkan penilaian asset yang dilakukan pada tahun 2011 bernilai Rp 4.550.000.000,-

Lukisan berikutnya berjudul Pertempuran Gatutkaca Lawan Antasena Memperebutkan Sembadra. Pembuatan lukisan ini diilhami dari cerita wayang lakon Sembadra Larung. Lukisan ini dibuat pada tahun 1933 saat Basoeki Abdullah masih berumur 17 tahun. Lukisan ini kemudian dibuat kembali pada tahun 1955 tanpa sosok Sembadra (seperti terlihat pada foto.3). Dalam lukisan ini hadir sosok keluarga Pandawa, dimana tiga orang anak Bima, yaitu Gatutkaca, penjaga kerajaan Amarta (Kerajaan Pandawa) dari Angkasa, Antareja penguasa tanah, dan Antasena yang mampu hidup di dalam air (penjaga Indraprastha).

Dikisahkan Dewi Sembadra di Istana Madukara, didatangi seorang tokoh Kurawa bernama Burisrawa yang sangat mencintai Dewi Sembadra. Karena Dewi Sembadra tidak menerima cintanya, maka akhirnya Dewi Sembadra dibunuh oleh Burisrawa. Ketika Arjuna datang ke Istana Madukara, dan mendapati istrinya telah meninggal, seluruh kerajaan Indraprastha geger. Para Pandawa mencari pembunuh Dewi Sembadra, maka Kresna sebagai penasehat para Pandawa menyarankan agar jenazah Dewi Sembadra dimasukkan ke dalam perahu dan dihanyutka ke sungai Gangga. Gatutkaca harus terbang di angkasa untuk mengawasinya, dan siapa saja manusia yang mendekati perahu jenazah Dewi Sembadra dianggap sebagai pembunuhnya. Ketika Antasena mengembara di sungai Gangga untuk mencari ayahnya, sambil menyelam ia mendekati perahu yang berisi jenazah Dewi Sembadra. Sementara itu Gatutkaca yang sedang terbang, melihat ksatria berkulit hijau dan bersisik mendekati perahu. Tanpa berpikir panjang ia segera menerjang Antasena karena dianggap sebagai pembunuh Dewi Sembadra.

Foto.2: Pertempuran Gatutkaca Lawan Antasena Memperebutkan Sembadra,  Basuki Abdullah (1933),  200 x 300 cm (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto.2: Pertempuran Gatutkaca Lawan Antasena Memperebutkan Sembadra,
Basuki Abdullah (1933), 200 x 300 cm
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Saat terjadi pertarungan itu datanglah para Pandawa dan Sri Kresna untuk melerai. Setelah semua persoalan jelas, maka diketahui bahwa pembunuh Dewi Sembadra adalah Burisrawa. Dengan kesaktian yang dimiliki Antasena, Dewi Sembadra berhasil dihidupkan kembali. Kemudian para Pandawa mengejar Burisrawa untuk mendapat hukuman.

Lukisan berikutnya seperti yang telah dijelaskan di atas, masih menggambarkan dua anak Bima yang bertarung mengadu kesaktiannya, tanpa tokoh Dewi Sembadra. Lukisan dengan gaya realis-ekspresionis ini menyuguhkan sosok tokoh wayang orang dengan anatomi tubuh dan gerakan yang diekspresikan dengan jelas sesuai dengan karakter masing-masing. Mereka berduel saling mencari kelemahan. Warna putih yang dilukis ekspresif mengesankan air yang bergerak ke arah atas, sedangkan merah dengan aksen oranye menyiratkan kemarahan digunakan pada Gatutkaca. Sementara Antasena yang lebih sering hidup dalam air dilukiskan dengan warna kebiru-biruan. Penempatan objek dan efek warna gelap terang didasarkan pada pertimbangan komposisi simetris.

Lukisan dengan gaya realis-ekspresionis ini menyuguhkan sosok tokoh wayang orang dengan anatomi tubuh dan gerakan yang diekspresikan dengan jelas sesuai dengan karakter masing-masing. Mereka berduel saling mencari kelemahan. Warna putih yang dilukis ekspresif mengesankan air yang bergerak ke arah atas, sedangkan merah dengan aksen oranye menyiratkan kemarahan digunakan pada Gatutkaca. Sementara Antasena yang lebih sering hidup dalam air dilukiskan dengan warna kebiru-biruan. Penempatan objek dan efek warna gelap terang didasarkan pada pertimbangan komposisi simetris. Lukisan yang terpasang di Ruang Film, Gedung Induk Istana Kepresidenan Bogor ini berdasarkan penilaian asset yang dilakukan pada tahun 2011 bernilai Rp  3. 985.000.000,-

Foto.3: Gatutkaca dan Antasena sedang Bertarung, Basuki Abdullah (1955),  200 x 300 cm  (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto.3: Gatutkaca dan Antasena sedang Bertarung, Basuki Abdullah (1955), 200 x 300 cm
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Dari kedua lukisan (Pertempuran Gatutkaca Lawan Antasena Memperebutkan Sembadra dan Gatutkaca dan Antasena sedang Bertarung) yang berlatar belakang cerita wayang yang sudah begitu melegenda di tanah Jawa ini terkandung suri tauladan yang dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran bagi umat manusia dalam menjalani kehidupannya.

 

Perizinan Satu Lembar Bagi UMK

$
0
0

Arif KOleh :  M. Arief Khumaedy*)

Mengapa Usaha Mikro dan Kecil (UMK) perlu ditata dan dikembangkan? Jawabannya jelas, yaitu agar usaha mikro ini mampu bersaing dalam menghadapi Mayarakat Ekonomi Asian (MEA) yang berlaku Desember tahun 2015 ini.  Hal tak kalah penting kenapa pemberdayaan UMK perlu dilakukan adalah karena secara riil UMK memiliki potensi sangat besar dalam menggerakkan perekonomian nasional. Dari total unit usaha di Indonesia sebanyak 57.900.787 buah pada tahun 2013  sebagian besar didominasi oleh usaha mikro dan usaha kecil, yaitu 57.843.615 unit atau  99,9%.

Menurut  Badan Pusat Statistik (BPS) 2013,  Usaha Mikro yaitu usaha yang mempunyai Omzet/tahun sampai dengan Rp 300 Juta dan  Asset sampai dengan Rp. 50 juta berjumlah 57.189.393 Unit  (98,77%).  Usaha kecil  yaitu Usaha yang mempunyai omzet/tahun Rp 300 Juta – Rp 2,5 Miliar dan  Asset Rp. 50 juta – Rp 500 Juta berjumlah 654.222 Unit (1,13%). Sedangkan usaha besar berjumlah Usaha Besar, yaitu usaha  yang omzet/tahun lebih dari Rp 50 Miliar dan Asset lebih dari 10 Miliar berjumlah 5.066 Unit (0,01%) dan usaha menengah Usaha Menengah yang memiliki omzet/tahun Rp 2,5 Miliar s- Rp 50 Miliar dan mempunyai asset Rp. 500 juta – Rp 10 Miliar berjumlah 52.106 Unit (0,09%).

Namun sumbangan dalam menyerap tenaga kerja usaha mikro, menegah dan kecil cukup besar  yaitu 114.144.082 orang dari total angkatan kerja 118.200.000, sedangkan usaha besar  berperan dalam menyerap tenaga kerja 3.537.162 orang. Besarnya tenaga kerja yang diserap oleh usaha mikro dan kecil ini menunjukkan peran usaha mikro dan Kecil dalam menggerakan perekonomian dan kesejahteraan orang banyak sangatlah besar.

MEA yang akan berlaku Desember 2015 dimana berlaku pasar bebas di bidang permodalan, barang dan jasa, serta tenaga kerja di kawasan ASEAN, yang  mencakup: kemudahan arus barang, arus modal dan arus tenaga kerja sesama negara ASEAN, serta terbuka peluang pelaku usaha negara ASEAN lainnya dapat beroperasi di Indonesia, dan sebaliknya dari Indonesia dapat beroperasi di Asean.

Dalam menghadap  MEA usaha mikro dan kecil  harus siap terutama dalam bersaing dengan kompetitor pelaku usaha dari negara ASEAN lainnya.  Untuk usaha mikro dan kecil harus siap dengan menyelesaikan segudang permasalahan yang di hadapi oleh usaha kecil , yaitu : (1) Usaha mikro dan Kecil banyak yang belum memiliki izin bagi usahanya. (2) Keterbatasan persediaan bahan baku seperti misalnya logam, kulit, benang, kayu, rotan, dsb. (3) Aksesibilitas terhadap sumber permodalan yang masih sangat terbatas.  (4) Pengembangan produk yang masih terbatas seperti dibidang mutu, disain dan kemasan. (5) akses pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri yang lemah. (6) Penggunaan teknologi yang rendah. (7) serta masih kurangnya pemanfaatan Coorporate Social Responsibility (CSR) dari PKBL maupun perusahaan swasta. Dari deretan permasalahan tersebut faktor perijinan memegang peran penting dalam mengurai permasalahan-permasalahan lainnya.

Izin Satu Lembar

Salah satu upayanya adalah perlindungan usaha mikro dan kecil adalah melalui perijinan yang sederhana dan mudah. Pentingnya pemberian perijinan usaha mikro  satu lembar ini dilatar belakangi kebutuhan untuk mengembangkan usaha mikro dan Kecil, yaitu: (1) Memberikan legalitas hukum izin UMK dalam bentuk satu lembar dalam rangka memperkuat dan mengembangkan usahanya serta mendapatkan kepastian dan perlindungan dalam berusaha; (2) Dalam upaya memperkuat dan mengembangkan usaha mikro kecil untuk penguatan ekonomi daerah; (3) Bagian dari upaya memberdayakan, meningkatkan dan mengembangkan UMK sebagai salah satu usaha ekonomi kerakyatan yang bergerak dalam usaha perdagangan sektor informal; (4) Memberikan kemudahan UMK pada akses pembiayaan ke lembaga keuangan bank dan non-bank dan kemudahan dalam pemberdayaan dari pemerintah, Pemda dan lembaga lainnya; (5) Memperkuat UMK dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015.

Untuk mendukung kemudahan perijinan ini, telah diterbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2014 Tentang Perizinan Untuk Usaha Mikro Dan Kecil pada tanggal pada tanggal 18 September 2014. Dalam Pasal 2, Izin Usaha Mikro dan Kecil (IUMK) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan sarana pemberdayaan bagi pelaku usaha mikro dan kecil dalam mengembangkan usahanya.

Adapun tujuan pengaturan IUMK bagi pelaku usaha mikro dan kecil untuk: a. mendapatkan kepastian dan perlindungan dalam berusaha dilokasi yang telah ditetapkan; b. mendapatkan pendampingan untuk pengembangan usaha; c.mendapatkan kemudahan dalam akses pembiayaan ke lembaga keuangan bank dan non-bank; dan d. mendapatkan kemudahan dalam pemberdayaan dari pemerintah, pemerintah daerah dan/atau lembaga lainnya.

