Quantcast
Channel: Archives – Sekretariat Kabinet Republik Indonesia
Viewing all 380 articles
Browse latest View live

Longsor Penyebab Korban Tewas Terbanyak Sepanjang 2014

$
0
0

Sutopo PurwoOleh: Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB

Longsor di Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara harusnya makin menyadarkan kita untuk lebih menaruh perhatian lebih serius terhadap ancaman longsor. Data sementara kejadian bencana di Indonesia tahun 2014 ada 248 jiwa orang tewas akibat longsor. Jumlah ini hampir dua per tiga dari korban tewas akibat bencana di Indonesia selama 2014.

Bencana tanah longsor selalu berulang setiap tahun. Di Indonesia ada sekitar 40,9 juta jiwa penduduk yang terpapar bahaya longsor sedang hingga tinggi. Masyarakat terpapar adalah masyarakat beserta perumahan, sistem atau elemen lain yang berada pada zona bahaya dan berujung pada potensi kerugian.  Bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya degradasi lingkungan, dan curah hujan yang makin ekstrem menyebabkan risiko longsor makin tinggi.

Pola longsor setiap tahun sesungguhnya sudah dikenali. Data kejadian longsor memiliki korelasi positif dengan pola hujan, dimana sebagian besar bulan  Januari adalah puncak kejadian longsor. Wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah provinsi yang paling banyak bencana longsor. Daerah yang berulang mengalami longsor adalah Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut, Bandung Barat, Tasikmalaya, Purbalingga, Banjarnegara, Karanganyar, Wonosobo, Temanggung, Cilacap, Grobogan, Pemalang, Brebes, Pekalongan, Pacitan, Ponorogo, Malang, Jember dan lainnya sering terjadi longsor.

Masyarakat yang terpapar longsor umumnya tidak memiiki kemampuan memproteksi diri dan lingkungan dari longsor. Sistem pertanian subsisten diolah di lereng-lereng perbukitan tanpa diikuti konservasi tanah yang baik. Untuk itu sosialisasi kepada masyarakat perlu terus ditingkatkan. Tata ruang benar-benar ditegakkan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan yang intinya meningkatkan ekonomi masyarakat sekaligus lingkungan setempat.


Kerjasama dan Sama-Sama Kerja

$
0
0

Gadis NTT“Senang sekali bisa melihat Pak Jokowi secara langsung.” demikian disampaikan Yulia(15 thn) salah satu peserta Marching Band yang ikut meramaikan kehadiran Presiden dan Ibu Negara dalam rangka HUT ke 56 Propinsi NTT, Sabtu (20/12).

“Latihan kita secara marathon selama 1 minggu ini terbayar sudah.” sambung Bella, yang bersama-sama dengan Yulia tergabung dalam Marching Band Kwarda Pramuka NTT.

Memang cukup mengagetkan ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dijadwalkan hanya melihat Marching Band dari kejauhan, di lobi Rumah Dinas Gubernur NTT sambil masuk ke mobil, tiba-tiba, di luar scenario bergerak ke tengah alun-alun halaman rumah dinas Gubernur NTT untuk melihat lebih dekat anak-anak yang sedang menampilkan Marching Band.

langsung menyalami anak-anak yang mendekat dan meluangkan waktu untuk mendengarkan musik yang ditampilkan, dan sebelum menuju mobil kepresidenan, Presiden dan Ibu Negara menyempatkan diri untuk berfoto bersama dengan perwakilan anak-anak yang maju.

Ada yang menarik dari pembicaraan dengan Sandra Lopez, protokol Pemerintah Provinsi NTT dan Ana Collin, aktivis pemberdayaan perempuan di NTT.  Diperoleh informasi, bahwa daerah Motain, Atambua yang dikunjungi Presiden berjarak kurang lebih 200 km dari Kota Kupang, dengan berkendaraan mobil kurang lebih 3 jam. Jika ditempuh dengan helikopter dari Bandara El Tari, Kupang, hanya butuh waktu kurang lebih ½ jam. Di lokasi tersebut berdiam masyarakat NTT dan mayoritas adalah pengungsian dari Timor Leste yang memilih bergabung dengan NKRI. Fasilitas yang sudah diberikan pemerintah provinsi dan pusat disana berupa perumahan dan dana sosial.

Dukungan Presiden yang diharapkan masyarakat Motaain, Atambua, NTT adalah penambahan anggaran dan personel TNI dalam rangka menjaga keamanan perbatasan. Terutama karena saat ini masyarakat di daerah perbatasan kurang menyadari pentingnya menjaga daerah perbatasan, dan senang membuat jalan tikus dalam rangka perdagangan, dimana masyarakat Atambua menjual barang-barang seperti bahan-bahan pokok ke Timor Leste karena harganya yang lebih murah.

Karena itu, dalam rangka menjaga keutuhan NKRI dan meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa menjaga perbatasan itu penting, Ana Collin menyampaikan bahwa advokasi kepada masyarakat di perbatasan harus lebih digencarkan. Jangan hanya diberi bantuan terus saja. Tetapi, jika advokasi dan sosialisasi gencar dilakukan, maka masyarakat di perbatasan pun akan ikut berpatisipasi dalam menjaga keamanan perbatasan bersama dengan TNI. “Sehingga, paham  ‘kerjasama dan sama-sama kerja” antara Pemerintah Provinsi NTT yang mewakili Pemerintah Pusat bersama masyarakat perbatasan dapat terwujud.” kata Ana Collin.

Perbatasan Rote-Ndao dengan Australia

“Terkait dengan illegal fishing yang sedang ramai dibicarakan, sebetulnya Presiden diharapkan dapat mengunjungi Rote-Ndao yang merupakan perbatasan selatan RI-Australia, dimana kapal-kapal nelayan NTT yang dibakar oleh pemerintah Australia merupakan kapal-kapal nelayan dari Rote-Ndao, NTT.

“Tetapi kunjungan Presiden Jokowi kali ini ke Propinsi NTT sudah cukup membanggakan dan langsung ada langkah konkret yaitu peletakan batu pertama, groundbreaking Waduk Raknamo, yang diharapkan dapat mengurangi bencana kekeringan yang sering terjadi di NTT,” demikian disampaikan Ana Colin menutup wawancara kami.

(ram/en/es)

‘Cash Flow Shortage’ dan Drama Harga BBM

$
0
0

Oleh: Pringadi Abdi Surya*)

SPBUPada tahun 1972, Club of Rome menerbitkan Limits to Growth yang tesis dasarnya menyatakan bahwa jika borosnya pola konsumsi dunia dan cepatnya pertambahan penduduk sama seperti semula, dalam waktu seabad bumi tidak akan sanggup lagi memenuhi kebutuhan manusia.

Dalam konteks bahan bakar minyak, sejak tahun 1993, produksi minyak bumi Indonesia mengalami kemerosotan. Di sisi lain, pertumbuhan kendaraan terus meningkat. Ada sekitar 1500 motor dan 300 mobil baru yang manambah kepadatan jalan raya setiap harinya. Dari jumlah tersebut, perbandingan antara kendaraan angkutan penumpang dengan angkutan barang berkisar 70:30. Clean Air Asia, sebuah organisasi lingkungan hidup dibawah ADB, Bank Dunia dan USAID, juga memperkirakan bahwa pada tahun 2015 terdapat 540 kendaraan per 1000 penduduk, atau dengan kata lain tiap 2 orang penduduk memiliki 1 kendaraan.

Hal di atas tidak bisa ditampik mengingat pertumbuhan ekonomi yang terus positif, kurangnya layanan angkutan umum dan harga BBM yang disubsidi. Ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan rasio pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor di Indonesia terus meningkat.

Maka, tidak salah pula bila dikatakan bahwa pemberian subsidi bahan bakar tidak tepat sasaran. Laporan CAA menyebutkan rasio pemakaian BBM di jalan raya adalah lebih dari 60%. Ini juga sejalan dengan kajian Kementerian ESDM. Bahkan World Energy Outlook memperkirakan bahwa laju konsumsi BBM di sektor transportasi negara kita naik dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,1% per tahun. Dengan sejumlah fakta tersebut, sebenarnya sudah cukup alasan bagi Indonesia untuk mencabut atau mengurangi subsidi bahan bakar minyak.

Namun, dasar pengurangan subsidi BBM tidak hanya hal-hal tersebut di atas, melainkan Cash Flow Shortage. Sebagaimana kita ketahui, kas adalah raja dalam proses bisnis. Dalam sepuluh tahun terakhir, belanja meningkat dari sekitar Rp 1.042,1 triliun (LKPP 2010) menjadi Rp 1.876,9 triliun (APBN-P 2014). Artinya sumber-sumber pendapatan juga harus mengimbangi belanja negara. Selisih/defisit di antara keduanya ditutup dengan pembiayaan. Tren target penerimaan negara yang tidak tercapai dalam beberapa tahun terakhir kembali terulang di tahun 2014. Di saat yang sama, meningkatnya mandatory spending begitu berpengaruh pada ruang fiskal kita.

Ketidakefektifan dalam pembuatan perencanaan kas, baik di sisi pengeluaran maupun penerimaan, menjadi masalah besar. Di dalam I account APBN bulan September lalu tercatat realisasi pendapatan mencapai 66,1% dengan pendapatan pajak 64,8% sementara belanja negara baru terealisasi 65,8% dengan kontribusi belanja pegawai 71,3% dan belanja modal hanya 37,2%. Artinya, masih ada Rp642,2 triliun belanja pemerintah, di antaranya Rp101 triliun belanja modal yang belum terealisasi untuk sisa tahun anggaran 2014.

Kontribusi pendapatan pajak tidak bisa dilepaskan dari kontribusi pengeluaran negara. Idiom keluar dari saku kanan, masuk ke saku kiri itu memiliki nilai signifikan dalam realisasi pendapatan. Riil kas atau uang segarnya tidak ada di kas negara. Potongan gaji, pajak-pajak pekerjaan pemerintah semua langsung dipotong melalui potongan SPM.

Hal ini berarti, terdapat keadaan ketika kita butuh dana segar untuk membayar transaksi belanja pemerintah, dana tersebut belum tersedia di kas negara. Hal ini yang sempat terjadi pada beberapa waktu lalu ketiga SP2D terbit di hari Jumat pagi, tetapi uang baru dapat dibayarkan pada hari Senin karena ketiadaan kas (ceteris paribus).

Dalam kondisi yang demikian, dengan perkiraan yang mendekati pasti mengenai target penerimaan negara yang tak akan tercapai di tahun 2014, sempat muncul kekhawatiran transaksi-transaksi yang akan terjadi di bulan Desember terancam tak bisa dibayar. Karena itu, pemerintah perlu melakukan langkah yang cepat dan tepat untuk menanggulangi hal tersebut.

Ketika cash flow shortage terjadi, usaha pertama yang perlu dilakukan tentu mendapatkan dana segar secepatnya. Tetapi dalam konteks judul ini, pemerintah perlu melihat sisi belanja itu. Ada dua isu utama dalam APBN, yakni postur belanja pegawai dan belanja subsidi. Keduanya dianggap membebani APBN. Dalam waktu cepat, tidak mungkin persoalan belanja pegawai dapat diatasi. Maka pilihan kebijakan pemerintah adalah mengurangi belanja subsidi BBM.

Dalam konteks quality of spending, pemerintah mengedepankan pembayaran belanja modal yang sudah akan terjadi (dianggarkan), bukan menggantinya dengan belanja modal baru. Karena permasalahan kita adalah cash flow shortage, bukan alokasi belanja. Yang perlu diperhatikan lebih lanjut, pengurangan subsidi BBM ini haruslah kita lihat dalam konteks kebijakan yang lebih jauh, yaitu dalam konteks perubahan arah fiskal. Arah fiskal selama ini berjalan di satu sisi yaitu  konsumsi. Data-data yang dipaparkan di awal tadi mengindikasikan betapa pertumbuhan ekonomi kita bergerak di sisi konsumsi. Hal ini juga tercermin dari neraca pembayaran defisit kita.

Pertambahan belanja modal dalam 10 tahun terakhir hanya bertambah 5 kali lipat dibanding belanja subsidi yang mengalami kenaikan 12 x lipat. Kenaikan harga BBM saat ini merupakan pencegah resiko pada transaksi berjalan. Dan ini merupakan saat yang tepat untuk mendobrak subsidi yang pro-konsumsi dan mengalihkannya ke belanja modal, atau ke subsidi-subsidi pertanian dan kegiatan produktif lainnya.

Mengedepankan alokasi belanja modal, flat policy bagi belanja barang, mendesain kembali kebijakan subsidi, menghindari meningkatnya mandatory spending, dan reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh dari sisi kinerja menjadi alat-alat penting untuk mengubah arah fiskal kita ke sisi penawaran/supply.

*) Pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI, tulisan ini adalah pendapat pribadi .

 

Peluang dan Tantangan Ekonomi 2015

$
0
0

Oleh: Eddy Cahyono Sugiarto, Staf Pada Sekretariat Kabinet

eddy_cahyono_sugiartoJelang tahun 2015  konstelasi ekonomi  global masih penuh dengan ketidakpastian,  resiko pelemahan ekonomi global diprediksi akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi pada berbagai negara.

Gejala awal resiko pelemahan ekonomi global sejatinya dapat dicermati dari lambannya pemulihan ekonomi global, diindikasikan dengan laju pertumbuhan ekonomi pada berbagai negara maju yang masih rendah dan rentan, yang berpotensi “menekan” laju  pertumbuhan ekonomi negara-negara lainnya.

Perekonomian AS sebagai lokomotif ekonomi dunia, meskipun telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Namun tren pertumbuhan tersebut masih menurun bila dibandingkan dengan pada saat sebelum krisis global terjadi.

Resiko yang perlu diwaspadai adalah dampak dari kenaikan  suku bunga Bank Sentral Amerika The Fed, yang dapat memicu terjadinya arus modal keluar sekaligus berdampak pada melemahnya nilai tukar pada berbagai negara.

Kondisi ekonomi di kawasan Eropa dan Jepang juga setali tiga uang,  belum menunjukkan perbaikan dan masih terbilang rapuh, ancaman deflasi masih membayangi perekonomian di kedua kawasan tersebut. Pengangguran dan sektor industri Eropa masih belum pulih secara siginifikan, sementara kebijakan Abenomics masih belum memperlihatkan tanda-tanda memulihkan perekonomian Jepang.

Di sisi lain, Tiongkok yang menjadi salah satu penopang ekonomi global juga mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Jika pada 10 tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi Tiongkok selalu di atas 10 persen, maka saat ini pertumbuhannya hanya di kisaran 7,5 persen.

Perkembangan ekonomi global pada berbagai negara tersebut sudah barang tentu juga berdampak pada perekonomian Indonesia,  baik langsung maupun tidak langsung. Potensi gejolak likuiditas global akibat kebijakan exit policy kebijakan moneter longgar negara berkembang, akan memudahkan investor negara maju yang mau mengamankan dananya melalui kegiatan investasi.  Kemudahan itu juga yang membuat investor asing dengan mudah menarik dananya kembali, jika kondisi kembali menguntungkan. Hal ini akan membuat instabilitas di negara berkembang terutama pada pasar keuangan.

Bagi Indonesia fluktuasi nilai tukar dan gejolak harga komoditas pasar global akan sangat berdampak pada neraca perdagangannya, bila tidak diantisipasi dengan baik, defisit neraca perdagangan akan semakin membengkak akibat ketergantungan yang tinggi terhadap importasi, yang akan terus menggerusketahanan devisa.

Importasi yang perlu mendapat perhatian serius diantaranya pangan, sebagaimana yang kita ketahui,  impor pangan Indonesia periode Januari-Oktober 2014 telah masuk dalam tahap mengkhawatirkan, total nilainya telah mencapai 6,6 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 80 triliun.

Disamping itu, tahun 2015 tampaknya menjadi tantangan tersendiri bagi pembangunan ekonomi Indonesia dalam mengatasi tingkat ketimpangan,  utamanya dengan melakukan percepatan “pembagian” kesejahteraan dalam bentuk yang lebih merata dan inklusif.

Meningkatnya Gini index Rtio (indeks pengukur tingkat ketimpangan) menjadi 0,41 menjadi titik fokus tersendiri untuk dapat diatasi melalui berbagai peningkatan pembangunan inklusif agar berkonstribusi dalam pemerataan pertumbuhan PDB.

Sebagaimana kita ketahui, tingkat pertumbuhan PDB yang ada, hanya didominasi oleh 3 (tiga) provinsi dengan sumbangan terbesar, yakni DKI Jakarta 16,72 persen, Jatim 14,87 persen dan Jabar 14,17 persen.  Jika ditotal, maka tiga provinsi itu menyumbang 45,76 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, dengan kata lain  “kue ekonomi” sejatinya hanya terpusat di Pulau Jawa, diperlukan upaya ekstra agar PDB dapat terus ditingkatkan penyebarannya pada berbagai wilayah khususnya diluar Jawa.

Mengatasi ketimpangan pendapatan tampaknya menjadi agenda tersendiri untuk mendapatkan prioritas penanganannya pada tahun 2015 mendatang, mengingat “dampak yang signifikan secara statistik” pada pertumbuhan ekonomi.

Mengacu pada penelitian Organisasi untuk Pembangunan dan Kerjasama Ekonomi (OECD).Di Inggris, ketimpangan pendapatan yang semakin tinggi membuat pertumbuhan ekonomi melemah, sekitar 9% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) antara tahun 1990 dan 2010. Sedangkan di AS hampir tujuh poin. Hal ini membuktikan bahwa mengatasi ketimpangan yang tinggi penting untuk mendorong pertumbuhan yang kuat dan berkelanjutan, serta meminimalisir dampak sosial politik akibat kesenjangan yang berpotensi menganggu stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi.

Jangan Kehilangan Momentum

Kita patut bersyukur permasalahan utama yang membelenggu ruang fiskal Indonesia,yakni besarnya subsidi BBM,  telah mampu kita atasi. Hal ini setidaknya  dapat menjadi starting point dalam memperbaiki tata kelola sistem penganggaran yang kondusif dalam memacu sektor produktif. Dengan ruang fiskal yang semakin lebar, seyogyanya tahun 2015 dapat menjadi momentum bagi kita semua dalam menyukseskan berbagai pembangunan infrastruktur, yang diharapkan dapat memacu tumbuhnya berbagai sektor produktif dan mengatasi masalah kesenjangan pembangunan.

Kita juga tentunya berharap, melalui berbagai pembangunan infrastruktur dapat meningkatkan daya saing ekonomi, mengatasi masalah kesenjangan, dan mengurangi disparitas harga diberbagai wilayah, pembangunan infrastruktur  juga berperan  peran vital dalam pemenuhan hak dasar rakyat.

Urgensi menyukseskan berbagai pembangunan infrastruktur  seyogyanya menjadi prioritas utama bagi seluruh pemangku kepentingan, mengingat memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan kesejahteraan sosial dan juga berperan penting dalam memacu proses pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau region. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan indikasi bahwa wilayah yang memiliki kelengkapan sistem infrastruktur yang berfungsi lebih baik dibandingkan dengan wilayah lainnya mempunyai tingkat kesejahteraan sosial dan kualitas lingkungan serta pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pula.

Dalam konteks ekonomi, infrastruktur merupakan modal sosial masyarakat (social overhead capital) yaitu barang-barang modal esensial sebagai tempat bergantung bagi perkembangan ekonomi,  dan merupakan prasyarat agar berbagai aktivitas masyarakat dapat berlangsung.  Pembangunan infrastruktur merupakan katalisator di antara proses produksi, pasar dan konsumsi akhir. Keberadaan infrastruktur memberikan gambaran tentang kemampuan berproduksi masyarakat dan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mungkin dicapai apabila tidak ada ketersediaan infrastruktur yang memadai, atau dengan kata lain infrastruktur adalah basic determinant atau kunci bagi perkembangan ekonomi. Keberadaan infrastruktur, telah terbukti berperan sebagai instrumen bagi pengurangan kemiskinan, pembuka daerah terisolasi, dan mempersempit kesenjangan antarwilayah.

Dengan demikian, investasi infrastruktur baik dari pemerintah maupun swasta dan masyarakat perlu terus didorong guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi sektor riil, penyerapan tenaga kerja guna mengurangi pengangguran dan kemiskinan, serta menumbuhkan investasi sektor lainnya.

Tahun 2015 hendaknya dijadikan momentum dalam terus memperbaiki neraca perdagangan, dengan menekan defisit neraca perdagangan akibat importasi khususnya pangan pokok. Pengalaman telah memberi pelajaran akan pentingnya kedaulatan pangan karena sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, gejolak harga pangan sangat rentan dalam mempengaruhi tingkat kemiskinan.

Ketergantungan akan pangan impor akan sangat beresiko besar bagi bangsa Indonesia dengan kebutuhan pangan yang besar, tekanan ekternal akan berdampak luas di bidang sosial, ekonomi dan politik sehingga kedaulatan pangan tidak dapat ditawar-tawar lagi, sekaligus sebagai perwujudan kemandirian ekonomi. Tentunya kita berharap sinergitas dapat terus dioptimalkan dalam mengatasi tantangan meningkatkan daya saing produk pertanian dalam negeri, sekaligus memperbesar size produksi.

Peningkatan daya saing melalui peningkatan produktivitas, baik di budidaya, pengolahan, pemasaran,dan jasa penunjangnya di tingkat petani dan pelaku usaha. Peningkatan produktivitas merupakan sumber pertumbuhan yang baik untuk sisi produksi dan juga dapat memberikan nilai tambah yang utama dibandingkan dengan peningkatan areal maupun kapasitas ataupun ekstensifikasi.

Tantangan yang akan dihadapi oleh sektor pertanian Indonesia pada masa mendatang akan semakin berat sebagai dampak perubahan iklim global, pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, persaingan perdagangan internasional dan liberisasi yang makin terbuka dan ketat. Suksesnya pembangunan sektor pertanian perlu mendapat dukungan seluruh pemangku kepentingan karena  memiliki elastisitas yang tinggi terhadap penciptaan lapangan kerja  dan juga efektif mengurangi ketimpangan.

