Quantcast
Channel: Archives – Sekretariat Kabinet Republik Indonesia
Viewing all 380 articles
Browse latest View live

Kontribusi Aktif Indonesia dalam International Maritime Organization (IMO), Marine Environment Protection Committee (MEPC) – 70th Session, London

$
0
0

WhatsApp Image 2016-10-25 at 15.27.37Dyah Kusumastuti

Asisten Deputi Bidang Kelautan dan Perikanan, Deputi Bidang Kemaritiman, Sekretatriat Kabinet

Saat ini sedang berlangsung salah satu sidang International Maritime Organization (IMO) Tahun 2016, yaitu Marine Environment Protection Committee (MEPC) – 70th Session. Pertemuan tersebut diselenggarakan mulai tanggal 24 Oktober 2016 dan akan selesai pada tanggal 28 Oktober 2016 di London, Inggris.

IMO merupakan salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengoordinasikan keselamatan maritim internasional dan pelaksanaannya.

Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Dyah Kusumastuti, Asisten Deputi Bidang Kelautan dan Perikanan, Sekretariat Kabinet, dan beranggotakan wakil-wakil dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Perhubungan, Indonesian National Shipowners Association (INSA), Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), dan Utusan Menteri Perhubungan untuk IMO.

 

SIDANG MEPC-70th, Hari Pertama

Pada hari pertama (24 Oktober 2016), Sekretaris Jenderal IMO, Mr. Kitack Lim dalam pidatonya menyampaikan bahwa “Tema World Maritime Day pada tahun ini, adalah “Shipping: Indespensable to the World””. Tema tersebut berkaitan erat dengan kondisi saat ini, dimana pelayaran digunakan sebagai sarana untuk mengangkut  lebih  dari  80%  perdagangan  dunia  untuk  komunitas  di seluruh dunia. Hal tersebut menunjukkan bahwa pelayaran merupakan fasilitator utama dalam perdagangan dunia serta memiliki kontribusi yang besar terhadap perkembangan ekonomi dan penambahan lapangan kerja baik di laut maupun di darat.

Saat ini, IMO sedang berupaya untuk menjamin peningkatan keselamatan melalui pengembangan aturan dengan menyesuaikan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. “A safe, secure and efficient international shipping industry is indispensable to the modern  world”. Kini,  IMO  juga  dituntut  untuk  tergabung  dalam  sebuah  skema yang terkoneksi  untuk penataan laut secara global (global ocean governance).

Dalam  MEPC -70th kali  ini  terdapat  sejumlah  167  dokumen  yang  mencakup  18  agenda pembahasan, serta juga akan dibahas mengenai hal – hal yang masih belum selesai pada pembahasan sebelumnya.

Salah satu isu IMO yang sedang dibahas yakni mengenai Ballast Water Management (BWM),  dimana pengaturan mengenai BWM akan  berlaku  secara  internasional pada tanggal  08  September  2017. Untuk menjamin transisi dan memudahkan implementasi pengaturan tersebut, Indonesia mengharapkan pembahasan mengenai BMW akan diselesaikan pada MEPC-70th kali ini. Hal tersebut juga memiliki kaitan erat dengan “Guidelines for approval of ballast water management  systems  (G8)”, yang termasuk pembahasan mengenai pembebasan  dan pengecualian dari Konvensi BWM.

Selain BWM, pada hari pertama Sidang MEPC-70th juga  membahas mengenai  draft  amandemen  MARPOL  Annex  VI yang terkait  dengan Data  Collection  System.  Draft tersebut berisi mengenai persyaratan  kapal  untuk  mencatat  dan melaporkan data atas penggunaan bahan bakarnya.

 

Pembagian Working Group

Untuk memudahkan dan lebih fokus dalam penyelesaian pembahasan, MEPC-70th membagi pembahasan isu maritime menjadi beberapa Working Group dan Drafting Group yaitu :

  1. Drafting Group on Amendments to mandatory instruments (agenda item 3);
  2. Review Group on Ballast water treatment technologies (agenda item 4);
  3. Working Group on Air pollution, energy efficiency and further measures to enhance the energy efficiency of international shipping (agenda items 5 and 6);
  4. Working Group on Reduction of GHG emissions from ships (agenda item 7); dan
  5. Technical Group on PSSAs (agenda item 8).

 

Submisi Indonesia dan Rencana Agenda Pembahasan MEPC-70th

Dalam Sidang MEPC-70th kali ini, Indonesia membacakan dokumen submisi yang terkait dengan “Comments on document  MEPC  70/6  regarding  draft  amendments  to  2012  Guidelines for  the Development  of  a  Ship  Energy  Efficiency  Management  Plan  (SEEMP). Indonesia berhasil mendapat dukungan atas submisi tersebut dari beberapa Negara, diantaranya Turki, India, Perancis, Republik Kepulauan Marshall, Belanda, dan Inggris.

 

Pembahasan Agenda MEPC-70th

MEPC-70th kali ini juga akan membahas mengenai pertimbangan dan kewajiban adopsi peraturan, diantaranya terkait dengan perubahan MARPOL  Annex  I, MARPOL  Annex  V, dan MARPOL  Annex  VI, serta beberapa pembahasan lainnya terhadap:

  1. Pengembangan rancangan revisi 2012 terkait dengan pedoman dalam pengembangan Ship Energy Efficiency Management Plan (SEEMP) dan draft komunikasi elektronik serta standarisasi pelaporannya.
  2. Pengembangan rancangan pedoman administrasi dan proses verifikasi kapal.
  3. Pengembangan rancangan pedoman dalam pengembangan pengelolaan “IMO Ship Fuel Consumption Database”.
  4. Persiapan rancangan mengenai pedoman kerangka acuan dan komunikasi serta pengumpulan data atas konsumsi bahan bakar untuk selanjutnya dilaporkan dalam MEPC-71th
  5. Persetujuan terhadap draft MSC-MEPC, salah satunya terkait dengan “Example of  a  Certificate  of Protection  for products  requiring  oxygen-dependent  inhibitors“.
  6. Pengembangan standarisasi sistem pembuangan limbah pada kapal dan peraturan perubahannya.
  7. Pedoman untuk pengambilan sampel di atas kapal sebagai langkah untuk melakukan verifikasi kandungan sulfur bahan bakar minyak yang digunakan di kapal.
  8. Pengaturan mengenai pencemaran yang disebabkan oleh minyak.
  9. Pengaturan mengenai pencemaran minyak die s dan salju.
  10. Penyamaan interpretasi terkait dengan “the NOX Technical Code 2008” yang berhubungan dengan “the approval of SCR systems”.

 

Dalam MEPC-70th tersebut juga dibahas mengenai “rancangan perubahan MARPOL Annex VI yang menunjuk Laut Utara dan Laut Baltik sebagai daerah kontrol emisi untuk kontrol NOXTier III”, dimana hal tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2021.

 

Adapun ketentuan yang diatur termasuk pula kemungkinan pembebasan terhadap kapal yang dilengkapi dengan mesin bahan bakar ganda atau menggunakan mesin Tier II, dikonversi, diperbaiki dan/atau dipertahankan pada galangan kapal yang terletak di NOX Tier III Caribbean Emission Control Areas.


Keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam International Maritime Organization (IMO), Marine Environment Protection Committee (MEPC) – 70th Session, London

$
0
0

imoDyah Kusumastuti, Asisten Deputi Bidang Kelautan dan Perikanan, Kedeputian Bidang Kemaritiman, Sekretariat Kabinet

Rabu, 26 Oktober 2016 merupakan hari ketiga penyelenggaraan salah satu sidang International Maritime Organization (IMO) Tahun 2016, yaitu Marine Environment Protection Committee (MEPC) – 70th Session. Pertemuan tersebut telah dimulai sejak tanggal 24 Oktober 2016 dan akan selesai pada tanggal 28 Oktober 2016 di London, Inggris.

IMO yang merupakan salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengoordinasikan keselamatan maritim internasional dan pelaksanaannya.

Delegasi Republik Indonesia  dipimpin oleh Dyah Kusumastuti, Asisten Deputi Bidang Kelautan dan Perikanan, Sekretariat Kabinet, dan beranggotakan wakil-wakil dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Perhubungan, Indonesian National Shipowners Association (INSA), Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), dan Utusan Menteri Perhubungan untuk IMO.

 

Air pollution and Energy Efficiency Working Group

Berdasarkan beberapa Terms of Reference yang diberikan untuk Working Group Air pollution and Energy Efficiency Working Group pada hari sebelumnya, WG kali ini membahas draft perubahan pedoman pengembangan rencana pengelolaan energi effisien diatas kapal tahun 2012 sesuai resolusi MEPC 213(63)) yang dipimpin oleh Negara Jepang.

Dokumen tersebut bukan merupakan mandatori atau kewajiban yang wajib dimiliki oleh kapal tetapi sebagai pedoman dalam menerapkan dalam rangka pengelolaan energi efisiensi diatas kapal yang berisi antara lain:

  1. Pengenalan, yang merupakan penunjang dalam mempersiapkan rencana pengelolaan energi effisiensi diatas kapal sesuai regulasi 22 Lampiran VI Marpol 73/78.

Pembahasan WG kali ini memiliki kaitannya dengan Rencana pengelolaan untuk dapat meningkatkan energi efisiensi diatas kapal dalam rangka pengawasan dalam memaksimalkan performance kapal, serta menentukan metodelogi yang digunakan dalam mengambil/mengumpulkan data sesuai persyaratan peraturan 22A Marpol 73/78, dan proses dimana data yang dihasilkan untuk dilaporkan kepada pemerintah atau organisasi yang ditunjuk (RO).

  1. Definisi, meliputi pengertian dari Tahun Kalender dan Fuel consumtion data.

Saat ini, Negara-Negara anggota IMO mendukung rencana untuk meningkatkan energi efisiensi diatas kapal. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa perusahaan telah menggunakan sistem pengelolaan perlindungan lingkungan (EMS) sesuai dengan ISO 14001 dan beberapa perusahaan juga telah berhasil mengembangan dan mempertahankan sistem pengelolan perlindungan lingkungan.

 

Harmful Aquatic Organism in ballast Water

Dalam konteks terkait Konvensi BWM, WG telah melakukan diskusi yang menghasilkan keputusan untuk menenentukan langkah – langkah maju yang akan diambil menjadi lebih kompleks. Dalam diskusi tersebut, WG membahas mengenai:

  1. Roadmap BWM

Tidak ada perdebatan terlalu berarti mengenai bagaimana menyusun langkah – langkah ke depan terkait isu ini, dikarenakan hampir setiap konvensi telah melakukan hal serupa. Negara anggota IMO menyarankan agar pengumpulan data informasi menunggu keputusan terhadap pemberlakuan instalasi BWMTS di atas kapal.

  1. Same risk Area

Sebagian besar Negara anggota mendukung mengenai konsep ini dikarenakan konsep tersebut dapat menjawab tantangan regional serta memberikan kemudahan bagi kapal – kapal yang berlayar dalam sebuah regional yang telah memenuhi unsur “Same Risk Area” untuk dibebaskan dari pemasangan alat BWMTS.

Adapun Same Risk area itu sendiri merupakan salah satu cara untuk melakukan metode uji resiko antar dua Negara atau lebih, dimana hal tersebut (SRA Approach) akan lebih menjamin transparansi serta meningkatkan penggunaan ilmu pengetahuan antar kedua belah pihak.

  1. Bwt Boat / reception facilities

Konsep BWTBoat adalah sebuah konsep dimana pada suatu pelabuhan dipergunakan sebuah kapal/tongkang untuk memberikan dukungan air balas yang sudah lulus uji dari sebuah kapal. Sehingga, diharapkan, air yang berada di atas kapal tersebut tidak perlu melalui proses uji ulang.

Negara Iran menyampaikan pendapat bahwa konsep BWT boat dapat menimbulkan permasalahan baru dan belum pernah dilakukan pembahasan secara matang di IMO. Namun, secara prinsip, Iran mendukung untuk dilakukan sebuah uji coba regional dan diterapkan hanya untuk short international shipping terlebih dahulu.

Dalam kesempatan kali ini, Indonesia menyampaikan intervensinya terkait hal tersebut dan mendukung usulan India. Indonesia berharap untuk dapat memberikan efek ekonomi yang jauh lebih murah, secara  prinsip, idenya dapat diterapkan dengan mudah, seperti halnya dengan menggunakan reception facilities, hanya saja ia merupakan penyalur bukan penerima.

  1. Amandemen B-3 (Time Schedule for BWMTS Installation)

Pada diskusi mengenai pembahasan kali ini, terjadi perdebatan yang cukup panjang khususnya oleh beberapa Negara anggota yang memiliki komoditas manufaktur. Negara Uni Eropa menginginkan tidak ada perubahan terhadap jadwal, sehingga kapal–kapal tetap harus melakukan pemasangan alat sesuai jadwal, dikarenakan hal tersebut telah disepakati pada MEPC 69, dan Res. A 1088 (28) telah dibentuk.

Namun demikian, terdapat beberapa Negara yang tidak menginkan perubahan. Negara-Negara tersebut menyatakan bahwa hal tersebut dapat melanggar prosedur apabila dilakukan perubahan kesepakatan sesaat menjelang akan diberlakukannya sebuah Konvensi.

Tidak demikian halnya dengan beberapa Negara yang menginginkan penundaan terhadap jadwal tersebut. Mereka menginginkan adanya penundaan, dengan pertimbangan sebagai berikut :

  1. Masih dibahasnya revisi G8 untuk guidelines for approval of BWMS.
  2. Ketersediaan alat (BWMTS) yang akan sesuai dengan revisi tersebut masih belum ada, dikarenakan persyaratannya sendiri masih diperdebatkan.
  3. Beberapa Negara menyebutkan IMO harus mempertahankan martabatnya, dikarenakan adanya perubahan pada G8. Hal tersebut dianggap tidak memenuhi keinginan para Negara anggota.
  4. Beberapa Negara Anggota menegaskan bahwa tujuan Konvensi ini untuk memberikan proteksi maksimum terhadap lingkungan marina dari ancaman AIS melalui sebuah alat yang dianggap EFEKTIF bagi setiap Negara.
  5. Pertimbangan akan padatnya galangan kapal yang melakukan instalasi pada saat yang bersamaan juga perlu mendapatkan perhatian khusus.

 

Pada kesempatan yang sama, Indonesia menyampaikan dukungannya untuk melakukan penundaan pemasangan alat, hingga alat tersebut dinyatakan telah memenuhi standar baru G8 Approval BWMS, dan tersedia di lapangan. Hal tersebut disampaikan oleh Indonesia, dengan dasar bahwa tujuan utama dari konvensi BWM ini adalah untuk memberikan proteksi maksimal terhadap lingkungan Marina.

Mayoritas Negara anggota menginginkan adanya perubahan terhadap waktu pelaksanaan instalasi.

Berdasarkan hasil masukan dari beberapa Negara Anggota dan NGO tersebut, akhirnya, Ketua Sidang menyampaikan sebagai berikut :

  1. Hal – hal yang telah disepakati pada MEPC 69 tetap harus berjalan tanpa adanya perubahan.
  2. Bagi Negara – Negara yang keberatan, agar memberikan draft teks tandingan untuk dilaporkan pada komite.
  3. Laporan tersebut, akan direfleksikan pada Laporan Final MEPC dan menjadi annex pada draft yang telah disiapkan pada MEPC 69.
  4. Pada saat pembahasan final report maka dapat dilakukan intervensi kembali.

Keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam International Maritime Organization (IMO), Marine Environment Protection Committee (MEPC) – 70th Session, London

$
0
0

WhatsApp Image 2016-10-26 at 4.04.00 PM (1)

Dyah Kusumastuti, Asisten Deputi Bidang Kelautan dan Perikanan, Kedeputian Bidang Kemaritiman, Sekretariat Kabinet.

Pada hari keempat sidang International Maritime Organization (IMO) Tahun 2016, yaitu Marine Environment Protection Committee (MEPC) – 70th Session, Delegasi Republik Indonesia masih dipimpin oleh Dyah Kusumastuti, Asisten Deputi Bidang Kelautan dan Perikanan, Sekretariat Kabinet, dan beranggotakan wakil-wakil dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Perhubungan, Indonesian National Shipowners Association (INSA), Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), Utusan Menteri Perhubungan untuk IMO, dan Atase Perhubungan Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk London, Simson Sinaga.

Pertemuan yang dimulai sejak tanggal 24 Oktober 2016 dan akan selesai pada hari Jumat tanggal 28 Oktober 2016 di London, Inggris tersebut membagi pembahasan menjadi 2 (dua) agenda yakni mengenai identification and protection of special areas and PSSA dan technical cooperation activities for the protection of the marine environment.

Pembahasan terkait Air pollution and Energy Efficiency berlangsung hangat, khususnya pada saat pembahasan dan review mengenai ketersediaan bahan bakar yang memiliki sulfur konten 5%, dimana waktu implementasinya ditargetkan mulai berlaku pada Tahun 2020.

Beberapa Negara mengajukan usulan agar pemberlakuan mengenai hal tersebut ditunda. Beberapa Negara melakukan pendekatan kepada Indonesia sejak pagi hari untuk mendapatkan dukungan atas penundaan pemberlakuan aturan tersebut. Misalnya Negara Brazil, yang merupakan salah satu Negara yang mengklaim sebagai produsen bahan bakar low sulfur terbesar menyatakan bahwa masih diperlukan perpanjangan waktu dalam rangka mempersiapkan infrastruktur sehingga pasokan bahan bakar dapat memenuhi kebutuhan pangsa pasar dan mengusulkan untuk diundur hingga Tahun 2025.

Beberapa NGO dan Negara menyatakan keberatannya untuk melakukan penundaan lebih lanjut. Hal tersebut didasarkan pada akan terjadinya ketidak konsistenan dengan kesepakatan semula. Terlebih lagi,  kesiapan infrastruktur di Negara mereka yang mengajukan penundaan dianggap telah memenuhi persyaratan.

Setelah para Negara dan NGO menyampaikan tanggapannya akan hal tersebut, mayoritas Negara bendera menyatakan keinginannya untuk tetap pada jadwal implementasi semula yaitu pada 2020. Ketua MEPC akhirnya memutuskan bahwa berdasarkan hasil usulan terbanyak, disepakati (secara mayoritas) untuk penerapan pada tahun 2020, namun tetap dengan mempertimbangkan keberatan beberapa Negara/NGO.

Selanjutnya dokumen yang dipersiapkan saat ini, akan dilanjutkan kepada PPR 4 untuk dibahas lebih lanjut dan diharapkan dapat memberikan work output dan melaporkan pada MEPC 71.

 

Identification and Protection of Special Areas and Particularly Sensitive Sea Areas (PSSA)

Dalam pembahasan pada agenda ini, Negara Papua Nugini mengajukan proposal untuk menjadikan salah satu wilayah di negaranya menjadi sebuah PSSA (Particularly Sensitive Sea Area).

Area yang diusulkan tersebut juga termasuk salah satu area pertimbangan UNESCO World Heritage dan merupakan area coral triangle. Indonesia, sebagai Negara tetangga Papua Nugini memberikan Intervensi untuk mendukung proposal tersebut dalam rangka menjadikan Jomard Entrance sebagai bagian dari PSSA.

Melalui submisi yang dilakukan oleh Papua Nugini tersebut, Indonesia berharap akan mendapatkan sebuah referensi mengenai tata cara pembuatan submisi dokumen ke IMO untuk menentukan sebuah daerah menjadi PSSAs (misal: Gili). Salah satu cara yang digunakan melaui penambahan, basis data, termasuk penelitian yang matang, sehingga dapat mendukung data secara saintifik.

 

Technical Cooperation Activities for the Protection of the Marine Environment.

Pada agenda ini dibahas mengenai data terbaru terkait aktivitas IMO Intergrated Technical Cooperation Programme (ITCP) dan proyek besar lainnya yang terhitung sejak 16 Januari 2016 sampai dengan tanggal 22 Juli 2016.

Pada kesempatan kali ini, Indonesia menyampaikan pada plenary mengenai kerjasama yang telah dilakukan selama ini bersama IMO-NORAD. Terlebih lagi, IMO-NORAD telah memberikan asistensi pada Indonesia dalam meratifikasi konvensi AFS dan BWM. Delegasi Republik Indonesia menyampaikan bahwa Indonesia akan menyeleggarakan Final Regional Meeting IMO-NORAD terkait implementasi AFS dan BWM di Bali pada tanggal 9 – 11 November 2016.

Diharapkan, ke depannya, beberapa kerja sama terkait technical cooperation dapat terus berlangsung, mengingat hal tersebut sangat bermanfaat dalam memberikan asistensi kepada Negara mengenai konvensi-konvensi yang penerapannya membutuhkan asistensi lebih lanjut oleh IMO.

Hasil Kontribusi aktif Pemerintah RI dalam Sidang IMO di London

$
0
0

WhatsApp Image 2016-10-29 at 3.25.03 PM

Dyah Kusumastuti, Asisten Deputi Bidang Kelautan dan Perikanan, Kedeputian Bidang Kemaritiman, Sekretariat Kabinet.

Pemerintah Indonesia baru saja menyelesaikan tugasnya untuk membahas keselamatan maritim internasional dan pelaksanaannya bersama dengan Negara-Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kantor Pusat International Maritime Organization (IMO), London, Inggris. Pertemuan yang dimulai sejak tanggal 24 Oktober 2016 tersebut merupakan pertemuan yang membahas mengenai Marine Environment Protection Committee–70th Session (MEPC 70).

MEPC 70 kali ini membahas mengenai beberapa agenda yang didiskusikan selama 5 hari, antara lain consideration and adoption of amendments to mandatory instruments, harmful aquatic organisms in ballast water, air pollution and energy efficiency, further technical and operational measures for enhancing the energy efficiency of international shipping, reduction of GHG emissions from ships, identification and protection of Special Areas and PSSAs, Pollution prevention and response (report of the third session of the Sub-Committee), reports of other sub-committees, technical cooperation activities for the protection of the marine environment, capacity building for the implementation of new measures, analysis and consideration of recommendations to reduce administrative burdens in IMO instruments as identified by the SG-RAR, application of the Committees’ Guidelines.

 

CONSIDERATION AND ADOPTION OF AMENDMENTS TO MANDATORY INSTRUMENTS

Berdasarkan persetujuan dari Sesi ke 69 sidang Marine Environment Protection Committee (MEPC 69) yang telah berlangsung pada periode sebelumnya, telah disepakati bahwa draft amandemen IMO mandatory instruments, MEPC 70 mengadopsi amandemen MARPOL Annex I, MARPOL Annex V, MARPOL Annex VI sebagai mandatory.  Amandemen tersebut dianggap telah diterima pada 1 September 2017 dan kemudian akan berlaku mulai 1 Maret 2018 setelah persetujuannya.