Dalam Pasal 3 disebutkan Perpres Nomor 98 Tahun 2014, disebutkan IUMK diberikan dalam bentuk naskah satu lembar. Tentunya pemberian ijin satu lembar ini praktis dan mudah dilaksanakan. Ijin satu lembar ini mudah dibawa oleh pelaku usaha, bahkan dapat di tempel di tempat usaha ekonomi mikro seperti di gerobak loker dagangannya.  Kemudian  Pemberian IUMK kepada usaha mikro dan kecil dibebaskan atau diberikan keringanan dengan tidak dikenakan biaya, retribusi, dan/atau pungutan lainnya.

IUMK diberikan kepada pelaku usaha mikro dan kecil sesuai persyaratan yang ditentukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pada saat ini telah ada Permendagri  No.83/2014 Ttg Pedoman Pemberian Izin Usaha Mikro Dan Kecil pada tanggal 21 November 2014. Kemudian  telah ada Nota Kesepahaman 3 Menteri yaitu Kemendagri, Kemenkop dan UKM, Kemendag  tentang Pembinaan Pemberian Izin Usaha Mikro dan Kecil di Daerah, yang antara lain berisikan:

  1. melakukan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan untuk mendukung upaya pengaturan pemberian IUMK bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (PUMK);
  2. mensinergikan sumber daya dalam rangka pelaksanaan pemberian IUMK bagi PUMK;

Ruang lingkup IUMK dijelaskan bahwa pengaturan pemberian IUMK bagi pelaku usaha Mikro dan kecil diberikan kepada pelaku usaha Mikro dan Kecil sesuai persyaratan yang di tetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan berpedoman dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pemberian ijin ini dilaksanakan dalam bentuk naskah satu lembar.  Serta tidak dikenakan biaya, retribusi dan/atau pungutan lain.

Secara garis besar pelaksanaan Pemberian  Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK), sebagai berikut:

  1. Camat yang telah mendapat pendelegasian kewenangan dari Bupati/Walikota.
  2. Dapat dilimpahkan kepada Lurah/Kepala Desa dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah.
  3. Karakteristik wilayah : meliputi Jumlah penduduk , Luas wilayah, Letak Geografis dan topografis, dan  Kearifan lokal.
  4. Diterbitkan paling lambat 1 hari kerja sejak pendaftaran diterima, lengkap dan benar.
  5. Dapat dicabut apabila Pelaku Usaha Mikro Kecil (PUMK) melanggar ketentuan perundang-undangan.
  6. Tidak dikenakan biaya, retribusi, dan/atau pungutan lainnya.

Pendaftaran IUMK dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut:

  1. PUMK melakukan pendaftaran IUMK kepada Camat dengan melengkapi dan menyampaikan berkas.
  2. Tata cara pendaftaran IUMK:
  1. permohonan IUMK;
  2. pemeriksaan IUMK;
  3. pemberian IUMK; dan
  4. pencabutan dan tidak berlakunya IUMK.

Pelaksanaan perijinan ini diperlukan petunjuk pelaksanaan  perizinan satu lembar. Kementerian dalam negeri telah menyeluarkan  Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 83 tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian IUMK.

Peran pemerintah daerah di perlukan untuk mendukung program dan kegiatan ini. Dalam  pertimbangan Perpres Nomor 98 Tahun 2014 disebutkan bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi daerah perlu melakukan pemberdayaan terhadap pelakuusaha mikro dan kecil. Bahwa pemberdayaan perlu dilakukan dengan memberikan izin kepada pelaku usaha mikro dan kecil secara sederhana melalui penerbitan izin dalam bentuk naskah satu lembar, serta kemudahan akses dalam pelayanannya dengan mendekatkan penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu pada pelaku usaha mikro dan kecil. Untuk mendekatkan penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu perlu dilakukan pendelegasian wewenang kepada perangkat daerah kabupaten/kota yang terdekat dengan pelaku usaha mikro dan kecil.

Semoga dengan skema IUMK seperti ini,  usaha mikro dan kecil  dapat terbantu dan hadir menjadi usaha yang mandiri dan berkembang sehingga pelaku usaha yang berperan sebagai penyumbang perkembangan perekonomian nasional.

____

*) Kepala Bidang di Deputi Bidang Perekonomian.

 

 

 

Mencermati Lonjakan Harga Beras Nasional

$
0
0

OktaOleh: Oktavio Nugrayasa, SE, M.Si*)

Jika tidak dikendalikan dengan tepat, situasi melambungnya kenaikan harga beras yang terjadi di hampir seluruh wilayah belakangan ini akan dapat memicu krisis baru, yaitu berdampak pada kenaikan harga bahan kebutuhan pokok yang lain sehingga efeknya akan turut menganggu pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terutama yang berada di lapisan bawah.

Dalam kurun waktu 4 (empat) bulan pertama di tahun 2015, munculnya gejala kenaikan harga komoditas beras yang cukup signitifikan ini menyusul suplai yang cukup besar terhambat karena terjadinya situasi kekeringan di sejumlah wilayah sentra pertanian padi sehingga mengakibatkan panen menjadi tertunda yang seharusnya waktu panen dilakukan pada bulan Januari dan Februari menjadi mundur waktunya pada pertengahan Maret 2015.

Penyebab kedua adalah terjadinya bencana puso di sebagian wilayah Jawa Tengah akibat wabah hama wereng menjangkiti sebagian besar areal sawah pertanian sehingga menyebabkan gagal panen, kemudian yang ketiga adalah banjir yang sempat menenggelamkan lahan pertanian tanaman padi yang melanda beberapa Kabupaten (Subang, Indramayu dan Karawang) di Jawa Barat yang selama ini menjadi sentra produksi beras sehingga menurunkan jumlah produksi padi yang dihasilkan.

Namun lonjakan harga yang sangat ekstrim membuat sejumlah kalangan mengkhawatirkan adanya gejala tidak sehat, karena dua tahun berturut-turut (2013-2014) pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat untuk jumlah produksi padi nasional dapat dikatakan meningkat diatas 5% per tahun, sedangkan penduduk Indonesia bertambah hanya sekitar 1,25% per tahun. Dengan peningkatan angka produksi seperti diatas, seharusnya persediaan beras dapat dikatakan cukup untuk memenuhi permintaan masyarakat dan harga beras di dalam negeri secara otomatis dapat lebih stabil.

Tanpa mengabaikan keberadaan pihak tertentu, silang pendapat mengemuka terkait fenomena terjadinya lonjakan harga beras di beberapa pasar di Indonesia mengalami kenaikan yang cukup besar terutama di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung dan kota-kota lainnya. Kenaikan di tingkat pengecer bisa mencapai 30 persen.

Untuk harga beras IR 64 dengan kualitas medium menembus angka Rp 10 ribu-Rp 10.500 per kg, sedangkan harga beras untuk kualitas asalan dari sebelumnya Rp. 6.000 menjadi Rp. 8.000. Demikian juga  di Luar Jawa, seperti Jambi harga beras naik hingga Rp. 5.000 per karung, sehingga ditenggarai adanya unsur kesengajaan dari adanya permainan mafia dibalik melonjaknya harga beras, dengan kekuatan besarnya mereka mampu mengontrol harga pada tingkat tertentu.

Apapun penilaian yang disampaikan beberapa kalangan, tidak ada jalan lain bagi pemerintah dalam menghadapi situasi ini dengan segera melakukan penataan pengelolaan beras nasional secara lebih efektif atasi berbagai persoalan mendasar, seperti jumlah pasokan beras yang harus cukup tersedia sepanjang waktu dan dengan tingkat harga yang relatif stabil serta terdistribusinya komoditas beras secara merata diberbagai wilayah untuk memenuhi permintaan masyarakat.

Memperbesar Volume Pasokan  

Beras merupakan salah satu komoditi pangan yang mempunyai arti sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan keberadaannya sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh bangsa Indonesia. Angkanya mencapai 97% penduduk Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi untuk mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok utama. Selain merupakan pengkonsumsi beras, Indonesia juga merupakan negara produsen beras terbesar ke tiga di dunia.

Pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan, seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensi telah memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional. Posisi pangan sangat menentukan dalam stabilitas karena merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi sesuai hak asasinya sehingga merupakan salah satu pilar utama pembangunan nasional.

Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional terutama beras, pemerintah dihadapkan pada banyak tantangan dan beragam masalah. Dukungan dan tekad besar dari Presiden Jokowi untuk kembali memperkuat sektor pertanian menjadi momentum bagi pemerintah untuk lebih serius dan fokus dalam menangani permasalahan ketahanan pangan nasional.

Tantangan ke depan tentunya akan semakin berat terutama dalam jangka panjang, melihat begitu banyak persoalan pangan terutama menyangkut beras, solusi dalam jangka pendek yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan meningkatkan kemampuan Perum Bulog sebagai lembaga yang menangani pengadaan beras dalam negeri untuk Raskin dan berupaya untuk memperbesar cadangan stok beras nasional. Peningkatan cadangan merujuk pada aturan organisasi pangan dunia (FAO) yang mematok cadangan pangan minimal RI sebesar satu juta ton.

Pada tahun 2014 untuk cadangan beras nasional di Perum Bulog sebelumnya sebesar 3,4 juta ton, diharapkan pada tahun 2015 target realisasi pemerintah untuk pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) bisa ditingkatkan minimum besarnya mencapai 4 juta ton beras, sehingga dengan adanya tambahan cadangan beras tersebut maka kemampuan Bulog untuk mengelola stok pangan akan meningkat serta dinilai akan mencegah spekulan bermain.

Mengontrol Harga Beras

Gejolak naiknya harga beras yang terjadi dalam beberapa pekan belakangan ini hingga melonjak sebesar 30 persen, ternyata berdasarkan pantauan disimpulkan bahwa harga tersebut adalah harga yang paling mahal dibandingkan dengan harga beras yang sekarang beredar di pasar Internasional, angkanya cukup fantastis hingga mencapai 100 persen.

Sebagai contoh, untuk beras impor asal negara Vietnam katagori kelas medium dengan kualitas broken 15 persen harganya hanya 400 dollar AS per ton atau jika di rupiahkan akan setara dengan Rp. 5.000 per kg, dan jika beras tersebut sudah sampai di Indonesia harganya bisa mencapai Rp. 6.000 per kg, itu sudah termasuk bea masuk dan ongkos/biaya angkut. Sedangkan untuk beras premenium harganya tak jauh beda dengan selisih lebih mahal 20-25 dollar AS per ton, atau selisih lebih mahal Rp. 200-300 per kg dari beras medium. Dengan harga beras di Indonesia yang sangat tinggi, maka kemungkinan besar praktik penyelundupan beras ke dalam negeri sangat berpotensi besar dan harus di waspadai.