Berbagai tantangan dan peluang pembangunan ekonomi yang kita hadapi di tahun 2015 diharapkan dapat memacu kita untuk lebih memanfaatkan momentum dan mengoptimalkan upaya dalam menjamin percepatan pembangunan infrastruktur agar dapat memacu berkembangnya sektor ekonomi produktif, guna mengatasi masalah kesenjangan serta mempercepat terwujudnya kemandirian ekonomi.  Semoga

Catatan Tentang Inflasi 2014

$
0
0

Seorang pedagang beras menjaga tokonya,  di Pasar Senen, Jakarta, Rabu  (22/7).Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2 Januari 2015 melaporkan, bahwa selama Desember 2014 terjadi inflasi sebesar 2,46 persen, lebih besar dibandingkan bulan sebelumnya (1,5 persen). Dengan demikian, inflasi tahun kalender (Januari-Desember 2014) mencapai 8,36 persen.

Nilai inflasi bulan Desember itu meleset dari target yang telah ditetapkan dalam APBN-P 2014 sebesar 5,3 persen. Besarnya nilai inflasi tersebut disebabkan oleh peningkatan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada seluruh kelompok pengeluaran, dengan penyumbang terbesar berasal dari kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan sebesar 1,06 persen.

Tingginya andil inflasi dari kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan tersebut masih merupakan dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM yang terjadi pada bulan Oktober.

Kepala BPS, Suryamin, menuturkan bahwa tingginya andil dari kelompok tersebut karena masih terus terjadinya kenaikan harga pada jasa transportasi sampai Bulan Desember. Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak hanya berimbas pada jasa transportasi saja, kelompok pengeluaran barang dan jasa juga merupakan kelompok barang dan jasa yang menerima imbas cukup besar, tercermin dari andil yang diberikan oleh kelompok ini terhadap pembentukan inflasi Desember 2014 sebesar 0,64 persen.

Meskipun tingkat inflasi 2014 meleset dari target, namun jika dilihat lebih jauh nilai tersebut masih sedikit lebih rendah dibanding inflasi tahun 2013  sebesar 8,38 persen. Hal ini perlu diapresiasi dengan baik, mengingat selama 2 tahun berturut-turut terjadi kenaikan harga BBM.

Melihat besarnya deviasi yang terjadi tahun ini antara target dan capaian inflasi  yaitu senilai 3,06 persen, kiranya pemerintah ke depannya perlu memberi perhatian yang cukup besar pada kestabilan harga barang dan jasa,. Salah satunya melalui kecukupan pasokan barang terutama pada kelompok volatile food. Hal ini mengingat meskipun pemerintah saat ini telah menurunkan harga BBM, namun faktor cuaca yang cukup ekstrim agaknya akan memberikan dampak cukup sigifikan terhadap ketersediaan pasokan.

(Keasdepan Ekonomi Makro, Keuangan, dan Ketahanan Pangan – Setkab)

Agar Dana Desa Terkawal

$
0
0

Oleh: Siko Dian Sigit Wiyanto, pegawai Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI

KadesDesa seakan terlupakan dari pembangunan selama ini. Tidak heran jika banyak penduduk desa mencari pekerjaan di kota besar yang ekonominya jauh lebih berkembang. Akibatnya, kemajuan desa tidak begitu signifikan, bahkan diantaranya cenderung mengalami kemunduran. Hal inilah sebenarnya merupakan cikal bakal berbagai masalah di kota-kota tujuan urbanisasi, mulai dari kemacetan, tata kota yang semrawut, kepadatan penduduk, hingga tingkat kriminalitas yang tinggi. Disparitas pertumbuhan ekonomi antara desa dan kota sangat besar. Penjelasan motivasi penduduk desa melakukan urbanisasi adalah pertumbuhan tenaga kerja di desa tidak menambah output desa. Sebagai gambaran sederhana, penambahan satu tenaga kerja tidak menambah satu kilogram beras.

Dana desa sudah dianggarkan pada tahun anggaran 2015. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, jumlah alokasi dana desa nasional adalah Rp 9,01 triliun. Sebagian kalangan mengatakan ini merupakan kebijakan politis. Pasalnya pada periode pemerintahan sebelumnya, ada berbagai program dari masyakarat yang berbasis desa seperti Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM). Namun ada beberapa kendala dalam pelaksanaannya.

Dahniar dan Lasimpo (2008) mengatakan bahwa dari sudut pandang Bank Dunia, proyek PPK mampu menjawab masalah yang terjadi di masyarakat, tetapi bertentangan dengan kearifan lokal masing-masing daerah, karena rancang bangun (design) proyek PPK menggeneralisasi masalah kemiskinan di tiap-tiap daerah di Indonesia. Kemudian muncul PNPM mandiri dengan kekhasan masyarakat merancang agenda pembangunan untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Sementara menurut worldbank.com, tantangan pelaksanaan PNPM sendiri di beberapa wilayah adalah masih kurang mendapat dukungan dari pemerintah daerah. PNPM juga belum terlalu efektif dalam menjangkau kelompok yang terpinggirkan, dan elite lokal seringkali masih mendominasi pengambilan keputusan.

Berbeda dengan PPK dan PNPM yang masih menggunakan dana pinjaman dari Bank Dunia, dana desa ini bersumber dari rupiah murni. Tahun 2015, dana desa sudah mulai dikucurkan kepada setiap desa. Pasal 72 Undang-Undang tentang Desa menyebutkan bahwa pendapatan desa yang bersumber dari alokasi APBN, atau dana desa bersumber dari belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan.

Siap atau tidak siap perangkat desa harus mau untuk mengelola dana tersebut dengan transparan dan akuntabel. Karena merupakan program yang baru, perangkat desa harus mempelajari cara menyusun agenda pembangunan mulai dari rencana sumber daya yang dibutuhkan, proses pelaksanaan sampai indikator tercapainya agenda tersebut. Selain itu, mau tidak mau, suka tidak suka, perangkat desa harus mempelajari sistem pembayaran, sistem akuntansi, dan pelaporan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai bentuk akuntabilitas kepada publik. Maka tidak heran, para Menteri Keuangan baik di pemerintahan SBY maupun Jokowi khawatir akan banyak kepala desa masuk penjara jika tidak hati-hati dalam menggunakannya. Kesiapan pemerintah desa dan kapasitas fiskal APBN menjadi beberapa alasan dana desa belum mencapai rata-rata 1 miliar satu tahun seperti yang digembar-gemborkan.

Masalah kedua adalah terkait cost effectiveness. Sampai saat ini tidak ada batasan terkait penggunaan dana desa. Tujuan dari dana desa pada dasarnya adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dengan lebih memeratakan pendapatan. Katalis pertumbuhan ekonomi yang menjadi masalah klasik adalah pengembangan infrastruktur. Namun, dari wawancara penulis dengan kepala desa Bonorowo, Kecamatan Kebumen, dana desa yang akan diterima rencananya akan digunakan untuk pembangunan jalan. Sejauh ini belum ada batasan penggunaan dana desa. Padahal, penggunaan dana desa tidak perlu melulu pada pembangunan infrastruktur dasar. Dana desa bisa digunakan untuk pembuatan unit usaha milik desa seperti membuat produk khas desa. Produk khas desa ini dapat memberikan nilai tambah ekonomi yang tinggi selain menyerap tenaga kerja. Sebagai contoh adalah pembangunan sentra industri kulit. Dana desa jangan sampai digunakan untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan arah pembangunan berbasis pedesaan.

Seluruh komponen masyarakat dan pemerintah harus bersinergi agar program pembangunan desa yang menggunakan dana desa ini berhasil. Akademisi dari berbagai perguruan tinggi bisa berperan aktif memberikan pendidikan dan pelatihan pada perangkat desa. Selain itu, para perangkat desa juga harus didorong aktif untuk belajar. Contoh pengalaman, sebuah perguruan tinggi hendak mengadakan pelatihan di sebuah desa untuk menyambut “dana desa”, tapi tidak satu pun perangkat desa yang hadir, padahal tidak dipungut biaya.

Apabila kabupaten/kota mengalami keterbatasan sumber daya manusia, bisa dibantu oleh akademisi. Selain itu Kementerian Desa dan pemerintah kabupaten/kota harus membangun kemitraan dengan organisasi–organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal dan nasional yang selama ini sudah berpengalaman melakukan pendampingan dalam memperkuat pemerintahan desa di bidang perencanaan kegiatan, akuntansi dan pelaporan, manajemen risiko, serta pencegahan korupsi.

Pendampingan ini hendaknya dilakukan terus menerus. Bukan hanya di tahun pertama, mengingat perangkat desa dapat silih berganti seperti halnya struktur pemerintahan pada umumnya. Badan Permusyawatan Desa dapat menjadi pengawas pada perencanaan dan pelaksanaan agenda desa yang dibiayai dari dana desa tersebut untuk menciptakan “check and balance”.

Jangan Sampai Bocor

Besarnya dana desa ini sangat berpotensi memberikan peluang untuk korupsi. Proses pengadaan barang/jasa yang dibiayai oleh dana desa ini hendaknya transparan dan mengikuti proses pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Untuk mencegah mark up pengadaan, hendaknya menggunakan standard biaya umum/khusus yang diterbitkan melalui peraturan Menteri Keuangan. Jika tidak ada hendaknya pemerintahan desa mengusulkannya dalam rencana anggaran biaya kegiatan dengan persetujuan Badan Permusyaratan Desa lalu disampaikan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk disetujui. Melihat peluang korupsi pada dana desa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menyurati seluruh aparat desa di Indonesia untuk mengingatkan agar alokasi dana desa dimanfaatkan dengan benar dan tidak melanggar hukum, apalagi korupsi (hukumonline.com, 11/2014).

Kita tidak bisa dan bahkan tidak boleh pesimis terhadap aparat desa. Dengan pendampingan yang berkesinambungan dan transparan, tujuan dialokasikannya dana desa dapat tercapai. Perlu ditegaskan bahwa dana desa ini bukan hanya urusan elite pemerintah apalagi elite desa, namun urusan kita semua. Dana desa sebenarnya uang dari rakyat (sebagian besar dari pajak) yang kemudian dialokasikan melalui APBN.

“Mengubah dan Membawa KPK ke Era dan Paradigma Baru” (Bagian I) (Visi dan Misi Saya sebagai Calon Pimpinan KPK)

$
0
0

Oleh: Roby Arya Brata, Staf Sekretariat Kabinet

KPKSebagaimana sudah saya paparkan di depan Komisi III DPR, jika Allah SWT menakdirkan saya menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saya akan mengubah dan membawa KPK pada era baru dengan paradigma baru (institutional reform). Saya akan membuat dan mengubah KPK menjadi lebih efektif dan memiliki reputasi internasional karena menerapkan strategi-strategi pencegahan dan penindakan antikorupsi yang memenuhi standar-standar internasional, lebih beradab dan menghormati hak asasi manusia/HAM,  dan (lebih) menegakkan rule of law/due process of law.

Visi tersebut saya rumuskan berdasarkan hasil kajian akademik dan kritik saya terhadap kekeliruan dan kelemahan strategi KPK (dan Pemerintah) dalam pemberantasan korupsi selama ini. Sebagian besar pemikiran ini sebenarnya sudah pernah saya sampaikan dalam buku dan tulisan-tulisan saya, bahkan jauh sebelum saya mengikuti seleksi calon pimpinan KPK. Jadi visi misi saya itu dirumuskan bukan (semata-mata) agar didukung DPR dan Pemerintah.

RobiIndikasi kegagalan atau kurang efektifnya strategi tersebut dapat diukur dari tidak tercapainya misi dan tujuan-tujuan kebijakan pemberantasan korupsi KPK (dan Pemerintah). Sejauh ini pencapaian target-target indikator kebijakan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi jangka menengah (2010 – 2014) yang ditetapkan sendiri oleh Pemerintah dan KPK dalam road map dan rencana strategis tidak tercapai atau kurang memuaskan. Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang baru diumumkan oleh Transparansi Internasional pada akhir tahun 2014 misalnya hanya 34 (dari skala 0 – 100), jauh dari target yang ditetapkan dalam road map yaitu 50. Indonesia hanya menduduki ranking 107 dari 175 negara yang disurvei.

IPK Indonesia tersebut jauh di bawah IPK Singapura, yang berada di ranking 7 dengan skor 84. Ranking dan skor IPK Indonesia bahkan jauh lebih rendah dari beberapa negara Afrika! Botswana, contohnya, menempati ranking  31 dengan skor 63; Rwanda menduduki ranking 55 dengan skor 49; sementara Ghana berada di posisi ke-61 dengan skor 48.

Skor IPK Indonesia, ironisnya, hanya lebih baik satu poin dari Ethiopia, negara yang memang dikategorikan sebagai negara gagal (failed state), yaitu dengan skor 33. Dengan kata lain, pencapaian indikator “Indeks Penegakan Hukum” dan “Tingkat Keberhasilan Pemberantasan Korupsi” yang ditetapkan sendiri oleh pimpinan KPK sekarang dalam fase I road map-nya (2011– 2015) tidak memberikan kontribusi yang signifikan pada pencapaian IPK Indonesia. Bahkan skor IPK Indonesia tahun 2012 dan 2013 stagnan, yaitu hanya 32.

Ternyata penindakan yang eksesif yang dilakukan oleh KPK tidak banyak mengurangi tingkat korupsi, khususnya tindak penyuapan. Menurut data survei Global Corruption Barometer (GCB) 2013 dari Transparansi Internasional tingkat korupsi di Indonesia justru relatif semakin meningkat. (GCB merupakan survei opini publik yang menanyakan pengalaman sehari-hari masyarakat dalam memberi suap untuk menerima pelayanan publik dan opini mereka terhadap tingkat korupsi di negaranya).

Dari data GCB 2013 ironisnya mayoritas masyarat Indonesia menyatakan korupsi di Indonesia meningkat. Bahkan, 54% di antaranya mengemukakan peningkatan tersebut signifikan (increased a lot); hanya 8% yang menyatakan terjadi sedikit penurunan tingkat korupsi (decreased a little).  79% responden, misalnya, berpendapat pegawai negeri di Indonesia korup/sangat korup.

Di sisi lain, penindakan KPK yang eksesif dan agresif terhadap pejabat publik yang korup justru membuat pemerintahan cenderung kurang efektif. Data dari Worldwide Governance Indicators (WGI) Bank Dunia misalnya menunjukkan indikator “Government Effectiveness” (efektifitas pemerintahan) Indonesia sejak KPK berdiri (2003) hingga 2013 tidak pernah di atas 50 percentile rank (skala 0 – 100); pada tahun 2012 di era kepemimpinan KPK sekarang indikator ini bahkan menurun cukup signifikan menjadi 44 dari 46.4 pada tahun sebelumnya (2011). (Indikator “Government Effectiveness” mengukur persepsi responden atas kualitas-kualitas pelayanan publik, birokrasi, perumusan dan implementasi kebijakan publik).

Target peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business) dari Bank Dunia yang ditetapkan Pemerintah yaitu di posisi ke-75 pada tahun 2014 ternyata juga jauh dari tercapai. Pada tahun 2014 Bank Dunia menetapkan Indonesia berada di ranking 117. Peringkat Indonesia meningkat menjadi 114 dari 189 negara pada tahun 2015 ini; namun demikian peringkat Indonesia ini masih jauh dari Rwanda, negara Afrika yang relatif baru pulih dari perang, yang menduduki posisi ke-46. Negara-negara yang relatif bersih dari korupsi seperti Singapura, Selandia Baru, dan Finlandia menempati ranking teratas dalam  peringkat kemudahan berusaha ini―suatu indikasi adanya korelasi positif yang signifikan antara variabel tingkat korupsi dan peringkat kemudahan berusaha.

Semua data kegagalan pencapaian indikator kinerja KPK dari lembaga-lembaga internasional yang kredibel ini tentu kemudian menimbulkan pertanyaan yang mendasar: apa yang keliru dengan strategi pemberantasan korupsi KPK? Hasil kajian saya selama ini, bahkan sebelum mengikuti seleksi calon pimpinan KPK, menyimpulkan bahwa penyebab utama kegagalan tersebut adalah karena KPK terlalu eksesif dalam melakukan fungsi penindakan, sementara pelaksanaan fungsi pencegahan korupsi masih sangat lemah.

Kegagalan atau kelemahan pelaksanaan fungsi pencegahan KPK belum lama ini diakui sendiri oleh Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Setelah saya, para politisi di DPR, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkritisi kinerja dan kekeliruan strategi KPK, kini KPK (juga Pemerintah) mulai memperkuat fungsi pencegahan dengan mengatakan (oleh salah satu pimpinannya) pendekatan mirip apa yang saya sampaikan, “KPK dengan paradigma baru (penguatan pencegahan)”.

KPK boleh saja “bangga” karena telah berhasil memenjarakan para menteri, pejabat publik, ustadz/kyai, dan petinggi partai politik.   Dengan penangkapan dan penahanan yang heboh terhadap para tokoh penting ini KPK memang  telah “sukses” membuat berita-berita besar (headlines) di surat-surat kabar dan telah menaikkan popularitas Pimpinan dan Juru Bicara KPK (sebagian dari mereka nampaknya memang menyukai popularitas). KPK juga boleh membanggakan diri karena tingkat conviction rate di pengadilan tipikor mencapai 100%, semua terdakwa diputus bersalah dan dipidana.

Akan tetapi, sebagaimana dibuktikan oleh data dan fakta di atas, penindakan agresif yang dilakukan oleh KPK tidaklah memberikan dampak yang signifikan dan berarti bagi pengurangan korupsi dan perubahan perilaku korup para birokrat dan pejabat publik. Selain itu, masyarakat jangan terbuai dengan tingginya conviction rate yang tinggi itu, karena faktanya  pidana penjara yang dijatuhkan rata-rata hanya 2 sampai 4 tahun. Hasilnya conviction rate yang tinggi itu ternyata tidak memberikan efek jera dan, karenanya, tidak memberikan dampak yang berarti terhadap pengurangan korupsi. Akibatnya, karena fungsi pencegahan yang lemah dan fungsi penindakan KPK yang kurang memberikan efek jera, tingkat dan perilaku korupsi justru cenderung bertambah kronis dan endemik.

Korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, misalnya, bukannya semakin berkurang tetapi justru bertambah. KPK (dan Pemerintah) telah gagal mencegah mereka dari berbuat korup. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, “Total 327 kepala daerah dari 524 orang terkena proses hukum, 86 persen di antaranya kasus korupsi,” (Republika, 17 Juli 2014). KPK bahkan telah menangkap tiga gubernur Riau dalam kasus korupsi yang berbeda―satu bukti (lagi) tidak adanya efek jera fungsi penindakan dan lemahnya fungsi pencegahan KPK.

Ironisnya, sebagaimana ditunjukkan oleh data WGI Bank Dunia di atas, justru penegakan hukum yang eksesif oleh KPK (dan penegak hukum lain) justru telah membuat pemerintahan cenderung kurang efektif. Dari hasil penelitian saya, para pimpinan pemerintahan dan kepala daerah kini takut untuk membuat kebijakan dan keputusan strategis terutama yang menyangkut penggunaan anggaran. Selain itu, banyak para pegawai yang menolak untuk menjadi pimpinan proyek pemerintah. Mereka tidak mau mengambil resiko terlibat atau terseret dalam kasus korupsi. Akibatnya, sekitar Rp 53 triliun dana untuk proyek-proyek pembangunan yang penting untuk pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat tidak digunakan.

Visi dan misi yang ditetapkan sendiri oleh kepemimpinan KPK sekarang nampaknya juga sulit tercapai. Visi KPK 2011-2015 adalah “Menjadi lembaga penggerak pemberantasan korupsi yang berintegritas, efektif, dan efisien”; sedangkan misi utamanya adalah melakukan koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi.

Jadi sebenarnya visi dan misi utama KPK sebagaimana juga dimandatkan oleh Undang-undang No. 30/2002 tentang KPK adalah menjadi penggerak dan penguat (trigger mechanism) lembaga-lembaga penegak hukum lain (kepolisian dan kejaksaan) dalam pemberantasan korupsi. Namun seperti kita saksikan sendiri KPK cenderung memonopoli penindakan kasus-kasus korupsi besar (grand corruption). Alih-alih semakin kuat dan efektif dalam memberantas korupsi, kepolisian dan kejaksaan (juga peradilan) justru menjadi bagian integral permasalahan korupsi sistemik itu sendiri. KPK (Pemerintah dan pimpinan lembaga-lembaga ini) telah gagal mencegah dan memberantas terjadinya korupsi di lembaga yang penting dan strategis dalam pemberantasan korupsi di negara ini.

Data Global Corruption Barometer (GCB) Indonesia tahun 2013, misalnya, sungguh menunjukkan angka-angka yang memprihatinkan: 91% (sangat tinggi) responden menyatakan kepolisian RI korup/sangat korup; sementara 86% berpendapat lembaga yudisial Indonesia korup/sangat korup. Selanjutnya, 75% responden menyatakan mereka pernah menyuap polisi dalam satu tahun terakhir; sementara yang pernah menyuap lembaga yudisial 66%.

Data Worldwide Governance Indicators (WGI) Bank Dunia untuk Indonesia sepanjang periode 1996 – 2013 juga semakin memperkuat kinerja dan persepsi buruk ini. Misalnya, percentile rank Indonesia dalam indikator “Rule of Law” yang mengukur kepercayaan dan kepatuhan masyarakat terhadap (kualitas) hukum, kepolisian, dan peradilan selama periode 1996 – 2013 tidak pernah di atas 40 (skala 0 – 100); ironisnya angka tertinggi justru dicapai pada masa Orde Baru (tahun 1996), yaitu 39,7. Selain itu yang juga memprihatinkan, penindakan eksesif dan fungsi pencegahan KPK ternyata tidak mampu memperbaiki perilaku antikorupsi masyarakat. Data terakhir dari Badan Pusat Statistik menunjukkan Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia tahun 2014 di bawah kepemimpinan KPK sekarang malah menurun menjadi 3,61 dari 3,63 pada tahun 2013 (BPS 2014).