 

HARMFUL AQUATIC ORGANISMS IN BALLAST WATER

Konvensi Ballast  Water  Management  akan  berlaku  secara  internasional  pada  8  September  2017. Diskusi  terkait  implementasi  konvensi  tersebut  menjadi  isu  yang  sangat  penting, terutama mengenai isu jadwal pemasangan treatment system (BWMTS) dan isu persetujuan Ballast Water Treatment  System  berdasarkan  revisi  G8.

Ballast Water Management Systems (BWMS) Approvals

Hingga saat ini telah terdapat 69 BWMS type Approved, dimana komite telah mencatat laporan GESAMP-BWWG 33 (MEPC 70/4/6) dan menyetujui untuk menindaklanjuti laporan tersebut.

Sistem yang mendapatkan persetujuan dalam sesi ini terkait dengan :

  1. Final Approval of the ECS-HYCHEMTM System yang diusulkan oleh Negara Korea.
  2. Basic Approval of the University of Strathclyde ballast water management system – the ClearBal BWMS yang diusulkan oleh Negara Denmark.

Intersessional Working Group (IWG) Report on the Review of Guidelines (G8)

Intersessional Working Group (IWG) terkait Review of Guidelines (G8) telah melakukan rapat pada 17 sampai dengan 21 Oktober 2016 yang membahas mengenai review of the Guidelines for approval of ballast  water  management  systems  (G8) dan  juga  mempertimbangkan  jadwal  aplikasi  dari revised Guidelines (G8).

Pada sesi plenary, mayoritas Negara Anggota tidak menyetujui mengenai jadwal pemberlakuan mengenai revised Guidelines (G8, yaitu Regulasi B-3 dari  Konvensi BWM. Berdasarkan hal tersebut, masih diperlukan pertimbangan lebih lanjut mengenai jadwal  pemberlakuan regulasi dimaksud, sehingga draft teks jadwal pemberlakuan tersebut akan dibahas lebih lanjut pada MEPC 71.

Meskipun  terdapat  diskusi  terkait  pengujian  pada  temperatur  yang  berbeda-beda,  IWG  menyepakati bahwa tidak diperlukan untuk dilakukan perubahan dikarenakan perbedaan yang diusulkan tidak terlalu signifikan dari yang telah disetujui sebelumnya.

Isu terkait petunjuk Scaling of ballast water management systems, matrix on System Design Limitations (SDL) akan diselesaikan pada MEPC 71 dan PPR 4 mendatang.

Pada pertemuan MEPC 71 mendatang, Negara-Negara Anggota juga menyepakati untuk membahas mengenai Roadmap for the implementation of the BWM Convention dan Exceptions and exemptions under the BWM Convention.

 

AIR POLLUTION AND ENERGY EFFICIENCY

Pada agenda ini, Negara Anggota membahas mengenai Consideration of EEDI reduction rates and dates beyond phase 2 yang  mengidentifikasi persyaratan EEDI fase 3 dan implementasinya. Selain itu, Negara Anggota juga membahas mengenai additional  information  to  be  included  in  the  EEDI  database  for  the  review  at  the  midpoint  of phase 2 mengenai hasil SIdang MEPC  69 yang telah  mempertimbangkan  proposal  bagi  informasi  tambahan untuk  disertakan pada EEDI database, diantaranya terkait dengan name, outline and means/ways of performance of technologies on innovative energy efficiency technologies; dimensional  parameters  (Length between  perpendiculars  (Lpp),  breadth  (Bs)  and  draught  or depth);  dan ship speed (Vref) and power of main engine(s) (PME).

 

FURTHER  TECHNICAL  AND  OPERATIONAL  MEASURES  FOR  ENHANCING  THE ENERGY EFFICIENCY OF INTERNATIONAL SHIPPING

Negara Anggota membahas mengenai draft revision of the 2012 Guidelines for the development of a SEEMP, dan menyepakati istilah-istilah yang akan digunakan, misalnya “distance travelled from berth to berth” sama dengan “distance travelled“, “distance travelled from berth to berth” tidak secara fisik berarti “berth”, dan menyarankan kepada komite bahwa terminologi “from berth to berth” dihapus dan diganti dengan “distance travelled“, serta beberapa istilah terkait lainnya.

Dalam pertemuan tersebut, Komite menyepakati untuk mengadopsi the amendments to the 2014 Guidelines on the method of calculation of the attained EEDI for new ships

(resolution MEPC.245(66), as amended by resolution MEPC.263(68)) and the associated draft MEPC resolution dan the 2016 Guidelines for the development of a Ship Energy Efficiency Management Plan (SEEMP) and the associated draft MEPC resolution.

 

REDUCTION OF GHG EMISSIONS FROM SHIPS

Negara-Negara Anggota juga membahas mengenai langkah kedepan untuk IMO dalam rangka menyelesaikan permasalahan emisi GHG dari kapal. Hal tersebut bertujuan untuk mengembangkan draft work plan atau roadmap yang termasuk  mendefinisikan  tugas  dan  waktu  capaian. Pendekatan  tiga  tahap dintroduksikan  untuk  pembentukan draft  roadmap, termasuk data  collection  system, development  of strategy dan work by the Secretariat.

Selain hal-hal tersebut di atas, Negara Anggota dan Komite juga menyepakati untuk tidak  merekomendasikan  komite  pembentukan fixed-term stand-alone subsidiary body pada tahapan ini, tetapi untuk mid–and long term.

MEMBANGUN PERKERETAAPIAN MENJADI TRANSPORTASI UNGGULAN

$
0
0

M.Faisal YusufM.Faisal Yusuf, SIP., M.Si
Kepala Bidang Perhubungan Darat dan Perkeretaapian, Asisten Deputi Bidang Perhubungan, Deputi Bidang Kemaritiman, Sekretariat Kabinet.

Transportasi massal berbasis rel telah dihadirkan kembali sebagai infrastruktur vital transportasi Indonesia.

Pembangunan perkeretapian sebagai transportasi massal sudah menjadi komitmen bersama.

Transportasi yang baik dapat menjadi indikator dari keberhasilan suatu pembangunan, kebijakan perbaikan dan perubahan wajah perkeretapian nasional telah dikedepankan serta masuk dalam agenda Presiden 2015-2019 yang mengembangkan transportasi massal, jaringan kereta api di sejumlah wilayah secara terintegrasi, berimbang, aman, nyaman, merata, dan efisien.

Peran strategis
Perkeretaapian sudah hadir di wilayah Indonesia sejak jaman kolonial Hindia Belanda dengan jaringan kereta api pernah tersebar di Jawa dan Sumatera, hingga Sulawesi dan bahkan direncanakan hingga Kalimantan dan Bali. Kereta api pada masa itu sangat dominan baik sebagai media penggerak penumpang ataupun barang, khususnya perkebunan, termasuk untuk kepentingan pertahanan dan keamanan.
Dalam sejarah pembangunan jalan kereta api pertama dibangun sepanjang 26 km dari desa Kemijen, Semarang menuju desa Tanggung, Grobogan, Jawa Tengah (17 Juni 1864) dengan lebar spur 1,435 m oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. LAJ Baron Sloet. Pada tahun 1939 panjang jalur rel KA pernah mencapai total ± 8.157 Km dengan jumlah sarana KA sebanyak 1.314 unit. Saat ini keberadaan jalur rel KA banyak berkurang dari jaman Hindia Belanda, diperolah data dari Kementerian Perhubungan (tahun 2014), total jalur kereta api KA sepanjang 8. 159 Km yang terdiri dari : ± 4.969 Km (aktif) dan ± 3.190 Km (non-aktif) serta sarana KA : ± 10.644 Unit.
Peran perkeretapian sebagai transportasi karena kereta api memiliki daya tarik dibandingkan dengan moda lainnya, beberapa hal yang merupakan nilai keunggulan kereta api adalah:
Daya sisi daya angkut; satu kali perjalanan KA penumpang setara dengan ± 31 bus dan 1 kali perjalanan KA batubara setara dengan ± 300 truk 10 ton.
Aspek Pembiayaan; dengan jangka waktu perawatan yang lebih panjang, pemanfaatan infrastruktur KA dinilai lebih efisien biaya.
Penggunaan energi; konsumsi energi moda transportasi kereta api relatif lebih rendah serta minim emisi gas buang CO2 dibandingkan dengan moda darat, laut dan udara.
Kebutuhan lahan; kapasitas angkut kereta api dengan lahan jalan rel ukuran 1.067 mm ditambah ruang bebas 12 meter ke kiri dan kanan rel, maka kebutuhan akan ruang bebas masih lebih kecil dibandingkan Jalan Bebas Hambatan (Jalan Tol).

Moda kereta api dapat berperan penting sebagai pendorong ekonomi pertumbuhan ekonomi nasional dengan memanfaatkan keunggulan komparatifnya sebagai sistem angkutan massal yang efisien, dan selanjutnya kereta api dapat mampu menyediakan layanan transportasi yang prima dan berorientasi pada pengguna (user oriented) karena keberadaan golongan kelas ekonomi menengah ke atas di Indonesia akan tumbuh pesat (middle income booming) pada tahun-tahun mendatang.
Moda kereta api juga berperan untuk menurunkan biaya logistik nasional, karena daya angkutnya yang besar akan menghasilkan efisiensi dari economic-of-scale jika sistem jaringan kereta api didukung dengan interkoneksinya dengan simpul bandara, pelabuhan dan kawasan industri dapat dikembangkan secara optimal.
Moda kereta api sebagai media konektivitas antar wilayah di dalam pulau turut mengambil peran menjadi pendorong pemerataan pembangunan, dimana pengembangan jaringan di luar Jawa dan Sumatera (Kalimantan, Sulawesi, Papua) diharapkan dapat memberikan peluang lebih baik bagi daerah untuk lebih berkembang ekonominya.
Peran sentral kereta api menjadi strategis karena beratnya beban (besarnya biaya perawatan dan pemelihayaan) jalan nasional khususnya di Jawa dan Sumatera, kondisi tersebut mengharuskan adanya sistem layanan kereta api yang cukup ekstensif (menjangkau secara luas). Sedangkan Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan pulau-pulau lainnya pun membutuhkan kehadiran moda kereta api untuk mendukung laju perekonomiannya masing-masing.
Keberadaan kereta api mengalami pasang surut karena bersaing dengan transportasi moda lain seperti mobil, bus, truk serta kendaraan angkutan moda lainnya yang memiliki kemampuan fleksibelitas dan kenyamanan tersendiri. Masalah utama adalah kereta api bukan dijadikan sebagai transportasi unggulan dan kurang perhatian membangun sistem perkeretaapian yang baik. Kereta api menjadi solusi untuk mengurangi besarnya biaya, kemacetan akibat banyaknya kendaraan dijalan dan borosnya penggunaan energi BBM.
Dalam rangka membangun konektivitas nasional untuk mencapai keseimbangan pembangunan dan membangun transportasi massal perkotaan, Pemerintah telah menyusun Rencana Induk Perekeretapian Nasional (RIPNAS 2010- 2030), dengan program yaitu:
Jaringan perkeretaapian nasional pada tahun 2030 sepanjang 12.100 km (Pulau Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) termasuk jaringan kereta api perkotaan sepanjang 3.800 km.
Sarana angkutan penumpang dengan jumlah lokomotif 2.805 unit, kereta api penumpang sebanyak 27.960 unit.
Sarana angkutan barang dengan jumlah lokomotif 1.995 unit dan gerbong 39.655 unit.

Dengan target, sebagai berikut:
Share Kereta Api : 11-13% untuk angkutan penumpang dan 15-17% untuk angkutan barang.
Pembangunan jalur ganda dan elektrifikasi lintas utama Jawa.
Terbangunnya jaringan kereta api Trans Sumatera.
Sebagai tulang punggung angkutan massal antar kota dan perkotaan.
Beroperasinya argo cahaya (High Speed Train/ HST) di Pulau Jawa tahun 2030.
Kereta api sebagai tulang punggung transportasi angkutan barang di Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Terintegrasi, aman, selamat, nyaman, pelayanan yang handal dan terjangkau.

Perkembangan pembangunan kereta api di Indonesia
Saat ini perbaikan prasarana dan sarana transportasi kereta api mulai menunjukkan perubahan peningkatan layanan dari sisi kualitas dan kuantitas di beberapa wilayah dan kota di Indonesia, contohnya wilayah Jabodetabek melalui kereta api commuter line, seperti Kereta Api Listrik (KRL) telah mengangkut 800.000 penumpang perhari dan ditargetkan mencapai 1.2 juta penumpang sebelum tahun 2019.
Peningkatan kapasitas lintas dan aksesbilitas kereta api terus dilakukan diantaranya melalui selesainya pembangunan double-track lintas utara jawa sepanjang 725 kilometer dan akan diikuti penyelesaian lintas selatan jawa dan pembangunan double-double track St. Manggarai-St. Cikampek.
Penyelenggaraan kereta api jarak dekat di wilayah Jawa juga semakin, meningkat, contohnya antara Kota Semarang, Jawa Tengah dengan kota sekitarnya seperti Blora, Pekalongan dan Tegal kemudian Ambarawa, daerah lainnya Kota Bogor ke Sukabumi, Cianjur, dan Bandung.
Transportasi massal perkotaan mulai dibangun seiring dengan peningkatan populasi kota-kota besar di Indonesia dengan menjadikan transportasi massal menjadi kebutuhan. Saat ini, Pemerintah sedang merampungkan beberapa proyek pembangunan kereta api dalam kota (Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional), antara lain:AFTR PROYEK 3/2
No
Pembangunan infrastruktur dalam kota
Lokasi
Pembiayaan

1. Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta Koridor North South
Provinsi DKI Jakarta
APBD

2. Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta Koridor East West
Provinsi DKI Jakarta
APBD

3. Kereta Api Ekspres Soekarno Hatta International Airport
Provinsi DKI Jakarta Provinsi Banten
Masih dalam rancangan Peraturan Presiden

4. Jabodetabek Circular Line
Provinsi DKI Jakarta
APBN

5. Penyelenggaraan Light Rapid Transit (LRT) terintegrasi di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi
Provinsi DKI Jakarta-Provinsi Jawa Barat
APBN

6. Penyelenggaraan Perkeretaapian Umum di wilayah Provinsi DKI Jakarta
Provinsi DKI Jakarta
APBD

7. Penyelenggaraan Light Rapid Transit (LRT) Sumatera Selatan
Provinsi Sumatera Selatan
APBN
Beberapa proyek kereta api penghubung konektivitas di luar pulau jawa sebagian sudah mulai dirintis pembangunannya antara lain: KA Trans Sumatera yang menghubungkan Aceh sampai Lampung, Trans Kalimantan, Trans Sulawesi dan Papua. Aktivasi lintasan jalur rel/trase KA juga instensif dilakukan diberbagai wilayah Indonesia seperti lintasan dari Kota Binjai menuju Besitang dan tempat lainnya.
Program pengembangan integrasi antar moda antara jalur KA dengan bandara dan pelabuhan seperti kereta bandara KA akses Bandara Kualanamu yang merupakan kereta api bandara pertama di Indonesia yang akan diikuti bandara-bandara lainnya dan rencana pembangunan jalur kereta api penghubung dengan pelabuhan. Selain itu, beberapa proyek untuk meningkatkan pengembangan wilayah baru dan kawasan ekonomi baru serta integrasi wilayah, Pemerintah sedang membangun kereta api cepat (High Speed Train/HST) Jakarta-Bandung, Feasibility Study KA kecepatan sedang (Medium Speed) Jakarta- Surabaya, LRT Bandung Raya dan Tram Surabaya, LRT Kota Batam.
Upaya terus dilakukan Pemerintah melalui kebijakan perkeretapian nasional untuk membuat moda kereta api menjadi salah satu angkutan primadona bagi angkutan barang dan masyarakat melalui berbagai keunggulan dan tarif yang terjangkau. Tantangan pembiayaan dengan keterbatasan ruang fiskal APBN menyisakan gap/kekurangan pembiayaan yang besar bagi pembangunan perkeretapian. Kebijakan untuk meningkatkan peran swasta sangat dibutuhkan partisipasinya dalam pembangunan insfrastuktur transportasi melalui dukungan regulasi, pengawasan dan pengendalian yang kondusif dari Pemerintah.
Sumber: Rencana Induk Perkeretaapian Nasional, dan Rencana Strategis Kemenhub 2015-2019

Indonesia’s Maritime Fulcrum and Tourism Challenges

$
0
0

herdyantoHardyanto, Kepala Bidang Naskah pada Asisten Deputi Bidang Naskah dan Terjemahan*)

Indonesia: An Ultimate Maritime Country

Indonesia was born archipelagic.  Indonesia was naturally created maritime. The people’s life thus should be maritime-envisioned. The tourism vision should therefore be maritime-oriented.

All of us are fully aware that two-third of our entire earth consists of oceans. According to available data from various sources, our common sole planet has surface area of more than 510 million sq km.

It consists of total land area with more than 148 million sq km or 29% and total water area with more than 361 million sq km or 71%, including the whole ocean areas with more than 335 million sq km. Hence, the ocean covers 65% of our world’s total surface area. Meanwhile, the Pacific Ocean, where Indonesia lies, has an area of more than 166 million sq km or 32.5% of total world area; or, in other view, a third of world-wide oceans. And, Indonesia, the biggest archipelagic country in the world, lies right in the epicenter of the ocean world.

Indonesia has more than 17 thousands islands where around 10 thousands are islets. Indonesia has sea line along 81 thousand km, and the sea width of around 3.1 million sq km. Indonesia has therefore massive potentials to develop further its maritime richness, including maritime tourism.

Indonesia as a matter of fact is the largest archipelagic country in the world. Indonesia has total area of 1,919,440 sq km, consisting of water area around 1,826,440 sq km and land area around 93,000 sq km. Indonesia has therefore two third area of water. Meanwhile, Indonesian coastline has the length of 54,716 km.

Even, although Indonesia is “only” the sixteenth largest country on earth, however Indonesia is the largest country in term of territorial sea in the world. The United Nations Environment Programme (UNEP) Geo Data Portal provides data on Indonesia with 3,205,695 sq km territorial sea (the largest in the world, followed by Canada, Russian Federation, and the U.S.) and 95,181 km coastline length (the fourth longest after Canada, the U.S., and Russian Federation). This very nature condition states itself that Indonesia is quintessentially a gigantic oceanic country.

Indonesia, to come to the point, is geographically a maritime country. From Sabang in the westernmost to Merauke in the easternmost and from Miangas Island in the northernmost to Rote Island in the southernmost spans the geographical and territorial entity of Indonesia as a maritime country.

Considering the blessed geographical nature and the current international condition, Indonesia (or often called Nusantara; Nusa means “islands”, antara means “in-between”) shall take into account and start mainstreaming a maritime approach in its development approach. Indonesia shall begin outlining a grand design for an “archipelagic policy” or “maritime policy”.

Indonesia should formulate a well-planned and integrated grand design for archipelagic or maritime policy which will bring Indonesia into the new hope for the sake of better life and sustainable development in the subsequent decades or even the glory in the centuries ahead.

 

“The Jokowi Doctrine”

In declaring as the president and vice-president candidacy, the couple Joko Widodo and Jusuf Kalla announced a political manifesto so-called the Nawa Cita or “Nine Aspirations” if they would win the presidential election.  The couple set the nine-priority agenda in front of Gedung Joang 45 on 19 May 2014. The aspirations are arranged to point out the priorities of ways of change towards Indonesia that is politically sovereign, economically independent, and culturally principled. These three are usually called as the Indonesian first president Soekarno’s Trisakti.

The very first Nawa writes that the so-called “Jokowi-JK” couple wants to “be present the state again to protect the whole nation and give the feeling of secure to the whole citizen, through free and active foreign policy, resilient national security, and development of integrated three-forces state defense based on national interest, and strengthen the self-identity as a maritime country”.

Afterward, as the Election Commission published that the Jokowi-JK couple win the election, the duo then declared the victory statement. The speech was delivered on board a Phinisi ship on 22 July 2014 in Sunda Kelapa Port. President-elect “Jokowi” emphasized that “there is a never-die mutual self-help among us. That mutual self-help will make Indonesia not only able to stand strong in facing challenges but also develop to become the world maritime fulcrum, the locus of future political great civilization”.

Subsequently, as a newly inaugurated President of the Republic of Indonesia, Joko Widodo in his first ever official speech before the People’s  General Assembly on 20 October 2014 stressed that “I also want  to present amongst the nations with honor, with dignity, with self-pride. We want to become the nation who is able to set our own civilization; the creative great nation which is able to contribute the nobleness for global civilization. We must work in a very hard manner to re-turn Indonesia as a maritime country”. The President further added “The ocean, the sea, the strait, and the bay are the future of our civilization. We have been too long turning our backs against the sea, the ocean and the strait and bay. This is the time for us to return them all, therefore the Jalesveva Jaya Mahe, ‘In the sea we are glory’, as our ancestor’s slogan, is able to re-sound profoundly.”

At a later year, in the occasion of the commemoration of the independence of the Republic of Indonesia before the People’s General Assembly and Council of People’s Representatives on 16 August 2015 President Jokowi reasserted that “I want to prove that we are not permitted again to back our ocean and sea. Our sea, that concerns widely, has economic, security, and unity potencies. The environment that is now threatened by climate change is needed to save by us. We also have to protect our sea and security threat such as illegal fishing and sea-resources pillage. The caught ships have to face the firmness, including to be sunk. The international law opposes the illegal fishing and sea-resource pillage”.  President Jokowi added that “one of my most important agenda is to realize the sea toll. The sea toll that becomes the part of maritime infrastructures which facilitated by productive ship docks. Insya Allah this policy will increase the maritime sustainable economy with sea preservation and better sea spatial”. The president further affirmed that “in line with that, we have to dig again maritime culture and Indonesia’s maritime identity. The nation that keeping and using the sea with full of concern”. Then he closed “That the beginning of our effort to become the World Maritime Fulcrum that is not only conceptualized to create for national resilience but also for regional and global resilience. This strategy that is now deliberated and it will be released as Indonesia’s National Maritime Policy.

Finally, President Joko Widodo launched his maritime fulcrum doctrine to the world. On the occasion of the East Asia Summit (EAS) in Myanmar on November 2014 he delivered his speech which mentioning five pillars of maritime fulcrum, namely:

  1. Rebuild Indonesia’s maritime culture. As a country consisting of 17,000 islands, Indonesia should be aware of and see the oceans as part of the nation’s identity, its prosperity and its future are determined by how we manage the oceans.
  2. Maintain and manage marine resources, with a focus on building marine food sovereignty through the development of the fishing industry.
  3. Provide priority to the development of maritime infrastructure and connectivity by constructing sea highways along the shore of Java; establish deep seaports and logistical networks as well as developing the shipping industry and maritime tourism.
  4. Through maritime diplomacy, Indonesia invites other nations to cooperate in the marine field and eliminate the source of conflicts at sea, such as illegal fishing, violations of sovereignty, territorial disputes, piracy and marine pollution.
  5. Indonesia has an obligation to develop its maritime defense forces. This is necessary not only to maintain maritime sovereignty and wealth, but also as a form of our responsibility to maintain the safety of shipping and maritime security.

