Quantcast
Channel: Archives – Sekretariat Kabinet Republik Indonesia
Viewing all 380 articles
Browse latest View live

Penunjukkan Langsung Bukan Keniscayaan

$
0
0

PengadaanOleh: Muhamad Zulfikar Ali, Pemerhati Hukum

Proses pengadaan barang/jasa kerap dijadikan alasan terhambatnya realisasi anggaran kementerian/lembaga/pemerintah daerah. Dalam tahapan penyelenggaraan pengadaan barang/jasa, Unit Layanan Pengadaan harus membuat rencana pengadaan barang/jasa termasuk menentukan metode pengadaan barang/jasa yang akan dilakukan untuk menyediakan barang/jasa tersebut. Dan pada tahapan pelaksanaan pengadaan barang/jasa, kelompok kerja akan menyusun jadwal pelaksanaan pengadaan dari pengumuman sampai dengan penerbitan Surat Penunjukkan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ).

Dinamika internal yang utama dalam tahapan perencanaan pengadaan barang/jasa adalah penentuan metode pengadaan barang/jasa yang akan dilakukan oleh kelompok kerja, mengingat penentuan metode ini akan berpengaruh terhadap waktu yang dibutuhkan sampai dengan barang/jasa yang dibutuhkan siap untuk dimanfaatkan.

Penentuan metode pengadaan barang/jasa akan dipengaruhi oleh nilai Harga Perkiraan Sendiri atas barang/jasa, jenis barang/jasa, dan rencana kontrak yang akan diberlakukan. Sehingga pemilihan metode pengadaan barang/jasa tidak serta merta ditentukan berdasarkan sempitnya waktu pelaksanaan pengadaan barang/jasa dengan jadwal pemanfaatan barang/jasa, atau untuk menjamin kepastian adanya penyedia barang/jasa, maka misalnya dilakukan metode penunjukkan langsung.

Meskipun demikian tidak lantas metode penunjukkan langsung menjadi haram untuk dilakukan. Mengingat prinsip pengadaan barang/jasa adalah pelelangan/seleksi, dalam penunjukkan langsung pun terdapat tahapan yang dilakukan dalam pelelangan/seleksi, antara lain penilaian atas kesesuaian penawaran dan kebutuhan. Namun yang membedakan dengan metode pengadaan barang/jasa lain adalah alokasi waktu dan keadaan yang membedakan diperbolehkannya dilakukan metode penunjukkan langsung.

Pelaksanaan penunjukkan langsung harus dilakukan dengan akurasi dan akuntabilitas yang sangat bisa dipertanggungjawabkan. Dalam literatur peraturan perundang-undangan di Indonesia, nomenkelatur penunjukkan langsung dapat ditemukan pada beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2015 dan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2015.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tersebut, penunjukkan langsung dilakukan dalam keadaan tertentu dan/atau untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa yang bersifat khusus.

Kriteria keadaan tertentu dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tersebut adalah sebagaimana tertuang dalam Pasal 38 ayat (4), antara lain  barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh 1 (satu) penyedian barang/jasa lainnya karena 1 (satu) pabrikan, 1 (satu) pemegang hak paten, atau pihak yang telah mendapat izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemenang pelelangan untuk mendapatkan izin dari pemerintah.

Sedangkan kriteria untuk pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa yang bersifat khusus terdapat dalam pasal 38 ayat (5), antara lain pekerjaan konstruksi bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat direncanakan/diperhitungkan sebelumnya (unforeseen condition), atau barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bersifat kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan hanya ada 1 (satu) penyedia yang mampu.

Dalam hal pelelangan/seleksi yang dilakukan oleh kelompok kerja mengalami kegagalan (pelelangan/seleksi gagal), tidak lantas pengulangan dari pengadaan barang/jasa tersebut dilakukan melalui metode penunjukkan langsung. Terhadap pelengan/seleksi gagal karena kurangnya calon penyedia yang memasukkan dokumen, pelelangan/seleksi diulang dengan metode yang sama dengan sebelumnya, dan dalam hal calon penyedia yang memasukkan dokumen tetap kurang dari kuota yang ditetapkan, pelelangan/seleksi tetap dilanjutkan (meskipun hanya ada satu calon penyedia yang ikut serta). Hal ini yang dipandang sebagai penunjukkan langsung, padahal pelelangan/seleksi tersebut tetap sesuai dengan tahapan pada metode sebelumnya namun mengingat hanya ada 1 (satu) calon penyedia, maka pelengan/seleksi seolah-olah dilakukan seperti metode penunjukkan langsung.

Pembatasan penunjukkan langsung dilakukan untuk menjaga filosofi dan marwah dari pelelangan/seleksi yakni menjaga agar tetap terjadi persaingan sehat diantara calon penyedia barang/jasa dan menjaga kualitas barang/jasa dengan harga yang wajar. Sehingga apabila penunjukkan langsung dilakukan dengan tanpa pertimbangan yang semestinya, maka persaingan usaha yang sehat akan sulit diwujudkan dan belum tentu barang/jasa yang dihasilkan dari penunjukkan langsung merupakan barang/jasa yang terbaik dan harganya wajar.

Namun terkadang penunjukkan langsung (dalam rangka penugasan) merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari, terutama dengan mempertimbangkan kecepatan dan ketepatan ketersediaan barang/jasa yang harus tersedia dalam kerangka pemenuhan kewajiban Pemerintah atas layanan publik, seperti penunjukkan langsung (baca: penugasan) kepada PT Kereta Api Indonesia untuk penyediaan pelayanan kereta api kelas ekonomi. Hal tersebut dilakukan karena PT KAI (saat ini) merupakan satu-satunya operator kereta api di Indonesia, yang apabila tetap dilakukan pelelangan/seleksi hal tersebut menjadi percuma.

Oleh karena itu, kiranya dalam pembuatan kebijakan yang bernuansa penunjukkan langsung atau sejenisnya perlu dipertimbangkan secara matang dan mendalam mengenai kebutuhan pengadaan barang/jasa dilakukan dengan melakukan penunjukkan langsung atau sejenisnya, mengingat penunjukkan langsung atau sejenisnya yang dilakukan tanpa mempertimbangkan efek dominonya berpotensi menghilangkan kompetisi diantara penyedia barang/jasa, dan selanjutnya sulit menemukan persaingan usaha yang sehat. Padahal saat ini, dunia memasuki era pasar bebas yang akan menerapkan hukum pasar dimana pihak yang survive adalah pihak yang dapat memberikan barang/pelayanan jasa yang terbaik dengan harga yang wajar, tanpa ada intervensi dari pihak manapun.

===end===


Kenapa Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan Perlu Dipercepat ? ‎

$
0
0

HamidiOleh : M. Hamidi Rahmat

Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Itulah judul Peraturan Presiden yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, pada tanggal 8 Januari 2016. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2016 ini diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 19 Januari 2016 dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara RI Tahun 2016 Nomor 8

Salah satu alasan kenapa Perpres ini perlu diterbitkan, adalah untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tenaga listrik rakyat secara adil dan merata serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Perpres ini juga untuk mendukung tercapainya program pemerintah yang telah diumumkan sebelumnya, yaitu program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW dan jaringan transmisi sepanjang 46 ribu km. Bukan hanya itu, Perpres ini juga untuk mendukung program penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) karena program pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW ini mengutamakan penggunaan energi baru dan terbarukan, seperti tenaga air dan tenaga uap, bahkan pembangkit listrik berbasis sampah.
Sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan GRK sebesar sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% dengan kerjasama internasional pada tahun 2020 dari kondisi tanpa adanya rencana aksi. Komitmen tersebut disampaikan oleh Presiden RI ketika menghadiri Pertemuan Puncak G-20 di Pittsburgh tanggal 25 September 2009 silam.
Komitmen ini ditindaklanjuti antara lain dengan menerbitkan Perpres Nomor 61 Tahun 2001 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca sebagai salah satu bentuk kebijakan dalam hal pengurangan emisi karbon.
Kembali ke masalah pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan, bahwa program ini akan menghadapi banyak tantangan dan hambatan. Untuk mengatasi hal tersebut, antara lain Pemerintah menugaskan kepada PT Perusahaan Listrik Nagara (PLN) dengan memberikan dukungan berupa penjaminan, percepatan perizinan dan nonperizinan, penyediaan energi primer, tata ruang, penyediaan tanah, dan penyelesaian hambatan dan permasalahan, serta penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi

Korelasi Listrik dengan Kesejahteraan.

Kebutuhan listrik perkapita mencerminkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat dan kemajuan suatu bangsa. Apabila konsumsi listriknya masih rendah, apalagi tanpa mengkonsumsi listrik, dapat dikatakan masyarakat tersebut masih hidup dalam era tradisional, jika tidak mau disebut era primitif.
Misalnya, masyarakat yang hidup secara tradisional di daerah terpencil di pelosok tanah air, atau mereka yang menjadi masyarakat terasing (mengasingkan diri, mungkin lebih tepat). Mereka hanya butuh makanan dan minuman. Itupun diambil dari alam, tanpa budidaya. Selain itu mereka tak butuh apa-apa. Bahkan pakaianpun mereka tak butuh. Apalagi listrik. Mungkin lebih tepat mereka belum tahu bahwa sebenarnya mereka juga butuh selain makanan dan minuman. Kalaupun ada diantara mereka yang menutup auratnya, penutupnya dambil dari apa yang tersedia di alam bebas, seperti kulit kayu, dedaunan atau rerumputan. Begitu juga tempat berlindung dari hawa panas dan hawa dingin, mereka memanfaatkan gua atau membuat gubuk yang hanya beratap dedaunan tanpa dinding.
Bagi masyarakat yang mulai maju, mereka akan membutuhkan pakaian dari kain. Meskipun ada pakaian yang ditenun secara tradisional, tanpa membutuhkan energi listrik, namun pada umumnya kain dibuat dengan mesin yang membutuhkan aliran arus listrik. Sehingga pada masyarakat kelompok ini telah mulai membutuhkan listrik, meskipun tingkat konsumsinya masih rendah.
Masyarakat yang lebih maju lagi, akan menkonsumsi listrik yang lebih banyak. Artinya tingkat konsumsi listrik perkapitanya akan lebih tinggi. Penyebabnya adalah setiap orang membutuhkan listrik untuk penerangan, menghidupkan radio dan televisi, serta untuk memanaskan sterika listrik miliknya.
Bagi masyarakat yang tingkat kesejahteraan dan kemajuannya sudah tinggi, maka tingkat konsumsi listriknya pasti lebih tinggi. Penyebabnya adalah segala perkakas yang ada di rumahnya dihidupkan dengan listrik. Misalnya, radio, televisi, sterika, kompor, oven, dispenser, kulkas, pendingin/penghangat udara, pemanas air mandi. Bukan hanya itu, hand phone, komputer, laptop dan mainan anaknya juga membutuhkan aliran listrik. Bahkan sekarang ada mobil listrik.
Dapat dikatakan bahwa semakin maju kehidupan suatu masyarakat, semakin sejahtera mereka, semakin maju negaranya, maka konsumsi listriknya semakin tinggi. Sebagai ilustrasi mungkin tabel berikut dapat mewakili.