“Mengubah dan Membawa KPK ke Era dan Paradigma Baru” (Bagian II-Habis) (Visi dan Misi Saya sebagai Calon Pimpinan KPK)

$
0
0

Oleh: Roby Arya Brata*)

Penggeledahan-KPKStrategi Multi-pronged Integrated Approach

Setelah menyadari kekeliruan strategi KPK, lalu strategi apa yang paling efektif untuk memberantas korupsi sistemik di Indonesia? Bila terpilih menjadi pimpinan KPK, saya akan mengoreksi total strategi KPK dan menerapkan strategi baru yang saya sebut “Multi-pronged Integrated Approach dengan Penguatan Fungsi Pencegahan KPK” (MIAP). Strategi ini bisa dikategorikan sebagai strategi pemberantasan korupsi KPK generasi ketiga.

Strategi generasi pertama dengan lebih mengutamakan fungsi penindakan dan pembangunan kelembagaan KPK dilakukan pada masa awal KPK (2004 – 2010). Strategi KPK generasi kedua  yang menggunakan pendekatan yang seimbang dan terintegrasi (balanced and integrated approach) antara strategi pencegahan dan penindakan sebagaimana pernah saya usulkan (Vivanews Online, 24 Juni 2009) semestinya dilakukan oleh kepemimpinan KPK periode 2010 – 2015.

RobiNamun, sebagaimana kita saksikan, kepemimpinan KPK pada periode sekarang terlalu eksesif dan masih mengandalkan fungsi penindakan,  sementara fungsi pencegahan “dilupakan” atau tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh/optimal. Ibarat kendaraan dengan kecepatan maksimum 100 km/jam, KPK sekarang melakukan fungsi penindakan dengan kecepatan 75 km/jam, sementara fungsi pencegahan baru dijalankan dengan kecepatan 40 km/jam (imbalanced). Selain tidak seimbang, pelaksanaan strategi KPK sekarang juga tidak (sepenuhnya) terintegrasi, sebagaimana ditunjukkan di antaranya dalam kasus penangkapan berulang tiga gubernur Riau dan banyaknya (86%) kepala daerah yang terlibat korupsi.

Strategi “Multi-pronged Integrated Approach dengan Penguatan Fungsi Pencegahan KPK” (MIAP) mensinergikan dan mengintegrasikan tiga strategi utama pemberantasan korupsi: strategi penindakan (intervetionist approach), strategi pencegahan (preventive approach), dan strategi edukasi/kesadaran publik (education/public awareness approach). Namun strategi ini memperkuat dan lebih mengutamakan strategi pencegahan.

Strategi pencegahan lebih diutamakan karena seperti halnya penyakit, mencegah terjadinya korupsi jauh lebih efektif dan efisien daripada menindak atau mengatasi (“mengobati”) setelah korupsi itu terjadi. Seperti “mengepel lantai yang kotor tetapi tidak memperbaiki/menutup genteng yang bocor” atau seperti “menebang batang pohon benalu tetapi tidak mencabut akarnya”, karena tidak menutup peluang dan tidak mengatasi akar penyebab korupsi, penindakan (penangkapan dan pemenjaraan koruptor) tidak akan mampu menghentikan terjadinya korupsi (akibat sistem yang korup). Karena korupsi menimbulkan biaya-biaya ekonomi, politik, dan sosial yang besar serta melumpuhkan kehidupan berbangsa dan bernegara, mencegah terjadinya korupsi, karenanya, jauh lebih baik daripada penindakan.

Selain itu, penindakan KPK membutuhkan biaya (dari APBN/uang rakyat) yang besar. Berdasarkan laporan tahunan KPK pagu anggaran tahun 2013 adalah Rp 703,876,268,000. Bahkan, menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Boy Rafli, ada perbedaan besar pada anggaran operasional penanganan kasus (Tempo, 13 Oktober 2012). Di Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, anggaran operasional penyidikan hanya sebesar Rp 37 juta per kasus, sementara di KPK besarnya mencapai sekitar Rp 300 juta lebih.

Namun Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, mengeluhkan kinerja KPK yang tidak sebanding dengan anggaran besar yang diberikan pada lembaga tersebut (Republika, 14 Oktober 2011). Bahkan, menurut pakar hukum pidana dan pendiri/perancang UU No.32/2002 tentang KPK Prof. Dr. Romli Atmasasmita di depan Komisi III DPR mengatakan KPK gagal bekerja dalam lima tahun terakhir (CNN Indonesia, 18 November 2014). Selama periode tersebut, menurutnya, dari total kerugian negara terkait kasus korupsi sebesar Rp 512 triliun, KPK hanya berhasil mengembalikan kepada negara (recovery rate) sekitar Rp 8 triliun atau sekitar 0,01%. Selain itu, berdasarkan laporan tahunan KPK nilai barang sitaan sebagai uang pengganti yang masuk ke kas negara tahun 2013 hanya Rp 20,517,750,000 atau sekitar 0,02% dari pagu anggaran KPK tahun 2013. Dengan kata lain, dari aspek keuangan, biaya (cost) yang dikeluarkan KPK jauh lebih besar dari manfaat (benefit) yang diperoleh.

Karena itu, dengan strategi MIAP saya akan memperkuat fungsi pencegahan KPK. Saya akan mempercepat laju fungsi pencegahan menjadi 85 km/jam, sementara laju fungsi penindakan tetap pada kecepatan 75 km/jam atau menurun menjadi 70 km/jam. Sumber daya penindakan KPK sebagian dialihkan ke pencegahan. Indikator keberhasilan KPK bukan banyaknya menteri, politisi/pimpinan partai, dan pejabat publik yang ditangkap dan dipenjara; namun sebaliknya semakin berkurang.

Semakin banyak yang dipenjara justru mengindikasikan tidak berjalan atau tidak efektifnya fungsi pencegahan. Indikator kinerja KPK lain yang bisa digunakan di antaranya adalah tingkat pengembalian uang/kekayaan negara yang dikorupsi (recovery rate), tingkat kepercayaan publik pada lembaga pemerintahan, tingkat efektifitas pemerintahan, semakin menguatnya sikap antikorupsi, tingkat akuntabilitas dan integritas pelayanan publik.

Namun sebelum membenahi lembaga lain, KPK harus terlebih dahulu memperbaiki dan memperkuat kerangka kelembagaan, integritas, dan akuntabilitas dirinya. Salah satu kelemahan mendasar dalam UU KPK No.30/2002 adalah tidak adanya lembaga/dewan pengawas eksternal independen KPK untuk memastikan (pimpinan) KPK tidak menyalahgunakan wewenang, melanggar hukum dan etika serta tetap dapat menjaga independensi dan integritasnya.

Tanpa dewan pengawas demikian, sangat terbuka bagi KPK dijadikan alat politik untuk menzhalimi partai/lawan politik, bertindak tebang pilih (discriminative investigation), melindungi koruptor dan kepentingan politik-ekonomi orang yang berkuasa. Pengawasan internal, masyarakat, dan DPR tidak akan mampu mencegah dan menindak perilaku semacam ini.

Dewan pengawas KPK nantinya berwenang menyelidiki kebenaran suatu peristiwa yang serius namun seringkali dibantah oleh pimpinan KPK dengan mengatakan “itu hanya isu atau gosip murahan” atau “tuduhan yang tidak berdasar”, seperti dugaan-dugaan tindakan tebang pilih/diskriminatif, menunda pengungkapan suatu kasus, isu penolakan penandatangan surat perintah penangkapan oleh oknum pimpinan KPK untuk menangkap politisi tertentu dalam peristiwa “Abraham Samad menggebrak meja” (bisa dikualifikasikan sebagai kejahatan obstruction of justice berdasarkan Pasal 21 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi), perilaku berpolitik, mosi tidak percaya para pegawai KPK pada pimpinan KPK, dan terakhir adanya perbedaan pendapat antar pimpinan KPK tentang status tersangka mantan Wakil Presiden Boediono―suatu peristiwa yang memalukan, terkesan tidak profesional dan tidak etis menurut standar internasional (kita hanya bisa berharap bahwa pimpinan KPK―dengan dugaan sengaja menskenariokan insiden yang memalukan ini―tidak sedang “bermain kartu” atau “sinetron” untuk memberikan sinyal ancaman terkait proses seleksi pimpinan KPK. Akan tetapi bila harapan kita itu keliru, berarti dugaan saya selama ini bahwa pimpinan KPK tidak solid semakin membuktikan kebenarannya).

Dewan pengawas KPK, dan ini yang paling penting, justru dibentuk agar pimpinan dan pegawai KPK tidak terlibat korupsi. Komisi-komisi independen seperti Komisi Yudisial dan KPK tidaklah kebal terhadap korupsi. Tentu kita tidak lupa dengan peristiwa yang memalukan dan menggemparkan republik ini, yaitu penangkapan salah seorang komisioner Komisi Yudisial karena diduga terlibat korupsi ketika komisi ini dipimpin oleh Busyro Muqqodas. Peristiwa ini terjadi karena Komisi Yudisial gagal membangun dan menegakkan sistem pencegahan korupsi dan integritas/etika.

Kegagalan dan kasus serupa dapat juga terjadi pada komisioner KPK. Secara teori, KPK dengan kekuasaan dan diskresi yang besar namun dengan akuntabilitas dan pengawasan yang lemah memang akan rawan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.  Karena itu, untuk membuat perilaku korup menjadi perbuatan yang “high risk and low profit undertaking”, Dewan Pengawas KPK berwenang menginvestigasi sendiri atau mengajukan rekomendasi kepada Presiden untuk memroses pidana dan memecat oknum pimpinan KPK yang terlibat korupsi dan pelanggaran hukum. Dewan Pengawas juga dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden dan DPR agar pimpinan KPK tertentu tidak dipilih kembali karena berkinerja buruk, bermasalah dengan integritas dan independensi.

Sebenarnya ide pembentukan inspektur atau dewan pengawas eksternal independen sudah lama saya usulkan, bahkan jauh sebelum saya mengikuti seleksi calon pimpinan KPK (lihat Pikiran Rakyat, 7 Januari 2008 dan lebih detail lagi di Koran Tempo, 30 Maret 2012). Ide ini ternyata ikut-ikutan “dijual” oleh salah satu pimpinan KPK sekarang (yang mengatakan saya orang yang tidak jelas kiprahnya dalam pemberantasan korupsi) ketika dia mengikuti uji kepatutan di Komisi III DPR pada tahun 2011. Namun setelah dia terpilih, ia justru berbalik cenderung menolak/resisten terhadap ide pembentukan dewan pengawas itu.

Bagi saya,  berdasarkan kajian akademis saya, pembentukan dewan pengawas KPK bukan hanya perlu tetapi suatu keharusan untuk membawa KPK dan bangsa ini ke arah yang lebih baik. Karena kesadaran intelektual itulah saya akan konsisten pada pemikiran ini. Bahkan, sebagai perancang UU KPK No.30/2002 Prof. Dr. Romli Atmasasmita di hadapan Komisi III DPR (CNN Indonesia , 18 November 2014) mengatakan,  “Saya merasakan ada kekurangan dalam membentuk UU KPK. Salah satu kekurangannya yaitu checks and balances-nya enggak kuat…”. Karena itu, menurutnya, KPK perlu membentuk dewan pengawas untuk memperkuat sistem checks and balances tersebut.

Ironisnya, dengan kekuasaan yang besar itu justru hanya KPK-lah yang tidak memiliki badan pengawas eksternal independen. Semua institusi penegak hukum (MA, Kepolisian, dan Kejaksaan) di Indonesia memiliki lembaga pengawas eksternal. Independent Commission Against Corruption (ICAC) atau KPK-nya Hong Kong yang dianggap terbaik dan menjadi model KPK dunia (termasuk Indonesia) bahkan setiap kedeputiannya diawasi oleh komisi pengawas eksternal.

Kelemahan institusional KPK lain yang dibentuk oleh UU KPK No.30/2002 adalah masalah akuntabilitas pengawas internal, penyidik, dan penuntut umum KPK. Saya mengusulkan agar efektif, berintegritas, dan independen mereka tidak begitu saja dapat diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan KPK. Kelak bila dewan pengawas KPK sudah dibentuk pengangkatan dan pemberhentian demikian harus dengan pertimbangan atau persetujuan dewan pengawas KPK.

Partisipasi masyarakat juga harus dilembagakan dalam institusi KPK. KPK harus lebih kuat lagi membangun kerjasama dan aliansi strategis dengan koalisi masyarakat sipil. Saya mengusulkan agar KPK membuat memorandum kesepahaman (MOU) dengan LSM antikorupsi, media, organisasi masyarakat, dan asosiasi profesional yang relatif memiliki reputasi nasional, integritas dan independensi seperti MaPPI UI, PSHK, ILR, PUKAT UGM, HMI, NU, Muhamadiyah, Kompas, Republika, dll. Dalam MOU tersebut, misalnya, mereka akan bekerja secara bergiliran berdasarkan kontrak kerja enam bulan atau satu tahun di kedeputian pencegahan, direktorat-direktorat pengawasan internal, pengaduan masyarakat, humas, dan pendidikan masyarakat KPK.

MOU yang sejenis juga dapat dilakukan dengan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk menempatkan pejabat-pejabat yang bertanggung jawab menjalankan program antikorupsi dan reformasi birokrasi untuk bekerja di KPK selama enam bulan atau satu tahun. Selain bekerja di KPK menurut tugas fungsinya, mereka nantinya diharapkan mampu menjadi agen perubahan (agent of change) untuk menanamkan dan menyebarkan pengetahuan dan nilai-nilai antikorupsi di lembaganya dan masyarakat.

KPK juga lemah dalam strategi dan pelaksanaan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan (pencegahan dan penindakan) korupsi. Padahal  fungsi ini merupakan mandat utama yang diberikan UU KPK No.30/2002 pada KPK sebagai institusi penguat (trigger mechanism) lembaga penegak hukum lainnya. Namun kenyataannya, KPK lebih dominan sebagai single fighter dalam pemberantasan korupsi.

Menyadari kelemahan ini dan keterbatasan SDM KPK (khususnya jumlah penyidik dan penuntut umum) serta banyaknya jumlah kasus korupsi yang harus ditangani, sudah saatnya KPK memberikan kepercayaan yang lebih kepada kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan pemberantasan korupsi. KPK, misalnya, hendaknya mengadakan MOU dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung RI untuk membangun dan memperkuat sistem dan mekanisme peradilan pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system) dalam pemberantasan korupsi. Contohnya, MOU tersebut dapat menyepakati bahwa dalam penanganan kasus-kasus korupsi tertentu terutama korupsi akbar (grand corruption) penyidikan dilakukan oleh KPK namun penuntutannya diserahkan pada kejaksaan, atau sebaliknya penyidikan dilakukan oleh kepolisian/kejaksaan tetapi penuntutannya dilakukan oleh KPK. Dalam pelaksanaan mekanisme ini KPK tetap melakukan supervisi yang kuat dan efektif.

Kelak jika Kepolisian dan Kejaksaan Agung RI sudah berintegritas dan berfungsi dengan efektif dalam memberantas korupsi serta kedaulatan hukum sudah ditegakkan, secara bertahap fungsi penyidikan KPK dikembalikan ke Kepolisian RI dan fungsi penuntutannya ke Kejaksaan Agung RI. Bila tahap ini sudah tercapai terbuka dua opsi kebijakan untuk dikaji dan dipilih, yaitu KPK tetap dipertahankan akan tetapi hanya dengan kewenangan pencegahan korupsi yang kuat atau KPK dibubarkan. Perlu diingat beberapa negara yang paling bersih dari korupsi seperti Norwegia dan Finlandia tidak memiliki KPK. Namun negara lain yang juga relatif bersih dari korupsi memilikinya, seperti Singapura dan Hong Kong. Akan tetapi fungsi KPK di Singapura dan Hong Kong difokuskan hanya pada fungsi pencegahan dan penyidikan, bukan penuntutan terdakwa kasus korupsi.

Masa jabatan pimpinan KPK juga krusial bagi KPK agar lebih efektif dan berintegritas. Karena itu, saya mengusulkan masa jabatan tersebut cukup satu periode. Akan tetapi masa jabatan itu diperpanjang menjadi lima atau enam tahun agar pimpinan KPK punya cukup waktu untuk merealisasikan program-programnya. Dari hasil penelitian saya, karena sifat pekerjaannya yang berat dan penuh tekanan, hampir semua pimpinan KPK sebelumnya mengalami kelelahan psikologis yang bisa mengganggu kinerja fisik dan intelektualnya.

Karenanya, umur pimpinan KPK sebaiknya di bawah 60 tahun dan masa jabatan satu periode agar KPK dipimpin oleh pimpinan baru dengan energi dan pemikiran yang baru dan lebih progresif. Sebagai perbandingan, masa jabatan Komisioner ICAC NSW (Australia) adalah satu periode selama lima tahun.

Selain itu, pimpinan KPK petahana yang berkinerja buruk karena tidak mencapai target-target kinerja seharusnya merasa gagal dan malu untuk mencalonkan (dicalonkan) kembali sebagai pimpinan KPK. Pejabat publik khususnya pimpinan KPK yang merasa gagal menjalankan amanah dan tanggung jawab seharusnya memberikan teladan untuk mengundurkan diri atau tidak bersedia dipilih kembali pada jabatan itu.

Masa jabatan satu periode pimpinan KPK juga penting untuk mencegah oknum pimpinan KPK yang berambisi untuk dipilih kembali menggunakan KPK sebagai alat untuk “meneror” atau menakut-nakuti penguasa (pemerintah) dan Komisi III DPR agar memilihnya atau tidak memilih rivalnya. Cara yang bergaya preman (mafia peradilan) seperti ini adalah dengan mengancam akan mengusut kasus korupsi yang melibatkan penguasa, anggota Komisi III DPR, atau petinggi partai politik. Bila ini terjadi, tentu demi menjaga kewibawaan dan kehormatan DPR, Komisi III DPR tidak akan mau didikte dan tunduk pada intimidasi seperti itu. Sebaliknya, DPR (seharusnya) langsung menolak/tidak memilih oknum pimpinan KPK itu karena ancaman tersebut sesungguhnya merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang/korupsi (pemerasan atau extortion).

Banyak ide-ide dan program pencegahan korupsi yang ingin saya wujudkan kelak bila saya ditakdirkan menjadi pimpinan KPK. Dengan penguatan fungsi pencegahan KPK,  saya akan menjadikan KPK lebih efektif, tanpa harus eksesif melakukan penindakan yang dapat mengarah/cenderung melanggar hak asasi manusia dan standar-standar internasional penegakan hukum yang beradab.

Esensi dari ide dan strategi pencegahan tersebut adalah bagaimana membuat perilaku korup menjadi perbuatan yang beresiko tinggi dan tidak menguntungkan (high risk and low profit undertakings). Siapapun orangnya akan berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi karena biaya-biaya atau resikonya (hukum, ekonomi, politik, sosial, moral, dan reputasi pribadi/keluarga) jauh lebih besar dibandingkan manfaat/keuntungan yang akan diperoleh.

Pejabat publik atau orang tidak akan melakukan korupsi karena pasti perbuatan korupnya akan segera terdeteksi, ditindak, dan dihukum. Semua celah dan peluang korupsi dalam sistem hukum, politik, ekonomi dan pemerintahan/birokrasi ditutup dengan mengurangi, membatasi, menghilangkan, dan mengawasi (penggunaan) monopoli kekuasaan dan diskresi pejabat publik dalam pembuatan dan implementasi keputusan/kebijakan publik.

Sebaliknya, akuntabilitas, pengawasan dan transparansi dalam pembuatan dan implementasi keputusan/kebijakan publik tersebut diperkuat. Metoda pencegahan dapat berupa mewujudkan prinsip-prinsip good governance, sistem integritas nasional, deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, edukasi masyarakat, dan penerapan nilai-nilai agama dan kejujuran untuk berperilaku antikorupsi dan melawan perilaku korup, dll.

Karena itu, untuk mewujudkan visi misi saya, memperkuat fungsi pencegahan, dan membawa KPK ke arah yang lebih baik, merevisi UU KPK No.30/2002 merupakan suatu kebutuhan dan keniscayaan. Saya tidak hanya menyarankan, namun “mewajibkan” Pemerintah dan DPR untuk mengubah undang-undang tersebut. Menuduh orang yang mengusulkan revisi UU KPK sebagai orang yang ingin melemahkan KPK adalah pandangan yang picik dan bodoh.

Sebaliknya, tanpa mengubah UU KPK dan membiarkan KPK dengan kerangka akuntabiltas dan pengawasan (checks and balances) yang lemah seperti sekarang ini sama saja “membunuh” KPK secara perlahan. Sebagai perbandingan, reputasi internasional CPIB Singapura, ICAC Hong Kong dan Australia (NSW) dibangun setelah undang-undangnya diubah lebih dari tiga kali.

Undang-undang yang terkait dan sangat mempengaruhi efektifitas fungsi penindakan KPK, seperti UU No.31/1999 jo UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan KUHAP, juga harus diubah. Selain memiliki beberapa kelemahan lain, perubahan UU No.31/1999 merupakan kewajiban internasional Indonesia untuk menerapkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam  Konvensi Antikorupsi PBB (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC) 2003 yang telah diratifikasi dengan UU No. 7/2006, seperti pemberantasan korupsi di sektor swasta (bribery in the private sector) dan perdagangan pengaruh (trade in influence).

KUHAP harus direvisi karena produk hukum ini merupakan penyebab utama timbulnya mafia peradilan (judicial corruption) dalam sistem peradilan pidana kita, yaitu dengan membuka peluang terjadinya transaksi/pasar korupsi sejak dari awal hingga akhir proses pidana.

Pemerintah dan DPR perlu juga membentuk undang-undang pencegahan korupsi tersendiri untuk memberikan dasar hukum yang kuat dan sebagai undang-undang “payung” (umbrella act) bagi upaya pencegahan korupsi sistemik oleh kementerian, lembaga dan pemerintah daerah. Dalam undang-undang ini, misalnya, dapat ditentukan bahwa pengawas internal di setiap kementerian, lembaga dan pemerintah daerah berasal dari dan hanya akuntabel  (digaji, diangkat dan diberhentikan) pada KPK. Bila ide saya ini bisa direalisasikan, saya optimis fungsi pencegahan KPK akan berjalan dengan efektif sedikitnya 70%.