Terhadap situasi dan persoalan yang terjadi pada pasar beras nasional, tentunya tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja akan tetapi harus dilihat secara menyeluruh, artinya terhadap tuntutan penurunan harga beras yang banyak dikeluhkan dan merugikan dari sisi konsumen, sedangkan dari sisi petani terjadinya penurunan harga beras justru dirasakan akan sangat merugikan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan diversifikasi pangan, dikarenakan negara Indonesia sangat kaya akan produk pangan lokalnya yang lain, tidaklah terbatas pada komoditas beras sebagai konsumsi masyarakat. Dengan demikian jumlah konsumsi beras dapat ditekan dan selanjutnya jika terjadi kenaikan harga beras maka gonjang ganjingnya tidak akan berdampak besar karena diversifikasi pangan telah berhasil diterapkan. Mungkin sudah saatnya, pemerintah mulai menggalakan kembali gerakan diversifikasi pangan lokal sebagai alternatif pola budaya konsumsi masyarakat Indonesia.

*) Kabid Ketahanan Pangan dan PDT Deputi Perekonomian Setkab

Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan (Bag-5)

$
0
0
Foto.1: Gatutkaca dan Anak-anak Arjuna (Pergiwa dan Pergiwati), Basoeki Abdullah (1956),  150 x 100 cm  (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto.1: Gatutkaca dan Anak-anak Arjuna (Pergiwa dan Pergiwati), Basoeki Abdullah (1956), 150 x 100 cm
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Oleh: Kukuh Pamuji

Pada bagian ke-5 kita akan mengenal  koleksi lukisan Basoeki Abdullah bertema mitologi dan legenda yang cukup populer di kalangan budaya Jawa. Sebagai seorang yang sangat mencintai budayanya, Basoeki Abdullah sangat akrab dengan cerita wayang yang sarat dengan ajaran budi pekerti dan keagamaan. Kecintaannya dengan wayang jugalah yang kemudian menjadikannya sebagai salah satu objek dalam lukisannya seperti dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul  Gatutkaca dan Anak-anak Arjuna (Pergiwa dan Pergiwati).

Pembuatan lukisan ini dilatarbelakangi oleh permintaan Bung Karno agar Basoeki Abdullah melukis dunia pewayangan. Semula Soekarno menginginkan Bima, salah seorang prajurit besar Pandawa menjadi objek lukisannya. Soekarno mengidentifikasikan dirinya sebagai Gatotkaca setelah sebelumnya menyebut dirinya Bima, seperti ketika ia menuliskan namanya dalam artikel yang dimuat di Oetoesan Hindia. Menurut kesaksian Sukmawati, lukisan ini sengaja dipesan sesuai dengan ukuran tembok di Istana Merdeka. Lukisan ini kemudian dipasang berhadapan dengan lukisan Joko Tarub pada saat Bung Karno menjadi Presiden.

Lukisan yang bergaya realis-naturalis ini menggambarkan tiga tokoh pewayangan sesuai dengan judulnya, yaitu Gatutkaca, Pergiwa dan Pergiwati.  Endang Pergiwa dan Endang Pergiwati merupakan dua bersaudara kembar. Sejak kecil Pergiwa dan adik kandungnya, Pergiwati tinggal bersama ibu dan kakeknya di pertapaan Andong Sumiwi. Setelah remaja, keduanya pergi meninggalkan pertapaan Andong Sumiwi menuju ke Madukara untuk menemui ayahnya yang bernama Arjuna.

Untuk menemani perjalanan Pergiwa dan Pergiwati mencari ayahnya, sang kakek meminta tolong kepada cantrik (muridnya) yang bernama Janaloka. Janaloka ternyata memiliki niat untuk menyunting kedua putri Arjuna itu, akan tetapi ia telah bersumpah dihadapan gurunya (kakek dari Pergiwa dan Pergiwati) bahwa ia akan mati dikeroyok 100 orang apabila menikahi keduanya.

Pada sisi kisah yang lain diceritakan bahwa Suyudana dari kerajaan Astinapura akan menikah lagi dan sedang mencari gadis kembar yang akan dijadikan sebagai pengawal kedua mempelai. Untuk mendapatkan gadis kembar tersebut maka dikerahkan 99 orang kurawa beserta Adipati Karna ke berbagai pelosok negeri. Dalam perjalanan Adipati Karna dan 99 orangKurawa bertemu dengan Pergiwa dan Pergiwati. Kemudian mereka menanyakan tentang asal-usul dan maksud perjalanan keduanya.

Setelah menceritakan asal-usul dan maksud perjalanannya, maka kedua gadis kembar tersebut diminta untuk menjadi pendamping calon mempelai dari Astinapura. Ternyata keduanya menolak dan melarikan diri. Janaloka yang sedang mengawasi dari jauh mengetahui bahwa kedua purti Arjuna tersebut memerlukan pertolongannya. Akhirnya Pergiwa dan Pergiwati meminta tolong  kepada Janaloka, akan tetapi Janaloka mengajukan syarat apabila ia berhasil mengalahkan  Kurawa dan Adipati Karna, keduanya harus mau menjadi isterinya. Namun, sebelum kedua puteri itu menjawab, Janaloka sudah harus menghadapi pasukan Kurawa. Dalam pertempuran yang begitu dahsyat, akhirnya Janaloka tewas sesuai dengan sumpah yang pernah ia ucapkan.

Pergiwa dan Pergiwati terus dikejar oleh para Kurawa, namun dalam pengejaran itu mereka bertemu dengan Abimanyu, kakak mereka berdua tetapi dari lain ibu. Setelah menceritakan permasalahan yang dihadapinya maka Abimanyu kemudian menyerang para Kurawa. Karena jumlah yang tidak seimbang, maka Abimanyu terdesak dan datanglah Gatutkaca dari Angkasa. Karena serangan yang dilancarkan Gatutkaca maka para Kurawa akhirnya dapat dikalahkan, dan Pergiwa dan Pergiwati diantar Abimanyu dengan pengawalan Gatutkaca untuk menghadap ayahnya. Saat ini lukisan yang memiliki nilai asset sebesar Rp 815.000.000,- (berdasarkan penilaian asset pada tahun 2011)  masih tersimpan di Ruang Resepsi Istana Merdeka dan didisplay secara khusus untuk diperlihatkan kepada masyarakat luas pada program Istana Untuk Rakyat yang dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Foto.2: Joko Tarub, Basoeki Abdullah (1959),  255 x 170 cm  (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto.2: Joko Tarub, Basoeki Abdullah (1959), 255 x 170 cm
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Seperti yang telah dijelaskan di atas lukisan yang lain yang berhadapan dengan lukisan Gatutkaca dan Anak-anak Arjuna (Pergiwa dan Pergiwati) adalah lukisan Joko Tarub. Legenda Joko Tarub mengisahkan tujuh bidadari yang turun ke bumi untuk mandi yang oleh Basoeki Abdullah kemudian diekspresikan berdasarkan imajinasinya. Dalam lukisan ini digambarkan Joko Tarub sedang mengambil pakaian Dewi Nawangwulan. Pose bidadari yang sedang mandi digambarkan penuh dengan suka ria menikmati suasana air terjun dan alam pegunungan dengan pemandangan sekitar penuh dengan pohon hijau. Semantara itu Joko Tarub dilukiskan dengan warna kemerah-merahan yang mengandung makna simbolis “semangat yang membara” karena adanya motivasi terhadap sesuatu.

Konon, Jaka Tarub adalah seorang pemburu yang kemudian diceritakan mencuri selendang salah satu bidadari tercantik bernama Dewi Nawangwulan. Karena selendangnya disembunyikan oleh Joko Tarub maka Dewi Nawangwulan tidak dapat kembali ke kahyangan dan kemudian ia tidak dapat menolak ketika kemudian Joko Tarub bermaksud memperisterinya. Singkat cerita pada akhirnya perkawinan Joko Tarub dan Dewi Nawangwulan membuahkan  keturunan. Pada suatu waktu kemudian Dewi Nawangwulan dapat menemukan selendang sakktinya, maka ia kemudian kembali lagi ke kahyangan meninggalkan suami dan anaknya yang masih kecil.

Selain beredar di masyarakat Jawa, legenda Joko Tarub juga di kenal di Bali. Berdeda dengan di Jawa, di Bali Joko Tarub dikenal dengan sebutan Rajapala. Inti ceritanya sama mengisahkan pertemuan antara dunia manusia biasa dengan bidadari (dunia supernatural). Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah “Jumbuhing Kawulo Gusti”. Konsep keagamaan tertinggi ini diwujudkan dalam bentuk cerita rakyat popular yang dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat awam. Anak hasil perkawinan Joko Tarub dengan Dewi Nawangwulan dapat diartikan sebagai hasil pertemuan antara kekuatan adikodrati dengan manusia yang tetap harus dipelihara demi kelangsungan hidup manusia iitu sendiri. Saat ini, lukisan Joko Tarub yang memiliki nilai asset Rp 3.910.000.000,- (berdasarkan penilaian asset pada tahun 2011)  disimpan di Ruang Film, Gedung Induk Istana Kepresidenan Bogor.

Ada sebuah kisah yang menarik terkait dengan lukisan Joko Tarub ini. Hal yang seringkali ditanyakan oleh para pengunjung Istana Kepresidenan Bogor adalah bagaimana Basoeki Abdullah melukis para bidadari. Rupanya Basoeki Abdullah menggunakan seorang model yang diminta untuk memeragakan gerakan tubuh (gesture) tertentu dari setiap bidadari. Dengan kepiawaian melukisnya, Basoeki Abdullah mampu melukiskan bidadari dengan tingkat kehalusan dan imajinasi yang sangat kuat. Hasilnya, kita dapat melihat lukisan yang secara visual sangat indah, cantik, semampai, dengan panorama yang sangat menyegarkan.

Hal yang menarik lainnya adalah ternyata jumlah bidadari yang dilukis bukanlah berjumlah tujuh seperti halnya yang diceritakan dalam legenda ini. Mengapa Basoeki hanya melukiskan enam bidadari saja. Banyak sekali tafsiran yang kemudian muncul dalam lukisan ini. Beberapa pemandu Istana Kepredisenan Istana Bogor ketika menjelaskan kepada para pengunjungnya menyatakan dengan penuh humor, bahwa Bidadarinya hanya berjumlah enam karena bidadadi yang satunya lagi diambil oleh Bung Karno. Menurut Sukmawati Lukisan Joko Tarub dipesan secara khusus oleh Soekarno. Lukisan ini sengaja dipesan untuk ditempatkan pada sebuah dinding yang berada di Istana Merdeka. Oleh karena itu, ukurannya pun disesuaikan dengan luas dinding yang akan dipasangi lukisan tersebut.

 

 

 

Adakah Generasi Penerus R.A.Kartini ?