 

The Maritime-oriented Tourism Challenges

Concurrently, in the peak event of the Commemoration of Nusantara Day at Banda Aceh on 13 December 2015 the Vice-President Jusuf Kalla spoke that the importance of Maritime Fulcrum for Indonesia which  will provide strong power to this nation. Vice-President added that the great power will need to be supported by willpower and advanced knowledge. He further stressed that “Maritime is not only to connect one island to another, but is also to have a huge resource as drawn by willpower and advanced technology to explore such resources. The resources include among others a huge amount of mineral resources and natural gas. The government should therefore effort to preserve them by maintaining the sea sovereignty, among others by alleviating illegal fishing”.  He further emphasized that without sovereignty in the sea, such resources cannot be optimally obtain for our welfare. He assured that “the commemoration of Nusantara Day is a beginning day for improving maritime affairs. The annual celebration day will figure out the unity of Indonesia in determining to advance the nation from the land and the sea”.

In connection with that, the above commemoration directly linked to the tourism promotion as a compact package.  As Presidential Decree Number 10 Year 2015 on Coordinating Ministry for Maritime Affairs signed 21 January 2015 stipulates that the coordinating ministry includes ministry of tourism. As a matter of fact, there are various challenges to promote maritime development. The challenges cover from security and political affairs to social and economic issues. The challenges are among others the borderlines, piracy, people’s smuggling, refugee from regional neighbor countries, legal aspects, business rivalries, and other marine matters. And the government should take several actions.

The government keeps endeavoring to realize its consistency in the framework of strengthening Indonesia’s maritime status. After doing handling over illegal fishing, the next step will be done by the government is to rearrange the national fishing industry. The government targets to return Indonesia as the Asia’s number one in catching-fishing industry like during the mid 1990s.

One challenge is to create new prioritized tourism destination icons other than Bali. The government announces ten tourism icons for the year 2016. The icons range from western to eastern and from northern to southern Indonesia. Three of them are inland-tourism icons (Toba, Borobudur, and Bromo Tengger). While the rest seven icons are island-tourism icons (Tanjung Kelayang, Kepulauan Seribu, Tanjung Lesung, Morotai, Wakatobi, Labuan Bajo, and Mandalika).

Another important challenge is nation branding. Indonesia needs a compact yet comprehensive “nation brand” in order to raise the country’s admirably reputation. The nation brand can represent the positive image of Indonesia. The government will fashion an identical logo-and-slogan for the promotion of tourism, trade, and investment sectors. Indonesia actually has already two slogans “remarkable Indonesia” and “wonderful Indonesia”. The government will create one family branding which all sectors will be in the same line in branding the nation. The influence of country brand will boost the percentage of tourism, trade, and investment. At last, nation branding is functioning as one of public diplomacy efforts in terms of soft power of the country.

 

Observances for the Year 2017

At the very end, we have to consider some observances in the year 2017 that shall be conducted appropriately. They range from national-scale agenda, regional-scope program, to global-wide event. For national-scale agenda the government shall observe in a more frequent manner over “Sailing Indonesia”. We have observed Sail Banda (2010), Sail Wakatobi-Belitong (2011), Sail Morotai (2012), Sail Komodo (2013), Sail Raja Ampat (2014), Sail Tomini (2015), and Sail Selat Karimata (2016). There is a need to observe more than one “Sail program” a year to invite familiarity and recognition toward maritime existence on Indonesian people’s consciousness. Moreover, it is important to note that next year will be the 60th year commemoration of Djuanda Declaration (13 December 1957) which is nationally celebrated as Nusantara Day (Hari Nusantara) as an annual agenda. As Indonesia proclaims its maritime fulcrum, we shall observe the declaration in a distinctive celebration on a timely momentum.

For regional-scope program, among others, there is an annual international youth exchange program so-called “The Ship for Southeast Asian Youth Programme” (SSEAYP). The programme is held by the governments of ASEAN and Japan. Next year the programme will reach its 44th programme. The programme is conducted on board the cruise ship Nippon Maru and visited around six ASEAN countries and Japan annually. The programmes have in fact created friendship, brotherhood, and family hood among the participating youths and leaders that in its turn it will create peace and harmony among countries. Such programme can become the blue print for creating, among others, Indonesia Youth Exchange Program on board Indonesian traditional and/or military and/or business cruise ship(s) by inviting the participation from each province’s youth and explore every single province’s maritime richness consecutively in a regular manner. By the same token, the ASEAN has been entering the ASEAN Community since last 2015. It is the time for ASEAN member countries to realize the ASEAN Socio-Cultural Community as one of three pillars of ASEAN Community by expanding cultural relations through tourism exchanges regarding that ASEAN member countries are very diverse in terms of socio-culture, unexceptionally tourism diversity.

For global-wide event, Indonesia is now the chair of Indian Ocean Rim Association (IORA) for 2015-2017 period. In the framework of the 20th commemoration of formation of IORA on 7 March 1997, Indonesia will host the one-off IORA Summit on 7 March 2017. The summit will then fortunately become the first international-scale maritime summit for Indonesia. Therefore, it will be the right time and the right place for echoing Indonesia’s maritime fulcrum globally as well as the best occasion and location for promoting Indonesia’s tourism attractions. Last but not least, during the United Nations seventieth session’s ’ second committee of agenda item 20 on Sustainable development, the 81st UN General Assembly’s plenary meeting on 22 December 2015 has adopted the draft resolution proposed by Indonesia and other more than 30 countries on tourism and development. The resolution is namely A/RES/70/193 International Year of Sustainable Tourism for Development, 2017. The resolution, among others,  “Recognizing the importance of international tourism, and particularly of the designation of an international year of sustainable tourism for development, in fostering better understanding among peoples everywhere, leading to a greater awareness of the rich heritage of various civilizations and bringing about a better appreciation of the inherent values of different cultures, thereby contributing to the strengthening of peace in the world,” and “Recognizing also the important role of sustainable tourism as a positive instrument towards the eradication of poverty, the protection of the environment, the improvement of quality of life and the economic empowerment of women and youth and its contribution to the three dimensions of sustainable development, especially in developing countries,”. Therefore, we shall observe the global-wide event on tourism and development as Indonesia is one of countries who propose the adopted draft resolution on International Year of Sustainable Tourism for Development, 2017. This resolution is well-timed and in conforms to Indonesia’s maritime fulcrum doctrine in the framework for promoting the nation’s tourism.

 

* Drs. Hardyanto,  M.P.A, M.A., Kepala Bidang Naskah pada Asisten Deputi Bidang Naskah dan Terjemahan, Deputi Bidang Dukungan Kerja Kabinet; Indonesia Participating Youth in the 17th SSEAYP 1990 dan Indonesia National Leader in the 31st SSEAYP 2004.

Nuklir, Apa Manfaatnya Buat Kita ?

$
0
0

HamidiOleh : M. Hamidi Rahmat

Bila mendengar kata “Nuklir”, sontak terbayang dalam pikiran kita pada umumnya, bom yang dijatuhkan Amerika Serikat pada bulan Agustus 1945 di dua kota Jepang, yaitu Hiroshima dan Nagasaki untuk mengakhiri Perang Dunia kedua. Sebanyak 129.000 jiwa tewas akibat bom atom atau bom nuklir tersebut. Ini merupakan penggunaan senjata nuklir pertama kalinya dalam sejarah, dan mudah-mudahan juga yang terakhir.

 

Atau mungkin pikiran sebagian dari kita terbang ke Chernobyl di Ukraina (dahulu termasuk Rusia), dimana terjadi kecelakaan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Ada juga yang pikirannya terbang ke Fukushima (Jepang) yang PLTN nya meledak akibat terjadinya gempa dan tsunami pertengaahan Maret 2011. Atau ke kota-kota lainnya yang pernah terjadi kecelakaan PLTN, seperti di beberapa kota di Amerika Serikat dan Eropah Timur.

 

Kecelakaan PLTN Three Mile Island, Pennsylvania, Amerika Sekitat, terjadi pada 28 Maret 1979, yang mengakibatkan kerugian sekitar 2,4 miliar USD, tanpa ada korban jiwa. Pada tanggal 9 Maret 1985 terjadi pula kecelakaan PLTN Athens, Alabama, Amerika Serikat, meskipun juga tidak menelan korban jiwa, tetapi mengakibatkan kerugian sekitar 1,8 miliar USD. Kemudian pada tanggal 11 April 1986 terjadi pula kecelakaan PLTN Plymouth, Massachusetts, Amerika Serikat, yang mengakibatkan kerugian sekitar 1.001 miliar USD, tanpa ada korban jiwa.

 

Sedangkan kecelakaan PLTN Chernobyl di Ukraina terjadi pada tanggal 26 April 1986, yang mengakibatkan 56 orang tewas dan 4.000 orang mengalami kanker akibat radiasinya. Kerugian ditaksir mencapai 6,7 miliar USD. Sebelumnya kecelakaan PLTN Jaslovske Bohunice, Cekoslovakia, terjadi pada tanggal 22 Februari 1977 dengan kerugian sekitar 1,7 miliar USD, tanpa korban jiwa. Setahun sebelumnya, pada tanggal 5 Januari 1976 di tempat yang sama juga telah terjadi kecelakaan yang mengakibatkan korban 2 orang tewas.

 

Memang sudah banyak terjadi kecelakaan PLTN. Dari tahun 1961 hingga 2011 atau dalam kurun waktu sekitar 50 tahun telah terjadi sekurangnya 24 kali kecelakaan PLTN.  Dari jumlah itu, terjadi di AS sebanyak 12 kali , di Rusia sebanyak 3 kali, di Jepang sebanyak 3 kali, di Cekoslovakia sebanyak 2 kali, di Jerman sebanyak 2 kali, di Switzerland sekali dan di Swedia sekali. Yang terbesar dan tak terlupakan sepanjang sejarah umat manusia, tentu kecelakaan PLTN Chernobyl di Ukraina dan PLTN Fukushima di Jepang (energitoday.com, Oct 9, 2012).

 

Pemanfaatan Nuklir

 

Serentetan peristiwa kecelakaan PLTN itu membuat masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia takut dan khawatir jika di daerahnya sudah berdiri atau akan dibangun PLTN.

 

Meskipun demikian, kita tidak boleh terlalu takut, tidak boleh anti, dan tidak boleh juga menjauhkan diri dari nuklir. Yang kita perlukan adalah kehati-hatian, ketelitian, kecermatan dan kewaspadaan. Kita butuh nuklir, kita butuh PLTN. Kalaulah penduduk dunia ini tidak butuh, atau kalau para ahli sudah mampu menggantikannya dengan sumber energi lain untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik, tentu tidak ada lagi PLTN di muka bumi ini.

 

Soal kecelakaan, soal kelemahan PLTN, menurut Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto, tidak seorangpun yang bisa menjamin satu teknologi selalu aman 100 % sepanjang masa. Pada suatu saat mungkin saja terjadi kecelakaan. Hal tersebut disampaikan kepada penulis, ketika rombongan dari Sekretariat Kabinet mengunjungi reaktor serba guna Siwabessy di Batan Serpong pada tanggal 30 Desember 2015 yang lalu.

 

Benar juga yang dikatakan Kepala Batan bahwa tidak satupun teknologi yang bisa dijamin selalu aman 100 % sepanjang masa, misalnya teknologi transportasi. Betapa banyak sudah terjadi kecelakaan penerbangan, toh kita tetap naik pesawat. Betapa banyak sudah terjadi kecelakaan di perairan, toh kita tetap mengandalkan kapal laut. Betapa banyak sudah terjadi kecelakaan kereta api, toh kita rutin menggunakan jasa PT KAI ini. Betapa banyak sudah terjadi kecelakaan di jalan raya dan ini terjadi setiap hari di berbagai lokasi, toh kita selalu naik bis, selalu naik mobil atau selalu naik sepeda motor. Bahkan kecelakaan sepeda motor-lah yang paling banyak terjadi.

 

Dalam pemanfaatan nuklir untuk PLTN di negara kita, Pemerintah sangat hati-hati, cermat dan teliti. Kebijakan Pemerintah ini dapat dilihat dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang diterbitkan.  Misalnya, Undang-undang nomor 30 tahun 2007 tentang Energi, dan Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).

 

Sebagaimana telah dijelaskan pada artikel terdahulu bahwa dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 menargetkan EBT sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Sebagian kontribusi EBT tersebut juga bisa berasal dari nuklir, karena nuklir merupakan salah satu sumber energi baru, sebagaimana disebutkan dalam undang-undang nomor 30 tahun 2007.

 

Namun, Pasal 11 Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 telah membatasi pemanfaatan sumber energi nuklir. Pasal tersebut menyatakan bahwa energi nuklir dimanfaatkan dengan mempertimbangan keamanan pasokan energi nasional dalam skala besar, mengurangi emisi karbon dan tetap mendahulukan potensi energi baru dan energi terbarukan sesuai nilai keekonomiannya, serta mempertimbangkan energi nuklir sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat.

 

Selain untuk pembangkit listrik (PLTN), nuklir juga dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang kehidupan manusia yaitu pangan/pertanian, kesehatan, industri, sumber daya alam dan lingkungan. Demikian ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.

 

Laporan Batan (6/9/2016) menyebutkan bahwa nuklir juga dimanfaatkan untuk (1) Litbang radiografi industri untuk pengujian material hingga logam tanah jarang yang digunakan oleh industri, (2) Aplikasi teknik nuklir khususnya sinar gamma untuk keperluan non destructive testing atau uji tak rusak bagi obyek tertentu, (3) Material maju untuk pembuatan baterai mikro isi ulang berbasis lithium ion dan polimer biodegradable yang ramah lingkungan untuk peralatan elektronik, dan (4) Litbang tanah jarang, serta penyelidikan, eklporasi dan ekploitasi mineral radioaktif, dan pencarian sumber air tanah.

 

Pemanfaatan Nuklir di Bidang Pangan

 

Pemanfaatan nuklir di bidang pangan/pertanian, kesehatan dan industri tidak terbatas pada uraian dibawah ini, karena yang dijabarkan hanyalah apa yang dihasilkan dan dilaporkan oleh Batan. Dalam laporan tersebut, Batan memaparkan bahwa dalam kerangka mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Litbang Batan telah menghasilkan varietas tanaman pangan unggul yaitu lebih dari 21 (dua puluh satu) varietas padi unggul, 8 (delapan) varietas kedelai, 2 (dua) varietas kacang hijau, 1 (satu) varietas sorgum dan gandum tropis.

 

Terhadap benih varietas tanaman pangan unggul yang telah dihasilkan tersebut, Batan telah melakukan kajian dari aspek ekonomi dan melakukan upaya-upaya agar benih varietas tersebut dapat diproduksi dan dipasarkan sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

 

Benih padi varietas Batan telah terbukti bisa meningkatkan pendapatan petani sekitar 25% karena produktivitasnya lebih tinggi (7-9 ton/ha) dibandingkan dengan rata-rata produktivtas nasional (5,1 ton/ha). Beberapa varietas padi hasil litbang Batan yang diminati petani (Si-denuk, Bestari, Mugibat, Suluttan Unsrat-1 dan 2, Mira-1) telah diproduksi oleh para produsen benih di beberapa daerah (rata-rata produksi 100 ton/tahun).

 

Benih Kedelai varietas Batan rata-rata mempunyai produktivitas sebesar 2,2 sampai 3,6 ton/ha, lebih tinggi daripada rata-rata nasional yang kurang dari 1,8 ton/ha. Beberapa varietas kedelai Batan yang sudah diproduksi oleh penangkar daerah adalah: Mutiara 1, 2 dan 3, Rajabasa, Gama-sugen dan Mitani.

 

Sedangkan untuk Benih Sorgum, hasil studi kelayakan menunjukkan bahwa secara ekonomi budidaya Sorgum layak dikembangkan di daerah marginal dengan memanfaatkan sistem pertanian terpadu (pangan, pakan ternak, dan industri). Namun, sampai saat ini belum ada ketertarikan petani di daerah untuk mengembangkan budidaya Sorgum. Oleh karena itu Batan sedang melakukan pembinaan kepada petani untuk mengembangkan budidaya Sorgum di daerah potensial, melalui kerja sama dengan kelompok tani atau kelompok peternak, industri pangan, koperasi, dinas pertanian dan perguruan tinggi.

 

 

Pemanfaatan Nuklir di Bidang Kesehatan

 

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menetapkan bahwa pembangunan sektor kesehatan dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya yang diimplementasikan melalui upaya kesehatan. Kegiatan terkait upaya kesehatan dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan masyarakat.

Peran aplikasi teknologi nuklir  dalam mengembangkan sejumlah peralatan medis dan produk kesehatan untuk menangani berbagai penyakit, yaitu: Kamera Gamma, Renograf dan Thyroid Uptake, Radiofarmaka I-131 Hippuran, Biomaterial untuk Keperluan Klinis, Mo-99/Tc-99 Generator dan I-131 Oral Solution.

 

Pertama, Kamera Gamma. Digunakan dalam penelitian kanker payudara dan kanker prostat dan keperluan riset penyakit lainnya yang menyangkut jantung, tulang, otak, fungsi ginjal dan lain sebagainya. Keunggulannya, dapat memberikan informasi fisiologis sehingga jika terjadi kelainan fisiologi dapat segera diketahui. Tingkat akurasi yang tinggi dan waktu analisis yang cepat. Harga jauh lebih murah dibanding produk impor.

 

Kedua, Renograf dan Thyroid Uptake. Renograf XP USB merupakan alat periksa fungsi ginjal berbasis teknik nuklir yang dioperasikan dengan sistem komputer. Alat ini telah tervalidasi dalam seminar yang diselenggarakan oleh Badan Tenaga Atom Internasional. Sedangkan Thyroid Uptake merupakan perangkat diagnostik uji tangkap kelenjar gondok atau thyroid up-take diagnostic secara in vivo. Fungsi alat ini untuk mempelajari kecepatan kelenjar gondok dalam mengakumulasi dan melepaskan iodium sebagai komponen pembentukan hormon tiroksin. Perunut yang dipakai adalah isotop Iodium-131 (I-131) yang diberikan ke pasien

 

Ketiga, Radiofarmaka I-131 Hippuran. Digunakan untuk pemindaian tulang dan pemeriksaan fungsi ginjal. I-131 Hippuran saat ini diproduksi oleh Batan bersama PT. Inuki (Persero) dengan produksi rata2 100 mCi/minggu atau 400 mCi/bulan. Total produksi dalam satu tahun sekitar 4.800 mCi I-131 Hippuran. Jika ditinjau dari pasien ginjal yang meningkat dari tahun ke tahun, kebutuhan Hipuran I-131 jumlahnya cukup besar. Namun hal ini harus diimbangi dengan penyebaran alat Renograf yang menggunakan hipuran tersebut. Penyebaran Renograf yang mulai diproduksi oleh pihak swasta harus bisa menembus wilayah yang membutuhkan alat tersebut khususnya di daerah yang mempunyai kasus penyakit ginjal cukup tinggi.

 

Keempat, Biomaterial untuk Keperluan Klinis, berupa allograf tulang manusia, xenograft/graf tulang sapi, dan membran amnion. Berdasarkan data tahun 2014 nilai kapitalisasi impor biomaterial dibutuhkan 1,4 juta pcs bahan biomaterial. Kebutuhan ini meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya kasus penyakit seperti kanker tulang, periodentitis, patah tulang dan trauma pada mata.

 

Kelima, Mo-99/Tc-99 Generator dan I-131 Oral Solution. Batan bersama PT Inuki telah mampu memproduksi untuk mencukupi kebutuhan nasional, bahkan melakukan ekspor di beberapa negara di Asia (Malaysia, Vietnam, China, Bangladesh, Korea, Jepang, dan Philipina).  Harga produk Batan dan PT Inuki jauh lebih murah dibanding produk negara lain. Kebutuhan dalam negeri untuk Tc-99 Generator sekitar 500 unit. Kebutuhan I-131 Oral Solution adalah 90.000 mCi/tahun. Sedangkan kebutuhan Mo-99 untuk Asia sebesar 1.200 Ci/tahun. Sementara kebutuhan dunia akan radioisotop ini juga semakin meningkat

 

Disamping kelima produk kesehatan tersebut di atas, Batan juga mengaplikasi radiasi sinar gamma dari iradiator untuk mensterilkan beberapa alat dan produk kesehatan seperti jarum suntik, sarung tangan bedah, kateter, dan hemodialiser atau alat pencuci darah. Selain itu, sterilisasi juga dilakukan terhadap bahan jaringan dan jaringan biologi yang kemudian di simpan di Bank Jaringan. Sterilisasi dilakukan dengan memanfaatkan energi radiasi yang tinggi guna membunuh mikroba seperti bakteri, jamur (kapang), atau virus.

 

Pemanfaatan Nuklir di Bidang Industri

 

Di bidang industri, Batan memiliki dua produk yaitu Radioisotop Iridium-192 (Ir-192) dan Portal Monitor Radiasi (PMR). Pertama, Radioisotop Iridium-192 (Ir-192) digunakan sebagai Gamma Camera untuk uji tak merusak (NDT). Pada dasarnya PT Inuki mampu memproduksi Ir-192 sumber tertutup secara ekonomis untuk keperluan NDT (jasa radiografi). Nilai jual Ir-192 yang diproduksi PT Inuki lebih rendah/ lebih ekonomis dibandingkan harga impor. Dan produksi Ir-192 sumber tertutup untuk NDT memberikan nilai ekonomi yang tinggi.

 

Kedua, Portal Monitor Radiasi (PMR) digunakan untuk mengawasai peredaran radioaktif, dan juga sebagai keamanan peredaran radiaktif, termasuk peredaran radiaktif yang illegal. Produk ini cukup prospektif digunakan di bandar udara, pelabuhan dan perbatasan wilayah. Pada dasarnya PT Inuki mampu memproduksi PMR untuk mendukung ketahanan nasional, tetapi sampai saat ini masih diproduksi untuk skala litbang, dan belum dapat diproduksi massal.

Mimpi Manis Swasembada Gula Indonesia

$
0
0

okta

Oleh: Oktavio Nugrayasa, SE, M.Si

Dalam kerangka ekonomi nasional, komoditas gula merupakan salah satu komoditas bahan pangan pokok strategis. Strategis karena pentingnya komoditas tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan kalori bagi masyarakat Indonesia maupun Industri makanan dan minuman. Sementara dari sisi lain, merupakan sumber pendapatan bagi sekitar 1 juta petani serta hampir 2 juta tenaga kerja yang terlibat langsung pada di sektor industri perkebunan tebu nasional.

Komoditas gula ditetapkan sebagai salah satu target pencapaian sasaran pokok kebijakan pemerintah dalam pembangunan nasional RPJM 2015-2019. Dengan target produksi pada tahun 2019 dapat mencapai produksi sebesar 3,8 juta ton serta baseline di tahun 2014 sebesar 2,6 juta ton.