Dengan mekanisme akuntabilitas dan pengawas internal yang kuat dan independen demikian maka upaya-upaya pencegahan korupsi, proses pembuatan keputusan, sistem whistle blower, reformasi birokrasi, sistem deteksi korupsi, dan pelaksanaan kode etik yang berintegritas di setiap lembaga pemerintah akan terus terawasi dengan baik. Pengawasan demikian dilakukan karena fungsi pengawasan internal (bahkan dalam tingkatan tertentu pengawasan eksternal) sebelumnya, karena kurang kuatnya independensi dan akuntabilitas,  dalam beberapa kasus malah menjadi bagian integral masalah korupsi birokrasi sistemik itu sendiri (monitoring failure).

Revisi UU KPK juga diperlukan untuk memperkuat fungsi utama KPK sebagai trigger mechanism terhadap institusi-institusi pemberantas korupsi lainnya. Dalam pandangan saya, fungsi trigger mechanism tersebut, baik dalam bidang pencegahan dan penindakan korupsi, akan sulit dilakukan bila KPK tidak memiliki kewenangan yang cukup dan kuat untuk ikut mempengaruhi pengangkatan, promosi, mutasi, maupun pemberhentian pejabat-pejabat penegak hukum dan pemerintah lainnya, baik langsung maupun tidak langsung.

Di sisi lain, revisi UU No.31/1999 diperlukan di antaranya untuk memberikan kewenangan KPK dalam mencegah dan menindak perilaku korup di sektor swasta. Korupsi akan sulit diberantas bila KPK hanya mencegah dan menindak korupsi di sektor pemerintah (supply side) saja, tanpa menyentuh korupsi di sektor swasta (demand side). Jadi KPK harus menggempur korupsi dari dua arah.

Sesungguhnya, korupsi di sektor swasta tidak kalah endemiknya dengan korupsi di sektor publik, dan menjadi penyebab utama lemahnya perekonomian dan daya saing Indonesia. Namun demikian, kewenangan KPK untuk memberantas korupsi di sektor swasta hendaknya dilakukan secara bertahap, khususnya memperkuat fungsi pencegahan KPK di sektor keuangan dan perbankan terlebih dahulu.

Akan tetapi, visi misi dan program-program saya, termasuk usulan revisi UU KPK, UU Tipikor, dan KUHAP, untuk mengubah dan membawa KPK ke era dengan paradigma baru untuk KPK yang lebih baik dan efektif akan sulit diwujudkan tanpa dukungan kuat dari Pemerintah, DPR dan ke empat pimpinan KPK lainnya.  Selain itu, untuk keberhasilan pelaksanaan strategi “Multi-pronged Integrated Approach dengan Penguatan Fungsi Pencegahan KPK” (MIAP) KPK perlu didukung oleh kedeputian pencegahan yang kuat.

Kedeputian pencegahan KPK haruslah dipimpin oleh seorang pakar dan pemikir pendekatan sistem (systemic thinker) yang berpengalaman dalam birokrasi pemerintahan atau pendidikan tinggi (bukan mantan juru bicara KPK) sedikitnya 15 tahun, dan berpendidikan setidaknya doktor dalam bidang kebijakan publik, analisis sistem, akutansi, audit kinerja, keuangan, ekonomi, atau administrasi/manajemen pemerintahan.

Visi misi KPK dengan paradigma baru yang lebih mengutamakan dan memperkuat strategi pencegahan itu hanya akan terwujud jika terjadi regenerasi pimpinan KPK. Selama ini, pimpinan dan ketua KPK didominasi oleh orang-orang penindakan (mantan polisi, jaksa, dan pengacara). Padahal, Sir Jack Cater Komisioner pendiri ICAC Hong Kong yang fenomenal dan berhasil menjadikan institusinya sebagai model KPK dunia karena fungsi pencegahannya yang efektif adalah seorang mantan birokrat Departemen Perdagangan (dan Perikanan) Hong Kong. Karena itu, saya mengusulkan komposisi pimpinan KPK ke depan terdiri dari tiga orang pakar pencegahan, satu menguasai bidang penindakan, dan satunya lagi ahli dalam bidang strategi pendidikan antikorupsi.

Untuk mengubah dan membawa KPK dengan paradigma baru ke arah yang lebih baik dan efektif, sudah saatnya KPK dipimpin oleh ketua yang memiliki visi, misi, dan ilmu yang kuat dan progresif dalam bidang pencegahan dan pendekatan antikorupsi sistemik. Kini momentum yang krusial dalam sejarah KPK dan Indonesia ada di tangan DPR (dan Pemerintah) untuk memilih siapa yang akan memimpin KPK dengan strategi dan paradigma baru itu, demi menegakkan merah putih dan mewujudkan Indonesia yang hebat, maju, bermartabat dan disegani oleh bangsa-bangsa di dunia. Salam perjuangan!

*) Analis Antikorupsi dan Penulis Buku “Why Did Anticorruption Policies Fail? A Study of Anticorruption Policy Implementation Failure in Indonesia”, Information Age Publishing, North Carolina, 2014

 

 


Perbaiki Kualitas Belanja 2015

$
0
0

Oleh: Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*)

rupiahMenjelang akhir tahun, banyak pengamat menyebutkan pentingnya belanja pemerintah sebagai penentu kinerja ekonomi 2014. Hal ini tak lepas dari dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia serta penyesuaian harga BBM bersubsidi di bulan November yang tampaknya sedikit memukul daya beli konsumen dan swasta. Tantangan menjadi semakin berat ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan penghematan belanja di triwulan terakhir 2014. Artinya belanja pemerintah yang berkualitas betul-betul menjadi kunci utama kinerja ekonomi tersebut. Di triwulan III tahun 2014, belanja pemerintah mencapai 4,37%. Sementara rata-rata belanja pemerintah di 9 bulan awal mencapai Rp137,19 triliun per bulan. Jika melihat data historis, realisasi belanja di triwulan IV tahun 2013 mencapai 5,72% atau naik 0,10% dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai 5,62%.

Menurut data pemerintah, hingga 31 Oktober 2014, realisasi belanja negara mencapai 75,27% dimana belanja pemerintah pusat sebesar 72,64% dan transfer ke daerah 80,92%. Dari besaran belanja pemerintah pusat, realisasi belanja subsidi cukup mendominasi hingga 87,99% dengan sumbangan belanja subsidi energi 92,63% dan non-energi 56,93%. Disusul kemudian realisasi pembayaran kewajiban utang sebesar 83,62%, belanja pegawai 78,72%, belanja bantuan sosial (Bansos) 74,15% serta belanja barang 57,94%. Yang sedikit memprihatinkan adalah realisasi belanja modal yang baru mencapai 44,40% atau sekitar Rp71,40 triliun dari target APBN-P 2014 sebesar Rp160,80 triliun.

Lambatnya realisasi belanja modal ini sepertinya menjadi persoalan klasik yang berulang setiap tahunnya. Dan pemerintah seperti belum menemukan resep yang mujarab dalam mendorong upaya peningkatan realisasi belanja modal. Padahal dari sisi teori, belanja modal inilah yang menjadi representasi utama belanja yang berkualitas dalam menciptakan dampak investasi dan pembangunan secara nasional.

Dalam acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2015 yang lalu, persoalan kualitas belanja kembali diserukan oleh Presiden. Dalam arahannya, Presiden menghimbau kepada seluruh Menteri dan Kepala Daerah untuk memaksimalkan sebaik-baiknya anggaran belanja yang telah ditetapkan. ”Gunakan sebaik-baiknya uang rakyat dan kembalikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” demikian pesan yang menyiratkan besarnya harapan demi perbaikan di 2015.

Presiden juga menekankan pentingnya upaya memperkuat tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel serta partisipatif. Tak lupa Menteri dan Kepala Daerah dihimbau untuk terus melanjutkan pola penghematan anggaran untuk hal-hal yang sekiranya tidak memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional.

Di saat bersamaan, Bank Dunia juga merevisi target pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional 2014 akibat tren perlambatan investasi yang terus terjadi. Jika sebelumnya, diyakini pertumbuhan ekonomi nasional di 2014 mencapai 5,2% sementara 2015 sekitar 5,6%, dengan memperhatikan fakta di lapangan, direvisi menjadi 5,1% di 2014 serta 5,2% di 2015. Perlambatan ekonomi Indonesia diyakini disebabkan oleh besarnya tekanan eksternal akibat belum pulihnya perekonomian dunia paska krisis global. Akibatnya, pertumbuhan ekspor serta investasi Indonesia menghadapi kendala. Dibutuhkan adanya suatu bentuk penanaman investasi direct dalam kapasitas besar dan hal ini jelas membutuhkan peran signifikan dari pemerintah.

Bank Dunia juga mengapresiasi keberanian pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi di bulan November yang lalu, meskipun disebutkan dalam jangka pendek akan memberikan tekanan yang cukup signifikan, namun memberikan dampak jangka panjang yang hebat.  Namun demikian, Bank Dunia tetap memberikan concern khususnya terkait dengan kualitas belanja (quality of spending) baik dari sisi penyerapan maupun pemanfaatannya. Indonesia juga disebut akan memulai babak baru dari sejarahnya dan menghadapi berbagai pilihan kebijakan yang sulit. Dalam waktu dekat, mengatasi peningkatan tekanan fiskal dan menjaga keberlangsungan defisit transaksi berjalan menjadi hal yang sangat urgent untuk dilakukan.

Perbaikan Belanja 2015

Pemerintah sendiri telah bermomitmen untuk memperbaiki kualitas anggaran belanja. Presiden telah mewajibkan seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) untuk melaksanakan belanja proyek dan kegiatannya paling lambat April 2015. Penyerahan DIPA di awal Desember pun dilakukan sebagai bentuk reformasi penganggaran tersebut karena biasanya DIPA baru diserahkan oleh Presiden di medio Januari. Proses lelang di masing-masing K/L diharapkan selesai dilakukan di bulan Maret 2015 sehingga seluruh program kegiatan mulai berjalan pada bulan April. Untuk mendukung proses lelang ini, pemerintah akan segera mengelurakan Instruksi Presiden (Inpres).

Ke depannya, reformasi juga akan dimulai dari proses lelang dan tender dimana prosedur yang ada akan lebih disederhanakan, dengan tetap mengutamakan prinsip kehati-hatian. Pemerintah juga akan membatasi waktu di setiap tahapan proses lelang serta memberikan sanksi kepada K/L yang dinilai masih lambat dalam pelaksanaan belanjanya khususnya di beberapa K/L yang mengemban amanat pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar.

Dilihat dari data historis, persoalan kualitas belanja pemerintah senantiasa menjadi persoalan serius setiap tahunnya. Berdasarkan data tahun 2005-2013, rata-rata penyerapan belanja negara mencapai 95,6%, dimana penyerapan tertinggi pada belanja subsidi dan terendah pada belanja barang. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua jenis belanja tersebut kurang memenuhi efisiensi alokasi, mengingat penyerapan belanja barang terjadi under value sedangkan subsidi justru over value.

Dalam konteks analisis makro ekonomi negara, penyerapan anggaran merupakan salah satu indikator efisiensi alokasi. Semakin optimal penyerapan anggaran maka mengindikasikan efisiensi dalam pengalokasian dan sebaliknya, meskipun bukan satu-satunya ukuran karena masih ada beberapa indikator lainnya seperti kualitas output/outcome, manfaat program/kegiatan serta nilai tambah atas implementasi program/kegiatan tersebut. Hingga kini pemerintah masih berkutat di persoalan penyerapan belanja semata.

Terakumulasinya penyerapan pada triwulan 4 juga mengindikasikan adanya persoalan, khususnya tekanan dari sisi  inflasi serta potensi mereduksi terjaganya kualitas output/outcome. Jika dikaitkan dengan fungsi kebijakan fiskal untuk (i) menjaga stabilitas makro dan pertumbuhan ekonomi, (ii) redistribusi pendapatan dan perlindungan sosial, serta (iii) penyediaan barang publik dalam rangka pelayanan publik, maka pola penyerapan yang menumpuk pada akhir tahun menjadi faktor yang kontra produktif terhadap tujuan menjaga keseimbangan internal. Himbauan untuk tidak melakukan rapat di hotel serta mengurangi perjalanan dinas yang tidak penting juga perlu dilanjutkan. APBN jelas mendapatkan keuntungan yang sangat signifikan dari hal tersebut mengingat dalam struktur belanja barang saja selama 10 tahun terakhir pertumbuhannya sudah mencapai kisaran 16%, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan PDB riil. Begitupula belanja perjalanan dinas dan rapat, dimana komposisinya mencapai 83% dari total belanja.

Sebagai kesimpulan, percepatan penyerapan anggaran sudah seharusnya menjadi agenda utama pemerintahan baru. Mengingat, semakin cepat anggaran terpakai maka kegiatan ekonomi akan semakin cepat berjalan. Namun kualitas dari belanja tersebut tetap menjadi prinsip yang harus dikedepankan. Jangan sampai belanja-belanja yang terjadi justru hanya bersifat konsumtif belaka tanpa memberikan efek multiplier yang besar bagi pertumbuhan ekonomi.

*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili instansi tempat penulis bekerja

 

RAPBN-P 2015 dan Pembangunan Infrastruktur

$
0
0

Oleh: Eddy Cahyono, Staf Sekretariat Kabinet

CahyonoStrategi kebijakan fiskal yang  ditempuh satu pemerintahan sejatinya  mencerminkan arah pembangunan ekonomi yang digagas,  sekaligus penerjemahan dari tiga fungsi ekonomi Pemerintah dalam melaksanakan fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi yang terkristalisasi dalam APBN  tahun berjalan.

Dalam APBN fungsi alokasi berkaitan dengan alokasi anggaran Pemerintah untuk tujuan pembangunan nasional, terutama dalam melayani kebutuhan masyarakat dan mendukung penciptaan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Sedangkan fungsi distribusi berkaitan dengan distribusi pendapatan dan subsidi dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, fungsi stabilisasi berkaitan dengan upaya untuk menjaga stabilitas dan akselerasi kinerja ekonomi sehingga perekonomian tetap pada kondisi yang produktif, efisien, dan stabil.

Menciptakan stabilitas ekonomi yang kuat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, menjadi visi besar setiap pemerintahan, yang tercermin dari APBN  yang dipersiapkan dalam mendukung visi  Pemerintahan.

Dalam mendukung visi Pemerintahan  Jokowi, utamanya dalam  membangun kemandirian ekonomi serta memastikan bergeraknya sektor-sektor produktif,  sebagaimana kita ketahui, Pemerintahan Presiden Jokowi melalui draft APBNP-2015 tengah melakukan reformasi kebijakan fiskal di sektor penganggaran pembangunan.

Reformasi fiskal dimaksud dapat dicermati dari perubahan gradual dari sisi penganggaran pembangunan, belanja subsidi BBM telah menyusut dari sebelumnya dalam APBN Rp.276 triliun menjadi Rp.81,8 triliun, subsidi LPG turun dari Rp.55,1 triliun menjadi Rp. 28,7 triliun.

Sementara  ruang fiskal yang didapat dari restrukturisasi belanja subsidi dialihkan antara lain mendukung pembangunan infrastuktur,   yang menjadi prioritas utama dengan adanya  peningkatan anggaran yang signifikan  dari Rp.190 triliun menjadi Rp. 290 triliun.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pertanian  mendapat alokasi anggaran cukup besar (Kemen PUPR angkanya sekitar Rp 33 triliun, kemudian Kementerian Perhubungan Rp 20 triliun dan Kementerian Pertanian Rp 16 triliun).

Selain itu, terdapat tambahan dana anggaran prioritas lainnya untuk pembangunan infrastruktur konektivitas Rp.12,9 triliun, alokasi transfer ke daerah Rp.20,5 triliun. untuk tambahan pembangunan infrastruktur pendukung pertumbuhan ekonomi Rp. 49,8 triliun, pemenuhan kewajiban dasar Rp.20,8 triliun dan pengurangan kesenjangan Rp.43,5 triliun.

RAPBN-P 2015 menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengurangi anggaran yang tidak berhubungan langsung dengan pembangunan kesejahteraan rakyat dan pemerataan dengan menggeser atau merealokasi sebagian anggaran bendahara umum negara ke anggaran infrastruktur.

Kebijakan reformasi fiskal ini merupakan langkah mendasar dan sebagai bagian penting dari reformasi struktural memperkuat fundamental perekonomian Indonesia, diantaranya dengan memacu pembangunan infrastuktur dasar guna memacu sektor-sektor produktif dan meningkatkan daya saing ekonomi, penyaluran bantuan kepada masyarakat untuk  memitigasi penurunan daya beli sehingga tetap dapat kondusif bagi pertumbuhan konsumsi.

RAPBN-P 2015 juga dirancang agar agar mampu memberi  stimulus pada perekonomian Indonesia untuk tetap tumbuh di tengah persaingan kawasan yang semakin sengit, dengan mendorong berbagai pembangunan infrastuktur diharapkan dapat berkembang investasi dan  menaikkan daya saing ekonomi.

Tentunya  kita berharap pembahasan RAPBN-P 2015 mendatang dapat menghasilkan postur  sistem anggaran yang ideal sehingga peran APBN mendatang bisa lebih dari sekadar menjalan counter cyclical, tapi juga meletakkan dasar bagi pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas pada tahun-tahun mendatang.

Infrastruktur Penggerak  Roda Perekonomian

Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah.

Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.

Infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilisasi makro ekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja.

Dalam sebuah studi yang dilakukan di Amerika Serikat, menunjukkan tingkat pengembalian investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 60 persen. Bahkan, studi dari World Bank (1994) disebutkan elastisitas produk domestik bruto (PDB) terhadap infrastruktur di suatu negara adalah antara 0,07 sampai dengan 0,44. Hal ini berarti dengan kenaikan 1 (satu) persen saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 7 persen sampai 44 persen, variasi angka yang cukup signifikan.

Peran vital infrastruktur dalam mendorong pertumbuhan ekonomi telah dibuktikan oleh kesuksesan berbagai program ekonomi yang bertumpu pada infrastruktur, diantaranya program New Deal oleh Presiden Roosevelt, pada saat resesi di Amerika Serikat tahun 1933, yang dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur secara signifikan,  telah memberikan dampak positif meningkatkan ekonomi dan lebih 6 juta penduduk dapat bekerja kembali.

Prioritas pembangunan infrastruktur 2015 bagi Indonesia menjadi satu keniscayaan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing menghadapi MEA 2015, mengingat Indonesia masih jauh tertinggal dalam anggaran untuk fungsi ekonomi dibandingkan  Malaysia dan Thailand yang telah mencapai diatas 20 persen dari total anggaran belanja, sementara di Indonesia masih berkisar 8-9 persen.

Anggaran untuk fungsi ekonomi ini tercermin dari belanja modal, salah satunya untuk infrastruktur,  dengan adanya pengembangan infrastruktur yang masif di tahun 2015, kita tentunya berharap seluruh wilayah di Indonesia akan semakin terintegrasi secara ekonomi,  sehingga biaya logistik di Indonesia dapat diturunkan dan disparitas harga dapat ditekan, sekaligus menaikkan daya saing ekonomi Indonesia.

Seluruh pemangku  kepentingan seyogyanya dapat terus meningkatkan sinergitasnya mendukung pembelanjaan infrastruktur yang fokus,  dan mampu mendorong sektor lain untuk tumbuh, seperti untuk infrastruktur energi, pangan, dan konektivitas daerah.

Belanja infrastruktur harus menekankan efisiensi, artinya pengurangan porsi belanja yang digunakan untuk persiapan dan pengadaan dan  lebih besar porsi belanja pembangunan fisik. Keterbatasan pembiayaan yang dimiliki pemerintah dibandingkan dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur menuntut adanya upaya melibatkan partisipasi swasta, sehingga perlu didorong berkembangnya spirit pemerintahan marketer dalam memfasilitasi integrasi pemerintah dan swasta melalui skema public-private partnership mulai dari perumusan program, penganggaran hingga penyediaan infrastruktur.

Tantangan sepanjang tahun 2015 adalah meningkatkan kualitas penyerapan anggaran belanja pemerintah khususnya di bidang infrastruktur. Untuk dapat meningkatkan kontribusi belanja pemerintah terhadap PDB maka perlu dipastikan semua anggaran belanja pemerintah dapat terserap secara baik.

Dengan meningkat tajamnya anggaran pembangunan infrastruktur pada tahun 2015 diharapkan K/L pusat dan daerah dapat lebih memacu langkah-langkah persiapan yang matang sebagai antisipasi meningkatkan alokasi belanja infrastruktur, dari mulai feasibility-study, mekanisme lelang, land-clearing, serta aspek-aspek teknis lainnya.

Upaya menjamin penyerapan anggaran pembangunan infrastruktur tepat waktu sangat penting sebagai salah satu penentu kinerja ekonomi 2015, artinya belanja pemerintah yang berkualitas (quality of spending) baik dari sisi penyerapan maupun pemanfaatannya.

Penyerapan anggaran yang berkualitas merupakan salah satu indikator efisiensi alokasi, semakin optimal penyerapan anggaran mengindikasikan efisiensi dalam pengalokasian dan sebaliknya, tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas output/outcome.

Kita tentunya berharap aspek pengendalian dan pengawasan pembangunan infrastruktur dapat berjalan konsisten  dengan mendorong percepatan implementasinya di tingkat lapangan, sehingga kelancaran pembangunan berbagai program infrastruktur yang ada dapat memberikan nilai tambah ekonomi.