$
0
0

Pak KafusOleh : Alfurkon Setiawan, Kepala Pusat Data dan Informasi Sekretariat Kabinet RI

Raden Adjeng (RA) Kartini adalah sosok pejuang dan tokoh wanita  yang berani dan tegas, dengan ide dan gagasan pembaharuannya serta berpikir modern. Ia berjuang untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Semangat  emansipasinya,  mengangkat  harkat dan derajat kaum wanita Indonesia terus digelorakan, sehingga Kartini menjadi berjasa bagi kaum wanita Indonesia.

Kartini, lahir di Jepara Jawa Tengah tanggal 21 April 1879, dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Bupati Jepara) dengan M.A Ngasirah. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri, dan Kartini adalah anak perempuan tertua.

Kartini diberikan kebebasan oleh orang tuanya untuk mengenyam pendidikan sampai usia 12 tahun, dibandingkan perempuan lainnya. Ia bersekolah di ELS (Europese Lagere School) dan belajar bahasa Belanda. Dengan ketrampilan berbahasa Belanda, Kartini mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda. Ia mencurahkan segala unek-uneknya tentang ketidakadilan yang dirasakannya, dan dianggap memojokkan wanita pada waktu itu.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan.  Ia ingin menentang kepada orang tuanya, tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya.

Kartini tertarik pada kemajuan cara berpikir wanita Eropa (Belanda), yang waktu itu masih menjajah Indonesia. Akhirnya timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Menurutnya, wanita tidak hanya di dapur saja, tetapi juga harus mempunyai ilmu pengetahuan. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk belajar tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya, Kartini  tidak berhenti membaca dan  menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda.

R.A. Kartini  menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojodhiningrat pada tanggal 12 November 1903. Setelah menikah, ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti keinginan istrinya dan Kartini diberi kebebasan dan mendukung untuk mendirikan sekolah wanita. Dari pernikahannya, ia dikaruniai seorang anak perempuan bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904.

R.A. Kartini wafat pada usia 25 tahun, dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. Mengingat semangat juangnya seorang wanita,  Yayasan Kartini mendirikan Sekolah Wanita di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini kepada  teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Buku “Habis Gelap, Terbitlah Terang” menjadi buku yang melegenda dan menginspirasi bangsa Indonesia. Buku tersebut menggambarkan bagaimana perjuangan Kartini dalam mengangkat harkat derajat dan memperjuangkan hak-hak wanita, serta menyuarakan kesetaraan gender. Wanita Indonesia masa kini bisa bebas menunjukan eksistensi dan prestasi, sama dengan laki-laki.

Kartini saat itu beranggapan, bahwa bangsa yang besar harus melibatkan wanita di dalamnya. Untuk itu,  wanita pun harus punya hak dan kedudukan yang setara dengan pria. Mimpi Kartini ini luar biasa, mimpinya  melawan kodrat dan keyakinan umum. Visinya : bahwa wanita bisa bersekolah dan setara dengan pria akan membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, melebihi visi siapapun pada masa itu.

Atas perjuangannya itu, Presiden Republik Indonesia Pertama Ir. Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, dan sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar nasional yang kemudian dikenal sebagai “Hari Kartini”.

Indonesia memiliki banyak pahlawan wanita. Seperti : Cut Nyak Dien, Cut  Meutia, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu, dan  Kartini. Namun, dari semua pahlawan itu, hanya Kartini yang memiliki orientasi perjuangan emasipasi wanita.

Kartini di Era Reformasi?

Setelah kepergiaan R.A. Kartini, apakah perjuangan dan semangaat emansipasi yang telah digagasnya akan terhenti di era modern dan serba canggih sekarang ini?  Ataukah perjuangan Kartini hanya sebatas cerita saja yang terngiang di dalam benak kaum wanita sekarang?

Generasi di era reformasi setelah Kartini ini, memiliki akses memperoleh  pendidikan dan pengajaran dan kesempatan apa saja sangat terbuka dan mudah.  Apa yang diharapkan kartini pada waktu itu, oleh sebagian orang diangap telah tercapai oleh kaum wanita yang memperjuangkanya.

Sekarang kaum wanita bisa memperoleh hak dan kewajiban serta  kesempatan yang sejajar dengan kaum pria, diantaranya memperoleh pendidikan sampai yang lebih tinggi, pangkat dan jabatan, dan kebebasan lainya sehingga wanita tidak harus lagi tinggal di rumah (dipingit). Misalnya dalam sektor pendidikan, banyak sekali wanita yang memperoleh gelar Doktor bahkan Profesor.

Selain itu, di dalam pekerjaan/karier,  banyak wanita yang menjadi Menteri Koordinator, Menteri, pimpinan /pejabat tinggi di kantor Pegawai Negeri Sipil, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pimpinan Daerah, Dosen, Guru, Pimpinan Perusahaan dan Pemilik Perusahaan  bahkan ada juga wanita Indonesia yang menjadi Presiden Repblik Indonesia, seperti Ibu Megawati Soekarno Putri (Presiden RI ke-5).

Dengan peran aktif kaum wanita di era reformasi, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menunjukkan semangat  juang kebangsaan, nasionalisme, dan partiotisme dalam kehidupan bermasyarakat, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya gotong royong, maka  segala usaha/ perjuangan yang telah dirintis oleh R.A Kartini telah membawa  manfaat untuk generasi yang akan datang.

Hal yang terpenting adalah melakukan upaya untuk menerapkan semangat kebangsaan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara demi mewujudkan hasil kemerdekaan NKRI.  Kita seluruh warga Negara Indonesia bersama-sama kaum wanita, membangun kembali bangsa Indonesia yang berciri khas dan beridentitas serta membangun karakter dan jati diri bangsa yang benar-benar menunjukkan bahwa kita sebagai suatu  bangsa yang beradab dan bermatabat serta memiliki nilai-nilai luhur, sebagaimana R.A Kartini perjuangkan.

Semoga ke depan Banyak Kartini Kartini Harapan Bangsa Indonesia.

   

Kebocoran vs Efisiensi Anggaran

$
0
0

uang-rupiah-750x420Oleh: Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*

Isu kebocoran anggaran pernah menjadi perdebatan yang cukup hangat dalam debat Presiden tahun lalu. Isu mengenai kebocoran anggaran, sebetulnya sudah menjadi isu lama, sekaligus tipikal perekonomian di negara-negara berkembang. Penyelenggaraan pemerintahan yang masih sarat dengan korupsi, sistem yang belum terbangun serta kentalnya budaya birokrasi menjadi prasyarat pendukung yang sempurna terjadinya kebocoran tersebut. Dalam beberapa kesempatan, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, salah satu peletak dasar ekonomi Indonesia pun pernah menyentil persoalan kebocoran anggaran ini. Dalam versi beliau, kebocoran anggaran hingga tahun 1993 saja sudah mencapai angka 30%, meskipun detail penjelasannya tidak pernah disampaikan ke publik hingga saat ini.

Berbicara mengenai kebocoran anggaran, hal pertama yang harus disepakati adalah: apakah juga menyangkut isu efisiensi atau tidak? Hal ini menjadi penting mengingat penilaian kebocoran anggaran yang ada selama ini justru disamakan dengan persoalan efisiensi. Secara teori, ukuran mengenai efisiensi perekonomian di suatu negara sebetulnya dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan ICOR (Incremental Capital Output Ratio). ICOR secara umum didefinisikan sebagai besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dalam mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Besaran ICOR ini didapatkan dengan membandingkan besarnya tambahan kapital dengan tambahan output.

Pendekatan ICOR ini selaras dengan teori pertumbuhan klasik Harrod Domar dan Sollow Swan yang menempatkan pertumbuhan kapital sebagai dasar utama kemakmuran suatu negara melalui pembentukan investasi yang menghasilkan saving devisa. Negara yang memiliki kemampuan investasi dan saving devisa yang besar, perekonomiannya memiliki potensi untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan kondisi sebaliknya. Teori tersebut secara tidak langsung memunculkan dikotomi antara negara maju dan negara berkembang, dimana masing-masing nantinya akan memiliki jalur pertumbuhan (growing path) sendiri-sendiri. Dalam perjalanannya, teori ini kemudian menuai banyak kritikan karena dianggap meniadakan peran input non-kapital.

Nilai ICOR yang efisien, secara umum berada di kisaran 3%-4%, yang artinya untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) 1% di suatu negara, dibutuhkan tambahan investasi hingga 3%-4%. Nilai ICOR yang semakin kecil, mengindikasikan terjadinya efisiensi dalam proses investasi, sebaliknya nilai ICOR yang membesar menggambarkan tingginya in-efisiensi investasi. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Komite Ekonomi Nasional (KEN) dan juga Badan Pusat Statistik (BPS), ICOR Indonesia dari tahun 2004-2008 sebetulnya sudah berada di bawah kisaran 4%. Tahun 2004 nilai ICOR Indonesia 4,4%, 2005 sekitar 4,5%, 2006 sekitar 4%, 2007 sekitar 3,7% dan 2008 sekitar4,2%.

Kebocoran anggaran juga berpotensi terjadi dari sisi realisasi APBN setiap tahunnya. Namun berdasarkan data realisasi APBN dari Kemenkeu, dalam 10 dasawarsa terakhir, angka realisasi APBN secara rata-rata berada di atas 94%. Tahun 2004 realisasi APBN mencapai 99,33%, tahun 2006 mencapai 95,43%, 2008 sekitar 99,62%, tahun 2010 mencapai 92,54% dan 2012 sekitar 96,33%. Setiap tahunnya, pemerintah juga terus menyempurnakan mekanisme penyusunan anggaran sekaligus mempermudah prosedur realisasi sehingga penyerapan anggaran diharapkan lebih optimal. Yang masih menjadi persoalan mungkin terkait dengan persoalan kualitas dari penyerapan anggaran itu sendiri. Meskipun sudah menerapkan sistem Performance Based Budgeting (PBB), persoalan kualitas penyerapan anggaran mau tidak mau masih menjadi kendala utama.

Tidak tercapainya optimalisasi penerimaan perpajakan juga disinggung sebagai salah satu penyebab terjadinya kebocoran anggaran. Namun perlu diperhatikan bahwa melesetnya potensi penerimaan perpajakan tidak seutuhnya disebabkan oleh lemahnya kinerja aparat perpajakan melainkan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal lainnya seperti melemahnya demand akibat resesi global. Pemerintah juga terus melakukan pengurangan potensi terjadinya penurunan potensi penerimaan perpajakan yang disebabkan perilaku moral hazard aparat penegak pajak itu sendiri melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 111/PMK.03/2014 tentang pegawai pajak yang beralih menjadi Konsultan Pajak.