Saat ini, permintaan komoditas gula jumlahnya terus mengalami peningkatan sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, serta semakin berkembangnya usaha industri makanan dan minuman yang menggunakan bahan bakunya gula.

Dengan permintaan gula yang terus meningkat setiap tahun telah menyebabkan pemenuhan produksi gula di dalam negeri tidak bisa mencukupi, dimana berdasarkan data BPS RI (2015) jumlah realisasi angka produksi gula nasional pada tahun 2015 angkanya mencapai 2,497 juta ton yang dihasilkan dari areal perkebunan tebu yang ada sebesar 446.060 hektar. Sedangkan, angka kebutuhan konsumsi gula nasional setiap tahunnya membutuhkan kurang lebih sebesar 5 juta ton sehingga produksi gula mengalami defisit jumlahnya mencapai 2,503 juta ton setiap tahun. Pada tahun 2016 diperkirakan stok gula nasional hanya mencapai 3,317 juta ton dan untuk menutupi kebutuhan konsumsi di dalam negeri yang tidak mencukupi tersebut diusahakan melalui impor gula.

Masalah Usahatani Tebu

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian RI, untuk luas areal tebu nasional tahun 2016 angkanya mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2015 sebesar 452 hektare.

Komposisi kepemilikan areal perkebunan tebu di Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok besar, antara lain perkebunan besar rakyat (PBR) mencakup luas areal sebesar 208 ribu hektare atau sekitar 62%, dan perkebunan besar negara (PBN) luas areal sebesar 63 ribu hektare atau sekitar 14%, serta perkebunan besar swasta (PBS) mencakup luas areal sebesar 108 ribu hektare atau sekitar 24%. Sedangkan untuk jumlah total produksi gula yang dihasilkan dari masing-masing perkebunan angkanya yang dihasilkan oleh PBR sebesar 1,7 juta ton, PBN sebesar 306 ribu ton, serta PBS angkanya sebesar 723 ribu ton. Dari angka tersebut, maka kemampuan jumlah produksi gula nasional sebagian besar masih dipenuhi dengan menggunakan bahan baku yang banyak di usahakan oleh perkebunan milik para petani.

Dalam upaya meningkatkan produksi gula nasional mutlak diperlukan peningkatan luas areal perkebunan beserta peningkatan produktivitas dan penerapan pola usahatani yang dilakukan oleh para petani melalui peningkatan rendemen tebu, serta efisiensi ditingkat pabrik pengolahan dengan peningkatan teknologi mesin giling. Rendemen tebu, adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen, jika dikatakan rendemen tebu sebesar 10%, artinya dari 100 kilogram tebu yang digiling di pabrik gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kilogram.

Terjadinya penurunan rendemen tebu disebabkan oleh ketidakpahaman para petani dalam melakukan sistem tanam tebu. Hal ini dikarenakan tanaman keprasan tebu yang seharusnya di panen maksimal sebanyak 3-4 kali, oleh petani dijadikan 8-12 kali panen. Bagi petani selain menghemat biaya dalam hal pembibitan juga akan menghemat tenaga kerja bongkar maupun tanam. Sehingga mengakibatkan jumlah rendemen tebu berkurang hingga 7,5%, sedangkan standar minimal rendemen yang digunakan untuk gula sebesar 12%.

Dengan jumlah rendemen tebu yang dihasilkan di bawah standar minimal dalam hal penjualan, maka tebu biasanya di hargai jauh di bawah normal. Sebagian petani yang memahami pentingnya menjaga rendemen agar tinggi tidak serta merta menerapkan kepras tebu yang 3 kali untuk mendapatkan rendemen yang tinggi, namun cenderung membiarkan tanaman tebunya tumbuh hingga panen ulang. Kondisi ini dikarenakan banyak para petani tebu yang ada selalu mengeluhkan kesulitan dalam hal permodalan.

Peranan pabrik gula selaku unit pengolahan tebu menjadi gula kristal putih (GKP) sangat menentukan. Dari proses tersebut akan dihasilkan produk berupa gula kristal putih yang dikenal di pasar dengan sebutan gula pasir.

Akibat dari kualitas rendemen tebu Indonesia yang rendah, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor gula mentah (raw sugar) tanpa bea masuk agar pabrik-pabrik tebu yang ada di Indonesia tidak gulung tikar. Namun, dalam kebijakan ini menyusul masalah tebu lain, yaitu jatuhnya harga gula dalam negeri atau kalah bersaing dengan gula impor yang harganya murah serta bocornya gula mentah tersebut yang tidak sehat di pasaran. Langkah untuk mengatasi persoalan jatuhnya harga gula di dalam negeri serta mencegah merembesnya gula rafinasi beredar di pasar tradisonal, maka telah ditetapkan Permendag Nomor 117/M-DAG/PER/12/205 tentang Ketentuan Impor Gula. Kondisi ini merupakan tindak lanjut pemerintah dalam mengatur kembali ketentuan impor agar dapat mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga gula nasional.

Upaya Peningkatan Produksi Menuju Swasembada Gula Nasional

Kemampuan jumlah produksi gula nasional sebagian besar masih dipenuhi menggunakan bahan baku yang banyak di usahakan oleh para petani, sehingga dalam mewujudkan swasembada gula nasional sebaiknya kebijakan pergulaan nasional lebih di arahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan sekaligus ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani tebu.

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah menetapkan kebijakan pembangunan perkebunan melalui 5 (lima) poin kebijakan, agar mengarah pada peningkatan produktivitas gula nasional. Ke lima point tersebut antara lain,

  1. Proyeksi Produksi Gula Nasional

Proyeksi produksi selama 2 tahun (2017-2019) diperkirakan akan mengalami kenaikan sebesar 3%. Pada tahun 2017 perkiraan produksi gula kristal putih (GKP) sebesar 3,03 juta ton, kemudian pada tahun 2018 sebesar 3,09 juta ton dan terakhir pada tahun 2019 angkanya mencapai 3,14 juta ton.

  1. Penambahan Luas Areal Perkebunan Tebu di luar Pulau Jawa

Pemerintah akan menyediakan lahan untuk pengembangan tebu seluas 600 ribu hektare di luar Pulau Jawa setiap tahunnya sehingga pada tahun 2019 total perluasan areal sebesar 2,4 juta hektare.

  1. Penetapan 10 (sepuluh) Propinsi Pengembangan Tebu di luar Pulau Jawa

Basis kawasan yang akan dijadikan sebagai sentra perkebunan tebu, yaitu di Aceh, Sumatera Selatan, Lampung, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Gorontalo dan Papua.

  1. Revitalisasi on farm dan off farm

Sebagian besar pabrik gula-gula milik pemerintah mesinnya sudah berusia tua dengan peremajaan mesin produksi baru diharapkan dapat meningkatkan hasil produktivitas dari hasil tebu maupun gula yang diproduksi mampu 30.000 ton tebu perhari (TCD)

  1. Pembangunan 10 (sepuluh) Pabrik Gula Baru

Pembangunan pabrik gula tersebut diharapkan dapat menaikan rendemen tebu secara bertahap, dimana saat ini angkanya mencapai rata-rata sebesar 6-7,5%, maka dengan pendirian pabrik gula baru tersebut diharapkan mampu menaikan rendemen tebu hingga 11-12%.

Analisis sementara terhadap kinerja industri gula nasional pada umumnya program Revitalisasi Industri Gula yang dilakukan secara terbatas telah menuai hasil yang meningkat dengan peningkatan kapasitas dan efisiensi di seluruh pabrik gula. Konsekuensinya, ke depan sangat diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dalam membina petani untuk meningkatkan produktivitas maupun upaya-upaya perluasan areal pertanaman.

Secara teknis budidaya masih banyak yang mesti dibenahi secara terus menerus, seperti aspek benih/bibit dan penataan varietas yang memberikan pedoman kepada para pengelola kebun tebu untuk memanfaatkan potensi varietas dalam upaya peningkatan produktivitas tebu dan gula yang dihasilkan, sesuai dengan tipologi lahan yang digunakan termasuk didalamnya penyelenggaraan kebun bibitnya, serta manajemen tebang angkut. Hal lainnya adalah diperlukan penguatan modal kepada koperasi tani tebu agar mampu meningkatkan akses petani terhadap kredit dan penyediaan sarana produksi.

Ada yang mengatakan tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat terjadi kecuali awalnya ada sebuah mimpi dan usaha untuk mewujudkannya yaitu menuju swasembada gula nasional di tahun 2019.

Kepala Bidang Ketahanan Pangan, Deputi Bidang Perekonomian, SETKAB RI          


Tahun 2017 Kita Genjot Sektor Pariwisata

$
0
0

Screenshot_2017-01-06-18-50-41_1Oleh: M. Arief Khumaedy*)
Pariwisata menjadi prioritas nasional dalam RPJM 2015 2019. Secara bertahap dari tahun ke tahun dalam periode 5 tahun RPJM 2015-2019 pembangunan pariwisata di prioritaskan dan diberi target pencapaiannya.

Di tahun 2019 akhir RPJM periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, target wisatawan asing berkunjung berjumlah 20 juta, wisatawan nusantara yaitu pengunjung dari dalam negeri berjumlah 275 juta orang.

Dari sektor pariwisata ini ditargetkan akan menghasilkan devisa 260 Trilyun. Di Tahun 2017 yang baru kita masuki ini sektor pariwisata secara konsisten menjadi program prioritas, yaitu pembangunan pariwisata Indonesia “Wonderful Indonesia”. Pariwisata merupakan salah satu dari 5 (lima) sektor prioritas pembangunan 2017, yaitu pangan, energi, maritim, pariwisata, kawasan industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), begitu yang tercantum dalam RKP 2017. Dalam KEK sendiri juga terdapat KEK Pariwisata, seperti KEK Tanjung Lesung, menunjukkan adanya upaya sungguh sungguh untuk mengembangkan pariwisata nasional.

Pariwisata sebagai sektor yang strategis dan menjadi media integrasi program dan kegiatan antar sektor pembangunan, sehingga pariwisata sangat masuk akal ditetapkan menjadi leading pembangunan. Maksud menjadi leading pembangunan adalah dapat menggerakkan perekonomian bangsa. Seperti yang disampaikan Menteri Pariwisata, Arief Yahya bahwa Pariwisata adalah kunci pembangunan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Setidaknya terdapat beberapa alasan sektor pariwisata patut di dorong perkembangannya.
Pertama, dengan meningkatnya destinasi dan investasi pariwisata di Indonesia, menjadikan Pariwisata sebagai faktor kunci dalam pendapatan ekspor, penciptaan lapangan kerja, pengembangan usaha dan infrastruktur. Kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB dalam lima tahun terakhir yaitu tahun 2010 sd 2015 selalu mengalami peningkatan. Menurut sumber BPS/Kementerian Pariwisata, tahun 2010 kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB sebesar 261,05 T menjadi 461,36 T rupiah. Kontribusi sektor pariwisata terhadap Devisa sebesar 7.603,45 juta dollar pada tahun 2010 menjadi 12.225,89 juta dollar (2015) dan kontribusi terhadap Tenaga Kerja sebesar 4 juta orang tahun 2010 menjadi 12,1 juta orang atau 10,6% dari total tenaga kerja nasional.
Kedua, Pariwisata telah mengalami ekspansi dan diversifikasi secara berkelanjutan di dunia dan menjadi salah satu sektor ekonomi yang terbesar dan mengalami pertumbuhan tercepat di dunia. Hal ini dibuktikan bahwa meskipun negara-negara di dunia mengalami krisis global beberapa kali, nanun jumlah orang yang melakukan perjalanan wisatawan di tingkat internasional menunjukkan pertumbuhan yang positif dari tahun ke tahun. Tahun 1950 terdapat 25 juta wisatawan wisatawan yang melakukan kunjungan di tingkat internasional. Tahun 1980 menjadi 278 juta orang, tahun 1995 menjadi 528 Juta orang, terus meningkat menjadi 1,14 Miliar orang (2014) dan 1,18 Miliar orang (2015). Data tersebut menunjukkan wisatawan di dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan tidak terpengaruh secara ekstrim ketika dunia mengalami pertumbuhan ekonomi dunia yang fluktuatif, sebaliknya dalam skala global sektor Pariwisata mampu mempertahankan pertumbuhan, antara lain ditunjukkan dengan pertumbuhan terhadap PDB 0,2%, Ekspor Dunia 2,3%, dan pertumbuhan jumlah wisatawan dunia mengalami kenaikan 0,4 Miliar.
Di sisi lain pariwisata Indonesia memiliki banyak keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, yang ke depan tahun 2019 diproyeksikan pariwisata menjadi kelompok 4 (empat) sektor penghasil devisa terbesar di Indonesia, yaitu sebesar US$ 24 Miliar, melampaui sektor Migas, Batubara dan Minyak Kelapa Sawit. Dampak devisa yang yang dihasilkan dari sektor pariwisata tersebut diharapkan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada tahun 2019 ini, Pariwisata Indonesia ditargetkan menjadi destinasi yang terbaik di kawasan regional dan mampu melampaui ASEAN. Kita ketahui bahwa pesaing utama pariwisata Indonesa saat ini adalah Thailand dengan perolehan devisa dari pariwisata lebih dari US$ 40 Miliar. Langkah-langkah untuk menjadi destinasi pariwisata tingkat dunia tersebut telah dilaksanakan antara lain melalui Country Branding Wonderful Indonesia. Country Branding Wonderful Indonesia yang semula tidak masuk ranking branding di dunia, namun pada tahun 2015 Country Branding Wonderful Indonesia melesat lebih dari 100 peringkat menjadi ranking 47, menyalip country branding Truly Asia Malaysia (ranking 96) dan country branding Amazing Thailand (ranking 83). Hal ini menunjukkan Country branding Wonderful Indonesia mencerminkan Positioning dan Differentiating Pariwisata Indonesia.
Indonesia memiliki potensi wisata untuk dikembangkan menjadi destinasi pariwisata tingkat dunia. Bangsa kita memiliki keindangan alam, kekayaan budaya nan beragam dan penduduk yang watak dan moralitasnya mendukung kenyamanan wisatawan berkunjung. Kita memiliki Bali yang sudah berkembang, memiliki Raja Ampat yang telah di kenal dunia. Saat ini kita sedang mengembangkan 10 Destinasi Prioritas yang di harapkan menarik wisatawan asing berkunjung di Indonesia, yaitu Destinasi Danau Toba di Sumatera Utara, Borobudur di Jawa Tengah, Mandalika Nusa Tenggara Barat , Bromo-Tengger-Semeru di Jawa Timur, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Tanjung Kelayang di Bangka dan Belitung, Kepulauan Seribu di DKI Jakarta, Tanjung Lesung di Jawa Barat, Moratai di Maluku Utara.

####
Upaya untuk menuju Wonderful Indonesia tersebut dilaksanakan melalui dukungan penataan anggaran money follow program. Program nasional pariwisata di “keroyok” atau didukung oleh program dan kegiatan-kegiatan Kementerian Lembaga (KL). Parwisata ditetapkan sebagai leading sektor. Semua Kementerian harus mendukung Pengembangan Pariwisata, melalui program dan kegiatan yang mendukung pengembangan pariwisata tersebut. Dengan ditetapkan sebagai leading sektor, sesungguhnya merupakan kabar gembira atau menguntungkan Kementerian dan lembaga. KL dapat lebih fokus dalam menyusun program dan kegiatan dan secara integratif menopang pembangunan program prioritas. Oleh karena KL perlu mencermati tiga kunci sukses pembangunan destinasi pariwisata, yaitu aksesibilitas, amenitas dan atraksi. Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat Daya Tarik Wisata, Fasilitas Umum, Fasilitas Pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya Kepariwisataan. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025, aksesibilitas pariwisata adalah semua jenis sarana dan prasarana transportasi yang mendukung pergerakan wisatawan dari wilayah asal wisatawan ke destinasi pariwisata maupun pergerakan di dalam wilayah destinasi pariwisata dalam kaitan dengan motivasi kunjungan wisata. Amenitas adalah fasilitas pariwisata, yaitu semua jenis sarana yang secara khusus ditujukan untuk mendukung penciptaan kemudahan, kenyamanan, keselamatan wisatawan dalam melakukan kunjungan ke destinasi pariwisata. Amenitas didalamnya terdapat prasarana umum dan fasilitas umum. Maksud prasarana umum adalah kelengkapan dasar fisik suatu lingkungan yang pengadaannya memungkinkan suatu lingkungan dapat beroperasi dan berfungsi sebagaimana semestinya. Pembangunan destinasi pariwisata juga memerlukan fasilitas umum yaitu sarana pelayanan dasar fisik suatu lingkungan yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dalam melakukan aktifitas kehidupan keseharian. Sedangkan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Pembangunan daya tarik wisata dilaksanakan berdasarkan prinsip menjunjung tinggi nilai agama dan budaya, serta keseimbangan antara upaya pengembangan manajemen atraksi untuk menciptakan daya tarik wisata yang berkualitas, berdaya saing, serta mengembangkan upaya konservasi untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber daya.
Untuk meningkatkan daya saing pariwisata Indonesia diperlukan dukungan seluruh pemerintah dan tentunya sinergi kerjasama dengan swasta dalam pembangunan infrastruktur, pemasaran dan industri pendukung lainnya. Hal ini diperlukan strategi kebijakan, perencanaan, dan pengalokasian anggaran yang sejalan dengan prioritas yang ditetapkan.
Beberapa tahun terakhir ini belanja KL mengalami peningkatan yang sangat signifikan, dan juga diikuti dengan peningkatan belanja infrastruktur rata-rata 20,8 persen per tahun. Tentu sangat ideal belanja KL ini dimanfaatkan untuk percepatan pembangunan pariwisata nasional. Untuk itu KL diharapkan lebih fokus dalam menyusun program dan kegiatan untuk mensukseskan program prioritas, yang antara lain untuk mensukseskan pariwisata. Memasuki tahun 2017 kegiatan-kegiatan perlu dilaksanakan lebih fokus, terarah dan subtansial. Melalui RKP 2017: pembangunan pariwisata yang terintegrasi (money follow program) mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan K/L untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan pariwisata. Kita harus lebih rasional, fokus dan subtansial dalam menyusun program dan kegiatan-kegiatan, terutama tahun 2018 yang akan datang, dengan memperhatikan program prioritas dan kegiatan prioritas yang mendukung target pariwisata tersebut. Fokus pelibatan K/L ini dimaksudkan untuk pengembangan destinasi pariwisata, pemasaran pariwisata nasional, pembangunan industri pariwisata dan pembangunan kelembagaan pariwisata. Masing-masing K/L sesuai fungsinya perlu pendukung keberhasilan pembangunan pariwisata tersebut.
Upaya pembangunan pariwisata perlu didukung K/L dan komponen bangsa lainnya. Begitu pentingnya sektor pariwisata ini, hingga Presiden Jokowi selalu mengingatkan untuk mengembangkan pariwisata, terutama 10 destinasi pariwisata. Presiden mengingatkan “Pastikan kemajuan di lapangan pada 10 destinasi wisata nasional.”

KEBIJAKAN BERBASIS PENELITIAN

$
0
0

khusnul baru

Kusnul Nur Kasanah, Keasdepan Bidang Kelautan dan Perikanan Deputi Bidang Kemaritiman

Mengutip pernyataan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) dalam acara “Talkshow dan Launching Organisasi Profesi Analis Kebijakan” tanggal 9 September 2016, bahwa “tantangan terbesar bagi pemerintah adalah bagaimana memproduksi kebijakan berkualitas sehingga memperkuat daya saing Indonesia dengan peluang dan sumber daya yang dimiliki. Kebijakan publik yang berkualitas dan aplikatif adalah berdasarkan bukti-bukti  yang memadai”.

Lantas bukti-bukti apa yang layak dijadikan dasar pembuatan kebijakan ?. Bukti mencakup “pengetahuan pakar, hasil penelitian yang dipublikasikan, statistik, konsultasi dengan pemangku kepentingan, evaluasi-evaluasi kebijakan sebelumnya, internet, hasil-hasil dari konsultasi, hitungan biaya opsi-opsi kebijakan, dan keluaran dari pemodelan ekonomi dan statistik” (Dikutip dari Kantor Kabinet Pemerintah Inggris dalam Marston dan Watts, 2003).

Pakar lain, Campbell menekankan bahwa bukti dapat berasal dari berbagai sumber dan tidak selalu dari penelitian, dalam hal ini bukti mengacu pada “pengetahuan terkini yang terbaik”, namun harus “relevan, representatif, dan valid”.

Penggunaan bukti dalam pengambilan kebijakan (evidence based policy) dewasa ini semakin dinilai sangat penting dan menjadi tuntutan. Salah satu dasar bukti kebijakan yang mampu mengilmiahkan kebijakan adalah hasil penelitian. Penggunaan hasil penelitian yang tidak akurat dalam pengambilan kebijakan dapat menyebabkan kegagalan kebijakan. Perubahan paradigma dalam pengambilan kebijakan berbasis bukti membuka peluang besar bagi para peneliti untuk berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan melalui kerjasama dengan para pengambil kebijakan, namun demikian masih diperlukan upaya untuk memastikan agar penelitian dapat diakses oleh para pembuat kebijakan sehingga hasil penelitiannya dapat digunakan secara lebih efektif.

Di Indonesia penggunaan penelitian sebagai dasar pembuatan kebijakan belum cukup membumi, meskipun keran peran serta peneliti dalam penyusunan Peraturan Perundang-Undangan sebagai instrumen kebijakan telah dibuka melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan selain harus melibatkan perancang peraturan perundang-undangan juga harus melibatkan peneliti. Namun, permasalahannya saat ini adalah relasi antara lembaga penelitian sebagai para pihak penyedia data dan hasil-hasil penelitian dengan pihak pengambil kebijakan belum optimal. Penyebab utamanya adalah kurangnya kualitas dan kuantitas penelitian yang relevan dengan prioritas kebijakan pemerintah, serta belum optimalnya akses pengambilan kebijakan terhadap hasil penelitian yang relevan.

Banyak kebijakan dibuat berdasarkan ideologi, intuisi, pengalaman, opini publik, atau dibuat berdasarkan kepentingan-kepentingan politik. Bahkan beberapa tokoh berpandangan sinis tentang pembuatan kebijakan, Keynes mengatakan “Tak ada yang lebih dibenci oleh suatu pemerintahan selain pengetahuan yang lengkap dan rinci, karena hal tersebut membuat proses untuk sampai ke keputusan-keputusan menjadi jauh lebih kompleks dan sulit”. Sedangkan Cook menyatakan “Tujuan utama politisi adalah lebih agar dipilih kembali daripada menghargai bukti”, dan Kogan menyampaikan  “Pemerintah akan berupaya melegitimasi kebijakan-kebijakannya dengan mengacu pada gagasan tentang pengambilan keputusan berbasis bukti, namun pemerintah hanya menggunakan bukti penelitian jika bukti tersebut mendukung prioritas-prioritas mereka yang digerakkan secara politis”.