Menjadi tugas kita bersama untuk terus meningkatkan segala upaya dalam menjamin konsistensi dan mengawal agar fungsi    fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi dari reformasi fiskal dapat menjadi kunci utama mendorong stimulus pertumbuhan dan kemandirian ekonomi 2015.  Selamat Datang Harapan Baru. Semoga

Harga BBM Turun, Januari Catat Deflasi 0,24 Persen

$
0
0

SPBUBadan Pusat Statistik (BPS), 2 Februari 2015, melaporkan bahwa  selama bulan Januari 2015 terjadi deflasi sebesar 0,24 persen, atau secara Year on Year (Januari 2015 terhadap Januari 2014) mencapai 6,96 persen. Dari 82 kota Indeks Harga Konsumen (IHK) yang diamati, 51 kota mengalami deflasi, serta sisanya 31 kota mengalami inflasi, dengan deflasi tertinggi terjadi di kota Padang sebesar 1,98 persen, dan terendah terjadi di Bandung dan Madiun sebesar 0,05 persen. Sementara Inflasi tertinggi terjadi di Ambon sebesar 2,37 persen dan terendah terjadi di Malang sebesar 0,04 persen.

Dalam laporannya, Kepala BPS Suryamin mengatakan, terjadinya deflasi pada bulan Januari tersebut merupakan deflasi yang ketiga kalinya terjadi dalam bulan Januari sejak tahun 1973. Sebelumnya deflasi terjadi pada Januari 1973 sebesar 1,65 persen, dan Januari 2009 sebesar 0,07 persen, sementara selebihnya terjadi inflasi.

Rendahnya tingkat inflasi pada Januari 2015 sudah diprediksi sebelumnya oleh sejumlah pihak, termasuk pemerintah dan Bank Indonesia. Turunnya harga BBM sebanyak dua kali pada awal tahun menjadi faktor utama terjadinya deflasi pada Januari 2015, hal ini terlihat dari data yang disajikan dalam laporan Berita Resmi Statistik oleh Kepala BPS, yang menunjukkan bahwa Kelompok Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan mengalami deflasi sebesar 4,04 persen, dengan andil terhadap pembentukan deflasi sebesar 0,78 persen.

Sementara itu, menurut kelompok komponen, deflasi pada Januari 2015 berasal dari administered price atau harga yang diatur pemerintah, sebesar 3,51 persen, sedangkan sisanya mengalami inflasi yaitu volatile food sebesar 0,55 persen dan komponen inti sebesar 0,61 persen.

Masih terdapatnya efek penurunan harga BBM yang terjadi selama Januari 2015 terhadap penyesuaian tarif angkutan umum serta sejumlah komoditas lainnya, diprediksi akan menyebabkan nilai inflasi pada Februari masih rendah.

Berikut ini adalah daftar komoditas yang memberikan andil dalam pembentukan tingkat inflasi Januari 2015:

Pendukung Deflasi

  1. Bensin, andil -0,71 persen, perubahan penurunan harga sebesar -15,33 persen, dikarenakan penurunan harga BBM pada awal tahun.
  2. Cabai merah, andil -0,22 persen, perubahan -24,73 persen, dikarenakan meningkatnya pasokan cabai di pasaran serta telah memasuki musim panen.
  3. Tarif angkutan dalam kota, andil -0,07 persen, perubahan -2,2 persen, dikarenakan turunnya harga BBM.
  4. Tarif angkutan udara, andil -0,07 persen, perubahan -10,84 persen, dikarenakan kurangnya permintaan jasa angkutan udara.
  5. Cabai Rawit, andil -0,06 persen, perubahan -17,7 persen, dikarenakan meningkatnya pasokan dikarenakan memasuki musim panen di sejumlah sentra produksi.
  6. Solar, andil -0,02 persen, perubahan -8,08 persen, dikarenakan penurunan harga BBM.

 

Penghambat deflasi

  1. Daging ayam ras, andil 0,09 persen, perubahan kenaikan harga sebesar 7,2 persen. Dikarenakan rendahnya pasokan ternak.
  2. Ikan segar, andil 0,08 persen, perubahan 1,9 persen, dikarenakan cuaca yang kurang baik yang menyebabkan menurunnya tangkapan.
  3. Beras, andil 0,07 persen, perubahan 1,92 persen, dikarenakan masuk masa paceklik.
  4. Telur ayam ras, andil 0,07 persen, perubahan 10,2 persen, dikarenakan kurangnya pasokan dari peternak.
  5. Bahan bakar rumah tangga, andil 0,06 persen, perubahan 3,66 persen, dikarenakan kenaikan harga elpiji 12 kg sebesar Rp 1.500/kg
  6. Emas perhiasan, andil 0,04 persen, perubahan 3,25 persen, dikarenakan mengikuti perubahan harga logam mulia internasional.
  7. Tarif kereta api, andil 0,04 persen, perubahan 25,92 persen, dikarenakan kenaikan pada tarif yang ditetapkan pemerintah 1 Januari 2015, pencabutan Public Service Obligation (PSO), dan dicabutnya subsidi kereta api jarak jauh dan sedang yang dialihkan ke kerata api lokal dan commuter.
  8. Mobil, andil 0,03 persen, perubahan 1,3 persen, dikarenakan naiknya biaya produksi.
  9. Wortel, andil 0,02 persen, perubahan 28,32 persen, dikarenakan berkurangnya pasokan.
  10. Bawang Merah, andil 0,02 persen, perubahan 4,82 persen, dikarenakan berkurangnya pasokan.
  11. Nasi dan Lauk , 0,02 persen, perubahan 1,18 persen, dikarenakan naiknya harga bahan baku.

(Muhammad Hilmansyah, Keasdepan Ekonomi Makro, Keuangan, dan Ketahanan Pangan – Sekretariat Kabinet RI)

Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan (Bag-1)

$
0
0

Oleh: Kukuh Pamuji, Widyaiswara Sekretariat Negara

Foto. 1.  Perkawinan Adat Rusia, Konstantin Egorovick Makowsky (1881) (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto. 1. Perkawinan Adat Rusia, Konstantin Egorovick Makowsky (1881)
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Istana Kepresidenan menyimpan berbagai macam koleksi benda seni yang memiliki nilai yang sangat tinggi. Koleksi benda seni yang keberadaannya tersebar di Istana-istana Kepresidenan selanjutnya kita sebut sebagai ”koleksi benda seni kenegaraan”.  Untuk dapat dikatakan sebagai ”koleksi negara” sebuah koleksi harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya adalah:

(1)      Dibeli dengan Anggaran Belanja Negara, melalui kementerian atau instansi apapun termasuk yang dibeli MPR, DPR, atau lembaga negara, termasuk karya-karya yang dibeli museum dan galeri ”negeri”;

(2)      Yang dibeli atau dibuat oleh perseorangan dan kemudian disumbangkan kepada negara, baik untuk diletakkan di museum, galeri, kantor milik negara, ataupun kediaman resmi pejabat negara;

(3)      Yang diterima sebagai hadiah oleh pimpinan negara, namun oleh pemimpin yang bersangkutan diserahkan kepada negara.

Dengan batasan tersebut, maka koleksi yang berada di Istana Kepresidenan Republik Indonesia dapat disebut sebagai koleksi negara.

Koleksi yang jumlahnya mencapai  angka 15.911 buah (hasil pendataan per 31 Desember 2010 yang dilakukan oleh bagian Museum dan sanggar Seni) saat ini dikelola oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) Republik Indonesia. Pengoleksian benda-benda seni dimulai ketika Pemerintah Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta. Bertempat di Pendopo belakang Gedung Agung, Bung Karno sering mengundang para pelukis dan seniman untuk berdiskusi seputar masalah “Seni”. Dari sinilah kemudian banyak lukisan mereka yang  diberikan sebagai hadiah kepada Bung Karno, maupun dibeli oleh Bung Karno.

Ketika mulai menghuni Istana Merdeka pada akhir 1949, Bung Karno semakin bergairah mengisi dinding-dinding kosong bangunan Istana Merdeka dan Istana Negara. Beliau kemudian mengangkat Dullah, Lee Man Fong, dan Lim Wasim menjadi pelukis Istana, yang bertugas mengatur letak lukisan sekaligus merawatnya.

Perjalanan yang cukup sering dilakukan Bung Karno ke luar negeri ikut memperkaya koleksi benda seni Istana. Seiring dengan perjalanan Pemerintahan Republik Indonesia, koleksi tersebut semakin bertambah dan umumnya diperoleh dari persembahan pimpinan atau kepala negara yang berkunjung ke Indonesia, atau sebaliknya yang dikunjungi oleh Presiden Indonesia.

Untuk mengenal lebih dekat koleksi benda seni kenegaraan seperti yang telah diurakan di atas, pada bagian pertama ini kami tampilkan koleksi lukisan yang tersimpan di Istana Kepresidenan Bogor, yaitu 2 buah lukisan karya pelukis Rusia bernama Konstantin Egorovick Makowsky.

Lukisan yang pertama berjudul Perkawinan Adat Rusia (PRIBITE NEVESTI). Lukisan ini berbahan cat minyak di atas kanvas berukuran 295 X 454 cm dan dibuat pada tahun 1881. Berdasarkan penilaian aset yang dilakukan pada tahun 2011 Lukisan yang terpasang di Gedung Induk (Ruang Kerja Presiden) Istana Bogor ini, bernilai 18.000.000.000,00 (2.000.000 dollar AS).

Perkawinan Adat Rusia merupakan koleksi yang diberikan sebagai hadiah untuk Presiden Soekarno ketika beliau melakukan kunjungan kenegaraan ke Rusia. Pada awalnya lukisan ini tersimpan di Istana Kremlin, kemudian di lepas dari bingkai dan spandramnya untuk dibawa ke Jakarta. Sesuai dengan judulnya lukisan ini menggambarkan suasana upacara perkawinan yang dilaksanakan disebuah tempat di Rusia.

Beberapa keistimewaan dari koleksi lukisan ini antara lain adalah merupakan koleksi lukisan yang sangat  langka. Makowsky hanya pernah membuat tiga lukisan berukuran besar. Dua buah lukisan kemudian diperoleh Bung Karno dan menjadi koleksi benda seni kenegaraan milik Indonesia, dan satu buah lagi menjadi koleksi milik Inggris.  Keistimewaan yang lain adalah ketika lampu di ruangan dimana lukisan ini disimpan (R. Kerja Presiden) dinyalakan, kemudian lampu tersebut dimatikan maka lampu yang terdapat pada lukisan ini terlihat menyala. Kesan ini ditimbulkan oleh efek 3 dimensi yang menjadikan lukisan menjadi hidup dan memancarkan suasana yang elegan serta menimbulkan suasana sacral sebuah pernikahan.

Lukisan ini sudah terpasang sejak Presiden Soekarno masih berkantor di Istana Kepresidenan Bogor dan hingga saat ini letak lukisan tersebut belum berubah, masih di tempat semula seperti sedia kala. Selain lukisan, koleksi benda seni kenegaraan yang lain yang tersimpan di R. Kerja Presiden ini  juga masih dipertahankan, seperti dapat dilihat dalam foto berikut.

Gedung Induk Ruang Kerja Presiden1

Lukisan kedua yang juga merupakan karya Makowsky adalah Lukisan yang berjudul Di Kayangan (Vakchanalia). Lukisan ini berbahan cat minyak di atas kanvas dengan ukuran 273 X 398 cm. Lukisan ini memiliki usia lebih muda 10 tahun dari lukisan Perkawinan Adat Rusia, karena lukisan ini baru dibuat pada tahun 1891. Selain lebih muda ukuran lukisan ini sedikit lebih kecil. Berdasarkan penilaian aset yang dilakukan pada tahun 2011, lukisan Pesta Anggur bernilai 18.000.000.000,00 (2.000.000 juta dollar AS).

Khayangan1

Lukisan ini memiliki keterkaitan yang erat dengan mitologi Yunani, dimana dalam lukisan tersebut menggambarkan tokoh yang dikenal dengan nama Satir (bahasa Yunani), yaitu makhluk penghuni hutan dan pegunungan dan memiliki hubungan yang dekat dengan Dewa Pan dan Dionosis. Biasanya mereka berjenis kelamin pria. Pemimpin mereka bernama Silenos, Dewa kecil yang mengatur kesuburan.

Karakter “Satir” dalam mitologi Yunani sering disamakan dengan “Faun” dalam mitologi Romawi. Mereka sering dilukiskan sebagai manusia bertanduk dan berkaki kambing, rambutnya keriting, hidungnya pesek, ekornya tebal dan panjang, telinganya meruncing atau kadang-kadang seperti telinga kuda. Satir yang masih bocah belum memiliki tanduk yang sempurna sedangkan Satir yang tua sudah memiliki tanduk kambing yang sempurna. Biasanya Satir yang sering muncul dalam dongeng-dongeng berjenis kelamin pria, namun kadang-kadang ada Satir betina.

Satir biasanya senang minum anggur, sehingga akrab dengan “Dewa Dionisos” yaitudewa anggur dan pesta. Dia adalah putra Zeus dan Semele, anak perempuan Kadmos dan Harmonia. Dia dikenal pula sebagai Bakkhos dan oleh bangsa Romawi biasa disebut Liber. Tanaman anggur dan ivy adalah kesukaan Dionisos. Hewan kesukaannya adalah lumba-lumba, ikan, dan kambing (karena dulu ia pernah diubah menjadi anak kambing).

Mereka juga senang bermain seruling, castanet, bagpipe, atau simbal dan tergila-gila untuk menari bersama para nimfa yang mereka kagumi dan mereka idolakan. Dalam mitologi Yunani, nimfa atau nimfeadalah salah satu jenis makhluk legendaris yang berwujud wanita dan diasosiasikan dengan lokasi atau tempat tertentu. Mereka diidentikkan dengan peri, atau bidadari yang tinggal di alam bebas.

Berbeda dengan dewa, nimfa biasanya dianggap sebagai roh alam yang merupakan perwujudan dari alam itu sendiri, dan biasanya digambarkan sebagai gadis cantik yang senang bernyanyi dan menari. Mereka dipercaya tinggal di hutan, sungai, mata air, lembah, pepohonan, dan gua. Mereka tidak dapat menua dan tidak dapat terkena penyakit. Selain itu, mereka juga dapat melahirkan dewa jika berhubungan seksual dengan dewa. Meskipun demikian, nimfa tidak sepenuhnya abadi, dan mereka dapat mati dengan berbagai cara.

Mereka memiliki tarian khusus yang mereka sebut Sikinis. Satir tidak hidup abadi sehingga terkena dampak usia tua seperti manusia. Satir jantan yang sudah tua berjenggot dan kepalanya botak. Perilakunya jelek dan tidak senonoh seperti yang digambarkan dalam mitologi Yunani.

Lukisan ini  pernah dikonservasi pada tahun 2004 oleh reservator yang didatangkan langsung dari Rusia bernama Vladimir N. Anisimov di Istana Bogor.Yang menarik dari lukisan pesta anggur ini antara lain adalah merupakan hadiah dari rakyat Rusia yang disampaikan melalui Presiden Nikita Kurchev. Dari hasil riset yang dilakukannya, Vladimir N. Anisimov mengatakan bahwa lukisan Makowsky di Rusia sudah sangat langka dan rata-rata berukuran kecil, sehingga lukisan Perkawinan Adat Rusia dan Di Kayangan merupakan benda seni yang sangat berharga. Beberapa pengamat berkesimpulan bahwa 2 buah karya Makowsky ini merupakan karya masterpiece.

PERPPU Dewan Pengawas KPK

$
0
0

RobiOleh: Roby Arya Brata*

Konflik kelembagaan antar institusi penegak hukum (termasuk antar pimpinannya) khususnya antar KPK dan POLRI baik yang sekarang sedang terjadi maupun berpotensi terjadi lagi di masa yang akan datang harus segera diakhiri. Konflik demikian telah mengganggu stabilitas politik dan pemerintahan. Selain itu, kegagalan atau ketidakhati-hatian dalam menangani konflik antar KPK dan POLRI dapat meruntuhkan dukungan dan kepercayaan masyarakat kepada komitmen Presiden Joko Widodo/Pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berintegritas.

Ada beberapa opsi kebijakan yang ditawarkan untuk mengatasi konflik kelembagaan antar institusi penegak hukum khususnya antar KPK dan POLRI. Salah satu opsi itu adalah dikeluarkan PERPPU untuk memberikan hak imunitas bagi pimpinan KPK. Saya menentang opsi ini karena berlawanan dengan UUD 1945, yaitu prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) dan karenanya berpotensi digugat ke MK. Usul ini juga berbahaya karena KPK bisa menjadi sewenang-wenang dan berada di atas hukum. Hak imunitas tersebut berpotensi disalahgunakan oleh oknum pimpinan KPK.

Tanpa hak imunitas pun sekarang kita saksikan sendiri semua pimpinan KPK dituduh telah melakukan pelanggaran hukum, etika atau kejahatan serius. Pihak berwajib tentu tidak boleh mengabaikan tuduhan yang serius ini. Tentu pelapor memiliki bukti yang kuat yang mendasari tuduhannya itu, karena kalau tidak ia bisa terancam pidana melakukan pencemaran nama baik atau sangkaan/laporan palsu.

Jika terdapat cukup bukti pihak berwenang, dalam hal ini pihak kepolisian, wajib memroses laporan terhadap para oknum pimpinan KPK tersebut. Akan tetapi jika suatu saat pihak penyidik kepolisian menghentikan penyidikan tanpa alasan yang sah, penuntut umum atau pihak ketiga, sesuai KUHAP, dapat mempraperadilkan penghentian penyidikan tersebut.

Bila tuduhan-tuduhan terhadap oknum pimpinan KPK kemudian ternyata benar maka hipotesis saya selama ini (sekali lagi) membuktikan kebenarannya: bahwa tanpa kerangka akuntabilitas yang kuat atau tanpa dewan pengawas eksternal independen KPK akan rawan disalahgunakan atau berpotensi menyalahgunakan kewenangannya.

Tanpa kerangka akuntabilitas yang kuat demikian potensi penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hukum dan etika oleh oknum pimpinan KPK akan terus terjadi di masa depan. Karena itu, saya tidak terkejut bila sekarang ada laporan-laporan/tuduhan pelanggaran hukum, etika atau kejahatan yang dilakukan oleh oknum pimpinan KPK. Saya sendiri cenderung percaya terhadap (sebagian besar) tuduhan-tuduhan itu. Kita mesti ingat beberapa oknum pimpinan KPK sekarang sebenarnya memang tidak direkomendasikan oleh panitia seleksi calon pimpinan KPK karena menduduki ranking yang rendah.

Kisruh KPK mesti (sekali lagi) menjadi pelajaran yang berharga bagi panitia seleksi untuk memilih calon pimpinan KPK yang berintegritas dan tidak memiliki masalah hukum (di masa lalu). Pimpinan KPK yang bermasalah dengan integritas dan hukum akan cenderung tidak independen, tebang pilih, dan menyalahgunakan kewenangan/kedudukannya. Ia akan cenderung melindungi politisi dan partai tertentu, namun di sisi lain ia akan menzhalimi politisi dan partai lainnya. Akan tetapi, tidak ada jaminan kelak ia akan terus melindungi politisi dan partai itu; ia akan berbalik menzhalimi dan “menyerang” politisi dan partai yang tadinya ia lindungi itu jika hal tersebut menguntungkan dirinya. Baginya KPK tidak lebih hanyalah alat politik untuk melindungi kepentingan personal dan kelompoknya serta untuk memenuhi ambisi pribadi dan syahwat kekuasaannya.

Panitia seleksi juga harus ekstra hati-hati dalam memilih calon pimpinan KPK yang profesinya bersinggungan dengan mafia peradilan (chronic judicial corruption). Korupsi dalam mafia peradilan sudah begitu kronis dan sistemik sehingga sulit baginya menghindar dari korupsi yang sistemik tersebut. Dalam korupsi yang sistemik demikian, jika ia ingin hidup/bertahan (survive) dalam profesinya ia akan “terpaksa” (atau dengan sengaja) terlibat atau menjadi bagian integral dalam mafia peradilan itu. Akan tetapi tentu masih ada (sedikit) orang yang berprofesi di bidang ini yang memiliki integritas.

Saya sungguh prihatin di bawah kepemimpinan KPK sekarang KPK mengalami proses delegitimasi dan pelemahan baik internal maupun eksternal. Lihatlah komentar-komentar masyarakat yang mem-bully dan menghujat (oknum pimpinan) KPK. KPK sedang menuju proses public distrust. KPK harus diselamatkan (dari oknum pimpinannya yang bermasalah)! Untuk menyelamatkan KPK dari krisis kepemimpinan dan menurunnya kepercayaan masyarakat saya menyerukan agar kepemimpinan KPK sekarang seluruhnya (akan lebih baik juga (mantan?) juru bicaranya) mengundurkan diri. Tanpa mereka KPK tidak akan lumpuh (justru akan selamat) karena kita akan dengan mudah mengatur penggantian pimpinan (sementara) KPK dengan yang lebih baik melalui PERPPU sambil segera memilih pimpinan KPK yang definitif. Akan tetapi, kita harus menolak keras penunjukan pelaksana tugas pimpinan (sementara) KPK yang bermasalah dan tidak independen.

Karena itu, untuk mengatasi krisis kepemimpinan dan menyelamatkan KPK pembentukan komisi etik merupakan suatu keharusan dan kebutuhan yang mendesak. Akan tetapi, untuk mencegah terjadinya hasil keputusan komisi etik yang (menurut saya) bias dan bermasalah dalam kasus bocornya Sprindik Anas Urbaningrum sebelumnya, kita harus menolak masuknya unsur pimpinan KPK dalam komisi ini. Tidak mungkin dan tidak masuk akal unsur pimpinan KPK masuk dalam komisi ini terlebih jika mereka juga (berpotensi) bermasalah dengan hukum dan etika. Apalagi, para pimpinan KPK (yang bermasalah) itu sendiri menyatakan bahwa mereka “solid”―suatu keadaan “conflict of interest” yang berpotensi saling melindungi. Saya mengusulkan tokoh-tokoh yang cukup kredibel berikut untuk menjadi anggota komisi etik KPK: Prof.Dr. Romli Atmasasmita, Prof.Dr. Syafi Ma’arif, Prof.Dr. Komaruddin Hidayat, Prof.Dr. Imam Prasodjo, dan Prof.Dr Rhenald Khasali.