Potensi kebocoran anggaran lainnya yang memungkinkan adalah hilangnya potensi penerimaan negara dari hasil pengelolaan sumber daya alam (SDA) baik tambang maupun kekayaan non-tambang lainnya. Namun demikian, potensi hilangnya penerimaan dari hasil pengelolaan SDA baik tambang dan non-tambang sangat bergantung kepada kesepakatan kontrak yang sudah ditanda-tangani sebelumnya. Yang mungkin dilakukan adalah me-renegosiasi kontrak kesepakatan yang sudah akan jatuh tempo untuk dilakukan perhitungan ulang demi memenuhi aspek keadilan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwasanya isu kebocoran anggaran merupakan hal sensitif yang sangat fundamental. Namun demikian, validitas data merupakan hal yang mutlak dikedepankan. Jangan sampai isu tersebut kemudian sekedar menjadi isu politik demi mengejar popularitas semata.

* Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

 

Mitigasi Pelambatan Ekonomi

$
0
0

Eddy Cahyono SugiartoOleh: Eddy Cahyono, Staf Pada Sekretariat Kabinet

Pelambatan ekonomi global tampaknya menjadi tantangan utama bagi negara-negara di belahan dunia dalam tetap memacu pertumbuhan ekonominya. Kekhawatiran tersebut menyita perhatian yang besar dari pada ekonom dalam menyikapi konstelasi ekonomi global 2015  yang masih belum menguntungkan.

Dalam pertemuan para menteri keuangan yang tergabung kelompok negara G-20 bersama Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington, Amerika Serikat, medio April 2015 yang baru lalu, kembali muncul peringatan akan kondisi ekonomi global yang masih rentan terhadap guncangan kurs mata uang, utang publik yang tinggi, ketegangan geopolitik dan risiko pasar

IMF memproyeksikan rata-rata potensi pertumbuhan ekonomi negara maju untuk periode 2015-2020 hanya sebesar 1,6%. Proyeksi ini naik sedikit dari rata-rata pertumbuhan ekonomi kelompok negara ini sepanjang tahun 2008-2014 sebesar 1,3%.

Sementara untuk kelompok negara emerging, IMF memproyeksikan rata-rata potensi pertumbuhan 2015- 2020 sebesar 5,2%. Proyeksi ini jauh lebih rendah dari rata-rata realisasi pertumbuhan ekonomi negara emerging sepanjang tahun 2008-2014 yang sebesar 6,5%.

Apabila pada tahun lalu rata-rata pertumbuhan ekonomi kelompok negara emerging tercatat 4,6%, tahun ini diperkirakan hanya sebesar 4,3%. Melemahnya pertumbuhan ekonomi negara berkembang sangat dipengaruhi sejumlah faktor seperti melemahnya harga dan permintaan komoditas dunia, melemahnya pertumbuhan ekonomi China, menguatnya mata uang dolar AS, dan melemahnya konsumsi domestik.

Dalam konstelasi ekonomi global, interdependensi ekonomi menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari. Terdapat resiko dari perbedaan arah kebijakan dan pencapaian laju pertumbuhan dari berbagai negara, kebijakan moneter dan fiskal global akan sangat mempengaruhi negara lain.

Sebagaimana kita ketahui, normalisasi kebijakan moneter AS  dan ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed menyebabkan peningkatan biaya hutang (financial cost), yang juga akan berimbas pada permasalahan struktural dan resiko penarikan dana asing, sebagaimana yang dirasakan Indonesia.

Demikian pula dengan pelambatan ekonomi China,   akan sangat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada triwulan I-2015, pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu ini hanya 7%, dipicu lesunya sektor properti dan manufaktur. Ini merupakan pertumbuhan terendah sejak 2009. Bulan Maret lalu ekspor China turun sampai 15% dan impor merosot 12,7%.

Penurunan permintaan dari China  dalam beberapa tahun terakhir telah menekan ekspor Indonesia, terutama komoditas pertambangan, migas, dan perkebunan. Padahal, China dalam beberapa tahun ini merupakan pasar utama ekspor Indonesia. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia ke China Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia ke China bulan Februari 2015 turun drastis sampai 40,62% menjadi hanya 2,03 miliar dollar AS.

Langkah Mitigasi

Diperlukan langkah cepat dan terencana dalam menyikapi pelambatan ekonomi global, utamanya dalam tetap menjamin bergeraknya mesin perekonomian Indonesia dalam menopang pertumbuhan ekonomi.

Prioritas utama yang perlu dilakukan adalah terobosan kebijakan dan pengendalian yang terukur dalam menjamin stabilisasi harga pangan pokok  dan menjaga daya beli masyarakat serta mengontrol inflasi dalam batas aman. Hal ini sangat diperlukan agar ekonomi negeri ini tidak terjebak pada kondisi stagflasi, akibat harga barang-barang yang terus meningkat di tengah kemampuan daya beli masyarakat yang makin menurun.

Kepiawaian dan kepedulian yang tinggi dari Kementerian/Lembaga (K/L) sangat memainkan peranan yang strategis guna menjaga keseimbangan inflasi dengan pendapatan, mengukur stabilitas harga pangan pokok,  melalui intervensi, sebagai bentuk kehadiran negara.

Stabilitas harga pangan pokok ditempuh dengan memastikan ketersediaan barang dan harga pada tingkat yang terjangkau, jaminan keamanan pasokan dan stabilisasi harga sangat penting untuk menjaga kelangsungan pertumbuhan ekonomi nasional. Tanpa pasokan yang cukup, harga barang kebutuhan pokok rentan berfluktuasi dan berpotensi menggerus daya beli masyarakat, mendorong inflasi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Gejolak harga beras di awal tahun 2015, setidaknya dapat menjadi pelajaran berharga dalam mengantisipasi kenaikan harga pangan pokok, early warning systemh arus terbangun sehingga tidak hanya sekedar berfungsi sebagai “pemadam kebakaran”.

Dalam jangka panjang,  peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan merupakan keniscayaan dalam mendukung kedaulatan pangan, guna  mengantisipasi peningkatan demand dan melepas ketergantung impor pangan yang terus menggerus devisa.

Mitigasi berikutnya yang perlu dikawal percepatan implementasinya adalah perbaikan kualitas belanja pemerintah, khususnya terkait dengan belanja modal infrastruktur,  yang meningkat tajam dalam APBNP 2015.

Percepatan pembangunan infrastruktur perlu diprioritaskan mengingat memiliki multiflyer effect dalam memacu bergairahnya dunia usaha , menekan ongkos logistik dan integrasi ekonomi wilayah,  guna mengurangi disparitas harga sehingga koheren dengan upaya menjaga daya beli sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi.  Disamping itu kecepatan dan ketepatanpenyerapan belanja infrastruktur  akan sangat membantu perekonomian nasional untuk tetap berdaya tahan (resilience) di tengah perlambatan ekonomi global.

Jasa konstruksi, konsultan, besi dan baja, semen, produk-produk petrokimia sampai ke sektor pembiayaan dan jasa asuransi akan terdorong dengan adanya pengerjaan proyek-proyek pembangunan infrastruktur di dalam negeri serta menyerap tenaga kerja yang menjadi masalah serius ketika pelambatan ekonomi melanda.

Percepatan penyerapan anggaran infrastuktur juga akan berdampak pada stabilitas makro dan pertumbuhan ekonomi. serta redistribusi pendapatan, mempercepat penyediaan barang publik dalam rangka pelayanan publik, disamping dapat menjaga menjaga keseimbangan internal.

Sinergitas antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat perlu diperkuat dalam percepatan pembangunan infrastruktur mampu mengatasi persoalan-persoalan ekonomi yang mendasar seperti kemiskinan dan pengangguran.

Percepatan penyerapan belanja infrastruktur ini akan sangat mempengaruhi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilisasi makro ekonomi. Namun, harus diakui penambahan alokasi anggaran belanja infrastruktur tidak akan cukup untuk menggenjot pembangunan insfrastruktur secara massif tanpa diiringi dengan keterlibatan pihak swasta. Oleh karena itu sinergitas melalui skema pembiayaan PPP (Public Private Patnership), membangun iklim investasi yang kondusif perlu terus di tingkatkan, guna mengakselerasi pembangunan infrastruktur.

Kita tentunya berharap seluruh pemangku kepentingan  memiliki visi yang sama dalam memitigasi pelambatan ekonomi global,  dengan mendukung secara optimal terkait dengan percepatan penyerapan anggaran infrastruktur yang berkualitas.

Penyerapan yang berkualitas dapat dilakukan dengan pengendalian terhadap tahapan pendukung seperti percepatan penunjukkan bendaharawan, serta kesiapan K/L melakukan lelang (procurement) dan pencairan anggaran (disbursement), dan yang tak kalah pentingnya adalah pengendalian pada tataran implementasinya.

Tantangan penyerapan anggaran belanja pemerintah ada pada pengelolaan anggaran di tingkat pemerintah pusat dan daerah, sehingga harus terus diupayakan adanya peningkatan kapasitas pengelolaan anggaran di tingkat K/L dan Pemda.

Dengan tetap menjaga daya beli dan konsumsi masyarakat melalui stabilisasi harga pangan pokok dan percepatan pembangunan infrastruktur diharapkan dapat menjadi engine for growth dalam memitigasi perlambatan dan gejolak ekonomi global, sehingga dapat menjamin pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan berkualitas.

Semoga


Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan (Bag-6)

$
0
0

Oleh: Kukuh Pamuji

Foto.1: Dik Kedah, Sudarso (1952),  132 x 162 cm  (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto.1: Dik Kedah, Sudarso (1952), (Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Pada bagian ini  kita akan mengenal lebih dekat koleksi lukisan bertema wanita. Dari sekian banyak pelukis yang menjadikan wanita sebagai  tema dalam karya lukisnya, penulis mencoba menampilkan dua orang tokoh yang sangat dikenal di jagat seni, yaitu Sudarso dan Dr.Ir. Soekarno. Penulisan dua tokoh  sengaja dipilih karena apabila dilihat dari jiwa dan kesukaan mereka, banyak memiliki kesamaan. Soekarno adalah seorang pejuang yang militan, demikian juga Sudarso yang juga merupakan seorang pejuang dan pelukis yang militan.

Kesamaan lainnya adalah keduanya sama-sama menyukai dunia pewayangan. Jika Soekarno menyukai alam Indonesia, Sudarso juga membuktikan kecintaannya pada pemandangan dengan melukiskannya di atas kanvas. Hubungan kedua tokoh ini sudah terjalin sepanjang tiga dasawarsa, sehingga diantara mereka sangat dekat. Bukti kedekatan mereka ditunjukkan dengan banyaknya lukisan Sudarso yang kemudian dikoleksi oleh Soekarno.

Foto.2: Wanita Berkebaya Kuning, Sudarso (1950-1970),  79,5 x 100 cm  (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto.2: Wanita Berkebaya Kuning, Sudarso (1950-1970), (Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Sudarso adalah seorang pelukis otodidak yang pernah menjadi penjual susu di Bandung saat sebelum dirinya menjadi seorang pelukis terkenal. Salah satu pelanggan susunya adalah pelukis Affandi. Dari pertemuannya dengan Affandi itulah kemudian ia mulai mengenal dan kemudian berkarir dalam dunia seni lukis. Bersama Affandi, Hendra Gunawan, Barli Sasmitawinata, dan Wahdi Sumanta ia bergabung dalam Kelompok Lima (Group of Five) di Bandung.