Dasar-dasar pembuatan kebijakan yang “tidak ilmiah” tersebut sebenarnya tidak hanya didominasi terjadi di negara berkembang, negara-negara maju sekalipun masih menggunakan dasar-dasar seperti itu dalam pengambilan kebijakannya. Paradigma “pengambilan kebijakan berbasis bukti” sendiri baru mulai marak tahun 1997 yang dipopulerkan oleh Perdana Menteri Inggris, Tony Blair.

Bagaimana di Indonesia ?

Menelurkan kebijakan berdasarkan bukti ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan tidaklah mudah, butuh proses yang kompleks, sedangkan pekerjaan untuk menghasilkan bukti itu sendiri tidak kalah rumitnya. Dimana tidak semua penelitian cukup memiliki kualitas yang memadai sebagai sumber bukti bagi proses penyusunan kebijakan. Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam menghasilkan penelitian di Indonesia,

  1. Sumber Daya

Keterbatasan sumber daya baik manusia, anggaran, maupun parasarana dan sarana seolah selalu menjadi permasalahan klasik dalam berbagai hal di Indonesia, termasuk dalam hal menghasilkan penelitian. Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan infrastruktur yang tidak merata menyebabkan ada beberapa wilayah yang sulit dijangkau sehingga menjadikan kendala tersendiri bagi para peneliti, sedangkan kebijakan idealnya harus mampu mengakomodir kepentingan dan kebutuhan seluruh warga negara dimanapun mereka berdomisili. Disamping itu dengan sistem desentralisasi, dimana ada pembagian kewenangan yang menuntut kebijakan dibuat oleh Pusat dan Daerah, tentu akan sulit untuk menstandarkan kualitas kebijakan yang sama antar daerah bila melihat tingkat kemajuannya yang berbeda, terlebih bila dibandingkan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat.

Permasalahan lain yang juga banyak dialami negara berkembang pada umumnya adalah kesulitan dalam menjamin kepastian pembiayaan. Dilansir dari pernyataan Menteri Ristek Dikti (September 2016), alokasi belanja Litbang (penelitian dan pengembangan) di Indonesia masih sangat minim. Data tahun 2015, nilainya masih berkisar 0,2 persen dari PDB (sekitar Rp 17 triliun). Jika dibandingkan dengan negara lain, belanja litbang Indonesia dalam posisi paling bawah di ASEAN. Bandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika yang mengalokasikan anggarannya sebesar 2,7 persen, Jerman 2,85 persen, Singapura dan Thailand 2,5 persen, Jepang 3,4 persen dan Taiwan 2,35 persen. Padahal, masih menurut Menteri Ristek Dikti, pendanaan kegiatan litbang yang signifikan akan berdampak pada peningkatan kualitas dan kuantitas hasil penelitian. Peningkatan pembiayaan litbang Indonesia tidak sepesat kenaikan APBN. Data yang dipublikasikan LIPI, rasio anggaran litbang terhadap APBN yang dihitung dari tahun 1969 sampai 2009 menujukkan pola yang terus menurun. Hal ini menggambarkan bahwa perhatian pemerintah terhadap program litbang pada awal pembangunan cukup tinggi dan selanjutnya turun secara drastis menuju keadaan stagnan. APBN telah mengalami kenaikan 4000 kali lipat sementara program litbang hanya naik 420 kali lipat.

Dengan kondisi tersebut, tantangan penelitian bukan hanya bagaimana menghasilkan penelitian yang berkualitas, namun tepat guna dan efisien dalam penggunaan anggaran, padahal di sisi lain kegiatan penelitian membutuhkan biaya yang besar, khususnya ketika penelitiannya menuntut metodologi yang lebih akurat.

  1. Ketersediaan Data

Keberadaan Badan Pusat Statistik (BPS) memang sangat membantu bagi ketersediaan data, demikian pula dengan data-data statistik seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan politik yang dihasilkan oleh kementerian terkait, namun sejauh ini informasi publik yang seharusnya disediakan di sebuah situs jaringan resmi, pada kenyataannya statistik tersebut bisa jadi sangat sulit di akses. Pun ketika Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sudah diberlakukan. Disamping itu dalam proses pengumpulan data sering dihadapkan pada birokrasi yang tidak perlu, pemenuhan persyaratan administratif yang memakan waktu lama sehingga menghambat, untuk itu dibutuhkan upaya untuk memangkas birokrasi. Hal lain yang dibutuhkan adalah partisipasi seluruh lembaga penelitian dalam hal keterbukaan dan berbagi data untuk menghindari duplikasi penelitian.

Persoalan data yang lain adalah Indonesia belum memiliki sistem yang mampu menyediakan data secara komprehensif dan lengkap baik dari aspek time series (waktu) maupun aspek substansi (bidang/sektor), hal tersebut sering menyulitkan para pengambil kebijakan ketika dituntut untuk menghasilkan kebijakan secara cepat dan mendesak, namun harus berdasarkan bukti yang valid dan relevan. Sumber data yang secara tunggal dilegitimasi oleh negara untuk dipakai sebagai dasar bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan juga belum ada, hanya penggunaan data peta tunggal saja yang telah dikukuhkan sah secara hukum, dimana akselerasinya telah diupayakan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta.

  1. Hasil Penelitian dan Kebutuhan Kebijakan

Menghasilkan penelitian sebagai bukti kebijakan memang sangat penting, namun yang tidak kalah penting adalah peneliti harus mampu mengajukan pertanyaan penelitian yang tepat, sehingga, hasil-hasil penelitian menjadi aplikatif, sesuai dengan kebutuhan dan logika berfikir para pembuatan kebijakan.

Permasalahan yang ada saat ini adalah tidak inline-nya topik-topik penelitian yang dihasilkan dengan kebutuhan para perumus kebijakan yang disebabkan kurangnya komunikasi dan koordinasi lembaga penyedia penelitian dan pengguna penelitian, sehingga hasil-hasil penelitian menjadi tidak aplikatif dan tidak bermanfaat secara luas. Dengan kondisi tersebut, antara permintaan dan penawaran penelitian tidak dapat bertemu dalam suatu titik keseimbangan. Jika pembuat kebijakan diajak berdiskusi tentang pandangan dan kebutuhannya, dan dilibatkan sejak proses awal penelitian, maka akan ada keterkaitan dengan penelitian tersebut dan hasilnya berpeluang besar untuk digunakan dalam perumusan kebijakan.

  1. Bahasa Penelitian dan Bahasa Kebijakan

Salah satu persoalan yang menghambat dijadikannya hasil penelitian sebagai bukti bagi penyusunan kebijakan adalah bahasa penelitian yang ilmiah tidak dapat secara mudah dan tepat dituangkan oleh pembuat kebijakan dalam norma kebijakan. Meskipun dalam beberapa topik, penelitian yang memadai sudah tersedia, penelitian tersebut tidak akan digunakan di kalangan pembuat kebijakan jika isinya tidak dapat dipahami. Untuk itu, bahasa penelitian hendaknya diterjemahkan ke dalam bentuk yang dapat dimengerti dan diterapkan oleh pembuat kebijakan.

Lembaga penelitian perlu membangun jaringan dengan birokrasi. Peneliti harus memiliki kemampuan menterjemahkan hasil-hasil penelitian agar sesuai dengan logika pembuat kebijakan sebab hasil penelitian tidak dapat dengan serta merta langsung diimplementasikan. Para birokrat pengambil kebijakan mempunyai logika berfikir yang berbeda, sehingga harus ada pihak yang mampu menerjemahkan dan mendesain hasil-hasil penelitian ke dalam bahasa birokrasi agar dapat dituangkan dalam norma-norma kebijakan.

Dengan berbagai permasalahan dan tantangan yang ada, komitmen pemerintah yang besar untuk merubah paradigma menjadi “evidence based policy” dalam proses pembuatan kebijakan akan menjadi modal dasar meng-habit-kan kebijakan berbasis penelitian, dan tentunya juga perlu didukung oleh seluruh komponen birokrasi pemerintah (baik level strategis maupun teknis) sebagai garda terdepan dalam penyusunan kebijakan. Dari lingkungan birokrasi sendiri, terdapat beberapa hal yang perlu diupayakan agar hasil penelitian dapat hadir dan memiliki akses untuk masuk dalam ruang-ruang pengambilan keputusan kebijakan, yaitu:

  1. Dibutuhkan “tokoh” di dalam tubuh birokrasi yang akan terlibat dan memberi arahan secara langsung. Tokoh yang dibutuhkan ini, sebaiknya pejabat yang secara level pengambilan keputusan memiliki posisi strategis, yang selanjutnya akan akan memberikan instruksi kepada jajaran di bawahnya.
  2. Diperlukan komitmen yang kuat guna memberi arahan kebijakan apa saja yang dibutuhkan dan bagaimana penelitian yang ada dapat menjawab kebutuhan. Komitmen yang kuat dibutuhkan untuk membangun sistem agar komitmen dari penentu kebijakan dapat berkelanjutan dalam kondisi struktur birokrasi yang dinamis, dimana pergantian pimpinan level strategis cukup sering terjadi di institusi pemerintah.
  3. Diperlukan profesionalitas, independensi dan memegang teguh kode etik tentu menjadi tuntutan keniscayaan untuk mengasilkan penelitian yang relevan, representatif, dan valid, sehingga hasil penelitiannya dapat menghasilkan kebijakan yang benar bukan untuk membenarkan kebijakan.
  4. Dibutuhkan dukungan dana, pendanaan memang selalu menjadi komponen penting dalam setiap kegiatan, namun dukungan dana saja sesungguhnya tidak akan cukup untuk meningkatkan posisi tawar penggunaan penelitian dalam pembuatan kebijakan, oleh karenanya dibutuhkan kolaborasi empat faktor, komitmen, tokoh, profesionalisme, dan dana.

Pemerataan Kesejahteraan Rakyat

$
0
0

Eddy-Cahyono-SugiartoOleh: Eddy Cahyono *)

Menggapai pertumbuhan ekonomi berkualitas menjadi tantangan tersendiri bagi setiap negara, pertumbuhan ekonomi suatu negara pada dasarnya akan berkualitas,  jika pertumbuhan ekonominya berkonstribusi menekan berkurangnya jumlah penduduk miskin.

Pertumbuhan ekonomi  berkualitas juga tercermin dari aktivitas perekonomian yang  mampu memberikan pemerataan pendapatan masyarakat, serta mendongkrak tumbuhnya lapangan kerja baru yang memiliki daya serap yang tinggi terhadap pertumbuhan tenaga kerja.

Tidak hanya negara berkembang dan emerging, seringkali di negara maju juga memiliki tantangan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Fokus pada pertumbuhan ekonomi berkualitas penting karena  secara empirik berkorelasi positif terhadap penurunan angka kemiskinan, penciptaan lapangan kerja serta peningkatan indikator kesejahteraan lainnya.

Bagi tata kelola pembangunan, sejatinya pertumbuhan ekonomi berkualitas menjadi ultimate goal yang dikedepankan dalam bebagai program dan kegiatan pembangunan dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat  yang berkeadilan sebagai perwujudan negara hadir.

Secara sederhana kesejahteraan rakyat yang berkeadilan tersebut ditandai oleh tiga hal yang fundamental. Pertama, semakin berkurangnya jumlah penduduk miskin Kedua, semakin jumlah penduduk usia produktif yang masih menganggur. Ketiga, semakin mengecilnya kesenjangan ekonomi antar sesama penduduk suatu negara. ( Dudley Seers, University of Sussex, Inggris, 1972).

Instrumen yang digunakan  untuk  mengukur semua indikator kesuksesan pembangunan, utamanya dalam mengatasi persoalan ketidakadilan distribusi hasil hasil pembangunan  diantaranya dilakukan dengan  pengukuran ketimpangan ekonomi model indeks gini.

Pasca-reformasi, Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi diantara negara-negara berkembang dan emerging. Dampak positif pertumbuhan ekonomi terlihat pada peningkatan belanja pemerintah, peningkatan pembangunan infrastruktur, peningkatan belanja pendidikan dan pendidikan dan sektor lainnya.

Namun,  masih terdapat masalah ketimpangan yang tercermin dari indeks gini ratio, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan indeks ketimpangan di Indonesia  yang diukur dengan gini ratio pada Maret 2016 turun menjadi 0,397. Namun hal ini masih belum mengindikasikan perbaikan yang berarti dalam mengatasi masalah ketimpangan dan keadilan,  mengingat penyumbang perbaikan antara lain adalah kenaikan upah buruh tani harian dan buruh bangunan harian, yang sewaktu-waktu mudah turun.

Berdasarkan data Global Wealth Report yang dibuat oleh Credit Suisse’s, Indonesia  juga menempati peringkat ke-4 negara paling timpang di dunia, dimana 1 persen orang terkaya menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan  dan pemerataan serta keadilan menjadi suatu keniscayaan  yang perlu menjadi fokus perhatian sebagai isu strategis pembangunan ditahun 2017 yang perlu digapai.

Bahaya Ketimpangan

Beberapa hasil penelitian menunjukkan indikasi bahwa sejalan dengan semakin tingginya tingkat ketimpangan, tensi sosial juga akan semakin meningkat meningkat. Lingkungan dengan tensi sosial yang tinggi secara umum memiliki tingkat kerawanan konflik, tindakan kriminal, atau bahkan pembunuhan lebih tinggi (The Equality Trust Research Digest, 2011).

Situasi ini pada akhirnya akan menurunkan keramahan lingkungan bagi dunia usaha, investasi tidak akan berkembang, sehingga berpotensi mengancam keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan proses pembangunan lainnya. Ketimpangan juga menurunkan kualitas pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi tingkat kemiskinan.

Hal ini karena ketika pertumbuhan terjadi di suatu konteks perekonomian yang tidak inklusif atau timpang, maka hasil pertumbuhan ekonomi cenderung semu dan  hanya dinikmati oleh pelaku ekonomi dengan tingkat pendapatan teratas saja.

Oleh karena itu diperlukan langkah terobosan dalam mengatasi ketimpangan melalui langkah afirmatif untuk “meredistribusi pendapatan dari kalangan teratas ke kalangan terbawah”, melalui serangkaian kebijakan pembangunan yang berorintasi pada pertumbuhan ekonomi inklusif dengan menempatkan pemerataan sebagai penjurunya.

Pemerataan kesejahteraan rakyat merupakan antitesa terhadap  tingginya ketimpangan,yang merupakan ancaman bagi suatu bangsa apabila tidak segera diatasi, karena ketimpangan sejatinya adalah  pemusatan kekayaan ke segelintir kelompok tertentu dan juga mengindikasikan adanya pemusatan kekuasaan dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan itu sendiri.

Urgensi akselerasi pemerataan  kesejahteraan rakyat

Kita patut bersyukur komitmen Pemerintahan Jokowi dengan menjadikan akselerasi pemerataan kesejahteraan rakyat  sebagai penjuru yang ingin dicapai dalam tahun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2017, semakin mendapatkan prioritas utama.

Tahun 2017 merupakan momentum dalam memacu dan meningkatkan pemerataan kesejahteraan rakyat dengan trasformasi strategi pembangunan ekonomi dari picking the winnerske arah pembangunan yang lebih berkeadilan (growth with equity).

Pembangunan yang lebih berkeadilan  menjadi strategi  dalam mengurangi kesenjangan yang dilakukan melalui serangkaian kebijakan redistribusi aset dan legalisasi tanah,agar rakyat mendapatkan akses pada tanah untuk kegiatan ekonomi produktif melalui konsensi tanah untuk rakyat, berupa tanah-tanah adat, sertifikat untuk rakyat.

Pemerataan ekonomi dengan menggerakkan ekonomi produktif  rakyat akan terus ditingkatkan melalui pemberdayaan UMKM dengan meningkatkan akses permodalan,  sebagai  strategi kebijakan dalam mengatasi ketimpangan, hal ini penting mengingat besarnya konstribusi UMKM terhadap PDB nasional  yang tercatat sebesar  61,41% (Rp.6.228.285 miliar), UMKM dapat menjadi salah satu kekuatan besar penopang pertumbuhan ekonomi berkualitas.

Salah satu peran UMKM dalam perekonomian yang paling krusial adalah menstimulus dinamisasi ekonomi, karakter dari peran tersebut sangatlah fleksibel sehingga UMKM dapat direkayasa sedemikian rupa untuk mengganti lingkungan bisnis lebih baik dibandingkan dari perusahaan-perusahaan besar.

Krisis ekonomi 1997 telah memberikan pelajaran penting kepada kita akan pentingnya memacu pertumbuhan ekonomi  dengan menjadikan UMKM  sebagai salah satu pilarnya,  mengingat ketangguhan UMKM  menghadapi badai ekonomi telah teruji, saat krisis moneter terjadi pada tahun 1997 yang membuat hampir 80% perusahaan besar gulung tikar dan melakukan PHK besar-besaran,  UMKM  terbukti dapat bertahan dalam krisis, dan dapat menjadi solusi terhadap penyerapan tenaga kerja sekaligus menjadi katalisator pemerataan kesejahteraan rakyat.

Pemerataan kesejahteraan rakyat  perlu dipercepat dengan memperhatikan  pertumbuhan lapangan kerja dan penyerapannya,  akses rakyat  untuk mendapatkan kesempatan kerja secara paralel harus diikuti dengan upaya meningkatkan ketrampilannya agar dapat bersaing di pasar bebas.

Upaya mengatasi masalah penyerapan tenaga kerja juga akan terus ditingkatkan  sebarannya dalam tahun 2017 ini melalui peningkatan ketrampilan dengan  program pendidikan kejuruan, pendidikan vokasi dan juga vocational training (latihan vokasi) sebagai bentuk proteksi negara kepada warganya dalam berkompetisi di era pasar bebas.

Demikian pula program-program pro-rakyat dan perlindungan sosial  seperti Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat  (KIS) yang akan tersu diperluas lagi pemberiannya agar  kelas menengah kebawah dapat menjadi lebih mandiri dan dapat keluar dari jebakan kemiskinan (poverty trap).

Berbagai pembangunan infrastruktur  yang masif  dalam 2 tahun terakhir, sebagai turunan visi pembangunan Indonesia Sentris mulai dari jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan laut, bandar udara hingga pasar diberbagai wilayah Indonesia, akan terus diupayakan untuk menjamin perbaikan konektivitas dan sistem logistik nasional sehingga disparitas harga dapat ditekan.

Masifnya pembangunan infrastruktur ini tentunya diharapkan dapat mengakselerasi kegiatan ekonomi rakyat, memperlancar  pertukaran barang dan jasa antar provinsi, antar pulau, dan antar wilayah. Potensi ekonomi daerah tergali dan berkembang. Bergeraknya roda perekonomian ini bakal menciptakan lapangan kerja,  meningkatkan pendapatan, dan mengurangi kesenjangan.

Kita tentunya berharap berbagai program dan kebijakan dalam mempercepat pemerataan kesejahteraan rakyat guna mengurangi ketimpangan tersebut dapat diakselerasi pada tataran praktis, untuk itu sangat diperlukan komitmen yang tinggi dan kerja keras dari berbagai pemangku kepentingan dalam membangun sinergitas dan mekanisme kontrol yang ketat terhadap implementasinya.

Early warning System perlu terus dikembangkan  agar dapat memberikan umpan balik sebagai solusi kebijakan, utamanya terkait dengan mengatasi sumbatan-sumbatan pada tataran praktis,  yang berpotensi  mengganggu akselerasi pemerataan kesejahteraan rakyat,  mengurangi ketimpangan dan kemiskinan serta pengangguran sehingga cita-cita menuju  kesejahteraan rakyat  sebagai mana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 secara bertahap akan terwujud. Semoga.

Penulis adalah Tenaga Ahli Madya Kedeputian I Kantor Staf Presiden

Pesan Pengembangan ASN dalam Nawa Cita dan RKP 2017

$
0
0

denmasediOleh: Edi Nurhadiyanto *)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 45 Tahun 2016 telah menetapkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2017. Perpres yang ditetapkan pada tanggal 14 Mei 2016 tersebut merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.

Rencana Kerja Pemerintah memuat arah kebijakan nasional satu tahun yang merupakan komitmen Pemerintah untuk memberikan kepastian kebijakan dalam melaksanakan pembangunan nasional yang berkesinambungan. RKP Tahun 2017 juga merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019.

Setidaknya ada 3 (tiga) fungsi dari RKP 2017, yakni sebagai:

  1. pedoman bagi Pemerintah dalam menyusun RAPBN Tahun 2017;
  2. pedoman bagi Kementerian/Lembaga dalam menyusun Rencana Kerja Kementerian/Lembaga Tahun 2017;
  3. acuan bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2017.

Untuk melihat bingkai program yang terdapat dalam RKP 2017 dengan Nawa Cita, dapat terlihat dari gambar di bawah ini.

rpogram prioritas

Pengembangan SDM, Nawa Cita, dan RKP 2017

Arahan Presiden Jokowi saat Sidang Kabinet Paripurna pertama 4 Januari 2017 di Istana Bogor, Jawa Barat bahwa fokus pembangunan tahun 2017 adalah pemerataan dan mengurangi kesenjangan. Penekanan lebih khusus mengenai pembangunan dan pemerataan dalam hal Aparatur Sipil Negara (ASN) disampaikan oleh Presiden dalam Rapat Terbatas 18 Januari 2017 di Kantor Presiden, Jakarta.

Awali pengantar di Rapat Terbatas, Presiden Jokowi menegaskan kembali fokus kerja pemerintah di tahun 2017 yaitu mengurangi ketimpangan antar daerah, antar wilayah dan mengatasi kesenjangan sosial. Oleh sebab itu, sebaran ASN yang merata di seluruh pelosok tanah air terutama daerah-daerah terpencil, kawasan perbatasan, pulau-pulau terluar. Dengan demikian, pemerataan ASN dalam hal kuantitas dan kualitas akan bisa memberikan akses rakyat terhadap pelayanan publik yang lebih baik.

Prioritas pembangunan ASN dalam Nawa Cita masuk kepada butir 8 yakni,” Melakukan Revolusi Karakter Bangsa,” dan butir 9, “Memperteguh Kebinekaan dan memperkuat Restorasi Sosial”. Penguatan pembangunan ASN dalam Nawa Cita juga diperkokoh melalui Program Revolusi Mental, merupakan upaya mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku masyarakat dengan berorientasi pada kemajuan serta kemodernan yang religius.

Tiga nilai utama dalam Revolusi Mental yang menjadi ciri khas dalam pengembangan ASN yakni Integritas, Etos Kerja, dan Gotong Royong. Dengan tiga nilai tersebut, ASN di Indonesia diharapkan mampu mendorong dan menjadikan Indonesia tumbuh menjadi bangsa unggul, yang berprestasi tinggi, produktif, dan berdaya saing.