Di sisi lain kita juga harus mendorong agar proses hukum yang adil terhadap pimpinan KPK segera diselesaikan. Bila kelak mereka terbukti mereka harus dihukum sesuai kesalahannya. Akan tetapi jika ternyata tuduhan-tuduhan itu hanyalah rekayasa mereka harus segera dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya; sebaliknya, mereka yang merekayasa harus diberi sanksi yang berat.

Masyarakat harus terus mengawasi jalannya sidang etika dan proses peradilan dengan sikap yang adil, bijaksana dan obyektif. Mereka tidak boleh menekan apalagi mengintervensi jalannya proses itu. Mereka juga tidak boleh terhasut oleh gerakan dan penciptaan opini publik yang dilakukan oleh beberapa LSM, kelompok, dan media yang cenderung provokatif, tidak obyektif, tidak adil, dan memiliki agenda tersembunyi. Akan tetapi, pengawasan yang lebih efektif adalah pengawasan yang dilakukan oleh pegawai KPK sendiri. Pegawai KPK tidak boleh berdiam diri dan membiarkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran etika yang dilakukan oleh oknum pimpinan KPK.

Namun demikian, untuk dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan efektif pimpinan KPK memang harus dilindungi dari proses pidana dan perdata yang sifatnya rekayasa, kebencian dan balas dendam (malicious civil and criminal proceedings). Ia tidak boleh dipidana karena menjalankan tugasnya. Hal inilah yang diserukan dalam “The Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agencies” tahun 2012:

“ACA [anti-corruption agency] heads and employees shall have immunity from civil and criminal proceedings for acts committed within the performance of their mandate. ACA heads and employees shall be protected from malicious civil and criminal proceedings.”

Jadi istilah yang tepat bukanlah kekebalan hukum, karena memang tidak ada warga negara yang kebal hukum. Barangkali istilah yang lebih tepat adalah “perlindungan hukum” (legal protection) atau kalau mau dipaksakan menggunakan kata imunitas mungkin “imunitas terbatas/sementara” (limited/temporary legal immunity). Misalnya, selama menjabat pimpinan KPK (untuk sementara) ia tidak bisa diproses pidana atas dugaan tindak pidana dan gugatan perdata yang ia lakukan sebelum menjabat pimpinan KPK. Namun, tuduhan dan gugatan ini bisa diproses setelah ia tidak lagi menjabat pimpinan KPK.

Akan tetapi, pimpinan KPK tidak kebal hukum terhadap kejahatan/tindak pidana yang ia lakukan selama ia menjabat pimpinan KPK, misalnya melakukan korupsi atau kejahatan serius yang diancam pidana penjara di atas lima tahun. Namun, pimpinan KPK tidak boleh begitu dengan mudah diproses pidana atau menjadi tersangka dan diperlakukan seperti maling ayam atau penjahat jalanan. Ia harus memperoleh jaminan keamanan melaksanakan tugas dan jabatan selama menjabat dan perlindungan (dari rekayasa hukum).  Selain itu, pimpinan KPK hanya dapat diganti melalui proses yang sama seperti penggantian pimpinan lembaga tinggi hukum lain, misalnya penggantian ketua Mahkamah Agung.  Semua ini ditegaskan dalam “The Jakarta Principles” :

   “Anti-corruption agency heads shall have security of tenure and shall be removed only through a legally established procedure equivalent to the procedure for the removal of a key independent authority specially protected by law (such as the Chief Justice).”

Pimpinan dan pegawai KPK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus benar-benar taat pada hukum. Mekanisme akuntabilitas eksternal yang kuat dan efektif harus dirancang agar mereka taat pada hukum dan tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Seperti dinyatakan dalam “The Jakarta Principles”, KPK “…shall strictly adhere to the rule of law and be accountable to mechanisms established to prevent any abuse of power.”

Opsi mekanisme akuntabilitas eksternal yang paling baik agar KPK independen, berintegritas dan efektif adalah dengan menerbitkan PERPPU untuk membentuk dewan pengawas eksternal KPK yang independen. Sesungguhnya, pembentukan Dewan Pengawas KPK sudah pernah saya usulkan (Pikiran Rakyat, 7 Januari 2008, lebih detail lagi di Koran Tempo, 30 Maret 2012). Ide pembentukan Dewan Pengawas KPK ini juga sudah dimasukkan dalam  Rancangan Undang-Undang KPK usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2012.

Analisis kebijakan ini mengkaji lebih mendalam bagaimana seharusnya Dewan itu dirancang (insitutional design). Tanpa Dewan Pengawas yang dirancang dengan baik pembusukan internal KPK yang telah, sedang, dan sangat mungkin terjadi di masa depan akan terus dilakukan.

Desain kelembagaan

Tanpa pengawasan yang efektif, KPK sangat rawan terhadap berbagai bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Karena itu, sebelum struktur kelembagaan dan kewenangan Dewan Pengawas dirancang, perlu diidentifikasi terlebih dahulu berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan itu.

Banyak potensi pelanggaran hukum, kepatutan, dan kode etik (misconduct) yang dapat dilakukan pimpinan dan pegawai KPK. KPK dapat melakukan discriminative investigation, misalnya dengan tidak mengungkap kasus tertentu, tidak menetapkan seseorang menjadi tersangka, atau tidak menahan tersangka padahal terdapat alasan kuat untuk itu. KPK juga dapat melambatkan, menunda, menghalangi (obstruction of justice) atau mendistorsi proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan kasus korupsi tertentu.

Penyidik dan penuntut KPK dapat menghancurkan, menghilangkan, dan merekayasa barang bukti. Mereka juga dapat berkonspirasi untuk melemahkan atau merekayasa tuntutan dan dakwaan untuk meringankan hukuman atau bahkan membebaskan terdakwa. Selain itu, mereka dapat melanggar hukum acara pidana dan standar operating procedure (SOP) yang sudah ditetapkan. Pimpinan dan pegawai KPK dapat melanggar indepedensi KPK. Dengan misi tersembunyi, mereka juga dapat menghambat kinerja KPK dengan memecah belah soliditas kepemimpinan KPK dan menciptakan suasana kerja yang tidak kondusif.

KPK harus dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan dan keputusan yang dibuatnya. Karena itu, kerangka akuntabilitas yang kuat dan komprehensif harus didesain agar KPK dapat bekerja optimal sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan hukumnya. KPK harus tunduk pada mekanisme akuntabilitas publik, politik, manajerial, vertikal, dan horisontal. Komite etik ad hoc dan pengawas internal KPK tidak cukup dan tidak akan mampu mencegah penyimpangan dan pembusukan KPK itu, sebagaimana yang terjadi dalam krisis kepemimpinan KPK sekarang.

Dewan Pengawas harus diberi wewenang untuk menjaga dan mengawasi agar KPK benar-benar bertindak berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku. Ia adalah penjaga the rule of the game, pengawas kode etik dan independensi KPK. Dewan tidak mentolerir underperformance dan segala bentuk pelemahan internal KPK. Ia akan menindak penyidik dan penuntut KPK yang melanggar SOP dan hukum acara pidana dalam menangani suatu kasus. Karena itu, Dewan berwenang melakukan evaluasi dan audit kinerja, juga menyarankan corrective action. Dewan Pengawas dapat menyelidiki mengapa Pimpinan KPK tidak segera menahan tersangka.

Dewan Pengawas juga harus berwenang memberikan sanksi yang kuat (punitive power). Misalnya, Dewan dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memecat Pimpinan KPK yang melakukan pelanggaran berat, seperti menghalangi pengungkapan kasus, melanggar independensi KPK, melakukan kejahatan dan korupsi.

Akan tetapi, mekanisme checks and balances harus diterapkan atas rekomendasi pemecatan Pimpinan KPK ini. Apabila Presiden setuju atas rekomendasi Dewan Pengawas, ia meneruskan rekomendasi itu ke DPR. Jika DPR juga setuju atas rekomendasi tersebut, maka untuk menghemat anggaran, waktu, dan menjaga kinerja KPK, DPR dapat menggunakan mekanisme penggantian antar waktu Pimpinan KPK.

Dalam penggantian antar waktu ini, DPR langsung menetapkan calon Pimpinan KPK yang menduduki ranking teratas (ranking enam dan seterusnya) namun tidak lolos dalam seleksi di DPR. Kemudian Presiden mengangkat pengganti Pimpinan KPK itu. Karena itu, panitia seleksi Pimpinan KPK wajib membuat perankingan calon pimpinan KPK, dan idealnya DPR menerima perankingan ini. Namun bila DPR tidak menerima perankingan panitia, ia dapat membuat perankingan sendiri.

Sebaliknya, bila Presiden dan DPR tidak setuju atas rekomendasi pemecatan dari Dewan Pengawas maka Pimpinan KPK tersebut dapat aktif bekerja kembali. Jika Presiden tidak setuju namun DPR setuju pemecatan, maka DPR menggunakan sistem perankingan di atas dan Presiden melantik pengganti Pimpinan KPK itu. Pimpinan KPK yang diusulkan dipecat dapat melakukan pembelaan di depan DPR.

Namun demikian, apabila integritas dan kinerja Pimpinan KPK sangat baik, Dewan dapat merekomendasikan kepada DPR maksimal dua orang Pimpinan KPK untuk dipilih kembali.

Untuk mencegah terjadinya kriminalisasi dan pelemahan KPK oleh oknum pimpinan institusi penegak hukum lain, tindak pidana dan korupsi yang dilakukan oleh pimpinan dan pegawai (penyidik dan penuntut umum) KPK hanya dapat disidik dan dituntut oleh Dewan Pengawas. Selain untuk bahan evaluasi dan audit kinerja, karena itu, Dewan memiliki akses penuh terhadap informasi dan dokumen KPK. Untuk kepentingan pemeriksaan Dewan, setiap keputusan Pimpinan KPK harus dicatat dan dimungkinkan voting dan dissenting opinion.

Penyidik dan penuntut KPK hanya dapat dipecat atau dikembalikan ke instansi asal oleh Dewan, atas usulan Pimpinan KPK atau inisiatif Dewan. Mereka dipecat karena kinerja yang buruk, pelanggaran hukum, SOP, dan kode etik. Pegawai administrasi KPK, dengan alasan yang sah, cukup diberhentikan oleh Pimpinan KPK.

Seleksi anggota Dewan harus dirancang dengan hati-hati sehingga hanya tokoh masyarakat yang dihormati, independen, dan kompeten yang dapat menjadi anggota Dewan. Panitia seleksi dan anggota Dewan tidak boleh berasal dari lembaga yang memiliki konflik kepentingan dengan Dewan dan KPK. Calon anggota Dewan diusulkan oleh koalisi masyarakat sipil yang kredibel, diseleksi oleh panitia, dan dilantik oleh Presiden.

Pengambilan keputusan Dewan dilakukan dengan konsensus, transparan, dan terbuka untuk umum (public inquiry). Akan tetapi, atas usul satu dari lima anggota Dewan, keputusan harus diambil dengan voting. Keputusan dicatat dan dimungkinkan dissenting opinion.

Dewan tidak berwenang mengintervensi proses penyidikan dan penuntutan yang sedang dilakukan oleh KPK. Pimpinan, penyidik, dan penuntut KPK dapat mengadukan dugaan pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan anggota Dewan kepada suatu dewan kehormatan ad hoc.

* Anggota Pendiri Kelompok Kajian Korupsi di Negara-negara Asia, Asian Association for Public Administration dan penulis buku “Memperkuat Negara dan Pemerintahan: Analisis Antikorupsi, Hukum dan Kebijakan”, 2014.

 

Bagaimana Melakukan Reviu Rancangan Perturan Perundang-Undangan?

$
0
0

PurnomoOleh: Purnomo Sucipto, Pemerhati Penyusunan Peraturan Perundang-undangan

Penyusunan dokumen Peraturan Perundang-undangan (PUU) meliputi proses pembuatan judul, pembukaan, batang tubuh, penutup, penjelasan, dan lampiran. Setelah melalui proses ini, seorang perancang PUU melakukan reviu menyeluruh atas dokumen rancangan. Berdasarkan reviu tersebut dibuat perbaikan untuk selanjutnya menjadi draf rancangan utuh yang siap dibahas oleh pihak yang berkepentingan. Reviu tersebut dilakukan baik untuk rancangan yang dibuat oleh si perancang sendiri maupun rancangan yang dibuat oleh orang lain.

Proses reviu ini dimaksudkan agar suatu rancangan PUU telah memenuhi kaidah PUU yang baik, seperti:

  1. berisi materi muatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan pengaturan;
  2. memenuhi syarat bentuk dan format sesuai kaidah yang berlaku (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan);
  3. kesesuaian antar ketentuan (pasal) di dalamnya;
  4. kesesuaian dengan PUU yang lain; dan
  5. penggunaan tata bahasa yang terhindar dari kemungkinan multitafsir.

Pekerjaan mereviu PUU umumnya dilakukan oleh pegawai/staf di bagian/biro hukum di kementerian/lembaga pemerintah/lembaga swasta. Namun saat ini, seiring dengan makin meningkatnya kesadaran akan perundang-undangan, tidak hanya mereka saja yang melakukan pekerjaan itu, tetapi juga komunitas masyarakat lain yang berkepentingan. Saat ini, reviu rancangan PUU tidak hanya dilakukan sarjana hukum, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat umum yang bukan sarjana hukum. Hal ini merupakan perkembangan yang menggembirakan.

Untuk melakukan reviu PUU beberapa hal yang perlu dilaksanakan.

1.         Membuat Ringkasan (Pokok-Pokok Isi) Rancangan PUU

Ringkasan rancangan PUU berisi rangkuman dari ketentuan yang diatur dalam rancangan PUU dengan bahasa yang bukan bahasa pasal, melainkan bahasa narasi yang lebih mudah dimengerti pembacanya. Membuat ringkasan bukanlah merupakan keharusan. Namun, membuat ringkasan akan bermanfaat terutama untuk peraturan yang mengatur substansi yang kompleks. Kemanfaatan membuat ringkasan rancangan akan berguna dalam banyak hal.

Pertama, sebagai alat ukur apakah suatu rancangan dapat dimengerti. Apabila seorang perancang saja tidak dapat memahami isi rancangan, bagaimana dengan pembaca umum yang tidak akrab dengan rancangan itu. Kelemahan seperti konsep yang tidak jelas, pengaturan yang buruk, penuangan kalimat yang tidak apik, atau ketiganya menjadi terlihat dengan membuat ringkasan ini. Ketika ternyata sulit membuat ringkasan, maka perbaikan besar atas suatu rancangan perlu dilakukan.

Kedua, sebagai alat ukur apakah suatu rancangan telah menggambarkan apa yang dimaksudkan dan dipikirkan oleh perancang. Ketika ternyata berbeda atau tidak sesuai, berarti rancangan perlu diperbaiki.

Ketiga, ketika menyiapkan ringkasan, perancang mungkin menyadari bahwa bahasa yang digunakan terlalu tinggi yang sulit dimengerti pembaca umum. Perancang sebaiknya menyesuaikan penggunaan bahasa yang digunakannya dengan bahasa yang dapat dimengerti masyarakat pada umumnya (ordinary person).

Keempat, ringkasan tersebut dapat menjadi pegangan bagi perancang pada tahap selanjutnya dari proses pembentukan PUU.

2.         Membuat Bagan Alur (Flowchart)

Membuat flowchart adalah pekerjaan merangkai diagram skema dari pengaturan di dalam rancangan PUU. Membuat flowchart mempunyai beberapa kemanfaatan:

Pertama, membantu perancang menguasai substansi rancangan secara cepat karena dengan flowchart, aliran/kronologi dari ketentuan-ketentuan dalam rancangan dapat lebih mudah diikuti. Seringkali ditemukan rancangan yang tidak tersusun secara sistematis. Rancangan ini nantinya dapat menyulitkan pembaca untuk dapat memahaminya dan pada akhirnya rancangan yang ditetapkan tidak dapat dilaksanakan sesuai tujuan.

Kedua, ketika menyusun flowchart, perancang dipaksa untuk menjawab pertanyaan simulasi seperti “apa-mengapa-kapan-dimana-siapa-bagaimana” “apabila ya bagaimana, apabila tidak bagaimana”. Atau “apabila…, maka…”. Flowchart juga akan membantu menggambarkan konsekuensi dari suatu ketentuan dan akan menginventarisasi pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab.

Ketiga, ketika ternyata perancang menemukan bahwa flowchart menunjukkan pengaturan yang tidak sesuai dengan maksud pengaturan, maka hal ini berarti pengaturan itu masih bermasalah dan perlu diperbaiki.

Adapun langkah-langkah membuat flowchart sebagai berikut:

  • Secara sederhana membuat flowchart dimulai dengan membagi materi pokok ke dalam kelompok-kelompok yang dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. Contoh:
  1. Pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
  2. Pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
  • Buatlah pertanyaan terhadap kelompok-kelompok tadi dengan  dalam bentuk pertanyaan “apa-mengapa-kapan-dimana-siapa-bagaimana” “apabila ya bagaimana, apabila tidak bagaimana”. Atau “apabila…, maka…”.
  • Buatlah jawaban atas masing-masing pertanyaan berdasarkan pertanyaan di atas.
  • Buatlah identifikasi konsekuensi dari jawaban yang ada.
  • Selesaikan chart sampai didapat kesimpulan akhir.

3.         Reviu Substansi

Setelah suatu rancangan selesai disiapkan, kemudian proses berpikir dimulai. Dalam benak perancang mestinya terdapat pertanyaan apakah rancangan ini akan bisa diterapkan? Apakah rancangan sesuai dengan tujuan pengaturan? Apakah rancangan bisa diterima masyarakat? Perancang sebaiknya mereviu rancangan dengan berbagai pertanyaan:

  • Apakah rancangan telah mengatur semua ketentuan yang perlu diatur?
  • Apakah rancangan akan memenuhi syarat dan kaidah bentuk dan format?
  • Apakah rancangan mengandung penafsiran ganda yang dapat berakibat fatal?
  • Apakah rancangan mengandung celah kelemahan yang memungkinkan pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan celah itu untuk kepentingan yang tidak semestinya?
  • Apakah rancangan konsisten secara internal?
  • Apakah hak, tugas, dan konsekuensi hukum pengaturan di dalam rancangan diatur secara jelas dan dan tegas.
  • Apakah tujuan rancangan dituangkan secara benar?

Reviu sustansi dilakukan dengan membandingkan ketentuan dalam rancangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan peraturan yang lebih rendah (vertical review) dan membandingkan dengan peraturan yang sama tingkatannya (horizontal review). Perancang berusaha mencari ketidakkonsistenan rancangan secara vertikal dan secara horisontal. Upaya ini dilakukan untuk mencegah tumpang-tindih rancangan dengan peraturan yang ada.

Reviu bersama dengan Pihak Lain

Membuat rancangan awal dalam sebuah tim merupakan pekerjaan yang membosankan, membuat frustasi, dan tidak produktif. Oleh karena itu, pada tahap awal perancangan sebaiknya dilakukan sendiri. Setelah rancangan selesai baru disampaikan kepada pihak yang berkepentingan (stakeholders). Kepada mereka jangan diberikan rancangan yang rumit. Cukup dijelaskan bahwa rancangan telah menggambarkan tujuan dan keinginan mereka. Perancang dapat bersama mereka mereviu ketentuan demi ketentuan dalam rancangan, menjelaskan arti dari setiap ketentuan dan memastikan rancangan itu sesuai dengan keinginan mereka. Sebaiknya dibuat rangkuman tertulis sehingga dapat dijadikan bagian dari arsip sejarah (history) suatu PUU.

4.         Reviu Tata Bahasa dan Pemilihan Kata

Tugas mereviu tata bahasa dan pemilihan kata lebih baik tidak dilakukan sendiri oleh perancang. Perancang tidak akan dapat berpikir adil dan menyadari kelemahan dan kekurangan hasil karya mereka. Tugas ini sebaiknya dilakukan oleh perancang lain. Dengarkan kritik dan saran dari perancang lain itu. Apabila pembaca memahami ketentuan secara tidak jelas, maka tidak perlu membantah, melainkan harus segera dipikirkan perbaikannya.

Untuk melaksanakan reviu ini dapat digunakan alat pemeriksa tata bahasa dan pilihan kata (grammar and spelling checker) yang tersedia dalam sistem words processor. Alat ini akan mengidentifikasikan kesalahan-kesalahan dan membuat saran perbaikan. Perancang dalam mereviu perlu mempertimbangkan saran perbaikan tersebut. Perancang perlu melihat penggunaan kalimat bentuk pasif, membuat perincian yang tidak tepat, dan kalimat panjang yang tidak efisien. Perlu juga dipertimbangkan untuk menggunakan kalimat sederhana dan lugas (plain language) dalam rancangan.

Untuk mencapai kejelasan dan kesederhanaan kalimat, alat lain yang yang perlu diperkenalkan dan digunakan untuk memeriksa tata bahasa dan ejaan adalah readability index. Alat ini dipergunakan di berbagai institusi di Amerika Serikat. Meskipun masih diperdebatkan oleh ahli bahasa dan ahli hukum, kebanyakan perancang memandang readability index sebagai alat yang berguna dengan beberapa kelemahan. Dengan alat ini, apabila sebuah rancangan memiliki readability index yang sangat tinggi maka seharusnya rancangan tersebut diperbaiki.

5.         Membaca Kembali Rancangan

Setelah semua koreksi dan perbaikan dibuat bedasarkan proses reviu di atas dan rancangan telah di-print, rancangan tersebut belumlah selesai sebelum dibaca kembali untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang masih ada. Tugas ini sebaiknya dikerjakan oleh seseorang yang tidak menyusun rancangan yang bersangkutan.