Konsumsi Listrik Perkapita dan PDB Perkapita Sejumlah Negara Asia

Negara    Konsumsi*    PDB**        Negara    Konsumsi*    PBD**
Indonesia    0,8    4.000        Malaysia    4,4    13.385
India    0,8    2.563        Hongkong    5,8    42.124
Vietnam    1,3    2.589        Jepang    7,2    33.596
Thailand    2,3    7.907        Singapura    8,1    49.754
China    3,7    5.325        Korea Sel    10,5    24.803

* Dalam MWh per kapita per tahun
** Menurut IMF Tahun 2007 (kecuali Indonesia, 2011), dalam US$

Sumber : Sriwijaya Post, 18 September 2015 dan Wikipedia

Kebijakan Pemerintah Jokowi – JK

Pada masa kampanye dulu, (calon) Presiden Joko Widodo dan (calon) Wakil Presiden Jusuf Kalla menggagas program yang dinamakan dengan Nawacita. Nawacita adalah 9 program yang mencakup keseluruhan visi dan misi Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam memimpin Indonesia untuk periode 2014 – 2019. Pada cita ke 6 yaitu “Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”.
Setelah dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden, salah satu kebijakan yang diambil untuk mencapai cita ke-6 tersebut adalah dengan mengumumkan Paket Ekonomi Jilid 1 pada September 2015. Paket Ekonomi pertama ini berfokus pada pada tiga hal besar, yakni meningkatkan daya saing industri, mempercepat proyek-proyek strategis nasional, dan mendorong investasi di sektor properti.
Sinergi kebijakan pemerintah dengan kebijakan Bank Indonesia dalam menstabilkan fiskal dan moneter, diharapkan akan mempercepat gerak mesin ekonomi nasional, meskipun perekonomian dunia tengah melambat.
Disamping itu, Pemerintahan Jokowi – JK juga melakukan deregulasi, dengan merevisi sekitar 89 regulasi yang dianggap menghambat daya saing industri. Juga disusun 17 rancangan peraturan pemerintah, 11 rancangan peraturan presiden, 2 rancangan instruksi presiden, 63 rancangan peraturan menteri dan 5 aturan lainnya.
Salah satu peraturan yang termasuk dalam paket deregulasi tersebut adalah Perpres Nomor 4 Tahun 2016. Perpres ini menugaskan kepada PLN untuk melaksanakan percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK) yang dilakukan melalui swakelola dan kerja sama penyediaan tenaga listrik.
Pelaksanaan PIK melalui swakelola yang mencakup pembangkit dan/atau transmisi, dilakukan dalam hal PLN memiliki (1) kemampuan pendanaan untuk ekuitas dan sumber pendanaan murah, (2) risiko konstruksi yang rendah, (3) tersedianya pasokan bahan bakar, (4) pembangkit pemikul beban puncak (peaker) yang berfungsi mengontrol keandalan operasi; dan/atau (5) pengembangan sistem isolated.
Diluar kondisi tersebut, maka PLN melalui anak perusahaan PLN (joint venture) harus bekerjasama dengan perusahaan lain untuk membangun pembangkit. Diulangi, hanya pembangkit, tidak termasuk transmisi.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan pendanaan PLN, Pemerintah memberikan dukungan ketersediaan pendanaan melalui (1) penyertaan modal negara, (2) penerusan pinjaman dari pinjaman Pemerintah yang berasal dari luar negeri dan/atau dalam negeri, (3) pinjaman PLN dari lembaga keuangan, (4) pemberian fasilitas pembebasan pajak penghasilan dalam hal dilakukan revaluasi aset; dan/atau (5) pendanaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu Pemerintah juga menyediakan jaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran atas pinjaman PLN.
Dalam percepatan PIK, harus dilakukan PLN secara efektif, efisien, transparan, adil dan akuntabel sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang ditetapkan oleh Menteri ESDM. Untuk itu, maka pembinaan teknis dibebankan kepada Menteri ESDM, sedangkan pembinaan korporasi dan manajemen PLN menjadi tugas Menteri BUMN.
Karena percepatan PIK ini merupakan program prioritas Pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan oleh PLN melalui penugasan, maka PLN diberi dukungan dan fasilitas yang mencukupi demi suksesnya kebijakan ini. Diantaranya, Pemerintah melalui Menteri ESDM memberikan prioritas alokasi sumber energi primer untuk operasional PIK dan menetapkan harga jual energi primer untuk operasional pembangkitan tenaga listrik.
Dalam melaksanakan proyek ini, PLN harus mengutamakan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT), dengan dukungan Pemerintah berupa pemberian insentif fiskal, kemudahan perizinan, dan/atau penetapan harga beli tenaga listrik oleh PLN dari masing-masing jenis sumber EBT.
Untuk meningkatkan multiplier effect, maka semua proyek dibawah program percepatan PIK harus mengutamakan penggunaan barang/jasa dalam negeri dengan tetap memperhatikan tingkat ketersediaan, kepentingan terbaik bisnis PLN dan/atau layak secara teknis dan finasial, melalui penerapan open book system, pemberian preferensi harga, atau reverse enginering.
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang ada di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk mempercepat dan mempermudah proses mendapatkan perizinan dan nonperizinan (pelayanan) yang dibutuhkan oleh perusahaan. PLN akan memanfaatkan PTSP ini semaksimal mungkin untuk mendapatkan perizinan dan nonperizinan. Jika perizinan dan nonperizinan yang belum/tidak dapat didelegasikan atau dilimpahkan kepada PTSP, maka menteri/kepala dan gubernur atau bupati/walikota wajib menerbitkan prosedur, kriteria, dan waktu penyelesaian perizinan dan nonperizinan; dan menugaskan pejabat atau pegawainya pada PTSP.
Demikian juga halnya dengan masalah penyelesaian tata ruang. Perpes ini menetapkan bahwa pelaksanaan PIK dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detil Tata Ruang Daerah (RDTRD), atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Jika lokasi PIK tidak sesuai dengan RTRW, RDTRD, atau RZWP3K, maka PLN, anak perusahaan PLN atau PPL bersama K/L dan/atau Pemerintah Daerah melakukan langkah-langkah teknis yang dapat berupa perubahan RTRW, RDTRD, atau RZWP3K sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hal yang sangat vital dan sering menjadi problem berlarut-larut adalah masalah penyediaan tanah. Penyediaan tanah untuk PIK dilakukan oleh PLN, Join Venture, atau PPL dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dlam hal ini, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah diwajibkan untuk memberikan dukungan kepada PLN dan/atau PPL dalam proses pengadaan tanah yang dapat berupa prioritas atas penyediaan tanah, kerjasama pemanfaatan atas Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) berupa tanah, dan/atau kerjasama penyediaan infrastruktur atas BMN/D berupa tanah.
Apabila terjadi masalah hukum, maka pimpinan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah wajib menyelesaikan hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaan PIK sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance), alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, itikad baik, dan memperhatikan ketentuan perturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan. Dalam hal pengambilan langkah-langkah penyelesaian hambatan dan permasalahan terdapat permasalahan hukum, penyelesaiannya dilakukan dengan mendahulukan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas.
Dukungan lain yang diberikan pemerintah kepada PLN adalah pinjaman luar negeri yang dilakukan PLN dikecualikan dari ketentuan yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri dan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1991 tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri.
Agar percepatan PIK terlaksana sesuai rencana, maka dibentuk Tim Koordinasi Pelaksanaan PIK guna melakukan koordinasi dan memberikan bantuan yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan PIK.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa begitu besar dukungan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kepada PLN untuk percepatan PIK ini. Jawabannya cukup sederhana, yaitu karena pemerintah ingin program ini sukses dan semua yang direncanakan terealisasi dengan baik. Tentu saja tujuan akhirnya adalah demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

A high-light of India’s Energy Sector in The 4th Green Energy Summit: Renewables, The Game Changer

$
0
0
TJSjahriati Rochmah, SH., S.Pd., M.Hum., LL.M *)
 Transition towards Renewable Energy is important and imperative for India’s economy in order to achieve sustainable growth and energy security for 1,3 billion citizens. Dependency on energy imports and coal-based power has significantly being reduced by Renewable Energy. This has increased opportunities in the green economy and employment. This also demonstrated an effort to fight climate change and enable socioeconomic development.
This issues were forwarded in four important panels, attended by representatives from The United States of America, Korea, Japan, Indonesia and India. The first panels discussed the topic of: “Renewable: The Game Changer”. Followed by the second panels with the issue of “India”s Changing Windscape”, and the third issue on :Building a better India with Solar Power”. The final panels were actively discussed the issue of “Over-viewing Risk Perception in Financing  of Renewable”. This summit were organized by Indian Chamber of Commerce and supported by the Ministry of New and Renewable Energy, Government of India.
175 GW of Renewable Energy: Paradigm Shift in India’s Power Sector
The Indian power sector has undergone significant changes since reforms were introduced in 1995 that allowed private sector participation in distribution and generation. The Electricity Act of 2003 streamlined the market through unbinding of State Electricity Boards (SEBs) into separate entities for generation, transmission and distribution. The stage is set for another step change after the government announced goals for renewable energy capacity addition – 100 GW of Solar and 75 GW of wind by 2022. These targets eclipse previous goals and are crucial to ensuring India’s energy security and the objective of pursuing a low carbon growth.
India is the fourth largest power system in the world with an installed base of 284,303 MW, next only to the US, China and Russia. Although the capacity mix has diversified, coal continues to be the fuel of choice owing to its large reserves and easy availability.
 