Penjabaran dalam konteks ASN terlihat dalam Arah Kebijakan Revolusi Mental dalam aspek Reformasi Birokrasi di Pemerintahan, yakni:

  1. Layanan publik prima (cepat, mudah, ringkas, transparan, dan birokrasi yang responsif);
  2. Program pembangunan dan belanja Pemerintah didasarkan azas manfaat, bermutu, efisien dan efektif;
  3. Penerapan disiplin, reward & punishment, dan sistem merit dalam birokrasi.

Untuk melihat bagaimana mekanisme pengelolaan ASN ini terlihat dalam gambar di bawah ini:

reformasi birokrasi

Menyampaikan Pesan Nawa Cita ke Publik

ASN sebagai sebuah komunitas dan di sisi yang lain masyarakat sebagai penerima layanan semestinya dapat terkoneksi secara optimal jika pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Lahirnya pesan yang tersampaikan ke masyarakat bukan hanya bertujuan untuk memberikan sebuah pelayanan prima namun juga menyampaikan sebuah pesan dari invididu berbasis subjek dengan menggunakan elaborasi kode yang menghargai kecenderungan, perasaan, dari sudut pandang orang lain.

Menyampaikan sebuah pesan berbasis “komunitas atau diri” ASN yang berisi gagasan, bertujuan untuk menyokong kebutuhan penerima pesan (masyarakat) atas situasi yang mungkin dan mengarah pada tujuan beragam. Model komunikasi ini dapat melihat individu dengan menggunakan kode pesan tertentu yang mengikuti aturan dan norma tertentu pula.

Isi pesan yang dapat memposisikan bahwa ASN telah membuka diri melalui Reformasi Birokrasi juga akan memberikan peluang berubahnya citra ASN bukan hanya di atas kertas namun juga di lapangan. Dengan memahami hal ini, pesan yang disampaikan dengan berbagai media baik mainstream maupun media sosial dapat terlaksana dengan baik.

Beberapa media yang dapat digunakan untuk menyosialisasikan pesan ASN dalam Nawa Cita dan RKP, yakni:

  1. Media pers (press) baik cetak maupun audio visual
  2. Bahan-bahan cetakan (printed material). Baik dalam bentuk leaflet, spanduk maupun buku khusus bersifat mendidik, informatif, dan untuk mencapai tujuan humas tertentu;
  3. Surat langsung (direct mail) melalui surat elektronik maupun blasting SMS;

Apabila anggaran untuk membuat sosialisasi belum mencukupi, alternatif yang dapat dilakukan yakni dengan menyosialisasikan melalui media sosial dengan kemasan produk yang telah dibuat.

Jika semua program dan layanan kepada masyarakat telah (benar-benar) prima, maka laporan triwulan, semester, maupun akhir tahun yang diminta untuk menunjukkan kinerja ASN bukan hanya di atas kertas namun berbasis fakta dan kondisi lapangan, bukankah ini sebuah kemajuan…???

 

*) Penulis adalah Kepala Subbidang Pelayanan Informasi pada Asisten Deputi Bidang Humas dan Protokol

 

 

 

 

 

 

Media Sosial, Hoax, dan Runtuhnya Trust

$
0
0

thanonOleh: Thanon Aria Dewangga 

“ The PC has improved the world in just about every area you can think of. Amazing developments in communications, collaboration and efficiencies. New kinds of entertaintment and social media. Access to information and the ability to give people who would never been heard.” (Bill Gates)

Teknologi informasi di Indonesia berkembang pesat dimana pengguna internet di Indonesia saat ini berjumlah 132,7 juta atau 52% dari jumlah penduduk Indonesia. Dari jumlah pengguna internet di atas, 129,2 juta memiliki akun media sosial yang aktif dan pengguna internet rata-rata menghabiskan waktu sekitar 3, jam per hari untuk konsumsi internet melalui telepon selular.

Hal tersebut disampaikan Presiden Jokowi saat memberikan pengantar dalam Rapat Terbatas di Kantor Presiden pada tanggal 29 Desember 2016 yang membahas tentang perkembangan media sosial. Sayang,  akhir-akhir ini begitu marak berita-berita bohong dan palsu (hoax) bergerak viral di tengah-tengah masyarakat. Maraknya hoax tersebut mendorong Presiden Joko Widodo meresponsnya dengan serius. Kepercayaan runtuh, kebenaran menjadi semu. Mungkin inilah yang disebut Ralph Keyes (2004) sebagai the post-truth era.

Media sosial sebagai bagian dari inovasi teknologi informasi, memberikan ruang bagi seseorang untuk menyuarakan pikirannya yang sebelumnya mungkin tidak pernah bisa terdengar. Perkembangan media sosial sendiri bergerak sangat cepat. Bila dahulu kita hanya mengenal friendster, saat ini kita telah dimanja dengan adanya facebook, twitter, instagram dan lain-lain yang semuanya berdampak positif untuk menambah wawasan dan pengetahuan, memanjangkan tali silaturrahim serta menyebarkan nilai-nilai solidaritas, toleransi dan optimisme.  Media sosial menjadi ruang ekspresi baru bagi masyarakat dunia dalam beberapa tahun terakhir ini. Simpelnya, in the social media era, everybody publishes whatever they want, kata mantan kepala editorAl-Jazeera Arabic, Ahmed Al Seikh.

Media sosial bahkan turut berperan dalam mendorong perubahan politik sebuah negara. Fenomena the Arab Spring yang meledak beberapa tahun lalu menjadi bukti bagaimana media sosial mampu membawa perubahan politik. Fenomena inilah yang disebut oleh Howard & Hussain (2013) sebagai fourth wavedemocracy. Media sosial mampu menghadirkan suara-suara  individu yang sebelumnya tidak pernah bisa didengar melalui pemberitaan media-media mainstream.

Di Indonesia, kehadiran media sosial juga memberikan pengaruh terhadap perubahan politik, sosial, budaya dan ekonomi di Indonesia. Media sosial menggeser dan menembus batas dari pola relasi interaksi hirarkis menjadi egaliter, baik di ruang politik maupun budaya. Seorang warga negara biasa secara langsung dapat mengkritik dan berkomunikasi dengan Presidennyahanya cukup dengan mengirim mentionkeakun Presidendi twitter.

 

 

Ruang Pertarungan

Kenyataan yang harus diketahui dan dipahami bahwa kehadiran media sosial dalam sistem politik Indonesia yang terbuka membawa konsekuensi menjadikan media sosial hadir sebagai ruang pertarungan berbagai macam aktor dengan membawa berbagai kepentingan. Dalam konteks ini, media sosial bagaikan ‘ring tinju’ yang di dalamnya seluruh elemen masyarakat tidak lagi menjadi penonton, tetapi memungkinkan mereka ikut bertarung di ring tersebut. Akhirnya kegaduhan sulit dihindari di media sosial.

Media sosial yang menjadi ruang pertarungan atau “ting tinju” tersebut menggeser wajah media sosial yang ketika kali pertama muncul sebatas sebagai media curhat dan ajang berinteraksi sosial menjadi ruang yang menghadirkan berbagai pertarungan dari aktor yang kompleks. Kompleksitas aktor-aktor yang terlibat di media sosial tersebut semakin tinggi ketika berhadapan dengan situasi atau momentum politik, karena aktor yang terlibat tidak hanya rakyat biasa, tetapi juga berbagai kelompok-kelompok kepentingan; partai politik, elite politik, ormas, pelaku bisnis dan lain sebagainya.

Harus diakui, suka atau tidak,akhir-akhir ini isu politik menjadi pemicu maraknya konfrontasi di media sosial seperti hate speech, saling hujat, dan lain sebagainya di Tanah Air. Ekspresi politik, saling hujat, saling bela pilihan politik dan merendahkan pilihan lain yang awalnya di dunia nyata, kini bergeser ke dunia maya. Tidak heran kemudian intensitas fake news dan atau berita-berita hoax di media sosial begitu viral di media sosial. Para aktor dan korban penyebar hoax tidak lagi tuggal, melainkan lebih kompleks. Aktor penyebar hoax pun tidak hanya disebarkan pelaku kriminal, banyak juga dilakukan oleh mereka yang sekadar iseng, menyerang bermuatan politik, menyuarakan hatinya, atau hanya sekedar mencari sensasi. Wajar Presiden Jokowi merespons kenyataan hoax karena mengganggu stabilitas jalannya roda pemerintahan.

Setidaknya ada dua alasan untuk menjelaskan fenomena hoax dan fake news di media sosial. Pertama, kesempatan yang sama seluruh individu dalam menyebarkan informasi. Sebelum era digital, penyedia informasi hanya milik industri media. Politik framingpun tidak hanya bisa dilakukan oleh media mainstream, tapi juga dapat dilakukan oleh individu atau kelompok di luar media mainstream dengan mem-framing kepentingannya dalam sebuah informasi-informasi palsu. Kedua, informasi dan wacana media mainstream tidak lagi langsung dianggap publik sebagai informasi dan wacana yang sepenuhnya objektif. Disini, ada proses personalisasi institusi media. Keterlibatan pemilik media dalam politik praktis melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi media tersebut. Begitu juga sebaliknya. Media kini dianggap tidak steril dari kepentingan. Anggapan ini melahirkan distrust, sehingga publik dengan mudah mengonsumsi informasi hoax.

  

Peran Pemerintah

Dalam femonena hoax yang bergerak pada era digital dengan berbagai kelompok kepentingan di dalamnya, acapkali pemerintah justru menjadikorban. Pada era media sosial, ruang pemerintah untuk melakukan kooptasi dan pendekatan persuasif terhadap penyebar informasi hoax sangat kompleks. Tidak cukup dengan mengontrol atau menegur institusi media sebagaimana dilakukan sebelum era media sosial. Muncul berbagaikekhawatiran perkembangan komunikasi di media sosial yang diisi berita-berita tendensius, fitnah, bohong, menyesatkan, menanamkan kebencian, atau ujaran-ujaran kebencian. “Itu sekarang cukup merebak. Memang kebebasan boleh, negeri ini memang memberikan suatu kebebasan. Kebebasan adalah hak dalam demokrasi. Tapi kewajiban untuk menaati hukum peraturan perundangan itu juga merupakan kewajiban yang harus ditaati,” kata Menko Polhukam Wiranto kepada wartawan usai Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (4/1).

Pemerintahan Presiden Jokowi dengan tegas telah menyatakan bahwa demokrasi di dunia maya tidak boleh dibungkam, namun juga jangan sampai berita kebohongan dan fitnah diterima begitu saja oleh masyarakat karena masyarakat jelas berhak untuk mendapatkan berita yang sebenarnya. Beberapa contoh telah diterapkan oleh negara lain dimana pemerintah melakukan berbagai cara untuk menghadapi masalah yang sama diantaranya :

  • Jerman menyusun regulasi ketentuan denda bagi Facebook dan platform media sosial setiap berita hoax yang diterbitkan;
  • Amerika Serikat meluncurkan program “Think Again, Turn Away”;
  • Myanmar dengan gerakan “Panzagar” yang menyerukan masyarakat untuk menghindari hate speech.

Dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah, dalam menghadapi fenomena negatif media sosial saat ini sebaiknya tidak terjebak oleh rutinitas. Artinya persoalan ini harus ditangani bersama antara pemerintah dengan penggiat media sosial untuk memberikan pemahaman untuk lebih bijak bersosial media. Dari sisi regulasi, Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang  Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudang mulai berlaku tanggal 28 November 2016 dimana salah satunya yang dapat dikaitkan dalam artikel ini adalah menuntut masyarakat agar lebih berhati-hati di ranah media sosial. Membuat dan  menyebarkan informasi yang bersifat fitnah, tuduhan maupun SARA yang mengundang kebencian, dilarang dan dapat dikenakan tuntutan. Jadi marilah kita mulai dari diri sendiri untuk ber-sosmed dengan bijak sehingga berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa dan negara.

*) Thanon Aria Dewangga – Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Internasional Sekretariat Kabinet

Membangun Kejayaan Bangsa Melalui Sepakbola

$
0
0

IMG-20160726-WA0000Oleh : Thanon Aria Dewangga *)

Saya ingin sepak bola kita adalah sepak bola yang mempersatukan, sekali lagi sepak bola yang mempersatukan, sepak bola yang berorientasi pada prestasi, sepak bola yang mampu menjadikan hiburan yang sehat bagi seluruh rakyat Indonesia (Presiden Jokowi).

Dalam sejarah pelaksanaan Rapat Terbatas atau Sidang Kabinet di negara kita, baru pada era Presiden Jokowi sepakbola menjadi topik bahasan khusus dalam Rapat Terbatas di Kantor Presiden. Bahkan aktivis Save Our Soccer, Akmal Marhali mencatat dalam rentang setahun Presiden Jokowi tercatat hadir di lapangan sepakbola antara lain Piala Kemerdekaan, Piala Presiden, Piala Sudirman, Piala Bhayangkara, Piala Presiden I, Semifinal dan Final laga kandang Piala AFF 2016.

Ada pesan dari banyak kehadiran Presiden tersebut antara lain rindunya prestasi tim nasional kita di event dunia yang secara tidak langsung akan turut mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional. Joseph Nye mengatakan soft power is the ability to get what you want through attraction rather than coercion or payments. It arises from the attractiveness of a country’s culture, political ideals, and policies. When our policies are seen as legitimate in the eyes of others, our soft power is enhanced. Saat ini negara-negara lain habis-habisan menggarap nation brand-nya masing-masing.

Dengan menggarap brand power, secara otomatis akan meningkatkan daya saing negara tersebut. Membangun reputasi negara melalui soft power menjadi alternatif di tengah ketidakpastian ekonomi global yang saat ini melanda dunia. Diplomasi kebudayaan dan diplomasi gastronomi menjadi pilihan selain tentunya diplomasi olahraga.

Sejarah mencatat keberhasilan Presiden Nelson Mandela dalam mempersatukan dan mengharumkan negerinya melalui olahraga favorit Afrika Selatan yaitu rugby. Setelah terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan, Mandela berusaha mempersatukan negerinya yang terpecah akibat politik apartheid, dan meyakini bahwa hanya dengan pendekatan soft power negaranya akan kembali bersatu.  Kutipannya yang terkenal dalam buku Conversation with Myself, sport has the power to change the world, it has the power to inspire and it has the power to unite people in a way that little else does. Sport can create hope where once there was only despair. It is more powerful than government in breaking down racial barriers. Dan apa yang diimpikan Mandela pun terwujud, Afrika Selatan yang sama sekali tidak diperhitungkan, menjadi juara dunia rugby pada tahun 1995 yang membuat Afrika Selatan menjadi sangat terkenal dan mempersatukan warganya.

Tidak salah bila Presiden Jokowi ingin lebih mengangkat harkat dan martabat negara melalui olahraga paling populer di negeri ini yaitu sepakbola. Namun, untuk mencapai tujuan diperlukan usaha yang keras dan melalui jalan yang sangat panjang dan terjal. Diperlukan beberapa langkah-langkah strategis untuk mencapai harapan tersebut. Sebagai cabang olahraga yang sangat populer di negeri ini, sangat wajar bila masyarakat ingin segera menjadi saksi tampilnya tim nasional kita sebagai kampiun di berbagai event internasional. Dalam catatan penulis, terakhir prestasi tertinggi kita dicapai diraih saat masuk dalam 4 besar Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan dan medali emas sepakbola SEA Games tahun 1991 di Manila, Filipina. Langkah-langkah strategis yang diperlukan antara lain :

  1. Pembinaan sepak bola dilakukan sejak usia dini. Jangan berharap sepak bola kita akan maju di tingkat regional maupun dunia jika pembinaan usia dini ini dilupakan. Oleh karena itu pembinaan secara berjenjang di sekolah, memperbanyak sekolah-sekolah sepak bola, maupun menggalakkan kompetisi usia dini harus segera dilakukan. Federasi sepak bola dunia FIFA menggelontorkan bantuan dana untuk PSSI senilai US$5 juta untuk empat tahun ke depan, atau setara Rp66,7 milar. Setiap tahunnya, PSSI akan mendapatkan US$500 ribu untuk bantuan operasional serta pembinaan usia muda dan US$750 ribu untuk infrastruktur. Hal ini sesuai dengan janji Gianni Infantino ketika berkampanye untuk menjadi presiden FIFA dan berharap agar bantuan tersebut dapat dimaksimalkan.
  2. Pembenahan total terhadap sistem dan tata kelola kompetisi sepak bola nasional agar lebih kompetitif, lebih berkualitas, yang mengusung fair play. Sistem kompetisi yang baik akan memunculkan bibit-bibit pemain muda dari berbagai daerah yang potensial.
  3. Pembenahan manajemen klub peserta liga yang harus lebih profesional dengan mengedepankan prosesassestment dari aspek legal, finansial, infrastruktur, kesehatan, lisensi dan memiliki komitmen pembinaan usia dini.
  4. Penyiapan infrastruktur stadion atau tempat latihan yang memenuhi syarat. Saat ini Indonesia hanya memiliki 2 stadion berstandar FIFA dan hanya 23 lapangan yang layak digunakan. Jauh bila kita bandingkan dengan Spanyol yang memiliki 109 stadion berstandar FIFA, atau Belanda yang memiliki 45 stadion berstandar FIFA dan 1.450 lapangan sintetis.
  5. Jumlah para pelaku sepakbola (pemain dan pelatih berlisensi) yang perlu untuk ditingkatkan. Saat ini jumlah pemain dan pelatih berlisensi sepakbola Indonesia (data dari PSSI) tercatat hanya 67.000 pemain dan 197 pelatih berlisensi. Sangat kontras bila kita bandingkan dengan Spanyol yang memiliki 4,1 juta pemain dan 22.000 pelatih berlisensi.
  6. Pengembangan sports science juga sangat pentinguntuk dikembangkan dalam sepakbola. Dengan demikian pembinaan pemain akan berbasis pada teknologi, statistik dan database sehingga pelatih nasional memiliki pemahaman perihal catatan individu pemain. Australia berhasil menerapkan sport science dan terbukti saat ini menduduki peringkat 44 FIFA.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dalam berbagai kesempatan memberikan pernyataan bahwa perbaikan sepakbola nasional saat ini merupakan sebuah momentum besar untuk melakukan total football, artinya semua pihak harus bergerak untuk melaksanakan perbaikan tersebut. Di era Presiden Jokowi inilah harus dimulai perbaikan-perbaikan tersebut. Tata kelola sepakbola yang salah kaprah, penyelewengan anggaran dari pemerintah dan FIFA, buruknya fasilitas serta diabaikannya asas fair play yang marak terjadi di masa lalu, harus diakhiri. Keterlibatan berbagai stakeholders sangat diperlukan, tidak hanya pemerintah pusat dan PSSI sebagai induk organisasi sepakbola nasional, tapi juga BUMN, pemerintah daerah, sekolah dan masyarakat.

            Mantan pemain dan pelatih tim nasional Skotlandia saat ini, Gordon Strachan mengatakan believe me, you need good peopleif you want to make good playersDi tengah berbagai capaian positif yang dilakukan di pemerintahan Presiden Jokowi, kita harus optimis bahwa sepakbola Indonesia di masa yang akan datang. Perhelatan olahraga multievent antar negara Asia Tenggara SEA Games 2017 sudah di depan mata dan disanalah ajang pembuktian pertama. Tim nasional sepakbola Indonesia diharapkan menjadi juara dan meraih medali emas sepakbola, mengulang sejarah di tahun 1991 dan kembali diperhitungkan menjadi macan sepakbola Asia.

*) Penulis adalah Staf Ahli Seskab Bidang Hukum dan Hubungan Internasional

Apa Perlunya Mengubah Perpres Tentang Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan

$
0
0

images (6)Oleh : M. Hamidi Rahmat

Sejak tahun lalu Pemerintah telah melaksanakan program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK).

Pelaksanaan program PIK didasarkan kepada Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, pada tanggal 8 Januari 2016 dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 19 Januari 2016 dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara RI Tahun 2016 Nomor 8.

Sebagaimana telah dijelaskan pada artikel terdahulu bahwa salah satu alasan kenapa program PIK ini dilaksanakan, adalah untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tenaga listrik rakyat secara adil dan merata serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Program ini juga untuk mendukung tercapainya program pemerintah yang telah diumumkan sebelumnya, yaitu program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW dan jaringan transmisi sepanjang 46 ribu km. Bukan hanya itu, program ini juga untuk mendukung program penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) karena program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW ini mengutamakan penggunaan energi baru dan terbarukan, seperti tenaga air dan tenaga uap, bahkan pembangkit listrik berbasis sampah.

Setelah setahun berjalan, dihadapi beberapa kendala yang segera perlu dicarikan solusinya. Salah satu solusi yang diperlukan adalah menyempurnakan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Aturan dalam Perpres lama ini yang perlu disempurnakan adalah atauran mengenai pelaksanaan pembiyaan, skema kerjasama penyediaan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, kerjasama pemanfaatan aset, dan pengelolaan lingkungan hidup.

Oleh sebab itu pada tanggal 13 Februari 2017 Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Peraturan Presiden (Perpres) ini juga telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara.

Apa Perubahannya ?

Dibandingkan dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2016, dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2017, terdapat 11 item perubahan : ada ketentuan yang diubah, ada ketentuan yang ditambah dan ada ketentuan yang dihapus.

Pertama, ketentuan angka 9 pasal 1 diubah dengan menghapus frasa “melalui penandatanganan perjanjian jual beli/sewa jaringan tenaga listrik” pada akhir definisi, sehingga bunyinya menjadi Pengembang Pembangkit Listrik yang selanjutnya disingkat PPL adalah badan usaha penyediaan tenaga listrik berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan swasta yang bekerja sama dengan PT PLN (Persero)”.

Kedua, ketentuan pasal 4 ditambah dengan ayat 3 yang berbunyi “Ketentuan mengenai kerjasama penyediaan tenaga listrik dalam rangka penugasan dilakukan berdasarkan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara”.

Ketiga, ketentuan ayat 2 pasal 5 yang semula cakupannya hanya meliputi pembangkit dan/atau transmisi, ditambah dengan distribusi, gardu induk, dan/atau sarana pendukung lainnya.

Keempat, ketentuan ayat 1 huruf d pasal 6 yang semula berbunyi pemberian fasilitas pembebasan pajak penghasilan dalam hal dilakukan revaluasi aset. diubah menjadi “pemberian kemudahan dalam bentuk insentif dan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Kelima, penyisipan pasal 8A yang berbunyi :
PT PLN (Persero) melakukan kerja sama penyediaan tenaga listrik dengan PPL melalui transaksi perjanjian jual beli dan bukan transaksi perjanjian sewa.
Akuntansi atas transaksi perjanjian jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Pelaksanaan akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mulai dilaksanakan untuk laporan keuangan tahun 2016.