Meskipun Sudarso banyak melukis objek selain perempuan, akan tetapi ciri khas lukisan Sudarso adalah lukisan berobjek perempuan. Perempuan yang menjadi objek lukisannya adalah perempuan mengenakan pakaian tradisional Jawa yang merupakan tipikal dari karya-karya pelukis Yogyakarta yang mengusung estetika kerakyatan. Lukisannya seringkali menggunakan latar belakang pemandangan atau ruang kosong. Warna-warna yang digunakan dalam lukisannya senada antara satu dan yang lainnya, dengan paduan dan pengolahan warna yang sangat matang.

Sudarso ingin menciptakan sebuah kesan kesederhanaan, tetapi penjiwaannya sangat mendalam.  Pandangan estetika yang berkembang dari kondisi sosio kultural yang galau dan berat, menjadi cerminan suatu jiwa zaman yang sedang tumbuh pasa saat itu. Ia ingin menyuguhkan karyanya kepada para penikmatnya untuk mencermati spirit ruang dan karakter dari setiap perempuan yang ditampilkan dalam lukisannya.

Berselendang Pelangi, Sudarso (1950-1970),   (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Berselendang Pelangi, Sudarso (1950-1970),
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Dalam setiap karya-karya yang dihasilkannya Sudarso melukiskan model dan pola hias yang berbeda pada pakaian yang dikenakan oleh perempuan yang menjadi objek lukisannya. Dengan penguasaan teknik melukis yang dimilikinya, setiap objek ditampilkan secara realis. Dik Kedah misalnya adalah salah satu contoh lukisan bergaya realisme yang menggambarkan seorang perempuan pekerja keras dengan wajah yang menyiratkan kesan tajam dalam menjalani kehidupan. Lukisan yang saat ini menjadi koleksi Istana Kepresidenan, menurut penilaian asset yang dilakukan pada tahun 2011 bernilai Rp 1.237.000.000,-

Lukisan yang lain adalah Wanita Berkebaya Kuning. Lukisan yang saat ini tersimpan di Ruang Kaca Paviliun Sayap Kiri Istana Kepresidenan Bogor, memiliki asset Rp 685.000.000,- . Lukisan ini menghadirkan  ekspresi seorang perempuan desa yang lugu dengan pakaian kebaya dan kain panjang, serta alam pedesaan yang hijau dan sunyi. Gaya realisme yang halus yang dimiliki Sudarso mampu menampilkan sosok perempuan desa yang lugu tetapi memiliki keistimewaan bentuk tangan dan kaki yang begitu indah.

Selanjutnya, lukisan Wanita Berselendang Pelangi menggambarkan seorang perempuan desa yang sedang duduk dengan pakaian kebaya berwarna biru dan kain panjang batik berwarna merah dengan selendang berwarna hijau berpadu dengan merah bercorak titik-titik kuning dengan latar belakang kosong. Lukisan yang saat ini tersimpan di Ruang Tamu Keluarga Gedung Induk Istana Kepresidenan Bogor, memiliki asset Rp 823.000.000,-

Soekarno yang menjadi koleganya, adalah seorang tokoh yang sangat menyukai sosok wanita cantik, termasuk didalamnya lukisan wanita dengan keindahan yang melekat pada tubuhnya. Ketertarikannya dengan para wanita cantik seringkali menjadi pembicaraan media Barat. Ia pernah meralat pemberitaan media Barat yang mengejeknya…“Bung Karno selalu melirik setiap melihat wanita cantik….” Ejekan itu ditimpali beliau dengan mengatakan: Yang benar, … “Bung Karno menatap setiap wanita cantik dengan kedua buah matanya bulat-bulat!“.

Khusus terhadap kesenangannya akan lukisan wanita cantik, Bung Karno pernah menerangkan, “Aku memang dilahirkan dengan sifat yang demikian, dan aku tidak memungkirinya. Bahkan aku mensyukurinya karena itu pemberian Tuhan. Tuhan memang menciptakan wanita penuh dengan keindahan. Saya kira setiap laki-laki normal pasti senang melihat wanita cantik atau senang melihat keindahan yang ada pada diri wanita itu.” Kecintaan Soekarno terhadap  keindahan wanita ini jugalah yang kemudian mempererat jalinan kedekatannya dengan Basoeki Abdullah yang memang mahir dalam melukis wanita. Tidak mengherankan apabila  sekitar 200-an karya Basoeki Abdullah yang kebanyakan bertema wanita dijadikan sebagai koleksinya.

Sebagai seorang pecinta seni yang sarat  dengan nilai-nilai keindahan, Soekarno tidak hanya memposisikan dirinya sebagai penikmat seni, beliau juga membuat karya seni sendiri. Lukisan yang berjudul Rini adalah salah satunya. Lukisan yang berukuran 89 x 70 cm ini sketsanya dikerjakan oleh Dullah, seorang pelukis yang kemudian diangkatnya menjadi seorang pelukis Istana. Lukisan ini diselesaikan Bung Karno pada 2 November 1958. Rini dilukiskan mengenakan kebaya sederhana berwarna hijau muda dan kain bernuansa cokelat ornamen-ornamen batik. Sedangkan latar dari lukisan ini terlihat polos dengan sapuan campuran cat berwarna putih dan kuning muda. Rini digambarkan dengan air muka yang sayu sambil memangku sebuah buku tua berwarna cokelat. Duduk dengan santai, wanita ini meletakan tangannya menyilang diatas paha.

Foto.4. Rini, Ir  Soekarno  (1 958),  (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto.4.
Rini, Ir Soekarno (1 958),
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Lukisan yang menggambarkan seorang wanita yang sedang duduk menghadap ke sebelah kanan, dengan rambut disanggul dan sekuntum bunga yang diletakkan di belakang telinga kirinya saat ini ditempatkan di Ruang Keluarga Gedung Induk Istana Kepresidenan Bogor. Sebelumnya lukisan ini pernah dipasang di Ruang Kerja Presiden dan Ruang Film.

Banyak penafsiran mengenai sosok yang bernama Rini dalam lukisan Bung Karno ini. Salah satunya menyatakan bahwa Rini diambil dari nama Sarinah, seorang wanita  sederhana, wanita desa yang bekerja di keluarga Soekarno sebagai pengasuh Seokarno semasa kecil. Wanita inilah yang selalu mengajarkan cinta kepada Soekarno. Ia jugalah yang menanamkan rasa hormat terhadap wanita di hati Soekarno. Selain jasanya yang besar karena sudah mengasuh Soekarno, Sarinah juga telah berjasa karena ia berhasil menanamkan doktrin di dalam pikiran Soekarno untuk mencintai rakyat dan kelak rakyatlah yang akan mencintai Bung Karno.

 

Dengan ‘Web In Travel’, Pariwisata Indonesia Mendunia

$
0
0

web in travel1Keindahan alam Indonesia bisa menjadi modal utama untuk menarik wisatawan. Hal ini menjadi pemacu pariwisata menjadi sektor prioritas yang sebelumnya pariwisata seperti dinomorduakan. Sektor pariwisata diharapkan menjadi leading sektor guna menambah devisa negara. Guna mencapai target yang ditetapkan pemerintah, yaitu datangnya 20 juta wisatawan mancanegara ke Indonesia hingga 2019 mendatang, Presiden meminta seluruh kementerian/lembaga agar mendukung sektor pariwisata di Indonesia.

Menteri Pariwisata, Ahmad Yahya, dalam sambutannya pada penutupan Konferensi Web In Travel (WIT) A New Dawn Rises di Nusa Dua, Bali, Kamis (30/4) , mengatakan . berkembangnya sektor pariwisata akan membuka banyak lapangan kerja, dan menambah gairah pertumbuhan industri kreatif dan perekonomian masyarakat. Diharapkan sektor pariwisata dapat menjadi salah satu nadi bagi  peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Konferensi WIT Indonesia ini berfokus pada industri pariwisata online, adaptasi dari Konferensi WIT Singapura, yang dikenal sebagai online travel terbesar di Asia Pasifik.  Konferensi ini dianggap mampu menarik para pelaku industri teknologi, distribusi dan pemasaran travel.

Melalui video “Wonderful Indonesia”, yang diputar dalam forum ini, Indonesia berharap tercapai target 20 juta kunjungan wisatawan hingga 2015 mendatang. Lebih dari 30 pembicara dari berbagai perusahaan terkemuka di Indonesia, juga berbagai merek terkemuka di dunia seperti Booking.com, Expedia, TripAdvisor, Google dan Facebook, membahas trend dan isu terkini di industri pariwisata online, serta peluang yang dimiliki oleh pasar di Indonesia.

Berikut ini beberapa trend yang mencuat dalam konferensi WIT:

1)  Tourism in Indonesia is on the rise;

2)  The future is bright;

3)  The numbers are promising;

4)  The customer goes mobile;

5)  Sinergi antar pengusaha di bidang pariwisata nasional dan internasional semakin berkembang: low fare price, promotion price, dan lain-lain;

6)  Dukungan pemerintah yang nyata dalam pengembangan sektor pariwisata: VOA, Free Visa for many countries, dan lain-lain.

Pemesanan pariwisata secara online pada tahun 2014 mengalami kenaikan mencapai 37 persen dibanding  2013. Angka ini menempatkan Indonesia pada posisi kedua dengan pertumbuhan pasar perjalanan online tercepat di Asia Pasifik. India di papan atas dengan pertumbuhan mencapai 39 persen.

Indonesia merupakan pasar keenam terbesar di dunia dalam hal penggunaan Internet, dengan jumlah hampir 83,7 juta pengguna. Sekitar 24 persen dari jumlah total populasi memiliki smartphone, sementara 84 persen memiliki telepon genggam. Telepon genggam diperkirakan akan menggeser game menyusul keputusan pemerintah yang telah memberikan izin kepada empat penyedia jasa seluler untuk pengembangan 4G LTE di tahun 2015.