Renewable Energy Potential in India
Despite impressive growth in the Renewable Energy sector, there is still a vast untapped potential of Renewable Energy resources. India has an estimated renewable energy potential of about 1,095 GW from commercially exploitable sources viz.
India reiterated its commitment to install 175 GW of renewable by 2022 in its Intended Nationally Determined Contribution (INDC) document released at the recently COP21 summit in Paris.
Key Challenges
The renewable adoption has retained an important space in the policy domain of the government. There are several challenges that are yet to be addressed adequately. It needs to be realized by policy makers that owing to limited grid visibility and control, grid managers are not adequately equipped to handle even routine grid operations, also the variability associated with renewable resources. Lack of monitoring infrastructure at all voltage levels makes it difficult to see and manage liad on real time basis.
Considering the huge variability associated with the renewable resources, forecasting and balancing related capacities urgently need to be ramped up in the states. While forecasting of conventional load and generation is relatively simpler, renewable forecasting same shall not be possible without proactive engagement of states by the central government.
The other challenge to renewal adoption is the financial health of the end beneficiaries, namely distribution utilities. With a large number of utilities struggling under severe financial strain, their ability to support absorption of costly renewable energy is fairly limited. Though steps are being taken to improve the financial health of utilities, interim measures like subsidy support, easier regulatory pass through mechanism, and so on shall go a long way in helping the transition towards a renewable based future.
Critical Success Factors for Renewable Grid Integration
1. Forecasting and scheduling
2. Integrated Resource Planning
3. Ancillary Services, including Synchronized regulation, contingency reserves, and flexibility reserves.
4. System Operations Improvements
5. Rigorous Power System Data Analytic
6. Electrical Energy Storage.
*) The Head of Division of Cooperatives, Entrepreneurs, SMEs and Man Power, Deputy of Economy, The Cabinet Secretariat of the Republic of Indonesia. – New Delhi, February 2016

STOP!!! Pencemaran Laut Indonesia

$
0
0

Stop Pencemaran laut IndonesiaOleh : Agil Iqbal Cahaya, S.AP., M.AB. (Kasubid Perikanan Tangkap & Budidaya, Kedeputian Maritim, Setkab)

Pencemaran laut merupakan salah satu masalah lingkungan yang dihadapi saat ini dan seringkali disebabkan oleh aktivitas atau kegiatan manusia. Sebagian besar pencemaran laut yang disebabkan oleh manusia dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Indonesia yang sebagian besar wilayahnya adalah laut dan banyak orang yang menggantungkan hidup dari laut sangatlah perlu menjaga laut dari berbagai pencemaran agar sumber daya laut tetap lestari.

Keseriusan Pemerintahan Jokowi-JK memperhatikan sektor maritim sebagaimana yang disampaikan Presiden pada Pidato Perdana di MPR pada 20 Oktober 2014 “Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, dan memunggungi selat dan teluk. Ini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di laut kita jaya, sebagai semboyan kita di masa lalu bisa kembali”. Salah satu cara agar membuat laut kembali berjaya adalah mengatasi segala pencemaran yang merusak laut Indonesia.

Pencemaran Laut menurut Peraturan Pemerintah No.19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.

Pencemaran laut didefinisikan oleh para ahli yang tergabung pada badan-badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah perantara dari manusia, baik secara langsung atau tidak langsung, dari bahan atau energi ke dalam lingkungan laut (termasuk) yang mengakibatkan efek merusak seperti membahayakan sumber daya hidup, berbahaya bagi kesehatan manusia, menjadi halangan untuk kegiatan laut termasuk penangkapan ikan, kualitas penurunan untuk penggunaan air laut dan kenyamanan laut yang berkurang.

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (KHL 1982), yang disahkan pada tangal 10 Desember 1982. Indonesia telah menjadi peserta Konvensi ini dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB 1982 tentangHukum Laut. Berdasarkan ketentuan KHL 1982 ini wilayah laut Indonesia meliputi perairan pedalaman, laut teritorial, perairan kepulauan. Di samping itu Indonesia memiliki hak berdaulat atas bagian laut yang disebut zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEE), serta daerah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorialnya yang disebut dengan landas kontinen (continental shel). Di samping mengatur wilayah perairan, Konvensi Hukum Laut PBB 1982 pada Bab XII mengatur tentang Perlindungan dan Pelesetarian Lingkungan Laut, sedangkan Bagian V dari Bab XII ini mengatur tentang peraturan-peraturan internasional dan peraturan perundang-undangan nasional untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut.Oleh karena ketentuan ini merupakan bagian dari KHL 1982, dan Indonesia telah meratifikasi KHL 1982, maka ketentuan tentang pencegahan,pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut yang terdapat dalam 1982 wajib diimplementasikan oleh Pemerintah Indonesia ke dalam peraturan perundang-undangan nasional.

Di Indonesia terdapat satu peraturan yang khusus mengatur tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, yaitu Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999. Keberadaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan dalam kaitannya dengan UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut, dan undang-undang Iainnya antara lain UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan.

Dasar Hukum Lingkungan Internasional terhadap Pencemaran di Laut Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter (London Dumping) 1972 : Convention on the prevention of Marine Pollution by Dumping Wastes and Other Matter atau yang lebih dikenal dengan London Dumping, adalah konvensi Internasional yang ditandatangani pada tanggal 29 Desember 1972 dan mulai berlaku pada 30 Agustus 1975 adalah konvensi internasional yang merupakan perpanjangan dari isi pada Konvensi Stockholm. Konvensi ini pada dasarnya secara garis besar membahas tentang larangan dilakukannya pembuangan limbah di lingkungan laut secara sengaja.

Tujuan dari konvensi ini adalah melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari segala bentuk pencemaran yang menimbulkan kewajiban bagi peserta protokol untuk mengambil langkah-langkah yang efektif, baik secara sendiri atau bersama-sama, sesuai dengan kemampuan keilmuan, teknik dan ekonomi mereka guna mencegah, menekan dan apabila mungkin menghentikan pencemaran yang diakibatkan oleh pembuangan atau pembakaran limbah atau bahan berbahaya lainnya di laut. Peserta protokol juga berkewajiban untuk menyelaraskan kebijakan mereka satu sama lain.

Selain itu, terdapat dasar hukum International Convention for the Preventionof Pollution from Ships 1973/1978 (MARPOL 1973/1978) Marpol adalah sebuah peraturan internasional yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pencemaran di laut. Setiap sistem dan peralatan yang ada di kapal yang bersifat menunjang peraturan ini harus mendapat sertifikasi dari klas. Isi dalam marpol bukan melarang pembuangan zat-zat pencemar ke laut, tetapi mengatur cara pembuangannya. Agar dengan pembuangan tersebut laut tidak tercemar (rusak), dan ekosistim laut tetap terjaga.

Berkaitan dengan dasar hukum internasional London Dumping dan Marpol di atas,Indonesia telah memiliki regulasi untuk mengatasi pencemaran laut yang diakibatkan oleh sistem dan peralatan yang ada di kapal serta pembuangan atau pembakaran limbah atau bahan berbahaya lainnya di laut maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim. Serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/MEN/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.06/MEN/2010 tentang Alat Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Kurangnya pemahaman masyarakat untuk menjaga kondisi laut adalah salah satu permasalahan yang harus segera di atasi oleh Pemerintah untuk menjelaskan dan memahamkan agar timbul kesadaran masyarakat tentang pentingnya laut. Solusi dengan meletakkan kurikulum kemaritiman untuk pendidikan dasar hingga menengah adalah salah satu bentuk pemahaman bagi generasi muda untuk menjaga sumber-sumber daya laut dan pesisir laut dengan cara yang baik dan akan memunculkan kecintaan terhadap laut.

Maraknya penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti pukat harimau, cantrang, dan penggunaan bahan peladak telah mengakibatkan degradasi lingkungan dan memiliki pengaruh yang sangat besar. Kerusakan lingkungan yang terjadi telah menghilangkan mata pencaharian nelayan tangkap dan pedagang ikan.

Selama ini kita tidak sadar, dua profesi telah turut hilang yakni nelayan dan pedagang ikan. Tingkat pencemaran di beberapa wilayah perairan Indonesia pada saat ini telah berada pada kondisi yang tidak terkendali, serta laju sedimentasi yang masuk ke perairan juga terus meningkat. Usaha kelautan dan perikanan adalah kegiatan berbasis sumber daya alam. Kerusakan lingkungan perairan akan menjadi malapetaka, baik saat ini maupun masa depan. Oleh karena itu, upaya pelestarian lingkungan perairan merupakan program yang sangat strategis untuk meningkatkan produktivitas perikanan Indonesia agar kerugian secara ekologis dan ekonomis tidak semakin menyengsarakan masyarakat.

Beberapa hal yang perlu kita ketahui penyebab pencemaran laut dan kerusakan ekosistem perairan laut Indonesia pada umumnya diakibatkan karena pemanfaatan sumber daya yang tidak terkendali dengan cara ilegal, seperti:

  1. Penangkapan ikan di daerah terumbu karang dengan menggunakan bahanberacun dan bahan peledak.
  2. Penebangan bakau untuk bahan baku kertas, arangdan bangunan serta konversi lahan pesisir yang dibuka untuk pertambakan,pertanian/perkebunan, industri dan pemukiman.
  3. Pembuangan limbah pabrik langsung ke sungai dan laut.
  4. Pencemaran laut akibat tumpahan minyak dan pembuangan zat-zat yang berbahaya dari kapal-kapal.
  5. Aktivitas wisata yang tidak memperhatikan kelestarian ekosistem laut.
  6. Reklamasi pantai dan penambangan pasir laut.
  7. Penambangankarang untuk bahan bangunan atau kapur dan pengambilan karang hidup untuk tujuan komersial (perdagangan).
  8. Pencurian benda berharga muatan kapal tenggelam (BMKT) dan kekayaan laut lainnya.
  9. Pembuangan sampah dari aktivitas hulu yang muaranya ke laut.

Infografis stop pencemaran laut 2

 

WHISTLEBLOWING SYSTEM (WBS): Langkah Awal Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

$
0
0

barang dan jasaIhsanira Dhevina E, M.A

Widyaiswara pada Pusdiklat Kemensetneg

Di penghujung tahun lalu, pada beranda gedung di lingkungan Kementerian Sekretariat Negara berdiri tegak Standing Banner yang berbunyi: “Whistle Blowing System–Laporkan Penyimpangan Pengadaan Barang/Jasa”– www.setneg.go.id dan www.wbs.lkpp.go.id.

Siapapun dapat melihat dengan jelas dan membaca pesan yang tertulis dan mencoba memaknainya. Bagi sebagian orang, Whistleblowing system belum terdengar akrab di telinga selain karena merupakan istilah yang berbau asing, kata ini pun jarang terucap.