Keenam, adanya penambahan kerjasama antara PT PLN Persero (PLN) dengan badan usaha dalam negeri, sehingga ketentuan ayat 1 pasal 9 menjadi Pelaksanaan PIK melalui kerja sama penyediaan tenaga listrik dengan anak perusahaan PT PLN (Persero) dilakukan dalam hal adanya kerja sama antara PT PLN (Persero) dengan badan usaha dalam negeri dan/atau badan usaha asing.

Kemudian ayat 3 baru yang bertukar tempat dengan ayat 3 lama, terdapat penambahan perluasan kerjasama yang mencakup juga alih teknologi dan/atau peningkatan kemampuan produksi dalam negeri.

Pada pasal 9 juga terdapat penambahan ayat 4 yang berbunyi Kerjasama dengan badan usaha asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan dengan badan usaha asing yang sahamnya dimiliki oleh negara bersangkutan (badan usaha milik negara asing).

Ketujuh, ketentuan pasal 16 ditambah dengan ayat 4 yang berbunyi Ketentuan mengenai kerjasama dengan badan usaha asing dalam rangka penugasan dilakukan berdasarkan pedoman diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik Negara.

Kedelapan, ketentuan ayat 3 pasal 32 dihapus. Bunyi ayat 3 yang dihapus tersebut adalah “PIK yang semula berada pada lokasi bukan kawasan hutan namun kemudian lokasi tersebut diubah menjadi kawasan hutan, pelaksanaan PIK tersebut tetap dapat dilanjutkan dengan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan.

Kesembilan, penambahan ayat 2 pasal 33 yang berbunyi “Penyediaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pengadaan tanah atau pemanfaatan atas tanah infrastruktur lainnya”. Dengan demikian ayat 2 lama menjadi ayat 3 dan ayat 3 lama menjadi ayat 4.

Penambahan ayat 5 pasal 33 yang berbunyi Pemanfaatan atas tanah infrastruktur lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pemanfaatan atas tanah yang digunakan infrastruktur jalan, infrastruktur rel kereta api, atau infrastruktur pipa gas untuk dilintasi Infrastruktur Ketenagalistrikan baik di atas tanah maupun di bawah tanah.

Kesepuluh, penyisipan pasal 35A yang berbunyi :
Pemanfaatan atas tanah infrastruktur lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5) dilakukan melalui kerja sama dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha.
Jangka waktu kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah selama jangka waktu penggunaan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang ditentukan oleh PT PLN (Persero).
Kerja sama PT PLN (Persero) dengan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemanfaatan barang milik negara/daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah.
PT PLN (Persero) dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memberikan kompensasi berupa sewa barang milik negara/daerah yang diberikan sekali untuk selama jangka waktu kerjasama.
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat memberikan keringanan atas formula tarif/besaran sewa barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Kerja sama PT PLN (Persero) dengan badan usaha berdasarkan kaidah bisnis yang baik.
PT PLN (Persero) dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (6) memberikan kompensasi yang diberikan sekali untuk selama jangka waktu kerjasama.
Dalam hal badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah badan usaha milik negara, dilakukan kerjasama antara badan usaha milik negara.
Pelaksanaan kerjasama antara badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (7) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.

Kesebelas, penyisipan pasal 37A yang berbunyi :
PT PLN (Persero), anak perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL dapat memanfaatkan limbah yang digunakan oleh pembangkit tenaga listrik yang berasal dari energi fosil berupa batubara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Pemanfaatan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai bahan bangunan untuk infrastruktur.

Kenapa Perlu Diubah ?

Sebagaimana diketahui bahwa PLN adalah badan usaha milik negara yang ditugaskan Pemerintah untuk mengurusi semua aspek kelistrikan yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu PLN berkewajiban untuk menyediakan listrik bagi seluruh rakyat Indonesia dimanapun mereka berdomisili. Namun penyediaan tenaga listrik tersebut dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan keuangan PLN dan keuangan negara. Penugasan terbaru dari Pemerintah kepada PLN adalah untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dari 84,4% pada tahun 2015 menjadi 97,4% pada tahun 2019 melalui pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan (PIK) 35.000 MW beserta jaringan transmisi sepanjang 46 ribu km dan jaringan distribusinya.

Oleh karena sifatnya penugasan dari Pemerintah, maka PLN harus melakukan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya meskipun tidak/kurang ekonomis secara bisnis. Dengan demikian sewajarnyalah PLN mendapat insentif dan kemudahan-kemudahan dari Pemerintah. Salah satu bentuk insentif dan kemudahannya adalah insentif dan fasilitas perpajakan sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat 1 huruf d pada Perpres yang baru.

Dalam hal PLN mampu melaksanakan PIK melalui swakelola, maka cakupannya tidak hanya dibatasi untuk pembangkit dan transmisi saja, tetapi juga mencakup distribusi, gardu induk dan sara pendukung lainnya. Hal ini dimaksudkan agar PIK dapat terlaksana dengan cepat di semua sektor. Hal inilah yang ditampung dalam ketentuan ayat 2 pasal 5.

Penyisipan pasal 8A dimaksudkan untuk menegaskan bahwa kerja sama penyediaan tenaga listrik dengan Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) melalui transaksi perjanjian jual beli dan bukan transaksi perjanjian sewa. Dengan demikian aset maupun hutang PPL terlepas dari pembukuan PLN. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini aset dan hutang PPL tercantum dalam pembukuan keuangan PLN. Karena hutang PPL tersebut cukup banyak, maka sangat memberatkan pembukuan keuangan PLN.

Perubahan pasal 9 dimaksudkan agar PLN maupun anak pusahaan PLN tidak hanya bisa melakukan kerjasama dengan badan usaha asing, tetapi juga dengan badan usaha nasional, guna mendapatkan partner yang kredibel dan reputabel. Disamping itu, cakupan kerjasama juga diperluas, tidak hanya dalam penyediaan pendanaan yang diperlukan oleh PLN dan memiliki ketersediaan energi yang akan digunakan oleh PLN dalam PIK, tetapi juga mencakup alih teknologi dan peningkatan kemampuan produksi dalam negeri. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan kemampuan perusahaan nasional. Sementara kebijakan mengutamakan kerjasama dengan badan usaha milik negara asing daripada badan usaha swasta asing, dimaksudkan untuk jaminan keberlangsungan proyek kerjasama dimaksud.

Penghapusan ketentuan ayat 3 pasal 32 karena PLN dapat membebaskan lahan-lahan milik masyarakat sesuai dengan Undang-Undang nomor 2 tahun 2012. Apabila setelah dilakukan pembebasan oleh PLN, lahan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka khusus untuk lahan-lahan yang sudah dibebaskan oleh PLN seharusnya tidak ditetapkan menjadi kawasan hutan karena sudah menjadi aset PLN.

Dengan perubahan pasal 33, tanah yang diperlukan oleh PIK tidak harus diadakan oleh PLN, tetapi juga bisa memanfaatkan tanah infrastruktur lainnya, seperti tanah yang dimanfatkan oleh infrstuktur jalan, rel kereta api, pipa gas, untuk dilintasi oleh infrastruktur ketenagalistrikan baik di atas tanah tersebut maupun di bawahnya.

Pemanfaatan tanah infrastruktur lainnya tersebut dilakukan melalui kerja sama dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha, yang jangka waktunya selama dibutuhkan Infrastruktur Ketenagalistrikan tersebut. Sebagai imbalan pemanfaatan tanah dimaksud, PLN memberikan kompensasi berupa sewa yang diberikan sekali untuk selama waktu pemanfaatannya. Demikian juga untuk tanah milik badan usaha swasta atau masyarakat, akan diberikan kompensasi yang diberikan sekali untuk selama waktu pemanfaatannya.

Sedangkan penambahan pasal 37A dimaksudkan untuk memanfaatkan limbah yang berasal dari energi fosil seperti batubara. Limbah tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan untuk infrastruktur. Di negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropah, menurut PLN, fly ash telah digunakan untuk material pembangunan infrastruktur. Sementara FABA dapat dimanfaatkan untuk paving block, batu pemecah ombak, tiang beton listrik, batako, beton geopolimer dan lain-lain. Jika limbah tersebut tidak dimanfaatkan, akan membutuhkan lalan yang cukup luas untuk menimbunnya.

Kembali ke pertanyaan kenapa Perpres nomor 4 tahun 2016 perlu diubah ? Jawaban ringkasnya, karena pelaksanaan percepatan pembangunan PIK terhambat oleh hal-hal yang belum diatur dalam Perpres Perubahan ini. Disamping itu, tujuannya juga untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan PIK sehingga bisa tercapai sesuai jadwal yang ditargetkan. Sedangkan tujuan pemberian dukungan yang besar dan fasilitas yang banyak dari pemerintah kepada PLN, supaya program ini sukses dan semua yang direncanakan terealisasi dengan baik. Tentu saja tujuan akhirnya adalah demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Mari kita doakan dan kita dorong serta kita bantu bersama-sama agar PIK ini sukses dan selesai tepat waktu, sehingga seluruh rakyat Indonesia bisa segera menikmati hasilnya. Semoga !


Upaya Pemerintah Dalam Menjamin Keselamatan dan Keamanan Pelayaran Indonesia

$
0
0

beniOleh: Benni Kusriyadi, S.ST

Keselamatan dan keamanan merupakan hal yang utama dalam transportasi, bukan hanya lingkup nasional, juga termasuk internasional. Dalam upaya tersebut, di bidang kelautan Pemerintah terus meningkatkan pembangunan kenavigasian perkapalan, dan transportasi laut.

Laut tidak hanya sebagai sebatas sumber daya alam namun juga sebagai sarana komunikasi yang dapat diartikan bahwa pemanfaatan laut untuk kepentingan lalu­lintas pelayaran antar pulau, antar negara maupun antar benua, baik untuk angkutan penumpang maupun barang, maka perlu dijamin keamanan dan keselamatan pelayarannya lokal maupun internasional yang didukung dengan fasilitas keselamatan pelayaran seperti Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), telekomunikasi pelayaran, Kapal Negara Kenavigasian yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah penyelenggaraannya.

Selain itu, bahwa dengan luas wilayah laut dan pantai yang besar dan kondisi iklim yangsemakin ekstrim, aktifitas pelayaran juga semakin rawan terhadap kecelakaan.Hal ini merupakan masalah atau tantangan di bidang keselamatan pelayaran. Untuk itu,semua pihak yang terkait dengan keselamatan pelayaran perlu mengantisipasi serta memiliki kesiapsiagaan terhadap perubahan iklim dan penyiapan terhadap sarana dan prasarana yang memadai.

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan telah mengupayakan keselamatan pelayaran untuk mengantisipasi kecelakaan melalui pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) telekomunikasi pelayaran, dan Kapal Negara Kenavigasian berupa3 (tiga) unit Kapal Pengamat Perambuan, 1 (satu) Kapal Patroli kelas V,1 (satu) unit Kapal Patroli Kelas III, dan 3 (tiga) unit Kapal Rede untuk mendukung pelayaran perintis sebagai feeder kapal Pelni yang tidak dapat bersandar di pelabuhan dengan kedalaman terbatas.

Pembangunan Kapal Pengamat Perambuan mempunyai nilai manfaat untuk melaksanakan pemantauan berkesinambungan SBNP, menjemput penjaga menara suar yang mengalami sakit keras, melaksanakan perawatan darurat SBNP, melaksanakan tugas SAR dan tugas-tugas pemerintahan lainnya.Sedangkan KapalPatroli kelas VKapal Patroli Kelas IIIjuga berperan dalam meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran di perairan Ketapang dan perairan Kota Baru pada khususnya dan perairan Indonesia pada umumnya.

Selain itu termasuk 3 (tiga) Kapal Rede yang masing-masing berkapasitas 58 penumpang dan 3 orang awak kapal senilai Rp. 42 Milyar yang digunakan untuk melayani perpindahan penumpang dan/atau barang dari dermaga menuju kapal yang lebih besar yang berada di area labuh atau sebaliknya sebagai konektivitas dengan kapal perintis di Kalimantan Selatan.

Tujuan Pembangunan Kapal Rede guna meningkatkan kualitas pelayanan barang dan penumpang kepada masyarakat  daerah kepulauan, meningkatkan aksesbilitas pelayaran dalam melayani masyarakat untuk memfasilitasi daerah yang tidak dapat disinggahi/sandar oleh Kapal Perintis/Kapal Penumpang PELNI dikarenakan kedalaman yang tidak mencukupi atau fasilitas dermarga yang tidak memadai sehingga Kapal Perintis/Penumpang PELNI harus berlabuh di laut, dan masyarakat yang akan naik/turun  Kapal Perintis/Penumpang PELNI harus menggunakan kapal tradisional dengan risiko kecelakaan pelayaran yang cukup tinggi.

Kapal-kapal yang dibangun di galangan dalam negeri ini juga sebagai bukti bahwa industri galangan kapal nasional memiliki kemampuan untuk membangun kapal sesuai dengan Standar lnternasional dan dilaksanakan oleh tenaga-tenaga terampil dalam negeri sejak dari proses desain hingga pembangunannya, yang artinya kita bisa memenuhi kebutuhan kapal untuk dalam negeri, dan selanjutnya akan kita dorong untuk bersaing pada tingkatan global.

Diharapkanpengoperasian Kapal Patroli, Kapal Perambuan dan Kapal Rede ini dapat berjalan lancar secara efektif dan efisien, yang dapat dimanfaatkan secara optimal guna mengatasi permasalahan menyangkut kenavigasian pelayaran dan mendukung konektivitas antar pulau sekaligus menunjang pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan.

 

Benni Kusriyadi, S.ST

Sub Bidang Kenavigasian, Lalu Lintas dan Angkutan Laut

di Keasdepan Bidang Perhubungan

 

RUEN, Rencana Umum Energi Nasional

$
0
0

Screenshot_2017-03-24-17-52-34_1Oleh: M. Hamidi Rahmat

Rencana Umum Energi Nasional yang disingkat RUEN merupakan kebijakan Pemerintah Pusat mengenai rencana pengelolaan energi tingkat nasional yang menjadi penjabaran dan rencana pelaksanaan Kebijakan Energi Nasional yang bersifat lintas sektor untuk mencapai sasaran Kebijakan Energi Nasional.

Demikian pengertian yang tercantum pasal 1 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017.

Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang RUEN ini ditandatangani Presiden Jokowi pada tanggal 2 Maret 2017. RUEN yang ditetapkan tersebut adalah RUEN yang telah disepakati dalam Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) ke 3 yang dilaksanakan pada tanggal 22 Juni 2016.

Penetapan RUEN ini merupakan pelaksanaan pasal 12 ayat 2 dan pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Pasal 12 ayat 2 tersebut mengamanatkan Dewan Energi Nasional bertugas : (a) merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional untuk ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR, (b) menetapkan rencana umurn energi nasional, (c) menetapkan langkah-langkah penanggulangan kondisi krisis dan darurat energi, serta (d) mengawasi pelaksanaan kebijakan di bidang energi yang bersifat lintas sektoral. Sedangkan pasal 17 ayat 1 menyatakan bahwa Pemerintah menyusun rancangan rencana umum energi nasional berdasarkan kebijakan energi nasional.

Kebijakan Energi Nasional atau KEN itu sendiri telah ditetapkan pada tanggal 17 Oktober 2014 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014. Dasar penerbitan Peraturan Pemerintah atau PP ini adalah pasal 11 ayat 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007. KEN yang ditetapkan tersebut juga sudah mendapat persetujuan DPR melalui Keputusan DPR Nomor 01/DPR RI/III/2013-2014.

Sebagaimana diketahui bahwa KEN merupakan pedoman untuk memberi arah pengelolaan energi nasional guna mewujudkan kemandirian energi dan ketahanan energi nasional untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan.

Arah kebijakan energi ke depan berpedoman pada paradigma bahwa sumber daya energi tidak lagi dijadikan sebagai komoditas ekspor semata, tetapi sebagai modal pembangunan nasional. Tujuannya untuk : (a) mewujudkan kemandirian pengelolaan energi, (b) menjamin ketersediaan energi dan terpenuhinya kebutuhan sumber energi dalam negeri, (c) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya energi secara terpadu dan berkelanjutan, (d) meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi, (e) menjamin akses yang adil dan merata terhadap energi, pengembangan kemampuan teknologi, industri energi dan jasa energi dalam negeri, (f) menciptakan lapangan kerja dan terkendalinya dampak perubahan iklim dan terjaganya fungsi lingkungan hidup. Demikian penjelasan yang tertera dalam Lampiran 1 RUEN.

Apa yang diatur dalam RUEN

Pertama, Prinsip Umum RUEN. RUEN disusun oleh Pemerintah dan ditetapkan oleh Dewan Energi Nasional untuk jangka waktu sampai dengan tahun 2050 yang memuat : (a) pendahuluan, kondisi energi nasional saat ini dan ekspektasi masa mendatang, (b) visi, misi, tujuan dan sasaran energi nasional, (c) kebijakan dan strategi pengelolaan energi nasional, dan (d) penutup.

Penjabaran kebijakan dan strategi pengelolaan energi nasional diuraikan lebih lanjut dalam matrik program RUEN yang terdapat dalam Lampiran 2 RUEN. Fungsi RUEN adalah sebagai : (a) rujukan perencanaan pembangunan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, (b) rujukan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional dan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik, (c) rujukan rencana penyusunan APBN/APBD oleh Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah serta pelaksanaanya, (d) pedoman Kementerian dan Lembaga untuk menyusun Rencana Strategis, (e) pedoman Pemerintah Provinsi untuk menyusun RUED-P (Rencana Umum Energi Daerah Provinsi), (f) pedoman Kementerian dan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan koordinasi perencanaan energi lintas sektor, dan (g) pedoman masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan nasional bidang energi.

Kedua, Skema Pelaksanaan RUEN. (a) Dewan Energi Nasional bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan sosialisasi RUEN kepada instansi terkait, baik di Pusat maupun di Daerah dan pihak lain terkait; dan pembinaan penyusunan rancangan RUED-P, (b) Dewan Energi Nasional melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan RUEN dan kebijakan di bidang energi yang bersifat lintas sektoral, (c) pelaksanaan pengawasan dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi terkait, baik di Pusat maupun di Daerah dan pihak lain terkait dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, (d) hasil pengawasan dibahas dalam Sidang Anggota dan dilaporkan kepada Ketua Dewan Energi Nasional atau dapat dibahas dalam Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional, dan (e) Dewan Energi Nasional memantau tindak lanjut rekomendasi hasil pengawasan pelaksanaan KEN, RUEN dan kebijakan energi lintas sektoral.

Ketiga, RUEN dapat ditinjau kembali dan dimutakhirkan secara berkala setiap 5 tahun sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan, dalam hal : (a) KEN mengalami perubahan mendasar, dan/atau (b) perubahan lingkungan strategis antara lain perubahan indikator perencanaan energi, baik di tingkat nasional, tingkat regional maupun tingkat internasional. Selanjutnya, rencana perubahan RUEN diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional.

Diversifikasi Energi

Sudah banyak diberitakan baik dalam media cetak maupun media elektronik bahwa sejak tahun 2004, Indonesia telah menjadi negara pengimpor minyak netto (net oil importer). Artinya impor minyak kita lebih besar dari ekspornya. Hal tersebut disebabkan karena kebutuhan minyak yang terus meningkat sementara produksinya terus menurun. Peningkatan konsumsi minyak nasional ini bukan hanya akibat dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga karena pertambahan penduduk.

Disamping itu, tingginya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri juga disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat kita yang sangat boros atau tidak efisien. Hal ini mungkin disebabkan sebagian harga BBM yang masih disubsidi. Di lain pihak, fasilitas kilang minyak kita tidak mengalami penambahan berarti sejak pembangunan kilang Balongan pada tahun 1994, sehingga impor BBM terus meningkat. Pada Tabel 1 di bawah ini dapat kita lihat trend produksi, konsumsi dan impor BBM kita.

Tabel 1 : Konsumsi BBM dan Produksi Kilang Tahun 2010 2015

Screenshot_2017-03-24-17-38-24_1
Sumber : Lampiran 1 RUEN, hal 9.

Kecenderungan konsumsi BBM seperti tabel 1 diatas sudah berlangsung lama. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor sumber energi, maka diversifikasi energi menjadi suatu keharusan. Tujuan diversifikasi energi adalah untuk mengurangi ketergantungan energi nasional terhadap suplai dari energi fosil, dan menggantinya dengan sumber energi baru dan energi terbarukan, seperti energi air terjun, energi matahari, energi angin, energi laut hingga energi nuklir. Namun, energi nuklir telah ditetapkan sebagai sumber energi sebagai pilihan terakhir.

Disamping menerapkan kebijakan diversifikasi energi, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kesadaran masyarakat kita dalam menghemat dan mengefisienkan konsumsi energinya. Tanpa kesadaran masyarakat tersebut, kebijakan Pemerintah ini tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itu, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat merupakan suatu keharusan pula. Target dari kebijakan diversifikasi energi nasional dapat dilihat pada Tabel 2 berikut :

Tabel 2 : Sasaran Sasaran yang diamanatkan dalam KEN
Tahun 2015-2050 dan Bauran Energi Nasional Tahun 2015

 

Screenshot_2017-03-24-17-38-54_1

Sumber : Lampiran 1 RUEN, hal 12 dan 23.

Tabel 2 di atas menjelaskan kepada kita bahwa sampai saat ini kita masih mengandalkan energi fosil yang kontribusi sebesar 95%. Sementara EBT yang tidak akan habis baru mampu berkontribusi sebesar 5% dalam bauran energi nasional. Namun demikian, dalam RUEN telah ditetapkan bahwa Pemerintah akan terus meningkatkan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan (EBT). Jika pada tahun 2015, kontribusi EBT baru mencapai 5%, maka pada tahun 2025 ditargetkan menjadi lebih dari 23%, dan naik lagi menjadi lebih dari 31% pada tahun 2050. Sedangkan kontribusi gas relatif stabil, berkisar sekitar 23%. Untuk batubara akan meningkat dari 25% pada tahun 2015 menjadi lebih dari 30% pada tahun 2025, tetapi setelah itu dikurangi sehingga menjadi sekitar 25% pada tahun 2050. Khusus untuk minyak bumi telah ditargetkan untuk dikurangi peranannya setiap tahun. Jika pada tahun 2015 kontribusinya mencapai 46%, maka angka tersebut akan turun menjadi kurang dari 25% pada tahun 2025, dan terus menurun sehingga menjadi kurang dari 20% pada tahun 2050.

Pemanfaatan EBT

Kebijakan peningkatan peran EBT dalam bauran energi nasional seperti yang digambarkan pada Tabel 2 bukan tanpa alasan yang kuat. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa negara kita kaya akan sumber EBT, seperti air terjun, panas bumi, sinar matahari, angin, arus laut. Namun sampai saat ini belum termanfaatkan dengan maksimal. Besarnya potensi EBT di negara kita dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3 : Potensi Energi Terbarukan Indonesia Tahun 2015

 

Screenshot_2017-03-24-17-39-27_1

Sumber : Lampiran 1 RUEN hal 20.