WIT mengembangkan sinergi dan fasilitas yang memudahkan pelaku usaha pariwisata maupun pelancong. Cukup dengan menginput dan ketikan jari di smartphone, tablet atau komputer, mereka akan  memiliki pengalaman yang menyenangkan dalam kegiatan pariwisatat. Pada akhirnya, sinergi lokal, nasional maupun internasional, dipadukan kecanggihan dan fasilitas internet/online  menjadi  bagian dari kehidupan masyarakat. (Keasdepan Bidang Industri, UKM, Perdagangan, dan Ketenagakerjaan/Keasdepan Bidang Prasarana, Riset, Teknologi dan Sumber Daya Alam)

Swasembada Pangan dan Reformasi Subsidi BBM

$
0
0
Presiden Jokowi saat panen raya jagung, di Dompu, NTB, Sabtu (11/4)

Presiden Jokowi saat panen raya jagung, di Dompu, NTB, Sabtu (11/4)

Oleh: Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*

Berdasarkan publikasi pemerintah, APBN-Perubahan 2015 berhasil memuat beberapa langkah utama terkait perubahan kebijakan belanja pemerintah yang cukup krusial. Beberapa hal tersebut diantaranya adalah reformasi subsidi BBM dengan skema fixed subsidy untuk solar dengan subsidi maksimum Rp1.000/liter untuk setiap level harga dan kebijakan harga keekonomian yang ditetapkan pemerintah untuk premium serta penghematan subsidi LPG karena perubahan asumsi harga Indonesian Crude Price (ICP). Berbagai manfaat dari penghematan tersebut kemudian dialokasikan untuk penambahan anggaran berbagai program prioritas sesuai dengan visi dan misi Presiden yang meliputi dukungan sektor pendorong pertumbuhan (pangan, energi, maritim, pariwisata dan industri), pemenuhan kewajiban dasar (pendidikan, kesehatan dan perumahan), pengurangan kesenjangan antarkelas pendapatan dan antarwilayah, serta pembangunan infrastruktur konektivitas.

Pemerintah juga mencanangkan gerakan efisiensi belanja melalui penghematan belanja perjalanan dinas untuk direalokasikan ke kegiatan yang lebih produktif dan lebih prioritas sesuai usulan K/L (refocusing) selain revisi anggaran yang bersumber dari pinjaman dan hibah luar negeri, pagu penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)/Badan Layanan Umum (BLU), Surat Berharga Syariah Negara-Project Based Sukuk (SBSN-PBS), serta realokasi anggaran dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara ke Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

Jika dicermati, penambahan berbagai program prioritas unggulan tersebut dapat direalisasikan berkat keberhasilan reformasi subsidi BBM, yang selama ini senantiasa menghantui APBN setiap tahunnya. Jika di APBN-P 2014 saja misalnya, pemerintah masih menanggung beban subsidi BBM hingga Rp246,5 triliun dan di APBN 2015 masih dicadangkan anggaran sekitar Rp276,0 triliun maka di APBN-P 2015 besarannya sudah turun drastis menjadi sekitar Rp68,7 triliun atau terjadi penurunan sekitar Rp194,2 triliun. Jika dibandingkan dengan alokasi belanja modal misalnya yang mencapai Rp155,4 triliun maka dalam sejarah pertama kalinya besaran subsidi BBM jauh di bawah alokasi belanja modal.

Hal menarik lainnya adalah pencanangan prioritas pencapaian tujuan swasembada pangan. Saat menghadiri perayaan Hari Pangan Sedunia di Makassar, Presiden Jokowi berkali-kali menegaskan pencapaian target swasembada pangan beras, kedelai dan jagung di tahun 2017. Untuk itu pemerintah berencana membangun 11 waduk di beberapa daerah, meningkatkan produksi hasil pertanian hingga 30% serta mendukung modernisasi sektor pertanian yang selama ini identik dengan ketertinggalan. Karenanya pemerintah kemudian menambah alokasi Kementerian Pertanian dari awalnya Rp15,9 triliun menjadi Rp32,8 triliun.

Rencananya anggaran tersebut nantinya akan difokuskan kepada kegiatan optimalisasi pemanfaatan lahan dengan tambahan sasaran 530 ribu hektar sehingga mencapai 730 ribu hektar, penyediaan pupuk dan benih untuk peningkatan produksi padi dan jagung yang sedianya hanya untuk Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) seluas 885 ribu hektar, rencananya akan diperluas 4 juta hektar di luar lokasi PTT. Selain itu juga diharapkan terjadi peningkatan produksi ikan hingga mencapai 13,6 juta ton yang ditekankan dengan cara perbaikan kualitas produksi.

Peningkatan produksi gula akan diupayakan melalui penyediaan benih tebu untuk area seluas 12 ribu hektar. Peningkatan produksi ternak melalui inseminasi buatan sebanyak 2 juta akseptor dan penyediaan bibit 1.200 ekor dan indukan 30 ribu ekor. Pengembangan tanaman hortikultura, khususnya cabai di 33 provinsi dan bawang merah di 25 provinsi. Penyediaan alat mesin pertanian untuk mendukung produksi dan pascapanen sebanyak 49.200 unit. Rehabilitasi dan pengembangan jaringan irigasi tersier 700 ribu hektar; Pengembangan air tanah dangkal, air permukaan, embung, dan dam parit sebanyak 23 ribu unit; serta pembangunan/rehabilitasi jalan usaha tani sepanjang 9.400 km.

Terkait keleluasaan penambahan anggaran tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) menyatakan bahwa pelebaran ruang fiskal pemerintah pasca penyesuaian harga BBM bersubsidi, seyogyanya terus didukung semua pihak sehingga ke depannya dapat bekelanjutan dan menyeluruh. Lebih lanjut lagi, Menkeu menjelaskan bahwa fokus pemerintah saat ini adalah menjalankan upaya intensifikasi demi meningkatkan target kenaikan produksi, mengingat keterbatasan lahan pertanian selalu menjadi kendala utama. Kebijakan intensifikasi jelas membutuhkan dukungan infrastruktur dasar seperti waduk, irigasi dan dam. Karenanya, pelebaran ruang fiskal tersebut akan diarahkan untuk pembangunan infrastruktur tersebut.

Dari sisi pembiayaan, selama ini pemerintah telah memberikan dukungan kebijakan alokasi subsidi pertanian yang meliputi subsidi pangan (raskin), pupuk, benih, kredit program serta beberapa mekanisme subsidi tidak langsung lainnya seperti subsidi minyak goreng, kedelai dan pajak. Jika tahun 2006, alokasi subsidi nonenergi berkisar Rp12,8 triliun, maka di tahun 2008 nilai tersebut sudah meningkat menjadi Rp52,3 triliun, kemudian sedikit menurun di tahun 2011 menjadi Rp41,9 triliun serta menjadi Rp42,7 triliun di tahun 2012. APBN-P 2014 sendiri mengalokasikan subsidi nonenergi sebesar Rp52,7 triliun serta Rp69,9 triliun di APBN 2015.

Sayangnya, berbagai dukungan tersebut sepertinya belum mampu mengubah wajah pertanian di Indonesia. Sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor inferior dibandingkan sektor industri, pertambangan maupun otomotif. Meskipun masih menampung sekitar 30% beban angkatan kerja, namun sumbangan yang diberikan terhadap PDB terus menurun. Akibatnya, muncul gelombang perpindahan masif angkatan kerja sektor pertanian menuju sektor industri, manufaktur dan beberapa sektor lainnya, khususnya angkatan kerja produktif. Stigma yang muncul kemudian adalah sektor pertanian identik dengan kemiskinan, keterbelakangan, penduduk usia nonproduktif serta status tak elit.

Oleh karena itu, target pemerintah untuk mencapai swasembada pangan beras, kedelai dan jagung di tahun 2017 harus didukung semua elemen bangsa. Sudah terlalu lama sektor pertanian dianak-tirikan di republik ini. Ingat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat selalu menjadi indikator terbaik bagi keberhasilan periode sebuah pemerintahan.

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

 

MerubahTata Niaga Beras Yang Primitif

$
0
0

OktaOleh: Oktavio Nugrayasa, SE, M.Si*)

Pemerintah telah menyampaikan wacana untuk melakukan impor beras sebagai opsi pilihan kebijakan yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini, apabila Perum Bulog belum sepenuhnya dapat memenuhi target Cadangan Beras Pemerintah (CBP).

Hingga akhir April 2015, capaian untuk volume pengadaan beras di seluruh gudang-gudang yang dimiliki Perum Bulog baru mencapai sekitar 450.000 ton, jauh lebih kecil atau hanya setengah dibandingkan penyerapan pada periode sama di tahun 2014 yang mencapai 900.000 ton. Padahal, Presiden telah mentargetkan Perum Bulog pada tahun ini bisa melakukan pengadaan beras sebesar 4,5 juta ton demi menjaga stok beras nasional.

Skema yang dilakukan Perum Bulog untuk melakukan langkah-langkah strategis sebagai persiapan efektifitas penyerapan sudah dilakukan secara optimal, antara lain dengan penyediaan space gudang di daerah sentra-sentra produksi, penyiapan tenaga surveyor/petugas pemeriksa kualitas, penyediaan dana pengadaan, bahkan ada penambahan jam kerja untuk pelayanan oleh pegawai Perum Bulog pada hari Sabtu dan Minggu.

Selain itu, Bulog juga telah menyiapkan saluran pengadaan dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk pembelian gabah/beras dari petani sebanyak 83 unit, menyiapkan Unit Pengelolaan Gabah dan Beras (UPGB) sebanyak 132 unit, dan menyiapkan Mitra Kerja Pengadaan (MKP) yang sudah terseleksi dengan ketat sebanyak 1.388 serta melibatkan gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebanyak 30 unit. Melalui saluran pengadaan tersebut, hingga awal April 2015, Perum Bulog telah melakukan kontrak pengadaan beras sebanyak 50.744 ton dan telah terealisasi sebanyak 31.074 ton.

Meski demikian pengadaan stok beras nasional yang sampai saat ini dianggap belum memenuhi target dan diperkirakan di luar harapan. Perum Bulog hingga kini masih pada posisi sedemikian sulit, dan memerlukan upaya campur tangan dari pemerintah. Apalagi dalam waktu dekat pada bulan Juni ini sudah masuk pelaksanaan ibadah puasa dan Lebaran pada Juli 2015, yang akan berdampak pada meningkatnya  permintaan kebutuhan beras yang cukup tinggi dari masyarakat.

Campur Tangan Pemerintah   

Masalah beras bukan hal yang sederhana dan sangat sensitif sehingga penanganannya harus dilakukan secara sangat hati-hati. Kesalahan yang dilakukan dalam kebijakan perberasan akan berdampak tidak saja pada kondisi perberasan nasional tetapi juga pada berbagai bidang lain yang terkait. Oleh sebab itu dalam sejarah perberasan di Indonesia tidak pernah lepas dari peranan pemerintah yang secara sengaja turut serta dalam mengatur ekonomi perberasan nasional. Namun kadar campur tangan pemerintah dapat saja berubah setiap saat karena adanya perubahan peranan yang harus dilakukan, dan sampai saat ini belum pernah pemerintah melepaskan campur tangannya dalam urusan perberasan nasional karena resikonya akan besar dan sangat berbahaya.

Dilakukannya campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi perberasan, selama ini melalui peranan lembaga pangan yang ada dengan tugas utamanya melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang perberasan. Salah satu lembaga pangan yang diberikan tugas oleh pemerintah dalam menangani masalah pasca produksi, khususnya dalam bidang harga, pemasaran dan distribusi adalah Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog).