Namun, pesan yang tertulis pada banner tersebut memiliki makna yang dalam. Makna yang perlu dipahami oleh setiap ASN di Republik ini, ASN yang memiliki komitmen kuat mengemban amanah atau kepercayaan publik yang diembannya. Bukan hanya ASN, dalam lingkup yang lebih luas juga masyarakat pada umumnya dan siapapun yang mencintai republik ini dengan sepenuh hati.

Landasan hukum internasional mengenai sistem ini adalah The United Nations Convention against Corruption of 9 December 2003 (article 33), mengimbau setiap negara untuk menggunakan kriteria yang sesuai pada sistem hukum yang berlaku di negara masing-masing untuk  memberikan perlindungan kepada siapapun yang dengan itikad baik dan rasional melaporkan kepada pihak berwenang segala tindakan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam konvensi ini.(The United Nations Convention against Corruption of 9 December 2003 (article 33) requires each State Party to consider incorporating into its domestic legal system appropriate measures to provide protection against any unjustified treatment for any person who reports in good faith and on reasonable grounds to the competent authorities any facts concerning offences established in accordance with [the] Convention.)1

Secara leter lek, Whistle blowing dapat diartikan dengan meniup peluit, kita dapat membayangkan jika ada seseorang yang meniup peluit biasanya akan terdengar bunyi yang bernada tinggi, melengking dan mengusik perhatian seseorang. Situasinya pun tidak biasa dan kita pun terpanggil untuk bersikap waspada. Siapapun akan berusaha mencari tahu tentang segala sesuatu yang terkait dengan suara peluit itu. Demikian yang dimaksud dengan whistleblowing.

Whistleblowing system, tentu menunjukkan adanya suatu mekanisme pengaturan sehingga suatu sistem akan dapat berjalan baik dan memberi manfaat bagi organisasi. Dalam lingkup yang lebih luas, diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat dimana organisasi tersebut berada. Makna Whistleblowing system dalam konteks disini adalah sebagai suatu sistem yang tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh siapapun baik ASN maupun masyarakat untuk menyampaikan apa yang diketahui, dirasakan, dialami maupun rasa kepekaannya terhadap hal-hal yang terkait dengan perilaku ataupun tindak korupsi.

Whistle blowing system merupakan salah satu langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tengah digalakkan, tidak hanya di lingkup Kementerian/Lembaga Pemerintah tapi juga di tiap organisasi swasta.Whistle blowing system ini memberi kesempatan luas bagi seluruh elemen bangsa untuk berperan serta dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi. Melalui sistem ini, siapapun berhak melaporkan kepada pihak dalam organisasi yang ditunjuk dan diberikan mandat kewenangan dalam menerima pesan atau laporan dan bertanggung jawab serta meneruskannya untuk proses lebih lanjut. Dalam hal ini sebaiknya kewenangan dapat dipegang oleh pimpinan tertinggi dan selanjutnya dapat diproses secara hukum.

Langkah Kementerian Sekretariat Negara dengan meletakkan standing banner di bagian depan setiap gedung tentu merupakan langkah positif dan berani. Positif – karena sebagai bentuk upaya yang baik dan berani – karena menunjukkan komitmen kepada masyarakat sebagai organisasi yang tengah berusaha melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi.

Selanjutnya yang diperlukan adalah agar WBS yang tersedia ini dapat digunakan dan dimanfaatkan baik oleh para ASN pada umumnya dan khususnya di lingkungan Kementerian Sekretariat Negara, maupun anggota masyarakat yang  mengetahui atau mencurigai adanya perilaku atau tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, upaya sosialisasi seluas-luasnya agar dicapai pemahaman sebaik-baiknya mengenai WBS sangat diperlukan.

Suatu organisasi hendaknya menyadari bahwa setiap pegawai merupakan sumber informasi yang berharga yang dapat dimanfaatkan untuk mengenali adanya permasalahan, mampu untuk menanganinya dan mencegahnya sebelum permasalahan tersebut menyebabkan kerusakan yang besar atau membahayakan reputasi organisasi atau stakeholders.2 Singkatnya, Whistleblowing system hendaknya dapat memberikan rasa aman dan nyaman dengan adanya jaminan kerahasiaan. Termasuk jaminan bagi pegawai atau ASN sebagai pelapor yang memberikanlaporandenganbenardapattetapmemperolehjaminanterhadapstatus kepegawaiandankarirmereka.

Sebagai salah satu bentuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, Whistleblowing system ini tidak hanya diberlakukan di Indonesia, banyak organisasi di negara lain juga telah menerapkannya dan masyarakat pun terbiasa untuk aktif berperan. Whistleblowing system dapat berjalan baik apabila ada peran aktif masyarakat yang juga ditindaklanjuti dengan peran aktif organisasi untuk menindaklanjuti setiap laporan yang masuk baik meneliti kebenarannya, menetapkan proses sanksi, maupun perlindungan kerahasiaan bagi pelapor dan kesempatan pembelaan bagi pihak terlapor.

Dalam Guidelines on Whistleblowing, komisi anti korupsi International Chamber of Commerce menyebutkan bahwa WBS merupakan alat bantu deteksi kecurangan yang cukup efisien dan sebagai bagian dari program internalisasi nilai-nilai integritas dalam diri setiap pegawai.3 Oleh karenanya, organisasi perlu mempersiapkannya dengan baik segala hal terkait dengan tata kelola sistem Whistleblowing ini demi transparansi dan akuntabiltas organisasi yang mendorong tata kepemerintahan yang baik.

REFERENSI:

1)     ICC Guidelines on Whistleblowing (2008), International Chamber of Commerce pada www.iccwbo.org

2)     Institute of Chartered Accountants in England and Wales, “Guidance for audit committees”, March 2004 dalamICC Guidelines on Whistleblowing (2008), International Chamber of Commerce padawww.iccwbo.org

3)     ICC Guidelines on Whistleblowing (2008), op.cit.

ASEAN – KOREA SEPAKAT CAPAI TARGET PERDAGANGAN USD 200 MILIAR

$
0
0

khusnulKonferensi Tingkat Tinggi ASEAN-Korea yang diselenggarakan pada 30 November 2004 di Vientiane, Republik Demokratik Rakyat Laos menghasilkan Deklarasi Bersama mengenai Kemitraan Kerjasama Komprehensif antara ASEAN dan Korea untuk membentuk ASEAN-Korea Free Trade Area, masing-masing kepala negara/pemerintahan ASEAN dan Republik Korea menandatangani Kerangka Kesepakatan Kerjasama Ekonomi secara menyeluruh antara Pemerintah negara-negara Anggota ASEAN dan Republik Korea pada tanggal 13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Pemerintah Republik Indonesia sendiri telah meratifikasi perjanjian tersebut dengan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengesahan Framework Agreement On The Comprehensive Economic Co Operation Among The Government Of The Members Countries Of The Assosiaciation of South East Asian Nation and The Republic of Korea  (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Korea).

Belum lama ini di Seoul-Korea Selatan telah diselenggarakan The 13th ASEAN-Korea FTA Implementing Committee (13h AKFTA-IC) yang berlangsung pada tanggal 1-4 Februari 2016 di Seoul, Korea Selatan, diselenggarakan secara paralel dengan Pertemuan the 22ndASEAN-Korea Sub-Committee on Tariff and Rules of Origin (22th AKSTROO), Pertemuan the 5thASEAN Korea Working Group on Investment (5th AKWGI), dan Pertemuan the 18thASEAN Korea Working Group on Economic Cooperation (18th AK-WGEC).

Pertemuan dipimpin Deputy Director, Ministry of Trade and Industry of Singapore (ASEAN) dan Director General for Bilateral Trade Negotiation, Ministry of Trade, Industry and Energy (Korea Selatan), serta dihadiri oleh wakil dari seluruh Negara Anggota ASEAN, Korea dan Sekretariat ASEAN. Delegasi Indonesia, dipimpin oleh Direktur Kerja Sama ASEAN, Ditjen Perundingan Perdagangan Internasional (PPI), Kementerian Perdangangan, dengan perwakilan anggota DELRI dari Kemenko Bidang Perekonomian, Sekretariat Kabinet, Sekretariat Negara, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan; Atase Perdagangan KBRI Korea Selatan, Atase Keuangan KBRI Jepang dan Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk ASEAN.

Pertemuan fokus pada pembahasan agenda: status pengesahan legal enactment (LE) untuk pengurangan tarif komitmen sesuai dengan Annex II, Trade in Goods, AKFTA untuk HS tahun 2012; Definisi Through Bill of Lading (B/L) pada Rule 19 Operational Certification Procedures (OCP) AKFTA; status the 3rdProtocol to Amend the AK Trade in Goods Agreement; dan rencana up-grading the AK Trade in Goods Agreement melalui liberalisasi produk sensitive track AKFTA.

Selain itu, berbagai isu implementasi yang dibahas dalam Pertemuan SCROO antara lain mengenai implementasi dan formalisasi daftar “Treatment of Certain Products”; rencana aksi untuk transposisi Product Specific Rules (PSR) HS 2012-2017 melalui pembentukan Working Group/Expert Group untuk dapat mempercepat penyelesaian transposisi melalui pembiayaan AKFTA Economic Cooperation; validitas back-to-back CO form melalui amandemen Rule 10 OCP dan paragraph 12 dari Overleaf Notes yang berlaku selama dua belas (12) bulan sejak tanggal penerbitan CO.

Beberapa isu yang dibahas dalam Working Group on Investment antara lain Work Program yang terdiri dari Procedures for Modification of Reservation List, artikel 4 dari Most Favored Nation Treatment, TRIMS, Annex on Exportation and Compensation mengenai taxation dan ISDS. Sedangkan untuk Working Group Economic Cooperation (WGEC) menyepakati antara lain tentang Standard Operating Procedure for Project Financial Disbursement and Reporting (PFDR) yang telah efektif berlaku sejak 1 Januari 2016. Pertemuan menyetujui 9 (Sembilan) proyek yang diusulkan kedua pihak dan sebanyak 6 (enam) proyek usulan tersebut masih memerlukan klarifikasi dan persetujuan.