Membaca kembali rancangan perlu dilakukan karena apabila terjadi kesalahan yang tidak dikoreksi dan diperbaiki sekecil apapun, pembaca akan dapat menyimpulkan bahwa perancang tersebut tidak kompeten dan profesional. Meskipun ada alat bantu grammar and spelling checker dan readability index di atas, perancang tidak dapat mengandalkannya sepenuhnya. Readability index tidak menjamin rancangan dapat mudah dipahami karena beberapa faktor, seperti panjangnya kalimat, jumlah suku kata dalam tiap kata dan keterkenalan kata tidak dapat disarankan oleh alat itu. Readability index tidak mengukur apakah subtansi dari kalimat masuk akal, tidak mengukur apakah rancangan mengikuti alur logika, dan juga tidak mengukur struktur tata bahasa dari kalimat.

Darurat Infrastruktur Jalan

$
0
0

jalan-tol-sumatera-istime-750x422Oleh: Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*)

Seiring datangnya musim penghujan, para pengguna kendaraan pribadi khususnya roda dua diwajibkan untuk lebih berhati-hati mengingat jalanan ibu kota banyak yang rusak dan nyaris hancur. Tak terhitung sudah berapa banyak jatuh korban akibat kondisi tersebut. Keterbatasan dana APBD kemudian ditengarai menjadi penyebab rendahnya alokasi perawatan dan perbaikan jalan, meskipun beberapa pihak justru menganggap permasalahan mendasarnya tidak terkait anggaran semata. Molornya proses tender, ketidakseriusan Pemerintah Daerah (Pemda) serta aroma korupsi kemudian menyeruak menjadi hal yang patut dicermati. Namun demikian, apapun penyebabnya masyarakat akan tetap menjadi pihak yang paling dirugikan.

Demi mencegah dampak yang semakin meluas, pemerintahan kemudian terpaksa harus turun tangan dengan fenomena tersebut. Rencananya, di tahun 2015 ini pemerintah akan menganggarkan sekitar Rp5 triliun melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU dan Pera) dalam skema Dana Alokasi Khusus (DAK) Perbaikan Jalan. Dengan membaiknya kualitas jalan ini, ke depannya transaksi perdagangan ekonomi antar daerah diharapkan makin sempurna, demi tercapainya tujuan kesejahteraan masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat daerah yang meningkat, pada gilirannya akan membawa dampak positif terhadap pembangunan ekonomi nasional.

Meski mendapat banyak dukungan, rencana tersebut juga menuai banyak kritikan, mengingat pola belanja APBD selama ini. Sudah menjadi rahasia umum jika hampir di seluruh daerah di Indonesia, selama kurun waktu 15 tahun terakhir, 50% belanja APBD nya dihabiskan untuk kegiatan yang bersifat rutin administrasi semata seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja rapat dan perjalanan dinas. Alokasi belanja modal sebagai proxy utama belanja investasi hanya berkisar di level 15%. Itupun tak seluruhnya berupa pembangunan investasi baru karena porsi belanja pemeliharaan juga masih cukup dominan.

Kualitas Belanja

Tak salah jika stigma rendahnya kemampuan APBD untuk perbaikan jalan banyak diperdebatkan, karena sesuai regulasi provinsi memiliki kewenangan untuk memungut pajak-pajak sektor transportasi, baik Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) serta Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) yang nominalnya relatif besar. Tahun 2013 saja, berdasarkan data Pemda DKI Jakarta, potensi penerimaan PKB mencapai Rp4,4 triliun, BBN-KB Rp5,2 triliun sementara PBB-KB sebesar Rp1,1 triliun. Jika seluruhnya dijumlahkan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari penerimaan pajak sektor transportasi tersebut mencapai Rp10,7 triliun, suatu angka yang sangat fantastis.

Sayangnya, ketiadaan mekanisme ear marking (penerimaan perpajakan dikembalikan kepada sektor yang berkontribusi) menyebabkan tidak adanya kewajiban bagi Pemda untuk mengembalikan penerimaan pajak ke sektor transportasi dan perbaikan jalan. Padahal jika diwajibkan ear marking 10% saja, maka Pemda DKI Jakarta akan memiliki sumber dana minimal Rp1,7 triliun, yang dapat digunakan untuk perawatan serta perbaikan jalan.

Masih menurut data pemerintah, total alokasi APBD seluruh daerah berdasarkan fungsi pelayanan umum juga terus meningkat secara signifikan. Jika di tahun 2008, alokasinya sekitar Rp138,8 triliun, meningkat menjadi Rp204,9 triliun di tahun 2012 serta Rp233,6 triliun di tahun 2014. Sementara alokasi APBD untuk fungsi ekonomi juga meningkat dari Rp36,7 triliun di tahun 2008 menjadi Rp58,9 triliun di tahun 2012 serta Rp66,6 triliun di tahun 2014. Coba bandingkan alokasi fungsi pariwisata dan budaya misalnya yang alokasinya tidak pernah lebih dari Rp5 triliun setiap tahunnya atau juga alokasi fungsi perlindungan sosial dan lingkungan hidup.

Masalah peningkatan kualitas belanja APBD terbukti menjadi isu utama, terlebih wacana pembangunan desa dan daerah telah dinyatakan menjadi prioritas di era pemerintahan baru. Kue pembangunan yang awalnya hanya berkutat di ibu kota, akan dicoba untuk lebih diratakan ke seluruh Indonesia. Mulai tahun 2014 kemarin, pemerintah membuktikan keseriusan tersebut dengan mulai dialokasikannya anggaran Dana Desa untuk tahun 2015. Pengalokasian Dana Desa tersebut merupakan amanat Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN. Saat ini pemerintah juga telah menyiapkan mekanisme pengalokasian dana tersebut ke provinsi, kabupaten dan kota.

Berdasarkan hasil perhitungan pemerintah, Pulau Jawa dan Sumatera memperoleh alokasi terbesar Rp3,6 triliun dan Rp1,86 triliun. Menyusul kemudian Provinsi Papua Rp1,37 triliun, Sulawesi Rp878,6 miliar, Kalimantan Rp852,7 miliar, kemudian Bali, NTT, NTB sebesar Rp500,3 miliar. Di Pulau Jawa sendiri, Provinsi Jawa Timur mendapatkan alokasi terbesar Rp1,16 triliun dengan jumlah kabupaten/kota sebanyak 30. Dengan mempertimbangkan jumlah daerah, maka Provinsi Papua memperoleh alokasi terbesar Rp1,17 triliun untuk 29 kabupaten/kota.

Jika nantinya seluruh dana yang dialokasikan untuk mempercepat pembangunan di berbegai daerah dapat digunakan setepat-tepatnya, maka penulis yakin visi Indonesia Maju 2030 akan tercapai dengan mudah. Untuk memastikan penggunaan dana setepat-tepatnya, seluruh elemen bangsa tentu harus bersatu padu dan memilki pemahaman yang selaras. Jangan sampai pelajaran proses otonomi daerah yang sudah berjalan 15 tahun di level kabupaten/kota kembali terulang.

Harapannya, dengan anggaran yang meningkat maka desa dan daerah dapat mengembangkan kualitas dan kesejahteraan masyarakatnya. Desa dan daerah yang maju ditunjang oleh perkembangan daerah yang bijak, akan membawa Indonesia ke arah masa depan yang lebih gemilang. Untuk itu mari kita wujudkan seluruh mimpi-mimpi tersebut, mumpung belum terlambat.

*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja


Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan (Bag-2)

$
0
0

Oleh: Dr. Kukuh Pamuji

Foto. 1.  Antara Hidup dan Mati (Between Life and Death),  Raden Saleh (1870) (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto. 1. Antara Hidup dan Mati (Between Life and Death), Raden Saleh (1870)
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Pada tulisan terdahulu telah diuraikan mengenai dua buah koleksi benda seni kenegaraan karya pelukis Rusia, Konstantin Egorovick Makowsky yang tersimpan di Istana Bogor.  Pada bagian kedua ini,  saya hadirkan koleksi lukisan karya Raden Saleh. Ada 6 buah lukisan Raden Saleh yang saat ini menjadi koleksi negara, antara lain: Penangkapan  Pemimpin Jawa, Diponegoro (die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro, Menghadap Bola Dunia, Berburu Banteng I, Berburu Banteng II,  Harimau Minum, dan Antara Hidup dan Mati (Between Life and Death).

Raden saleh merupakan pelukis ”Jawa” pertama yang bersentuhan dengan nilai-nilai Barat. Pelukis yang lahir di Terboyo, Semarang tahun 1814 (Harsja W. Bachtiar) ini, dianggap sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia. Kepeloporannya dalam bidang seni lukis dapat dilihat dari aspek ide dan pemikiran yang dinilai modern, ditambah dengan media lukis yang digunakannya yaitu cat minyak di atas kanvas. Pembelajaran seninya ia dapatkan dari para gurunya yang berpendidikan Eropa. Ia belajar dari pelukis Belgia (Antonio Payen) dan pelukis Belanda (Andrea. Schelfhouf dan Cornelius Kruseman).

Raden Saleh juga terpengaruh oleh pelukis berkebangsaan Perancis, Eugene Delacroix yang senang melukiskan kehidupan hewan. Sebagai bukti ketertarikannya pada lukisan Delacroix, Raden Saleh menyempatkan diri untuk mengunjungi Aljazair, sebuah negara dimana Delacroix banyak melukis dunia hewan.

Di Perancis Raden Saleh bertemu dengan seorang pelukis bernama Horace Vernet yang kemudian ia jadikan guru melukisnya. Beberapa tahun tinggal di Eropa (Perancis, Jerman, dan Belanda) antara 1829-1851 dan 1875-1879 menjadikannya semakin matang dan menunjukkan ”kemasteran”nya. Gaya lukisannya yang bercorak Romantisme (Romantisisme), dipengaruhi oleh ”tren” yang melanda Eropa pada akhir abad ke-18. Di samping itu, ia merasa cocok dengan romantisme karena dapat menggambarkan pencampuran ciri khas budaya yang ada dalam pikirannya.

Aliran ini mendorong orang untuk menghayati perasaan melalui penghayatan indera serta lebih mempercayai intuisi dari pada pikiran. Romantisisme berasal dari kata Perancis, roman (cerita), dan memang dalam gaya Romantisisme juga mencerminkan adanya pengaruh sastra roman Perancis. Terutama dalam melukiskan cerita-cerita tragedi yang dasyat, kejadian dramatis yang mencekam.

Dengan bekal kemampuan melukis yang dimilikinya, ia mampu mengungkapkan suasana ketegangan dengan sangat baik, seperti terlihat pada sebuah karyanya yang berjudul Antara Hidup dan Mati (Between Life and Death) yang dibuat pada tahun 1870. Inspirasi  pembuatan lukisan ini diperoleh Raden Saleh pada saat dia berada di Aljazair. Lukisan ini merupakan hadiah dari Ratu Juliana kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1971. Lukisan yang berbahan cat minyak di atas kanvas dan berukuran 263 X 193 cm ini, ditaksir bernilai  Rp 60.000.000.000,00 .

Pada lukisan ini kita dapat menyaksikan mata-mata yang melotot dan ekspresi ketakutan serta gerakan hewan (kuda dan singa) yang tergambar dengan begitu menarik. Aspek dramatisasi situasi kritis dengan menghadirkan subjek yang disusun secara diagonal ini dapat dinilai sebagai metafora dan peneguhan terhadap sikap dan upaya “penaklukan”. Lukisan Antara Hidup dan Mati, menggambarkan seorang penunggang kuda    dari Arab (merepresentasikan negara Asia) yang diterkam oleh seekor singa (representasi dari  negara Eropa), dan seorang berkulit hitam yang tertimpa singa (Afrika). Apabila ditafsirkan lebih jauh, maka lukisan ini mengandung pesan sebuah perlawanan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika terhadap penindasan yang dilakukan oleh bangsa Eropa (pertarungan antara “pribumi’ dan “barat”, antara “timur” dan “barat”).

Foto. 2.  Ruang Raden Saleh Istana Merdeka   (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto. 2. Ruang Raden Saleh Istana Merdeka
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Lukisan ini pernah dipasang di Istana Merdeka di sebuah ruangan khusus yang diberi nama Ruang Raden Saleh. Pemberian nama Ruang Raden Saleh dilandasi pertimbangan bahwa di dalam ruang ini tersimpan lukisan karya Raden Saleh yang berjudul Antara Hidup dan Mati, yang saat ini  dipindahkan dan disimpan di Museum Istana Kepresidenan Bogor. Ruangan yang pernah ditata ulang pada masa Presiden Megawati, pada masa kepemimpinan presiden SBY ruang ini berganti nama menjadi Ruang Tamu Ibu Negara. Ruang yang memiliki luas 65,38 meter persegi ini dirancang khusus bagi Ibu Negara untuk menerima tamu-tamunya.

Lukisan Raden Saleh yang dulu dipasang di ruangan ini, sekarang digantikan oleh beberapa koleksi lukisan antara lain: Bunga mawar karya T. Massimo, Tari Betawi, Bunga Kaca Piring, dan Bunga Sepatu ketiganya merupakan karya Sri Gumantyo, Upacara Melasti karya Hatta Hambali, Pantai karya Bambang Suwarto, dan Pemandangan Gunung karya Yap Thian Tjay.

Foto. 3.  Ruang Raden Saleh Setelah Berubah Menjadi Ruang Tamu Ibu Negara (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto. 3. Ruang Raden Saleh Setelah Berubah Menjadi Ruang Tamu Ibu Negara
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Sebuah lukisan karya Raden Saleh yang lain yang tersimpan di museum Istana Kepresidenan Bogor adalah Harimau minum. Lukisan ini manghadirkan gabungan tema “panorama” dengan tema “binatang” berbahan cat minyak di atas kanvas. Lukisan yang  berukuran 160 X 116 cm ini dibuat pada tahun 1863. Tema Panorama yang dihadirkan dalam lukisan ini tidak hanya sekedar merekam suasana pemandangan alam, melainkan menghadirkan sebuah filosofi kesadaran sebagai makhluk yang kecil di hadapan semesta. Di sinilah unsur romantisme lukisan ini bisa tergambarkan, yaitu sebuah getaran jiwa. Nilai lukisan ini bernilai Rp 2.900.000.000,00 (penilaian aset tahun 2011).

Foto. 3.  Harimau Minum,  Raden Saleh (1863) (Sumber: Bagian Pengelolaan  Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Foto. 3. Harimau Minum, Raden Saleh (1863)
(Sumber: Bagian Pengelolaan Seni Budaya dan Tata Graha, Sekretariat Presiden)

Karya Masterpiece Raden Saleh yang lain akan disajikan pada bagian selanjutnya (Bag-3).

 

Apa Yang Perlu Diketahui Untuk Membuat Peraturan Perundang-Undangan?

$
0
0

Oleh: Purnomo Sucipto, Pemerhati Peraturan Perundang-undangan

PurnomoBanyak orang menganggap bahwa menyusun peraturan perundang-undangan adalah pekerjaan mudah. Apabila sudah tersusun pasal-pasal dan ayat-ayat, maka selesailah pekerjaan menyusun peraturan perundang-undangan. Dalam suatu seminar, seorang pakar mengatakan apabila tujuannya sudah dirumuskan maka pembuatan peraturan dapat diselesaikan dalam waktu 2 (dua) jam. Namun ketika pakar itu mencoba merumuskan pemikirannya ke dalam suatu pasal, dia tidak dapat menyelesaikan pasal itu bahkan sampai seminar itu berakhir.

Peraturan perundang-undangan bukanlah opini atau artikel akademis yang dibuat berdasarkan pendapat atau teori semata. Opini dan artikel tidak memiliki daya paksa atas orang lain untuk berbuat atau untuk tidak berbuat. Sebaliknya, peraturan perundang-undangan merupakan dokumen hukum yang memiliki konsekuensi sanksi bagi pihak yang diatur. Peraturan perundang-undangan juga merupakan dokumen politik yang mengandung kepentingan dari berbagai pihak.

Apabila seseorang ingin menyusun peraturan perundang-undangan yang baik, maka seseorang perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menyusunnya. Berikut kami uraikan secara singkat pengetahuan dan keterampilan tersebut.

Mengetahui Teori Perundang-undangan

Mengetahui teori perundang-undangan maksudnya mengetahui dasar-dasar penyusunan peraturan perundang-undangan yaitu asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, kewenangan pembentuk peraturan perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, serta materi muatan peraturan perundang-undangan.

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang perlu diketahui meliputi kejelasan tujuan; kelembagaan; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; efektivitas dan efisiensi; kejelasan rumusan; dan  keterbukaan.

Mengenai kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan, perlu diketahui bahwa kewenangan pembentukan undang-undang berada di tangan DPR yang bersama Presiden membahas dan memyetujui setiap Rancangan Undang-Undang. Selanjutnya, Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama menjadi undang-undang. Pembuatan undang-undang pada hakikatnya merupakan kekuasaan bersama antara DPR dan Presiden (sharing power). Sementara, kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah undang-undang merupakan kewenangan Presiden, Kepala Daerah, atau Pimpinan Kementerian/Lembaga sesuai kewenangannya.

Perlu diketahui, hierarki peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi sampai terendah adalah UUD Tahun 1945, TAP MPR, Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Mengetahui hierarki ini penting untuk menghindarkan peraturan perundang-undangan yang disusun bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Sementara, materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-undangan. Setiap jenis peraturan perundang-undangan dalam hierarki tersebut di atas memiliki muatan masing-masing sesuai dengan porsinya.

Mengetahui Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan

Pengetahuan ini meliputi tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.

a. Perencanaan

Perencanaan merupakan tahap awal dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Dalam perencanaan diinventarisasi masalah yang ingin diselesaikan beserta latar belakang dan tujuan penyusunan peraturan perundang-undangan. Masalah yang ingin diselesaikan setelah melalui pengkajian dan penyelarasan, dituangkan dalam naskah akademik. Setelah siap dengan naskah akademik, kemudian diusulkan untuk dimasukkan ke dalam program penyusunan peraturan. Untuk undang-undang, program penyusunannya disebut Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

b. Penyusunan

Penyusunan peraturan perundang-undangan dapat diartikan dalam 2 (dua) maksud. Pertama, penyusunan dalam arti proses, yakni proses penyampaian rancangan dari Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota atau DPR/DPD setelah melalui tahap perencanaan. Proses penyusunan ini berbeda untuk undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden. Kedua, penyusunan dalam arti teknik penyusunan, yakni pengetahuan mengenai tata cara pembuatan judul, pembukaan, batang tubuh, penutup, penjelasan, dan lampiran.

c. Pembahasan

Pembahasan adalah pembicaraan mengenai substansi peraturan perundang-undangan di antara pihak-pihak terkait. Untuk undang-udang, pembahasan dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri melalui tingkat-tingkat pembicaraan. Untuk peraturan di bawahnya, pembahasan dilakukan oleh instansi terkait tanpa keterlibatan DPR.

d. Pengesahan

Untuk undang-undang, rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Untuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM kepada Presiden melaui Kementerian Sekretariat Negara atau Sekretariat Kabinet.

e. Pengundangan

Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. Tujuan pengundangan adalah agar masyarakat mengetahui isi peraturan perundang-undangan tersebut dan dapat menjadi acuan kapan suatu peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mengikat.

Mengetahui Hal-Hal Khusus

Untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang baik, selain hal-hal tersebut di atas perlu juga diketahui hal-hal khusus, seperti tata cara pendelegasian wewenang, pengaturan penyidikan, pencabutan, dan perubahan peraturan perundang-undangan.

a. Pendelegasian Wewenang

Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut pada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Undang-undang dapat mendelegasikan kewenangan pengaturan pada peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah dapat mendelegasikan pada peraturan presiden dan seterusnya. Pendelegasian kewenangan juga dapat dilakukan dari suatu undang-undang kepada undang-undang yang lain, dari suatu peraturan daerah kepada peraturan daerah yang lain. Pendelegasian kewenangan harus menyebut dengan tegas ruang lingkup materi muatan yang diatur dan jenis peraturan perundang-undangan yang didelegasikan.

b. Penyidikan

Pengetahuan mengenai bagaimana membuat ketentuan penyidikan diperlukan ketika akan menyusun undang-undang dan peraturan daerah yang mengatur mengenai sanksi pidana. Ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik PNS kementerian, Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, atau instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang dan peraturan daerah.

c. Pencabutan

Apabila ada peraturan perundang-undangan lama yang tidak diperlukan lagi atau sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan perlu diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru, maka peraturan perundang-undangan yang baru harus secara tegas mencabut peraturan perundang-undangan yang tidak diperlukan itu. Jika materi dalam peraturan perundang-undangan yang baru menyebabkan perlu penggantian sebagian atau seluruh materi dalam peraturan perundang-undangan yang lama, maka di dalam peraturan perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan sebagian atau seluruh peraturan perundang-undangan yang lama.

d. Perubahan

Perubahan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan cara menyisip atau menambah materi ke dalam peraturan perundang-undangan atau menghapus atau mengganti sebagian materi peraturan perundang-undangan. Perubahan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat, kata, frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.

Mengetahui Hal-Hal Umum

Hal-hal umum yang perlu diketahui dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan adalah naskah akademik, penyebarluasan, serta sumber bahan dan informasi peraturan perundang-undangan.

a. Naskah Akademik

Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu rancangan peraturan perundang-undangan sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Dalam penelitian dan pengkajian sering digunakan metode ROCCIPI (Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, dan Ideology), RIA (Regulatory Impact Assesment), atau Cost and Benefit Analysis. Meskipun naskah akademik hanya diwajibkan untuk undang-undang dan peraturan daerah saja, namun alangkah baiknya naskah akademik juga dibuat untuk penyusunan peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Penyebarluasan

Penyebarluasan dilakukan oleh DPR (termasuk DPD) dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan rancangan undang-undang, pembahasan rancangan undang-undang, hingga pengundangan. Penyebarluasan dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat. Setelah peraturan perundang-undangan ditetapkan, biasanya disebarluaskan baik dengan fotokopi salinan peraturan perundang-undangan instansi terkait maupun melalui website instansi terkait ke masyarakat. Untuk peraturan perundang-undangan yang ditandatangani Presiden, disebarluaskan oleh Kementerian Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet.