Pemanfaatan EBT memang lebih cocok untuk pembangkit tenaga listrik. Sayangnya pembangkit listrik kita masih mengandalkan energi fosil. Pada tahun 2015 hampir 90% pembangkit listrik menggunakan energi fosil, seperti batubara sebesar 56,1% kemudian diikuti oleh gas bumi sebesar 24,9% dan BBM sebesar 8,6%. Sementara porsi EBT baru mencapai 10,5%. Trend penggunaan sumber energi untuk pembangkit listrik nasional dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah.

Gambar 1 : Bauran Produksi Listrik Energi Tahun 2010-2015

Screenshot_2017-03-24-17-37-46_1

Sumber : Lampiran 1 RUEN hal 13.

Rendahnya pemanfaatan dan pengembangan EBT pada pembangkit listrik terjadi karena berbagai permasalahan, antara lain: (a) belum maksimalnya pelaksanaan kebijakan harga, (b) ketidakjelasan subsidi EBT pada sisi pembeli (off-taker), (c) regulasi yang belum dapat menarik investasi, (d) belum adanya insentif pemanfaatan EBT, (e) minimnya ketersediaan instrumen pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan investasi, (f) proses perizinan yang rumit dan memakan waktu yang lama, dan (g) permasalahan lahan dan tata ruang.

Untuk meningkatkan pemanfaatan dan pengembangan EBT pada pembangkit listrik, maka 7 permasalah mendasar di atas harus segera dibenahi dengan serius oleh Kementerian dan Lembaga terkait. Jika tidak, maka rencana dan target yang telah ditetapkan dalam RUEN hanya akan menjadi dokumen yang tersimpan rapi, tanpa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Oleh karena itu mari kita dorong dan kita bantu instansi terkait untuk membenahinya.

 

MEMBANGUN PERBATASAN, MERAWAT ETALASE NEGARA

$
0
0

imagesOleh : Thanon Aria Dewangga *)
“A nation that cannot control its borders is not a nation.” ― Ronald Reagan

Komitmen untuk mengubah paradigma pembangunan perbatasan semakin dipertegas oleh Presiden Jokowi.

Terakhir, baru saja dilaksanakan kunjungan kerja ke Provinsi Kalimantan Barat tanggal 16-18 Maret 2017 yang jelas menggambarkan keinginan beliau untuk mengubah wajah perbatasan dari ‘daerah terluar’ menjadi ‘daerah terdepan’, tepatnya ‘etalase terdepan negara’.

Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2016 menyebutkan “dalam rangka pemantapan kedaulatan, Pemerintah mengedepankan pembangunan daerah-daerah terdepan, daerah-daerah yang menjadi beranda Indonesia. Kita kembangkan daerah seperti Entikong, Natuna, dan Atambua agar dunia melihat bahwa Indonesia adalah negara besar dan setiap jengkal tanah airnya diperhatikan dengan sungguh-sungguh”. Wilayah-wilayah perbatasan yang merupakan beranda terdepan Republik ini harus tetap dijaga melalui orientasi pembangunan kawasan perbatasan yang integratif dan berkesinambungan. Artinya segenap komponen bangsa memiliki peran dan tanggung jawab yang sama baik itu pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Sangatlah tepat di era persaingan bebas ini, Presiden Jokowi ingin pembangunan daerah perbatasan diakselerasi dan direalisasikan tidak hanya sekedar menjadi konsep atau wacana. Perbatasan, terutama perbatasan negara merupakan salah satu aspek penting dalam geopolitik. Sejarah mencatat bahwa banyak terjadi perang antarnegara dan atau antarbangsa disebabkan oleh permasalahan perbatasan. Yuda Tangkilisan dalam makalah “Indonesia dan Masalah Perbatasan: Beberapa Masalah dalam Perkembangan Daerah Tapal Batas sebagai Bagian Perekonomian Nasional dari Perspektif Sejarah” mengatakan bahwa istilah perbatasan memiliki dua pengertian, yaitu boundaries dan frontiers. Dalam konteks boundaries, perbatasan merupakan garis pemisah wilayah antarnegara. Adapun dalam konteks frontiers, perbatasan lebih merujuk pada jalur (zones) yang membentang dan memisahkan dua wilayah negara.
Beberapa permasalahan yang secara umum dijumpai di daerah perbatasan antara lain memiliki kecenderungan tumbuh lebih lambat, belum sinerginya perencanaan wilayah perbatasan dan ketidakserasian program-program pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah di daerah perbatasan tersebut. Telah ditegaskan bahwa pelaksanaan pembangunan di daerah harus selaras dengan potensi dan peluang pengembangan, dan sejalan dengan prioritas yang telah digariskan oleh peraturan yang berlaku pada masing-masing wilayah.

Untuk mencapai optimalisasi pembangunan di wilayah perbatasan, terlebih dahulu perlu diketahui karakteristik wilayahnya, dengan melakukan identifikasi potensi, kendala dan peluang pengembangannya. Dengan demikian maka penyusunan rencana pengembangan wilayah perbatasan tersebut akan menghasilkan rencana intervensi pembangunan, baik dalam bentuk program maupun kegiatan yang tepat sasaran dan berguna bagi masyarakat.
Pembangunan daerah perbatasan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pengelolaan daerah perbatasan memerlukan adanya perhatian yang lebih fokus agar terjadi peningkatan kualitas pembangunan dan kualitas penduduk di wilayah tersebut. Stephen Jones dalam artikelnya “Boundary Concept in the Setting of Place and Time” mengungkapkan rumusan yang berkaitan dengan pengelolaan perbatasan.

Jones membagi ruang lingkup pengelolaan ke dalam empat bagian, yaitu alokasi (allocation), delimitasi (delimitation), demarkasi (demarcation), dan administrasi (administration). Jika disesuaikan dengan pendapat Jones, tiga isu utama yang terdapat di kawasan perbatasan secara garis besar, meliputi :
1. Permasalahan kondisi geografis dan topografis wilayah;
2. Permasalahan yang berdimensi lokal berupa kemiskinan;
3. Permasalahan yang berdimensi nasional berupa kegiatan ekonomi ilegal
4. Permasalahan yang berdimensi regional seperti kesenjangan sosal antar penduduk;
5.Permasalahan berdimensi ekonomi berupa belum berkembangnya komoditas unggulan
Dalam berbagai kesempatan mengunjungi perbatasan, Presiden Jokowi mengambil keputusan dengan cara yang paling konkret yaitu dengan melihat langsung ke lokasi, tidak hanya mendengarkan laporan atau membaca berita. Sejak pertama kali dilantik sampai saat ini tercatat daerah-daerah yang pernah dikunjungi antara lain Pulau Sebatik, Atambua, Entikong, Miangas, Nias, Nunukan dan daerah-daerah perbatasan lainnya. Permasalahan perbatasan seperti yang dikemukakan di atas, sedikit daemi sedikit mulai terurai dengan langkah-langkah konkret yang terintegrasi dan melalui pengawasan yang intensif sehingga penduduk di wilayah perbatasan mulai merasakan manfaatnya antara lain :
1.Penyerahan secara langsung Kartu Indonesia Pintar, Pemberian Makanan Tambahan, Program Keluarga Harapan dan Kartu Indonesia Sehat di wilayah-wilayah perbatasan.
2. Pembangunan dan peresmian Pos Lintas Batas Negara Terpadu seperti di Entikong, Nanga Badau, Aruk Sajingan Besar dan lain-lain.
3. Membangun dan meresmikan bandar udara, terminal, jalan dan pelabuhan di wilayah perbatasan. Contoh : Bandar Udara Miangas, Peningkatan kualitas dan pembanguna jalan baru di Papua, Kalimantan dan NTT,
4. Membangun pasar di wilayah perbatasan sebagai stimulan untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat
5. Membangun pemukiman yang layak bagi masyarakat di wilayah perbatasan, antara lain di Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malaka dan Kota Jayapura.
6. Pemberantasan illegal fishing, penyelundupan dan penempatan gelar pasukan TNI yang memperhatikan perubahan paradigma pembangunan nasional.
Dari penjelasan dan contoh di atas, dalam perspektif pemerintahan Presiden Jokowi wilayah perbatasan mempunyai peran yang signifikan sehingga perlu dirubah orientasi pengembangannya dari inward looking menjadi outward looking. Dengan demikian, menerapkan paradigma baru yang berorientasi outward looking adalah kebijakan yang relevan guna memaksimalkan potensi wilayah perbatasan dan dimanfaatkan sebagai entry point aktivitas ekonomi dan sosial dengan mengedepankan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).
Membangun perbatasan mempunyai pengaruh penting bagi kedaulatan negara karena wilayah perbatasan adalah beranda dan etalase terdepan suatu negara. Dari asepek ekonomi, pembanguna perbatasan merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Dengan demikian diharapkan dengan meningkatkan kesejahteraan sosial, kesenjangan sosial ekonomi antara wilayah perbatasan Indonesia dengan wilayah perbatasan negara lain dapat diminimalisir.
Masih banyak catatan dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di wilayah perbatasan. Namun setidaknya masyarakat di wilayah perbatasan sekarang bisa berbangga dan bertepuk dada bahwa wilayahnya saat ini mendapatkan perhatian lebih dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak akan kalah cantiknya dengan wilayah negara tetangganya. Pembangunan di wilayah perbatasan menunjukkan bahwa negara hadir dalam bentuk yang paling konkret yaitu penyediaan pelayanan publik yang sagat mendasar seperti sandang, pangan, papan dan transportasi. Presiden Jokowi menyampaikan dalam kunjungannya ke Miangas tanggal 19 Oktober 2016 “Kita ingin rakyat di perbatasan, di pulau-pulau terdepan menjadi semakin bangga menjadi warga negara Indonesia, dan menjadi semakin semangat untuk menjaga Tanah Airnya”. Dengan membangun dan merawat perbatasan dengan baik dan cermat, semoga dapat menciptakan rasa nyaman dan aman serta kedaulatan NKRI tetap terjaga.

*) Penulis adalah Staf Ahli Seskab Bidang Hukum dan Hubungan Internasional

Efisien Kawal Realisasi Program Nawacita

$
0
0

denmasediOleh: Edi Nurhadiyanto *)

Semua hal harus diproduksi dalam kuantitas dan kualitas terbaik, dan dengan cara yang harus lebih mudah, ketika setiap orang bekerja pada satu perusahaan harus sesuai dengan bakat yang mereka miliki, pada saat yang tetap dan tanpa campur tangan dengan hal lain. – Plato

Dalam pengantar Sidang Kabinet Paripurna (SKP) di Istana Negara, Jakarta (4/4), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan, “Berkaitan dengan subsidi. Subsidi alokasikan betul-betul menyasar dan tepat sasaran. Efisien dan tepat sasaran. Dan perlu saya tekankan lagi, harus betul-betul sampai pada 40 persen lapisan masyarakat ekonomi terbawah, jangan luput lagi”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencatat bahwa efisien merupakan kata sifat yang berarti dua hal yakni:  Pertama, tepat atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga, biaya). Kedua, mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat; berdaya guna; bertepat guna; sangkil.

Bekerja efisien sebagaimana diharapkan oleh Presiden Jokowi dalam arahannya setidaknya ada 3 (tiga) persyaratan atau indikator yang harus dipenuhi yakni tidak membuang-buang waktu, tenaga, dan biaya atau anggaran.

Efisien Waktu

Setiap pelaksanaan proyek dan program pemerintah terutama infrastruktur, Presiden Jokowi terbiasa untuk memberikan target waktu penyelesaian. Beberapa contoh pembuatan target waktu yang diberikan oleh Presiden Jokowi dalam pelaksanaan proyek atau program pemerintah, adalah sebagai berikut:

  1. 23 Februari 2017

Presiden meninjau pembangunan Simpang Susun Semanggi yang dibangun sepanjang 1,8 kilometer atau 1.800 meter dengan trase struktur jembatan dengan melintasi Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, dan Jalan Tol Dalam Kota. Dalam kesempatan tersebut, Presiden menyampaikan, “Kita harapkan dengan selesainya ini, Simpang Susun Semanggi ini, Insya Allah pertengahan tahun ini bisa kita pakai, kita resmikan dan ini jadi solusi bagi kemacetan di Semanggi yang sudah bertahun-tahun kita rasakan baik pagi, siang, sore, malam”.

  1. 24 Maret 2017

Presiden meresmikan pembangunan Asrama Santri Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, Kabupaten Mandailing Natal. Dalam sambutannya, Presiden menyampaikan, “Tadi saya dapat laporan dari manajer proyek insya Allah pembangunannya 6 bulan. Mundur dikit-dikit enggak apa-apa”.

 Efisien Tenaga (Sumber Daya Manusia)

Presiden Jokowi menitipkan pesan saat upacara Peringatan Hari Ulang Tahun ke-45 Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) di Lapangan Silang Monas, Jakarta, 29 November 2016 bahwa agar Indonesia bisa menjadi bangsa pemenang dalam era kompetisi global maka rakyat membutuhkan anggota Korpri yang disiplin, anggota Korpri yang bertanggung jawab, anggota Korpri yang berorientasi kerja. Segera tinggalkan pola pikir masa lalu seperti egosektoral, mental priyayi, mental penguasa, mental koruptif, yang hanya terpaku pada formalitas belaka.

Selaras dengan yang disampaikan Presiden Jokowi, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyampaikan dalam survei ekonomi tahun 2016 bahwa Birokrasi yang tidak efisien menjadi faktor kedua penyebab kesulitan dalam berusaha di Indonesia sebagaimana tergambar dalam gambar berikut:

data artikel edi1

Gambar 1. Faktor Masalah dalam Kemudahan Berusaha di Indonesia

Tata kelola pemerintahan memang menjadi salah satu pekerjaan rumah tersendiri bagi Indonesia, namun perbaikan atau reformasi dalam birokrasi pemerintahan menjadi hal penting yang mengantar perubahan. Indonesia telah melakukan perubahan dalam tata kelola pemerintahan dan hal itu dicatat dalam kajian open government sebagai sebuah proses yang baik. Secara umum gambaran tata kelola pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1996 hingga tahun 2015 adalah sebagai berikut:

data artikel edi

Gambar 2. Kemajuan Indonesia dalam Tata Kelola Pemerintahan 1996-2015

5 (lima) karakteristik tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang sering disebutkan oleh Presiden Jokowi adalah sebagai berikut:

  1. Partisipasi, dimana setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya.
  2. Transparansi, yaitu transparansi yang dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Prose lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan.
  3. Responsif, yaitu lembaga dan proses  harus  mencoba  untuk  melayani setiap
  4. Efektivitas dan efisiensi, yaitu proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.
  5. Akuntabilitas, yaitu para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders.

Efisien Biaya (Anggaran)

Saat memberikan sambutan peresmian Pusat Logistik Berikat (PLB), Cakung, Jakarta, Kamis, 10 Maret 2016, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa salah satu cara agar pengusaha segera dan mampu melakukan kegiatan penimbunan barang impor maupun ekspor yang semula dilakukan di luar Indonesia menjadi di PLB Cakung adalah dengan menurunkan dwelling time di pelabuhan. Kemudian, memangkas biaya-biaya penimbunan di luar negeri dan trip cost yang harus dilakukan.

Apa yang disampaikan oleh Presiden di atas telah dilaksanakan di lapangan sebagaimana dikutip oleh Kompas 29 September 2016, Penanggung Jawab Pokja 1 Satgas Percepatan dan Efektivitas Pelaksanaan Kebijakan Ekonomi Kementerian Perdagangan, Kasan menyebutkan di Sektor Migas sebagai contoh efisiensi mobilisasi dan timbun rig dalam satu tahun diperkirakan Rp300,664 miliar setelah dipindahkan dari PLB Singapura ke PLB Cakung.

Untuk itulah, 2018 merupakan tahun yang sangat penting bagi penyelesaian program-program pemerintah sesuai dengan Nawacita. Kuantitas dan kualitas terbaik dalam menyelesaikan setiap kegiatan sangat diperlukan agar realisasi program Nawacita yang terlaksana makin efisien dari sisi waktu, tenaga, dan biaya. Bukankah itu keinginan dan harapan kita semua…??

*) Penulis adalah Kepala Subbidang Pelayanan Informasi pada Keasdepan Humas dan Protokol.

Pencalonan Kembali Indonesia sebagai Anggota Dewan IMO Kategori C Periode Tahun 2018-2019

$
0
0

IMG-20170411-WA0037Oleh:  Widya Krishnawati

Masih ingatkah dengan lirik lagu nenek moyangku seorang pelaut? Penggalan lagu Pelaut yang diciptakan oleh Ibu Sud tersebut menjadi gambaran betapa penting dan besarnya kecintaan bangsa Indonesia terhadap lautan.

Potensi sumber daya laut yang melimpah dan sejarah kejayaan maritim di masa lalu telah membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk kembali menjadi bangsa maritim dan mewujudkan visi Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Dalam rangka mewujudkan visi sebagai Poros Maritim Dunia, Pemerintah telah menyusun sebuah Dokumen Nasional Kebijakan Kelautan Indonesia yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia sebagai pedoman umum bagi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam merencanakan, melaksanakan, monitoring, dan evaluasi pembangunan sektor kemaritiman.

Posisi geografis Indonesia yang terletak pada posisi silang antara Benua Asia dan Australia, serta Samudera Pasifik dan Samudera Hindia menempatkan Indonesia pada jalur vital pelayaran internasional. Saat ini, Indonesia memiliki 2.132 pelabuhan dan terminal yang dikelola oleh 287 Administrator Pelabuhan dengan dukungan 5 basis unit penjaga pantai. Sebanyak 141 pelabuhan terbuka untuk perdagangan internasional. Indonesia juga memiliki 14.181 unit kapal yang teregistrasi dengan total tonase sebesar 20,8 juta GT dan tenaga pelaut sebanyak 500 ribu orang yang tersebar di berbagai perusahaan pelayaran, baik nasional maupun internasional.

Sebagai negara yang terletak di Selat Malaka dan Selat Singapura, Indonesia secara aktif turut berperan dalam meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran dan pelindungan lingkungan maritim di kawasan untuk memastikan kelancaran arus pelayaran bagi lebih dari 100 ribu kapal yang melintasinya.

Sebagai wujud partisipasi Indonesia dalam mendukung keselamatan dan keamanan pelayaran internasional, Indonesia telah bergabung menjadi anggota International Maritime Organization (IMO) sejak tahun 1961, badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berdiri tahun 1948 untuk menangani isu keselamatan dan keamanan pelayaran, serta pencegahan terhadap polusi laut. Saat ini 172 negara telah bergabung sebagai anggota IMO dengan kantor pusat berbasis di Inggris.

Presiden Joko Widodo saat menghadiri salah satu Sidang Komite Tahunan IMO Marine Environment Protection Commitee ke-69, pada bulan April 2016 di London, Inggris, menekankan pentingnya keanggotaan Indonesia pada IMO, dimana Indonesia dapat turut berkontribusi dalam mewujudkan keselamatan dan keamanan navigasi pelayaran internasional atas dasar kerangka pengaturan yang disepakati bersama. Selain itu, Indonesia turut aktif bekerja sama dengan IMO untuk mewujudkan lautan yang bersih, salah satunya melalui ratifikasi The International Convention for the Control and Management of Ships’ Ballast Water and Sediments (BWM Convention​) melalui Peraturan Presiden Nomor 132 Tahun 2015. Konvensi IMO lainnya yang telah diratifikasi Indonesia, antara lain:
International Convention on Civil Liability for Bunker Oil Pollution Damage, 2001 (Konvensi Bunker) melalui Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2014;
International Convention on the Control of Harmful Anti-Fouling System on Ship, 2001 (Konvensi AFS) melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2014;
Maritime Labour Convention melalui UU Nomor 15 Tahun 2016; dan
Port State Measures Agreement melalui Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2016.

Indonesia juga berkomitmen untuk terus aktif menjalankan pendidikan dan pelatihan maritim sebagai negara dengan jumlah pelaut terbesar kedua di dunia, sehingga para pelaut Indonesia dapat memenuhi standar sebagaimana yang telah ditetapkan persyaratan internasional.

Indonesia telah 20 kali terpilih sebagai Anggota Dewan IMO dan secara aktif berkontribusi pada berbagai kegiatan Dewan IMO, badan pelaksana di bawah Majelis IMO dengan mandat untuk mengelola kegiatan dan kebijakan Organisasi, serta mengambil keputusan untuk ditetapkan dalam Sidang Majelis IMO. Kedudukan Indonesia sebagai Anggota Dewan IMO memiliki fungsi penting dan strategis untuk menunjukkan peran Indonesia dalam menentukan arah dan kebijakan IMO.

Pada Sidang Majelis IMO ke-29 di tahun 2015, Indonesia terpilih sebagai Anggota Dewan IMO Kategori C Periode Tahun 2017-2018 dengan mengumpulkan 127 suara dan berada di peringkat ke-9 dari 20 negara anggota Dewan IMO Kategori C (kategori C adalah negara yang mempunyai kepentingan khusus dalam angkutan laut dan mencerminkan pembagian perwakilan yang adil secara geografis).

Keanggotan Indonesia pada Dewan IMO akan berakhir pada akhir tahun 2017 dan Indonesia telah menyampaikan pencalonan kembali sebagai Anggota Dewan IMO Kategori C Periode Tahun 2018-2019 pada pemilihan Anggota Dewan IMO saat Sidang Majelis IMO ke-30 di London, Inggris, tanggal 27 November s.d. 6 Desember 2017.

Mengingat pentingnya dukungan negara anggota IMO lainnya bagi pemenangan Indonesia dalam pencalonan Anggota Dewan IMO Kategori C, Kementerian Perhubungan selaku focal point IMO dengan dukungan Kementerian dan Lembaga terkait, termasuk Sekretariat Kabinet, telah memulai langkah-langkah upaya pemenangan, diantaranya partisipasi aktif pada setiap Sidang dan berbagai kegiatan IMO, serta penyelenggaraan Diplomatic Reception pada tanggal 3 April 2017 di kantor Kementerian Perhubungan yang dihadiri para Duta Besar/perwakilan negara sahabat. Rencananya, Diplomatic Reception akan kembali diselenggarakan pada bulan Oktober di Jakarta dan bulan November di London.

Mari kita dukung dan sukseskan pencalonan kembali Indonesia sebagai Anggota Dewan IMO Kategori C Periode Tahun 2008-2019.

Link video : https://youtu.be/f2QCfft8gWg

Penulis:
Widya Krishnawati, Kepala Subbidang Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Asisten Deputi Bidang Kelautan dan Perikanan, Deputi Bidang Kemaritiman, Sekretatriat Kabinet.

Viewing all 380 articles
Browse latest View live