Kerangka kerjasama ekonomi ASEAN-Korea Free Trade Area tersebut diharapkan akan mendorong tercapainya hasil kesepakatan dalam Pertemuan ASEAN-Korea Commemorative Summit bulan Desember 2014 di Busan, Korea Selatan, dimana para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN dan Korea sepakat untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antara kedua pihak untuk mencapai target perdagangan USD 200 miliar pada tahun 2020. Tentu saja langkah-langkah untuk mencapai target tersebut, secara khusus juga diharapkan akan memberikan stimulus positif terhadap perdagangan Indonesia – Korea, seperti data yang dilansir dari Kementerian Perdagangan, Neraca Perdagangan Indonesia untuk Tahun 2015 mengalami surplus hingga USD 7,5 miliar, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan neraca perdagangan 2014 yang mengalami defisit USD 2,2, miliar, bahkan meraih rekor tertinggi sejak 2011, membaiknya surplus perdagangan selama tahun 2015 tersebut disokong oleh menguatnya neraca perdagangan dengan beberapa negara salah satunya perdagangan dengan Korea Selatan.

Kontributor: Kusnul Nur Kasanah, Keasdepan Bidang Kelautan dan Perikanan, Kedeputian Bidang Kemaritiman.

MENUJU SATU PETA (ONE MAP): PENETAPAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PERCEPATAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN SATU PETA

$
0
0

vitoOleh Kepala Subbidang Tata Ruang, Kedeputian Bidang Perekonomian

Selama ini, hal yang sering menjadi pemicu konflik adalah permasalahan lahan. Salah satu penyebab munculnya konflik pemanfaatan lahan tersebut adalah belum adanya peta yang memiliki standar, format maupun struktur yang sama di antara instansi/lembaga serta pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dalam memberikan izin pemanfaatan lahan. Peta sangatlah penting karena menjadi landasan perijinan lokasi dari setiap kegiatan bagi lembaga/institusi baik di pusat maupun daerah

Disamping permasalahan konflik pemanfaatan lahan, pelaksanaan program-program pembangunan inffrastruktur maupun kegiatan yang menggunakan lahan  lainnya, seringkali terbentur dengan permasalahan antar instansi/lembaga dan pemerintah daerah akibat  peta informasi Geospasial Tematik (IGT) yang berbeda standar, format, maupun struktur, meski telah menggunakan skala peta yang sama. Salah satu penyebab lainnya adalah perbedaan referensi yang digunakan sebagai penyusunan IGT tersebut.

Terhadap permasalahan tersebut di atas, Presiden pada tanggal 27 Oktober 2014 telah memberikan arahan dalam sidang kabinet paripurna, intinya mengamanatkan bahwa one map policy harus segera dikerjakan dan diimplementasikan. Dan pada tanggal 2 Februari 2016 Presiden telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Skala 1:50.000 (Perpres). Penetapan Perpres tersebut dkimaksudkan sebagai salah satu upaya penyelesaian konflik pemanfaatan ruang dan dalam rangka mendorong penggunaan Informasi Geospasial guna pelaksanaan pembangunan nasional dan untuk mendukung terwujudnya agenda prioritas Nawacita.


Percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta pada tingkat ketelitian peta skala 1:50.000 tesebut mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal.

 

KEGIATAN INTI PERCEPATAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN SATU PETA

PADA SKALA 1:50.000

data vito

Kegiatan inti dari percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta skala 1:50.000 tersebut dimulai dengan melakukan kompilasi atas IGT yang telah tersedia saat ini, yang digunakan oleh institusi/lembaga, Pokja Nasional IGT, dan pemerintah daerah, untuk diintegrasikan yaitu melalui proses koreksi dan verifikasi IGT terhadap informasi geospasial dasar (IGD), menjadi satu referensi geospasial dan satu standar.

 

IGT yang telah diintegrasikan tersebut kemudian disinkronisasi dan diselaraskan dengan IGT lainnya. Dalam hal masih terdapat permasalahan dari hasil sinkronisasi dan penyelerasan tersebut, akan disusun rekomendasi dan fasilitasi penyelesaian permasalahan. Untuk kemudian muara dari semua kegiatan tersebut adalah adalah tersedianya satu basis data dalam satu geoportal, dimana setiap institusi/lembaga dan pemerintah, akan merujuk pada hasil dari kegiatan tersebut.

 

Adapun pokok-pokok kebijakan tersebut diantaranya dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dimuat dalam rencana aksi percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta tahun 2016-2019 sebagaimana tercantum dalam Lampiran Perpres. Kegiatan-kegiatan dalam lampiran tersebut dilaksanakan oleh masing-masing instansi/lembaga serta pemerintah daerah yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam hal ini, instansi/lembaga dan pemerintah daerah terkait melaksanakan penyiapan peta tematik (IGT) skala 1:50.000 sesuai rencana aksi yang ditetapkan lewat Perpres.

 

Beberapa manfaat yang akan dicapai dengan tersedianya peta dengan satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal, diantaranya:

a.    Mempermudah penyusunan perencanaan pemanfaatan ruang skala luas dengan dokumen Rencana Tata Ruang akan terintegrasi.

b.    Mempermudah dan mempercepat penyelesaian konflik pemanfaatan lahan, termasuk tanah ulayat

c.    Mempercepat pelaksanaan program-program pembangunan baik pengembangan kawasan maupun infrastuktur.

d.    Mempermudah dan mempercepat penyelesaian batas daerah seluruh Indonesia.

e.    Mempermudah dan mempercepat proses percepatan penerbitan perizinan yang terkait dengan pemanfaatan lahan.

f.     Mempermudah pelaksanaan simulasi yang memerlukan peta, misalnya mitigasi bencana, menjaga kelestarian lingkungan, serta keperluan pertahanan.

g.    Meningkatkan kehandalan informasi terkait lokasi dari berbagai aktivitas ekonomi, hal ini akan memberikan kepastian usaha yang sangat dibutuhkan pada saat ini.

Penetapan Peraturan Presiden ini diharapkan dapat menjadi pemicu bagi penyelesaian permasalahan pemanfaatan ruang di wilayah NKRI, yang terjadi selama ini, dan sebagai titik awal langkah menuju satu peta.

 

Oleh Kepala Subbidang Tata Ruang, Kedeputian Bidang Perekonomian

 

Selama ini, hal yang sering menjadi pemicu konflik adalah permasalahan lahan. Salah satu penyebab munculnya konflik pemanfaatan lahan tersebut adalah belum adanya peta yang memiliki standar, format maupun struktur yang sama di antara instansi/lembaga serta pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dalam memberikan izin pemanfaatan lahan. Peta sangatlah penting karena menjadi landasan perijinan lokasi dari setiap kegiatan bagi lembaga/institusi baik di pusat maupun daerah

Disamping permasalahan konflik pemanfaatan lahan, pelaksanaan program-program pembangunan inffrastruktur maupun kegiatan yang menggunakan lahan  lainnya, seringkali terbentur dengan permasalahan antar instansi/lembaga dan pemerintah daerah akibat  peta informasi Geospasial Tematik (IGT) yang berbeda standar, format, maupun struktur, meski telah menggunakan skala peta yang sama. Salah satu penyebab lainnya adalah perbedaan referensi yang digunakan sebagai penyusunan IGT tersebut.

Terhadap permasalahan tersebut di atas, Presiden pada tanggal 27 Oktober 2014 telah memberikan arahan dalam sidang kabinet paripurna, intinya mengamanatkan bahwa one map policy harus segera dikerjakan dan diimplementasikan. Dan pada tanggal 2 Februari 2016 Presiden telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Skala 1:50.000 (Perpres). Penetapan Perpres tersebut dkimaksudkan sebagai salah satu upaya penyelesaian konflik pemanfaatan ruang dan dalam rangka mendorong penggunaan Informasi Geospasial guna pelaksanaan pembangunan nasional dan untuk mendukung terwujudnya agenda prioritas Nawacita.

 

 

Percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta pada tingkat ketelitian peta skala 1:50.000 tesebut mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal.

 

KEGIATAN INTI PERCEPATAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN SATU PETA

PADA SKALA 1:50.000

 

 

 

 

Kegiatan inti dari percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta skala 1:50.000 tersebut dimulai dengan melakukan kompilasi atas IGT yang telah tersedia saat ini, yang digunakan oleh institusi/lembaga, Pokja Nasional IGT, dan pemerintah daerah, untuk diintegrasikan yaitu melalui proses koreksi dan verifikasi IGT terhadap informasi geospasial dasar (IGD), menjadi satu referensi geospasial dan satu standar.

 

IGT yang telah diintegrasikan tersebut kemudian disinkronisasi dan diselaraskan dengan IGT lainnya. Dalam hal masih terdapat permasalahan dari hasil sinkronisasi dan penyelerasan tersebut, akan disusun rekomendasi dan fasilitasi penyelesaian permasalahan. Untuk kemudian muara dari semua kegiatan tersebut adalah adalah tersedianya satu basis data dalam satu geoportal, dimana setiap institusi/lembaga dan pemerintah, akan merujuk pada hasil dari kegiatan tersebut.

 

Adapun pokok-pokok kebijakan tersebut diantaranya dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dimuat dalam rencana aksi percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta tahun 2016-2019 sebagaimana tercantum dalam Lampiran Perpres. Kegiatan-kegiatan dalam lampiran tersebut dilaksanakan oleh masing-masing instansi/lembaga serta pemerintah daerah yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam hal ini, instansi/lembaga dan pemerintah daerah terkait melaksanakan penyiapan peta tematik (IGT) skala 1:50.000 sesuai rencana aksi yang ditetapkan lewat Perpres.

 

Beberapa manfaat yang akan dicapai dengan tersedianya peta dengan satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal, diantaranya:

a.    Mempermudah penyusunan perencanaan pemanfaatan ruang skala luas dengan dokumen Rencana Tata Ruang akan terintegrasi.

b.    Mempermudah dan mempercepat penyelesaian konflik pemanfaatan lahan, termasuk tanah ulayat

c.    Mempercepat pelaksanaan program-program pembangunan baik pengembangan kawasan maupun infrastuktur.

d.    Mempermudah dan mempercepat penyelesaian batas daerah seluruh Indonesia.

e.    Mempermudah dan mempercepat proses percepatan penerbitan perizinan yang terkait dengan pemanfaatan lahan.

f.     Mempermudah pelaksanaan simulasi yang memerlukan peta, misalnya mitigasi bencana, menjaga kelestarian lingkungan, serta keperluan pertahanan.

g.    Meningkatkan kehandalan informasi terkait lokasi dari berbagai aktivitas ekonomi, hal ini akan memberikan kepastian usaha yang sangat dibutuhkan pada saat ini.

Penetapan Peraturan Presiden ini diharapkan dapat menjadi pemicu bagi penyelesaian permasalahan pemanfaatan ruang di wilayah NKRI, yang terjadi selama ini, dan sebagai titik awal langkah menuju satu peta.