Selain penyebarluasan peraturan perundang-undangan, Kementerian Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet juga menyimpan naskah peraturan perundang-undangan asli dan salinan otentik sebagai arsip. Sementara peraturan perundang-undangan dalam bentuk Lembaran Negara dan Berita Negara disebarluaskan dan diarsip oleh Kementerian Hukum dan HAM.

c. Sumber Informasi

Sumber informasi dalam menyusun peraturan perundang-undangan secara online/melalui internet dapat diakses melalui www.setkab.go.id, www.setneg.go.id, www.ditjenpp.org, dan website masing-masing kementerian atau lembaga. Selain itu, terdapat juga pihak swasta yang mengembangkan sistem database, baik online maupun offline, yang disediakan secara komersial. Selain sumber informasi online, perlu juga dimanfaatkan sumber informasi peraturan perundang-undangan tradisional, seperti bahan-bahan di perpustakaan.

d. Penggunaan Bahasa

Dalam menyusun peraturan perundang-undangan, penggunaan bahasa amatlah penting. Apabila bahasa yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh masyarakat, maka dapat diharapkan peraturan perundang-undangan akan dapat dilaksanakan. Namun sebaliknya, apabila bahasa tidak dapat dimengerti maka akan sulit mengharapkan tujuan dari peraturan perundang-undangan akan tercapai. Bahasa dalam peraturan perundang-undangan hendaknya mudah dimengerti oleh masyarakat umum (ordinary person), tidak hanya oleh pembuatnya, sarjana hukum, atau praktisi hukum saja. Bahasa peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa peraturan perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum, baik dalam perumusan maupun cara penulisannya.

Demikian, tulisan di atas tidak dimaksudkan menjadikan seseorang langsung mampu membuat peraturan perundang-undangan, melainkan untuk memberi gambaran bahwa itulah peta keseluruhan membuat peraturan perundang-undangan. Setidaknya pembaca mengetahui apa yang dilakukan oleh pembuat peraturan perundang-undangan.

Semoga bermanfaat.

 

 

Mengapa Kalimantan Terjadi Gempa?

$
0
0

Sutopo PurwoOleh: Sutopo Purwo Nugroho, Kapusdatin Humas BNPB

Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah melaporkan terjadi gempa 5,7 SR di 413 Km Timur Laut Kota  Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara pada Rabu (25-2-2015) pukul 08.31  WIB. Pusat gempa di laut pada kedalaman 10 Km. Gempa tidak berpotensi  tsunami.

Posko Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengonfirmasi dampak gempa ke BPBD Kaltara dan BPBD  Kota Tarakan. Gempa tidak dirasakan. Kejadian gempa bumi ini disebabkan  aktivitas sesar berarah barat daya – timurlaut antara Pulau Kalimantan  dan Filipina. Gempa seperti ini juga pernah terjadi pada 20-1-2015 gempa5,6 SR pada kedalaman 10 Km di 289 Km Timur Laut Kota Tarakan.

Selama ini kita tahunya Kalimantan adalah daerah yang aman dari gempa.  Namun mengapa juga terjadi gempa? Masyarakat Kalimantan beberapa kali  merasakan gempa. Berdasarkan peta zonasi gempa, wilayah di Kaltim dan  Kaltara termasuk dalam peta rawan gempa rendah. Ancaman gempa dari  megathrust Sulawesi Utara atau Sesar Palu Koro yang dapat berpengaruh  gempa di Kalimantan bagian Timur.

Gempa di daratan Kalimantan juga disebabkan gempa intraplate, yaitu  gempa yang terjadi di dalam lempeng itu sendiri, yakni di lempeng  Eurasia. Gempa ini mekanismenya berbeda dengan gempa interplate yang  dihasilkan dari tubrukan antarlempeng yang banyak terjadi di barat  Sumatera dan selatan Jawa. Mekanisme gempa intraplate pada dasarnya  belum banyak diketahui.

Sebagian hasil riset menunjukkan tiga kemungkinan penyebab gempa  intraplate. Pertama, adanya akumulasi tekanan lokal dan akibat  heterogenitas kerak benua –dalam kasus ini di Paparan Sunda. Kedua,  adanya zona lemah yang disebabkan proses-proses tektonik masa lalu.  Ketiga, adanya high heat flow, yang memunculkan akumulasi tekanan ke  sekitarnya. Gempa ini pernah terjadi seperti gempa 5,5 SR Kota di  Tarakan, Kaltim (12-11-2007), dan gempa 5,8 SR di Pulau Laut, Sebuku dan Batulicin Kalsel (5-2-2008).

Kita harus selalu waspada, bukan gempanya tapi bangunannya yang menimbulkan korban jiwa.

 

Urgensi Ketahanan Pangan

$
0
0

eddy_cahyono_sugiartoOleh: Eddy Cahyono Sugiarto, Staf Sekretariat Kabinet

Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa; apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka “malapetaka”; oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner (Ir. Soekarno)”.

Cuplikan Pidato Presiden RI pertama Ir. Soekarno tersebut mengingatkan kita akan arti penting ketahanan pangan. Isu pangan akan menjadi isu strategis yang terus mewarnai  dinamika perkembangan ekonomi dan politik setiap bangsa,  hal ini tidaklah berlebihan, mengingat  pangan  menjadi  salah satu kebutuhan dasar manusia guna mempertahankan hidup.

Pemenuhan kebutuhan pangan bagi warga negara identik dengan hak asasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang  Nomor  18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama, dan pemenuhannya merupakan hak asasi setiap rakyat Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui,  UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga memperjelas dan memperkuat tentang pentingnya pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity), kemandirian pangan (food resilience)  serta keamanan pangan (food safety).

Capaian ketahanan pangan secara sederhana dapat dicermati dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau sehingga masyarakat  dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Bagi Indonesia upaya memantapkan  ketahanan pangan  tampaknya menjadi  tantangan tersendiri. Dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah, sekitar 1,1 persen per tahun atau 2,5 juta orang, di sisi lain perubahan iklim mengancam kemampuan produksi pangan Indonesia, yang mengakibatkan ketergantungan pada impor terus menerus menggerus devisa Indonesia.

Dalam 10 tahun terakhir, ketergantungan terhadap pangan impor sudah mencapai taraf mengkawatirkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menggambarkan trend peningkatan, impor pangan pada 2003 tercatat 3,34 miliar dollar AS, namun  pada 2013 impor pangan telah mencapai  14,90 miliar dollar AS, atau tumbuh empat kali lipat.

Melonjaknya nilai impor tersebut karena produksi pangan di dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dan pertumbuhan jumlah penduduk. Kontribusi pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) pun terus turun dari waktu ke waktu, yaitu 15,19 persen pada 2003 dan menjadi 14,43 persen pada 2013.

Di tahun 2014,MajalahThe Economist menempatkan posisi Indonesia menduduki peringkat ketahanan pangan jauh di belakang Singapura dan negara-negara regional Asia Tenggara lainnya, yang diukur berdasarkan tiga indikator yakni daya beli konsumen, ketersediaan makanan, kualitas dan keamanan makanan.

Pentingya Meningkatkan Produksi dan Memperbaiki Manajemen Stok

Indonesia  punya peluang besar untuk wewujudkan swasembada pangan guna mencapai ketahanan pangan. Indonesia memiliki lahan yang luas dan subur untuk dijadikan sentra-sentra produk beras, jagung, kedelai dan tanaman pangan lainnya. Dari letak geografis, Indonesia juga sangat diuntungkan karena  terletak di wilayah tropis dan memiliki curah hujan yang cukup sehingga memungkinkan ragam tanaman bisa tumbuh dengan baik.

Modal dasar ini setidaknya dapat menjadi kekuatan kita dalam meningkatkan produksi pertanian, agar memberi konstribusi maksimal dalam mencapai  swasembada pangan.

Komitmen dari pemerintahan Presiden Jokowi dalam meningkatkan swasembada pangan tercermin dari realokasi anggaran yang lebih fokus pada infrastruktur pangan, seperti pembangunan waduk dan irigasi, dengan menambah alokasi anggaran 2015 melalui APBN-P sebesar Rp 16 triliun, serta tambahan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pertanian sebesar Rp 4 triliun.

Selain itu, pemerintah sedang memperjuangkan rencana ke depan dengan pembangunan dan perbaikan jaringan irigasi seluas 3 juta hektar sawah, serta memercepat pembangunan 27 bendungan pada tahun 2014, selanjutnya membangun 5 lagi bendungan pada tahun 2015 yang lokasinya di Aceh, Kudus, NTT dan Kaltim.

Pada 2016 Pemerintah juga mentargetkan minimal membangun 20 bendungan serta menyiapkan pembukaan areal baru bagi lahan pertanian di luar jawa dengan target luas sebesar 1 juta hektar.

Pembukaan lahan baru menjadi krusial mengingat sentral produksi pangan hanya didaerah tertentu,  hampir 60% dari produksi pangan Indonesia berasal dari Jawa, dengan 40 % diantaranya di Jawa Timur, Sebuah provinsi di Jawa yang luasnya hanya 2,5% dari luas daratan Indonesia dan dengan jumlah penduduknya 14,8% dari jumlah penduduk Indonesia.

Pemusatan produksi menimbulkan berbagai kerumitan dalam pemasaran dan distribusi pangan, mengingat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan 3000 pulau yang didiami penduduk, ditengah terbatasnya persediaan sarana dan prasarana perhubungan.

Dengan dukungan pembiayaan yang besar tentunya kita berharap aspek pengawalan dan pengendalian akan efektifitas penggunaan anggaran dapat mengedepankan transparasi dan akuntabilitas sehingga mampu menggerakkan sektor produktif yang mendukung langsung pencapaian swasembada pangan, seperti pembangunan irigasi, pengadaan benih dan pupuk serta alat dan mesin pertanian.

Bergeraknya sektor produktif pertanian diharapkan memiliki efek berantai dalam meningkatkan produksi dan produktivitas, meningkatkan indeks pertanaman, memberikan konstribusi terhadap pemantapan ketahanan pangan dan mengurangi ketergantungan importasi pangan. Ketergantungan yang terlalu besar pada impor pangan pokok sangat rentan terhadap kerawanan pangan,  akibat produksi pangan dunia yang mengalami gangguan iklim, atau tiba-tiba  ada gangguan terhadap arus perdagangan pangan dunia.

Kita juga harus mulai memikirkan sistem insentif yang rasional bagi para pelaku pertanian pangan sehingga mereka bergairah untuk mengembangkan usahanya, untuk berinvestasi dan berinovasi untuk meningkatkan produktifitas, memperoleh nilai tambah dari produk-produk pangan kita melalui pengembangan agroindustri pangan modern.

Dalam upaya swasembada harus selalu diamankan agar pangan di dalam negeri selalu tersedia cukup dan harganya tetap terjangkau oleh mayoritas konsumen. Gejolak harga beras di awal tahun 2015,  seyogyanya dapat menjadi  pelajaran berharga bagi kita dalam memperbaiki manajemen stok.

Perbaikan manajemen stok dapat dilakukan dengan meningkatkan peran Bulog dalam memperbaiki supply dan distribusi dalam stabilitasi harga, serta mengoptimalkan peran Bulog dalam penyerapan gabah petani pada musim panen raya Maret- April  2015 guna penguatan stok.

Manajemen stok yang baik dapat menjadi jawaban terhadap masalah yangditimbulkan oleh panjangnya rantai pasokan,  yang mengakibatkan perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen yang cukup besar, serta “melawan”  penguasaan perdagangan pangan pada kelompok tertentu (monopoli, kartel dan oligopoli).

Disamping itu, yang tak kalah pentingnya adalah aspek pengendalian guna memastikan berjalannya percepatan program prioritas ketahanan pangan, serta langkah cepat dalam mengatasi  penyelesaian masalah pada tataran teknis yang dilakukan secara komprehensif serta pemantauan tahapan kemajuan kerkait pelaksanaan program-program prioritas nasional di bidang ketahanan pangan.

Kita tentunya berharap dengan  komitmen dan dukungan pembiayaan yang besar,  serta pengendalian yang ketat dalam mewujudkan percepatan swasembada pangan,  kita akan mampu meningkatkan produksi dan memperbaiki manajemen stok guna mewujudkan percepatan ketahanan pangan dalam menjamin pemenuhan hak  pangan rakyat. Semoga.

 

Pro Kontra Hukuman Mati (Bagi Pelaku Kejahatan Narkoba)

$
0
0

RobiOleh: Roby Arya Brata*)

Dalam keadaan darurat narkoba seperti sekarang ini, ketika kejahatan narkoba telah membunuh dan merampas hak hidup sekitar 40 sampai dengan 50 warga dan generasi muda Indonesia, adalah adil menjatuhkan hukuman mati terhadap satu orang pelaku kejahatan narkoba.

Hukuman mati terhadap pelaku kejahatan narkoba (drug-related criminals) kembali menjadi perdebatan publik. Kontroversi semakin tajam ketika Pemerintah RI berencana mengeksekusi terpidana warga negara asing yang terlibat kejahatan narkoba, khususnya warga Australia anggota “Bali Nine”. Lalu, apakah hukuman mati itu sendiri adalah hukuman yang adil, manusiawi, dan konstitusional? Kajian ini membahas argumen-argumen kelompok yang kontra dan yang pro-hukuman mati, khususnya terhadap pelaku kejahatan narkoba.

Hukuman mati telah lama, dan tampaknya akan tetap, menjadi topik debat klasik di antara para ilmuwan filsafat dan hukum. Masing-masing kelompok, baik yang menentang (kelompok abolisionis) maupun yang mendukung hukuman mati (kelompok retensionis), mendasarkan pendapatnya pada argumen yang kuat.

Argumen Kontra

Kaum abolisionis mendasarkan argumennya pada beberapa alasan. Pertama, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Atas dasar argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah 97 negara menghapuskan hukuman mati. Negara-negara anggota Uni Eropa dilarang menerapkan hukuman mati berdasarkan Pasal 2 Charter of Fundamental Rights of the European Union tahun 2000.

Majelis Umum PBB pada 2007, 2008, dan 2010 mengadopsi resolusi tidak mengikat (non-binding resolutions) yang mengimbau moratorium global terhadap hukuman mati. Protokol Opsional II International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR akhirnya melarang penggunaan hukuman mati pada negara-negara pihak terkait. Dasar argumen selanjutnya yang dikemukakan kelompok abolisionis adalah konstitusionalitas hukuman mati. Kaum abolisionis di Amerika Serikat, misalnya, menentang hukuman mati karena hukuman ini bertentangan dengan Amendemen VIII Konstitusi Amerika Serikat.

Dasar argumentasi konstitusional juga telah digunakan oleh kaum abolisionis di Indonesia. Pada 2007, dua WNI terpidana mati kasus narkoba, yaitu Edith Sianturi dan Rani Andriani, serta tiga warga Australia anggota “Bali Nine”, yakni Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Scott Rush, mengajukan permohonan uji konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi atas pasal hukuman mati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Kuasa hukum pemohon berargumentasi pasal pidana mati UU No. 22/1997 bertentangan dengan Pasal 28A Perubahan II Undang-Undang Dasar 1945. Namun permohonan para pemohon ditolak oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang pada intinya menyatakan hukuman mati terhadap kejahatan yang serius merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia.

Kelompok abolisionis juga membantah alasan kaum retensionis yang meyakini hukuman mati akan menimbulkan efek jera dan, karena itu, akan menurunkan tingkat kejahatan khususnya kejahatan terkait narkoba. Belum ada bukti ilmiah konklusif yang membuktikan korelasi positif antara hukuman mati dan penurunan tingkat kejahatan narkoba.

Argumen pro

Kelompok retensionis tidak kalah sengit mengajukan argumen yang mendukung hukuman mati. Alasan utama adalah hukuman mati memberi efek cegah terhadap penjahat potensial kejahatan narkoba. Bila menyadari akan dihukum mati, penjahat demikian setidaknya akan berpikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan narkoba.

Fakta membuktikan, bila dibandingkan dengan negara-negara maju yang tidak menerapkan hukuman mati, Arab Saudi, yang memberlakukan hukum Islam dan hukuman mati, memiliki tingkat kejahatan yang rendah. Berdasarkan data United Nations Office on Drugs and Crime pada 2012, misalnya, tingkat kejahatan pembunuhan hanya 1,0 per 100 ribu orang. Bandingkan dengan Finlandia yang sebesar 2,2; Belgia 1,7; dan Rusia 10,2.

Kaum retensionis juga menolak pendapat kelompok abolisionis yang mengatakan hukuman mati (terhadap penjahat narkoba) bertentangan dengan kemanusiaan. Sebaliknya, mereka berpendapat justru kejahatan narkoba merupakan kejahatan luar biasa yang menistakan perikemanusiaan. Kejahatan narkoba merupakan kejahatan kemanusiaan yang merenggut hak hidup tidak hanya satu orang, melainkan banyak manusia. Kelompok retensionis berpendapat, hukuman mati terhadap penjahat narkoba tidak melanggar konstitusi sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi. Di Amerika Serikat pun, hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam kasus Gregg vs Georgia, Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan, “The punishment of death does not violate the Constitution.”

Dari berbagai argumen yang dikemukakan kelompok abolisionis dan retensionis, sesungguhnya dapat diambil kebijakan sintesis hukuman mati bagi penjahat narkoba di Indonesia. Dalam keadaan darurat  narkoba seperti sekarang ini, ketika kejahatan narkoba telah merusak generasi muda dan merampas hak hidup banyak manusia di Indonesia, adalah adil menjatuhkan hukuman mati terhadap satu orang penjahat narkoba. Jadi, pertimbangan utamanya adalah rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukuman mati juga diterapkan untuk memberi peringatan keras bagi para penjahat narkoba potensial bahwa kita tidak akan berkompromi dengan kejahatan yang serius dan luar biasa itu.

Tetapi hukuman mati hanya dijatuhkan pada bentuk kejahatan narkoba yang paling jahat, seperti pemroduksi dan pengedar narkoba. Selain itu, hukuman mati harus sangat berhati-hati dijatuhkan. Dalam sistem peradilan pidana yang korup seperti sekarang ini, seseorang sangat mungkin menjadi korban peradilan sesat (miscarriage of justice). Bahkan di Amerika Serikat sekalipun yang sistem peradilan pidananya relatif cukup baik, dalam periode 1900-1987 23 orang telah dihukum mati karena kekeliruan peradilan.

Karena itu, untuk mencegah miscarriage of justice, terdakwa kejahatan narkoba harus diberi hak melakukan upaya hukum yang adil. Misalnya, dalam sidang kasasi, terdakwa wajib diadili sendiri oleh sembilan hakim agung pidana Mahkamah Agung. Untuk mengumpulkan bukti-bukti baru yang meyakinkan (novum), ia pun diberi hak untuk mengajukan peninjauan kembali tanpa batas waktu.

Apabila terdakwa pada akhirnya dipidana mati, ia pun masih memiliki kesempatan mengajukan grasi atau permintaan ampun. Ia dapat mengajukan permintaan ampun kepada parlemen sebagai wakil rakyat yang telah dirugikan. Jika grasinya diterima, hukumannya diperingan. Peringanan hukuman hanya boleh diberikan menjadi minimal 20 tahun penjara. Namun, bila ditolak, ia masih memiliki kesempatan memohon grasi kepada presiden.

Apabila Indonesia telah terbebas dari darurat narkoba dan kedaulatan hukum telah ditegakkan, hukuman mati terhadap penjahat narkoba sebaiknya dihapuskan. Dampak kejahatan narkoba dalam keadaan “normal” tidaklah seburuk seperti dampak kejahatan narkoba dalam keadaan darurat. Hukuman mati hanyalah salah satu cara untuk mencegah meluasnya kejahatan narkoba. Memberantas korupsi dalam proses penegakan hukum antinarkoba, mengurangi permintaan akan narkoba, dan merehabilitasi korban narkoba adalah beberapa cara lain yang efektif untuk memberantas kejahatan itu.

Selain itu, meskipun kita telah mendesain sistem peradilan pidana dengan baik untuk mencegah miscarriage of justice, kemungkinan menghukum mati orang yang tidak sepantasnya dihukum mati tetap ada. Kita tidak ingin menghukum mati anak manusia yang tidak bersalah. Sebab, seperti yang dikatakan ahli hukum abad ke-12, Moses Maimonides, “It is better and more satisfactory to acquit a thousand guilty persons than to put a single innocent man to death.” Membunuh satu manusia (yang tidak bersalah), sesungguhnya adalah seperti membunuh seluruh manusia, begitulah yang difirmankan Sang Maha Adil (QS. 5 : 32).

Pemerintah Indonesia di masa depan perlu mengkaji opsi kebijakan untuk memberikan hukuman pidana terberat bagi terpidana warga negara asing berdasarkan sistem pemidanaan negara asal warga negara itu (bisa hukuman mati atau seumur hidup). Misalnya, bila peradilan Indonesia menjatuhkan hukuman mati bagi warga negara asing yang di negaranya tidak ada hukuman mati maka Presiden RI dapat mengabulkan grasi warga negara asing tersebut dengan meringankan atau memberikan hukuman terberat menurut sistem pemidanaan di negaranya, misalnya hukuman seumur hidup.

Banyak warga negara Indonesia juga terancam hukuman mati di beberapa negara. Sebagai negara tentu kita akan berusaha melindungi mereka. Namun, sebagaimana ditegaskan dalam piagam PBB dan hukum internasional kita memahami dan menghormati kedaulatan (hukum) negara lain.

Kita berharap penerapan hukuman mati oleh Indonesia terhadap penjahat narkoba yang telah merampas hak hidup banyak manusia tidak seharusnya merusak hubungan baik dan kerja sama bilateral antara Indonesia dan negara lain yang telah lama dan susah payah dibangun. Bila itu terjadi, tentu yang dirugikan adalah rakyat kedua negara. Sudah semestinya kita bersatu bergandengan tangan melawan kejahatan yang serius ini.

*) Penulis adalah analis hukum dan kebijakan. Penulis buku, “Good Governance dan Permasalahan Pemerintahan Strategis, 2015”. Tulisan ini adalah hasil adaptasi dari artikel penulis sebelumnya, dengan beberapa tambahan.)

 

Viewing all 380 articles
Browse latest View live