Konflik antar tujuan akan selalu ada akibat kebijakan yang akan dipilih sehingga akan sangat sulit bisa dihindari. Dari tugas yang diberikan pemerintah, Bulog selalu akrab menghadapi potensi konflik antara produsen dan konsumen. Situasi akan dirasakan semakin besar di masa mendatang, dimana seharusnya kebijakan perberasan yang dipilih nantinya harus dapat menyesuaikan dengan keadaan dan fokus pada tujuan yang hendak dicapai. Hal ini sangat penting untuk bisa dipertimbangkan sehingga potensi konflik kepentingan tersebut dapat diminimalkan dan diredam oleh pemerintah.

Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 19/M-DAG/PER/3/2014 tentang Ketentuan Eskpor dan Impor Beras, telah tercantum aturannya sebagai berikut: 1) Pelaksanaan Impor beras untuk keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat untuk masyarakat miskin serta kerawanan pangan hanya dapat dilakukan oleh Perum Bulog setelah mendapatkan persetujuan impor dari Menteri Perdagangan berdasarkan hasil rapat Tim Koordinasi, dengan mempertimbangkan antara lain: persediaan beras yang ada di Perum Bulog, akibat adanya perbedaan harga rata-rata beras terhadap Harga Pembelian Pemerintah (HPP), serta perkiraan surplus beras nasional. Dan 2) Aturan Impor beras hanya dapat dilakukan di luar masa 1 bulan sebelum panen raya, masa panen raya, dan 2 bulan setelah panen raya, apabila impor beras yang akan dilakukan pada masa-masa tersebut harus berdasarkan kesepakatan Tim Koordinasi (dipimpin oleh Menko Bidang Perekonomian).

Sejauh ini efektifitas pengendalian harga di tingkat produsen dan menjaga stabilitas harga konsumen sampai dengan akhir April 2015 dikatakan masih dapat dikendalikan, meskipun kecenderungan untuk bergejolak naik akan dapat kembali terjadi.

Pengadan Gabah/Beras Petani Oleh Perum Bulog

Kegiatan panen raya yang dilakukan oleh petani rata-rata terjadi pada bulan Februari s/d April dan pada bulan Juli s/d Agustus, sehingga pengadaan gabah/beras oleh Bulog pada prinsipnya sangat bergantung pada 2 (dua) variabel utama, yakni pertumbuhan produksi padi dan HPP.  Jika produksi padi petani sangat tinggi maka akan mendorong harga gabah/beras akan turun di bawah tingkat harga HPP sehingga Bulog dapat melakukan pembelian dan menyerap gabah/beras dari petani. Namun jika produksi padi nasional turun secara otomatis akan menaikan harga gabah/beras, dan Bulog akan menemui kesulitan karena kalah bersaing dengan pedagang yang sanggup membeli harga gabah/beras diatas HPP yang ditetapkan oleh pemerintah.

Melihat peta rantai tata niaga beras domestik sebenarnya tidaklah terlalu panjang dan mudah ditelusuri secara sederhana, tanpa memerlukan keahlian khusus dibidang ekonomi pertanian. Gabah yang dihasilkan petani dibeli oleh tengkulak dibawa ke penggilingan padi untuk di olah menjadi beras, kemudian setelah menjadi beras di bawa ke kota kabupaten atau kota besar di propinsi, atau langsung di distribusikan untuk disebarkan ke kota-kota lain di Indonesia. Sebagian kecil dari proses distribusi beras dibeli oleh satuan kerja dan dibawa ke gudang-gudang Bulog di kota-kota besar. Dengan kata lain, para pelaku tata niaga beras hanya terdiri dari: petani, tengkulak, pedagang pengumpul, penggilingan padi, pedagang besar, Bulog, pengecer, dan konsumen.

Simpul perburuan rente beras sebenarnya dapat terjadi pada setiap transaksi komoditas dari pelaku satu ke pelaku lainnya sepanjang saluran tata niaga atau supply chain pedagangan beras. Pemerintah telah berusaha mengatur tata niaga beras atau pengadaan gabah dan beras yang melibatkan Bulog, seperti dituangkan melalui pemberlakuan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.

Secara garis besar Inpres tersebut menegaskan, bahwa Pemerintah menetapkan harga pembelian gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 3.700 per kilo gram (kg) di tingkat petani atau Rp 3.750 per kg di penggilingan. Kemudian harga pembelian gabah kering giling (GKG) ditetapkan sebesar Rp 4.600 per kg di penggilingan atau Rp 4.650 per kg di gudang perum Bulog, serta harga pembelian beras di gudang Bulog angkanya sebesar Rp 7.300 per kg.

Namun kenyataannya, penetapan HPP oleh pemerintah dalam pelaksanaannya tidak berjalan seperti yang diharapkan, tetap saja Perum Bulog kesulitan menyerap hasil panen gabah/beras para petani meskipun HPP sudah beberapa kali dinaikan. Penyebabnya para pedagang beras selalu memberikan penawaran harga tinggi diatas HPP kepada para petani.

Mengingat kondisi Perum Bulog mengalami kesulitan dalam penyerapan gabah/beras petani, ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan dengan merubah kebijakan yang selama ini diterapkan yaitu penerapan HPP tunggal yang dinilai banyak kalangan belum efektif menjadi kebijakan yang bersifat HPP Multikualitas dengan mempertimbangkan lokasi (multilokasi) dan Varietas (multivarietas).

Dalam praktek di pasaran setiap harga gabah/beras sangat beragam dan sangat tergantung dari unsur kualitas, lokasi dan varietas sehingga kebijakan pembelian atas harga tunggal (hanya gabah atau beras medium). Hal ini tentunya akan membatasi Perum Bulog, dan tentu saja bertentangan dengan fakta yang ada di lapangan, karena para petani tentu memiliki produksi yang dihasilkan atas gabah ataupun beras yang berbeda-beda. Di beberapa negara seperti Thailand dan India dilakukan kebijakan HPP Multikualitas yang terbukti efektif dalam melindungi petani serta mendorong meningkatknya Cadangan Beras Pemerintah (CBP).

Selanjutnya, akan dapat efektif dalam penerapannya jika pemerintah ikut melibatkan petani atau organisasi petani dalam penyusunan HPP Multikualitas yang akan dikeluarkan nantinya, mengingat dampak kebijakan akan dirasakan seluruh petani dan seluruh masyarakat Indonesia. Lemahnya keterlibatan tersebut menyebabkan permasalahan beras tidak kunjung dapat terselesaikan sampai saat ini.

Disamping itu, yang tidak boleh terlupakan adalah melakukan percepatan pembangunan dan pembenahan infrastruktur khususnya padi mulai dari jaringan irigasi, transportasi, penggunaan teknologi, permodalan hingga pemasaran dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan yaitu menunjang peningkatan pendapatan keluarga seluruh petani padi di Indonesia.

*) Kabid Ketahanan Pangan dan PDT, Deputi Bidang Perekonomian, Setkab RI

Wisata Susur Gua Pindul dan Rafting Sungai Oya, di Gunung Kidul

$
0
0
Gua Pindul yang terletak di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul.

Gua Pindul yang terletak di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul.

Tahukah Anda di Gunung Kidul terdapat beberapa tempat wisata yang patut untuk dikunjungi, diantaranya adalah susur gua pindul dan rafting kali oya.

Gua Pindul adalah objek wisata berupa gua yang terletak di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunung Kidul. Gua Pindul terbilang unik karena cara menyusuri gua yang dilakukan dengan menaiki ban pelampung diatas aliran sungai bawah tanah di dalam gua. Kegiatan menyusuri gua ini dikenal dengan istilah cave tubing.

Panjang Gua Pindul adalah 350 meter dengan lebar 5 meter. Jarak permukaan air dengan atap gua 4 meter. Penelusuran gua Pindul memakan waktu kurang lebih 1 jam. Aliran sungai yang berada di dalam gua Pindul berasal dari mata air Gedong Tujuh.

Goa Pindul diresmikan oleh Almarhum Sumpeno Putro, Bupati Gunungkidul, pada 10 Oktober 2010, bertepatan dengan fam tour pejabat Kabupaten Gunung Kidul. Goa Pindul dulunya hanya sebuah goa yang tidak terawat dan dijadikan sarang kelelawar. Berkat inisiatif warga sekitar dan dibantu para mahasiswa yang sedang KKN, tempat ini sekarang menjadi primadona wisatawan lokal maupun mancanegara.

Goa Pindul memiliki stalaktit terbesar keempat di dunia dan ini tentu saja menjadi daya tarik tersendiri. Goa Pindul juga menyimpan mitos yang diyakini hingga saat ini, bahwa tetesan air dari stalaktit di tengah goa konon bisa menjadikan pengunjung awet muda.

Anda belum kesana? Dijamin seru deh…….

Tebing Sungai Oya, tempat bermain rafting atau arung jeram

Tebing Sungai Oya, tempat bermain rafting atau arung jeram

Selain wisata susur gua (cave tubing) di Gua Pindul, tidak jauh dari sana juga terdapat wisata rafting atau arung jeram sungai Oya. Di sepanjang aliran sungai oya terdapat tebing-tebing yang indah dan alami khas batuan kars Gunung Kidul. Di sana kita dapat menikmati keindahan aliran sungai Oya dengan menggunakan ban seperti halnya di gua Pindul. Rafting di sungai Oya pastinya ditemani oleh pemandu yang sudah berpengalaman, dan juga telah disediakan peralatan yang membuat wisatawan aman dan nyaman.

Jarak tempuh rafting di sungai oya diperkirakan sepanjang 1500 m dengan kedalaman 1-2 m bila musim kemarau dan  7-11 meter di musim penghujan. Durasi perjalanan rafting sekitar 1-2 jam.

Ada air terjun yang sangat indah terdapat di sungai Oyo. Di sana pengunjung dapat bermain-main di bawah deburan air terjun yang cukup deras. Selain itu, pengunjung bisa juga melompat dari pinggir tebing. Dijamin seru. Tentu saja bagi yang nyalinya besar dan suka tantangan.

Sayangnya infrastruktur untuk mencapai tempat wisata tersebut kurang begitu bagus,  bahkan tempat-tempat wisata tersebut belum dibuatkan Peraturan Daerahnya. Kita berharap pemerintah setempat cepat memperbaiki infrastrukturnya, dan juga cepat dibuatkan payung hukumnya, agar wisatawan dapat lebih aman dan nyaman menikmati wisata disana.  Namun kekurangan tersebut tidak menghalangi serunya berwisata, apalagi yang suka tantangan.

Selamat menikmati tour wisata “susur gua Pindu” dan “rafting kali oya”. Selain kita wisata alam, sekaligus kita wisata sejarah dan budaya. (YL/DPOK).

Viewing all 380 articles
Browse latest View live