Perayaan Cap Go Meh dan Lukisan Sudjojono

$
0
0

kukuhOleh: Dr. Kukuh Pamuji[1]

Sudjojono adalah seorang tokoh penting dalam babak baru perjalanan seni rupa Indonesia. Melalui kelompok Persagi yang didirikannya dia berusaha untuk menembus sikap diskriminatif para pelukis Belanda dan sebagian Cina yang menganggap bahwa  pelukis Indonesia lebih baik menanam padi saja daripada melukis. Dengan pernyataan yang diskriminatif tersebut, Persagi mencari cara untuk dapat menunjukkan keberadaannya.

Memasuki dekade ke-4 abad ke-20, di Hindia Belanda muncul arus perubahan sosial yang dimotori oleh para pribumi terpelajar. Dalam proses pendidikan yang mereka lalui, terjadi proses terbukanya ide-ide Barat. Faham nasionalisme dan sosialisme yang mereka pelajari kemudian menjadi penggugah kesadaran politik mereka.

Minat para pelajar Indonesia yang begitu besar pada faham sosialisme yang mengedepankan kemerdekaan dan persamaan derajat, dapat terlihat  pada diri Sudjojono sebagai tokoh penggerak seni lukis Indonesia baru yang termuat dalam tulisan-tulisan yang dibuatnya.

Pelukis pribumi tumbuh dari orang-orang yang mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertama yaitu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), tamatan Sekolah Menengah Atas Algemene Middelbare School (AMS) dan Sekolah Guru Bantu Hollandsche Indische Kweekschool (HIK). Mereka umumnya mengerti bahasa Belanda, mendapat pengenalan  menggambar, dan memiliki bakat seni lukis.

Sejak munculnya Boedi Oetomo, pergerakan nasional pada tahun 1930-an telah  mencapai tahap matang. Di antara pergerakan-pergerakan yang bersifat sosial politik, terdapat tonggak-tonggak nasionalisme yang terwujud melalui kesadaran kebudayaan. Tonggak-tonggak dimaksud antara lain adalah dengan dilaksanakannya Konggres Kebudayaan (1919), berdirinya Perguruan Tamansiswa (1922), Sumpah Pemuda (1928), dan munculnya Pujangga Baru (1933), serta Polemik Kebudayaan (1935 – 1939).

 Pada tahun 1938, di tengah-tengah Polemik Kebudayaan itu lahir Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang merupakan organisasi pelukis pribumi pertama di Hindia Belanda yang diketuai oleh Sudjojono. Perkumpulan pelukis ini berupaya untuk menciptakan estetika baru yang berlandaskan semangat nasionalisme.

Pencarian  estetika baru yang nasionalistik itu dirumuskan Sudjojono sebagai sebuah tuntutan sikap moral yang peka terhadap segala bentuk ketidakadilan dan kepedulian yang tengah terjadi pada bangsa dan tanah air.

Pencarian format budaya baru dengan latar belakang kesadaran nasional juga mempengaruhi dunia seni lukis. Sudjojono sebagai ketua Persagi ingin mengembangkan seni lukis Indonesia dengan mencari corak Indonesia baru, yang  mengungkapkan corak watak bangsa.

Menurut Sudjojono, lukisan-lukisan Indonesia pada saat itu belum mempunyai corak Indonesia. Corak dan gaya seni lukis yang ada pada waktu itu masih dalam tahap perubahan yang semu (pseudo-morphose) karena masih begitu melekatnya kultur Barat yang sangat kental.

Gagasan Sudjojono sendiri merupakan suatu bentuk sikap perlawanan kepada faham feodalisme dan eksotisme yang dianut oleh para pelukis Hindia molek (Mooi Indie). Istilah Mooi Indie pada awalnya dipakai untuk memberi judul reproduksi sebelas lukisan pemandangan cat air Du Chattel yang diterbitkan dalam bentuk portfolio di Amsterdam tahun 1930.

Istilah Mooi Indie menjadi populer semenjak Sudjojono menggunakannya untuk mengejek pelukis-pelukis pemandangan dalam tulisannya pada tahun 1939. Dalam pandangan Sudjojono lukisan-lukisan pemandangan yang serba bagus, serba enak, romantis bagai di surga, tenang dan damai, tidak lain hanya mengandung satu arti: Mooi Indie (Hindia Belanda yang Indah).

Untuk menghasilkan seni lukis yang baru, Sudjojono dengan “Persagi” nya tidak mau terjebak untuk melukis pemandangan atau model wanita cantik di studio. Mereka memiliki keyakinan bahwa dalam proses melukis, seniman harus berinteraksi langsung atau lewat objek on the spot. Mereka harus mengungkapkan perasaannya terhadap karakter objek, bersikap sederhana dan jujur dalam mengungkapkan objek yang dilukisnya. Keyakinan itu sejalan dengan pendapat Sudjojono bahwa mewujudkan kesenian sama dengan memperlihatkan jiwa ketok atau katon (terlihat).

Melalui Lukisan yang dibuatnya, Sudjojono seakan mengajak kita untuk dapat memahami kegelisahannya dalam menyelami realitas kehidupan. Lukisan ’Cap Go Meh’  misalnya, menunjukkan gaya ekspresionis yang begitu nyata. Lukisan itu menggambarkan kegembiraan yang absurd pada perayaan tahun baru Cina. Lukisan yang dibuat pada tahun 1940 itu, memperlihatkan kemeriahan yang absurd.

Karya itu memancarkan sebuah ironi, apalagi dibuat pada masa tekanan politik makin radikal dari pemerintah  Belanda  kepada  para  nasionalis. Di samping itu, terdapat pula suasana sulit dan depresi. Untuk itu, kemeriahan Cap Go Meh juga dapat dibaca sebagai sebuah ekspresi “euforia” pada kedatangan Jepang yang diharapkan akan membawa negeri ini bebas dari penjajahan.

Kalau kita runut, Cap Go Meh melambangkan hari kelima belas bulan pertama imlek yang merupakan hari terakhir dari rangkaian perayaan Imlek bagi komunitas kaum migran Tionghoa yang tinggal di luar China. Istilah Cap Go Meh sendiri berasal dari dialek Hokkien yang bila diartikan secara harafiah bermakna 15 hari/malam setelah Imlek. Bila dipenggal per kata, Cap mempunyai arti sepuluh, Go adalah lima, dan Meh berarti malam.

Cap Go Meh juga sering disebut Yuan Hsiao Cieh atau Shang Yuan Cieh dalam bahasa Mandarin. Perayaan yang awalnya merupakan sebuah hari penghormatan kepada Dewa Thai-yi, (dewa tertinggi di langit) oleh Dinasti Han (206 SM – 221 M), dirayakan secara rutin setiap tahunnya pada tanggal 15 bulan pertama menurut penanggalan bulan yang merupakan bulan pertama dalam setahun.

Upacara ini dahulu terbatas hanya untuk kalangan istana dan belum dikenal secara umum oleh masyarakat China. Karena harus dilakukan pada malam hari, maka perlu disiapkan penerangan dengan lampu-lampu dari senja hari hingga keesokan harinya. Inilah yang kemudian menjadi lampion-lampion dan lampu-lampu berwarna-warni yang menjadi pelengkap utama dalam perayaan Cap Go Meh.

Ketika pemerintahan Dinasti Han berakhir, perayaan ini menjadi lebih terbuka untuk umum. Saat China dalam masa pemerintahan Dinasti Tang, perayaan ini juga dirayakan oleh masyarakat umum secara luas. Festival ini adalah sebuah festival dimana masyarakat diperbolehkan untuk bersenang-senang. Saat malam tiba, masyarakat akan turun ke jalan dengan berbagai lampion berbagai bentuk yang telah diberi variasi.

Dalam Lukisan Cap Go Meh yang dibuatnya, Sudjojono menggambarkan sebuah perayaan yang sangat meriah. Wajah-wajah penuh suka cita yang ditunjukkan oleh orang-orang bertopeng dan sebagian lagi tidak, memberikan kesan kepada kita bahwa sekilas kita tidak akan menyangka bahwa lukisan itu menggambarkan perayaan Tionghoa. Di sana kita tidak menemukan piranti yang terkait dengan imlek.  Unsur-unsur seperti lampion, liong, dan warna-warna merah serta warna emas juga tidak tampak, tidak juga mata-mata sipit. Yang ada hanyalah sebuah perayaan seperti layaknya sebuah perayaaan pasar malam bagi para pribumi.

            Dari sini kita memperoleh kesan bahwa Susdjojono ingin memberikan sebuah penakanan bahwa perayaan Cap Go Meh bukanlah merupakan sebuah perayaan milik etnis tertentu, bukan milik etnis Tionghoa saja, tetapi menjadi milik siapa saja. Cap Go Meh menjadi perayaan bersama dimana semua orang, baik yang memiliki label ”Tionghoa” maupun pribumi dapat membaur dan ini menunjukkan bahwa sudah sejak lama konsep multikultural telah ada, bahkan ketika konsep multikultural dan hak asasi belum muncul.

            Cap Go Meh yang merupakan rangkaian dari Imlek telah menjadi sebuah perayaan nasional. Sebuah pengakuan akan etnis Tionghoa yang selama ini dianggap beda. Tetapi apakah sebuah pengakuan itu bisa  menjadikan etnis Tionghoa dapat mengubah perilaku mereka menjadi “Indonesia”?.

Sepertinya terlalu absurd, dimata kebanyakan masyarakat kita yang “pribumi”, etnis Tionghoa sangat piawai dalam berdagang, mereka menjadi raja dalam bidang bisnis di Indonesia, kaya, hanya berkumpul dalam kelompok mereka, dan boleh dikatakan tidak dapat tersentuh oleh pribumi.

Tetapi di balik itu semua ternyata ada juga etnis Tionghoa yang berkulit hitam yang sering menjadi bahan candaan para pribumi dengan julukan “Hitachi”, hitam tapi China, tidak kaya, sebutlah Cina Benteng misalnya. Mereka hidup membaur dengan para pribumi dan memiliki kepedulian dengan lingkungannya.

Tanpa melihat suatu perbedaan SARA, di mana pun kita dapat menemukan orang yang baik maupun orang yang jahat. Demikian juga dengan etnis Tionghoa. Ada sebagian dari mereka yang terkadang membuat kita dongkol, tetapi sebagian lainnya ada juga yang baik dan mereka memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kondisi masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya.

Kembali pada lukisan Cap Go Meh, pada akhirnya Sudjojono melalui lukisannya seolah-olah selalu mengingatkan dan mengajak kita untuk bersama-sama membangun sebuah format baru, yang memiliki corak jiwa nasionalis tanpa melihat berbagai latar belakang perbedaan yang ada, bersama-sama bahu-membahu dalam membangun Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan berkeadilan.

 

[1] Dr. Kukuh Pamuji adalah Widyaiswara Muda pada Pusdiklat Kementerian Sekretariat Negara RI

 


MENYAMBUT HARI PEDULI SAMPAH: Tantangan Bagi Indonesia

$
0
0

sampah1Oleh:

Ihsanira Dhevina E, M.A – Widyaiswara Kemensetneg, mendalami bidang komunikasi massa, gender dan pembangunan

Menyimak judul diatas, barangkali sesaat kita tertegun, ada yang aneh rasanya mengapa sampah merupakan tantangan bagi Indonesia – negeri tercinta dan bisa dikatakan sebagai negeri terindah di dunia. Mengapa sampah – barang tak berguna dan sesuatu yang harus dijauhkan dari diri kita merupakan sebuah tantangan? Beraninya sampah menantang suatu negeri, suatu bangsa?

Sampah – rasanya sudah tidak perlu dijelaskan apa itu sampah.Namun, hal yang perlu kita mengerti adalah sebagai manusia, kitalah yang menghasilkan sampah. Kita yang membuat sampah itu ada dan kita pula yang dapat membuatnya menjadi sesuatu yang merugikan bahkan membahayakan atau menjadikannya bermanfaat. Dengan kata lain, sampah adalah sesuatu yang tidak berdaya, hanya manusia yang cerdas yang dapat membuatnya bermanfaat dan manusia yang lalai yang membuatnya menjadi sesuatu yang membahayakan bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Sampai disini, rasanya jelas bahwa kita sebagai manusia (Indonesia) dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa memiliki potensi besar dalam menghasilkan sampah. Sampah yang (dapat) bermanfaat atau sampah yang menimbulkan kerugian.

Patut dibanggakan – bangsa ini – yang diprakarsai oleh Pemerintah – dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup, telah menetapkan tanggal 21 Februari sebagai hari nasional PEDULI SAMPAH, artinya bangsa ini telah memiliki pemahaman bahwa sampah bukan hal sepele yang dapat disepelekan.Walau berawal dari sesuatu yang ironis, karena hari peduli sampah yang ditetapkan pada tanggal 21 Februari merupakantanggalkejadian kelam yang mengejutkan yaitutragedi longsornya gunungan sampah setinggi 30 meter di Tempat Pembuangan Akhir(TPA) Leuwigajah, kota Cimahi, yang telah menimpa perkampungan warga Cilimus dan Pojok, Jawa Barat pada tahun 2005 silam yang menewaskan ratusan korban. Kejadian ini merupakan pelajaran berharga bagi kita dan jangan sampai terulang lagi.

Persoalan sampah ternyata menjadi perhatian Presiden, dalam arahannya di   Rapat Kabinet Terbatas tanggal 23 Juni 2015, Presiden RI menyatakan “Program pengelolaan sampah menjadi program pemerintah yang sangat penting yang harus dilakukan terpadu oleh semua pihak. Pengelolaan sampah harus memiliki manfaat ekonomi dan lingkungan serta harus dapat mengubah perilaku masyarakat.”[1]

Arahan Presiden menarik untuk disimak. Jelas disampaikan bahwa pengelolaan sampah merupakan program pemerintah yang sangat penting maka, tentunya harus ditindaklanjuti oleh semua pihak – tidak hanya pihak pemerintah tetapi juga swasta dan tentu saja masyarakat. Presiden juga menyebutkan mengenai perilaku masyarakat.

Sejauh mana masyarakat dapat berperan, mari kita perhatikan, peran seperti apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan seberapa besar pengaruh peran tersebut bagi keberhasilan program ini.

Kita semua menyadari bahwa elemen penting dari suatu bangsa adalah masyarakat, dan elemen penting dalam masyarakat adalah keluarga. Sejak dilahirkan, seseorang belajar akan nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai kehidupan yang digunakannya sebagai bekal dalam perjalanan hidupnya kelak. Jika nilai-nilai yang dipelajarinya adalah nilai-nilai kebaikan maka, menjadi baiklah  suatu keluarga. Keluarga-keluarga yang baik tentu akan menghasilkan suatu masyarakat-masyarakat yang baik pula – yang menjadi pondasi terwujudnya suatu bangsa bermartabat.

Jika pemimpin negeri menyebutkan ‘perilaku masyarakat’ sebagai aspek penting dalam persoalan sampah, itu artinya sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat, kita dituntut untuk berhenti menganggap urusan sampah sebagai bukan urusan saya dan merubah mind setting  serta perilaku untuk lebih memiliki tanggung jawab terhadap persoalan ini.

Jika sampah menjadi persoalan (bangsa), berarti ada nilai-nilai kebaikan yang dilanggar oleh bangsa ini – itulah kenyataan. Nilai-nilai masyarakat terhadap lingkungan yangbersih,indahdan nyaman terkikis secara perlahan tergeser oleh ketidakpedulian, di tahap inilah akhirnya sampah mendatangkan persoalan dan musibah.

Peran keluarga tidak bisa diabaikan dalam memperkuat nilai-nilai dalam diri seseorang, sejak seseorang dilahirkan maka ayah dan ibulah yang berperan penting dalam menanamkan nilai kebaikan. Secara kodrati, peran ibu lebih menonjoldalam menumbuhkan dan membentuk nilai dan perilaku sang anak. Peran ibu (juga ayah tentunya) membentuk kualitas generasi dan bangsa ini dimasa depan.

Jika arahan Presiden ditindaklanjuti secara serius hingga dapat menyelesaikan persoalan sampah hingga ke akar-akarnya maka, Pemerintah memerlukan peran aktif keluarga-keluarga Indonesia dan lembaga-lembaga kemasyarakatan untuk menghidupkan kembali rasa cinta dan tanggung jawab terhadap lingkungan.

Perankeluargadanmasyarakatmutlakdiperlukan, artinyaseluruhwargamasyarakatbaiklaki-lakidanperempuandiharapkanterlibat.Saatnyalaki-lakidanperempuanmenjadimitrasejajaruntukmendukung program pembangunanpedulisampah.Dari sisikesetaraan, laki-lakidanperempuanmempunyaipersamaankedudukan, hak, kewajibandankesempatan, baikdalamkeluarga, masyarakat, bangsadannegaramaupundalamkegiatanpembangunan di segalabidang, termasukmendorongkeberhasilan program nasional Indonesia pedulisampah.

 

Disinilahterbukakesempatanbaikbagilaki-lakimaupunperempuan yangberkedudukansamasebagaisubjek atau pelaku pembangunan. Dalam kedudukannya sebagai subjek pembangunan, laki-laki dan perempuan mempunyai peranan yang sama dalam melaksanakan dan menikmati hasil pembangunan.

 

Seperangkat aturan hukum mengenai program nasional bidang pengelolaan sampah telah dikeluarkan Pemerintah yaitu Undang-Undang No. 18/ 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah No. 81/ 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.Selain itu, telah dilaksanakan pula Deklarasi Indonesia Bersih Sampah 2020.

Upaya selanjutnya dan disinilah tugas Pemerintah adalah menanamkan arti pentingnya pengelolaan sampah kepada setiap keluarga Indonesia melaluidukunganterhadapkegiatan 3R yaitumengurangisampah(reduce),memanfaatkankembalisampah(reuse)danmendaurulang(recycle).

Pemerintah diharapkan dapat melakukan sosialisasi danmemfasilitasi untuk menanamkan kesadaran serta merubah perilaku  masyarakat agar berperan aktif dalam mewujudkan Indonesia yang bersih, dan indah.

Apalagi Deputi Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), Limbah Bahan Berbahaya Beracun dan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup,menyampaikan bahwa jumlah volume sampah rumah tangga adalah yang terbanyak.[2]Sebab itu, sangat bijaksana apabila anggota keluarga dapat memahami pentingnya pengelolaan sampah dengan benar agar sampah mendatangkan manfaat dan jika tidak benar dapat menimbulkan kerugian.

Hal kecil yang dapat dilakukan – dimulai dari diri sendiri dan sekarang juga – adalah dalam tiap rumah, ada tempat sampah yang dibedakan, yaitu untuk sampah organik dan yang bukan organik. Adanya pembiasaan baik di rumah diharapkan dapat menjadi kebiasaan perilaku dalam masyarakat. Gerakan masyarakat tentu akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada keberhasilan Indonesia Peduli Sampah.

Dalam kedudukan kita sebagai subjek pembangunan maka, mainkan peran itu dengan sebaik-baiknya dan bersama kita hadapi tantangan yang ada demi Indonesia yang bersih, indah dan nyaman.

Sehingga, hari Peduli Sampah dapat lebih bermakna…..

RZWP-3-K KEPASTIAN HUKUM BAGI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

$
0
0

20151002_074854Kusnul Nur Kasanah, Keasdepan Bidang Kelautan dan Perikanan, Kedeputian Bidang Kemaritiman Sekretariat Kabinet.

Ruang dalam UU No. 26 Tahun 2007 didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidup.

Penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian) dibutuhkan guna mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional yang tercipta melalui keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas:

a.  Penataan Ruang Wilayah Nasional yang telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008. Guna menyesuaikan perkembangan pembangunan nasional dan lingkungan strategis, saat ini PP RTRWN yang telah ditetapkan sejak 8 tahun yang lalu tersebut itu, saat ini tengah dalam proses revisi.

b. Penataan ruang wilayah provinsi dan penataan ruang wilayah kabupaten yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah. Status Rencana Tata Tuang Wilayah (RTRW) Daerah berdasarkan data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang per 12 Februari 2016: Perda RTRW Provinsi (28 provinsi yang sudah ditetapkan dari total 34 provinsi); Perda RTRW Kabupaten (358 kabupaten yang sudah ditetapkan dari total 415 kabupaten); dan Perda RTRW Kota (88 kota yang sudah ditetapkan dari total 93 kota).

Rencana tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota menjadi acuan dalam:  penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); pemanfaatan ruang/ pengembangan wilayah; mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah; menentukan lokasi investasi dalam wilayah yang dilakukan pemerintah, masyarakat, dan swasta; pedoman untuk penyusunan rencana tata ruang kawasan strategis;  dan acuan dalam administrasi pertanahan. Disamping itu, juga menjadi dasar pengendalian pemanfaatan ruang dalam penataan/pengembangan wilayah melalui  arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. Dengan adanya RTRW Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) maka diharapkan ada keterpaduan dan keserasian pembangunan, baik di wilayah yang bersangkutan maupun wilayah sekitarnya.

Jika UU Penataan Ruang mengamanatkan Pemerintah Daerah untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka untuk arahan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil UU No. 27 Tahun 2007 mengamanatkan Pemerintah Daerah untuk menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi dan Kabupaten. Seiring dengan terbitnya UU No. 23 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan wilayah laut yang semula 0 – 4 Mil menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten dan selebihnya sampai dengan 12 Mil kewenangan Pemerintah Provinsi, dengan terbitnya UU tersebut pengelolaan ruang laut 0 -12 mil di luar minyak dan gas bumi menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, sedangkan daerah Kabupaten/Kota tidak memiliki kewenangan dalam sub urusan kelautan.

Dalam penyusunan RZWP-3-K harus mempertimbangkan: keserasian, keselarasan dan keseimbangan dengan daya dukung, ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; serta wajib mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Sama halnya dengan RTRW Daerah, RZWP-3-K ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan berlaku selama 20 tahun dan dapat ditinjau kembali dalam 5 tahun.

Dokumen RZWP-3-K memuat: pengalokasian ruang dalam kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu dan alur laut; keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dalam suatu bioekoregion; penetapan pemanfaatan ruang laut; dan penetapan prioritas kawasan laut untuk tujuan konservasi sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industri stategis, serta pertahanan dan keamanan. Pasal 17 UU Nomor 27 Tahun 2007 sebagaimana diubah dengan UU No. 1 Tahun 2004 mengatur bahwa RZWP-3-K menjadi dasar pemberian izin lokasi bagi pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil. Peraturan Pemerintah yang mengatur izin lokasi dan izin pengelolaan sebagaimana diamanatkan dalam UU tersebut saat ini sedang dalam proses pembahasan.

Beberapa program prioritas yang lokasi kegiatan berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti swasembada garam, peningkatan produksi perikanan tangkap dan budidaya rumput laut, pengembangan pariwisata bahari, serta pembangunan-pembangunan prasarana bawah laut seperti pembangunan pipa dan kabel bawah laut membutuhkan kepastian alokasi ruang. Dengan adanya penetapan RZWP-3-K akan memberikan kepastian baik secara ruang maupun hukum untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam program-program prioritas tersebut. RZWP-3-K memetakan potensi-potensi kelautan yang dapat digarap secara optimal karena penetapan lokasi juga akan diikuti oleh pengaturan tentang jaringan prasarana pendukungnya. Misalnya ketika suatu lokasi ditetapkan sebagai kawasan pelabuhan dalam perencanaan dilokasi tersebut akan didukung oleh infrastruktur konektivitas antar moda, atau misalnya pelabuhan perikanan terpadu maka akan didukung pula alokasi ruang untuk industri pengolahan hasil perikanan, demikian pula untuk koridor kabel/pipa bawah laut tentu dilokasi tersebut tidak dapat diberikan izin lokasi untuk pembangunan pelabuhan karena kegiatannya dapat mengganggu fungsi kabel/pipa. Tidak hanya untuk kawasan pemanfaatan umum, daya dukung untuk suatu kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi juga diperhatikan, seperti taman nasional laut atau situs budaya, tentu dalam lokasi tersebut tidak akan diperkenankan melakukan kegiatan- kegiatan yang mengganggu fungsi lindung seperti kegiatan pertambangan ataupun kepelabuhan.

Disamping memberikan arahan pemanfaatan ruang bagi optimalisasi pendayagunaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara ekonomi, RZWP-3-K diharapkan juga akan memberikan kepastian ruang terhadap luasan kawasan konservasi laut, dengan luas laut Indonesia yang mencapai 310 juta ha, Indonesia seharusnya menyisihkan sekitar 31 juta ha lautnya sebagai kawasan konservasi. Perlu diketahui, Indonesia sebagai negara anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati diwajibkan menyisihkan 10% wilayah perairan lautnya sebagai konservasi. Sampai dengan Tahun 2015 Indonesia baru mempunyai kawasan konservasi laut seluas 17,2 juta hektare.

Meskipun penetapan RZWP-3-K menjadi penting bagi keberlangsungan kegiatan-kegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil baik dari aspek ekonomi maupun ekologi, namun sejak diamanatkan Tahun 2007 sampai dengan 18 Desember 2016 baru 6 Provinsi (dari 34 provinsi) yang menetapkan RZWP-3-K. Beberapa hal ditengarai menjadi kendala lambatnya penetapan RZWP-3-K yaitu: masih rendahnya komitmen dari Pengambil keputusan (RZWP-3-K belum menjadi prioritas); belum tersedianya data sesuai kebutuhan teknis untuk penyusunan RZWP-3-K, baik kuantitas maupun kualitas; masih kurangnya pemahaman teknis dalam penyusunan RZWP-3-K; terbatasnya kemampuan anggaran daerah untuk penyusunan RZWP-3-K; dan terjadi perubahan peraturan perundang-undangan terkait dengan kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil  bagi Pemerintah Daerah.

Dalam rangka mengejawantahkan cita-cita Pemerintahan Jokowi-JK  menjadikan “Indonesia sebagi Poros Maritim Dunia”, RZWP-3-K  sebagai bagian dari Perencanaan Ruang Laut, membutuhkan percepatan penetapan karena akan memberikan matra spasial bagi program-program kelautan yang akan dituangkan di kebijakan kelautan nasional.

Liburan Menjelang, Kemacetan Datang

$
0
0

M. Faisal YAntisipasi kemacetan terutama di jalan tol saat arus balik-mudik dan liburan.

Oleh: M. Faisal Yusuf

Kemacetan pada libur natal tahun 2015 menjadi pelajaran yang sangat berharga,betapa pentingnya pengaturan pada badan jalan untuk mengatasi kemacetan. Peristiwa terjadi pada saat liburan Natal 2015, bersamaan dengan hari libur Maulid Nabi juga ditambah ada sebagian warga yang mengambil cuti untuk berlibur, berakibat jalan macet parah yang membuat diperlukan waktu perjalanan kendaraan lebih lama bagi pengendara untuk sampai ke lokasi tujuannya. Akibat kejadian macet parah tersebut, membuat seorang Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Kementerian Perhubungan mengundurkan diri dari jabatannyadengan alasan dirinya merasa gagal mengantisipasi kemacetan parah pada long weekend 24-27 Desember tahun 2015 tersebut.

Mengapa bisa terjadi?

Lonjakan banyaknya kendaraan di jalan, banyangkan ada 3 juta lebih mobil pribadi dari Jakarta, 1 juta lebih kendaraan pribadi dari daerah sekitar Jakarta, dan 12 juta sepeda motor mendadak memenuhi jalanan, semua kendaraan keluar bersamaan waktunya khususnya yang mengarah ke tol Ciawi, tol Cikampek, dan tol Jakarta-Merak. Kondisi ini menyebabkan tidak adanya keseimbangan antara volume kendaraan dan ketersediaan Jalan.

Selain itu, selama ini bagi kebanyakan masyarakat yang menggunakan mobil pribadi masih beranggapan bahwa menggunakanjalan tol sebagai cara paling cepat menuju lokasi tujuan. Padahal ada jalur alternatif yang masih bisa dimanfaatkan warga sehingga tidak terjadi penumpukan kendaraan di ruas tol.

Antisipasi

Tahun 2016 terdapat beberapa libur panjang lebih dari3 hari, perlu diantisipasi munculnya kemacetan jalan terutama pada waktu adanya arus balik-mudik, liburan (lebaran Idul Fitri dan Natal), yaitu pada tanggal:

  • 25-27 Maret 2016           :    Libur Wafat Isa Al Masih
  • 9 Maret 2016                  :    Libur Isra’ Mi’raj
  • 2-10 juli 2016                  :    Libur lebaran Idul Fitri
  • 10-12 September 2016   :    Libur Idul Adha
  • 10-12 Desember 2016    :    Libur Maulid Nabi Muhammad SAW
  • 24-26 Desember 2016    :    Libur Natal

Kementerian Perhubungan cq. Badan Penelitian dan pengembangan Perhubungan pada tanggal 6 Januari 2015 telah menyelenggarakan pertemuan dengan instansi terkait (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Korps Lalu Lintas POLRI, Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), PT Jasa Marga, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dan pakar transportasi dalam rangka mengantisipasi lemacetan waktu liburan panjang tersebut.

Beberapa hal yang menjadi pembahasan kepada BPJT adalah dengan segera menyiapkan dan mengantisipasi meningkatnya arus lalu lintas di jalan tol dengan melakukan:

  1. disusunnya SOP untuk mengantisipasi kemacetan pada saat libur panjang agar kejadian kemacetan libur natal 2015 tidak terulang lagi;
  2. segera memberlakukan sistem pembayaran dengan kartu elektronik yang cepat dan terintegrasi agar waktu transaksi dapat dipercepat untuk mengurangi antrian di pintu tol;
  3. dilakukan manajemen dan rekayasa lalu lintas baik di ruas jalan tol maupun di pintu masuk dan keluar serta mengembangkan sistem informasi kondisi jalan tol yang real time;
  4. dilakukan pengaturan lalu lintas di rest area,  salah satunya dengan cara memberikan informasi kapasitas parkir di dalam rest area secara aktual.

Sementara bagi operator jalan tol agar dapat memberikan tingkat pelayanan sesuai dengan standar minimal yang diwajibkan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Jalan Tol) adalah:

  1. kecepatan tempuh rata-rata di jalan tol luar kota > 60 Km/jam dan di jalan tol dalam kota > 40 Km/jam;
  2. kecepatan transaksi rata-rata pada gerbang tol sistem tertutup maksimal 5 detik/kendaraan pada gardu masuk dan maksimal 9 detik/kendaraan pada gardu keluar;
  3. jumlah antrian kendaraan di gardu tol maksimal 10 kendaraan pergardu.

dan khusus untuk gerbang tol Cikopo pada ruas Cipali, dapat dihapuskan setelah dilakukan integrasi transaksi pembayaran tol antar kedua operator jalan tol tersebut (sumber:Kementerian Perhubungan).

Jalan keluar

  • Menyambut libur panjang yang akan datang, sebaiknya Kementerian Perhubungan (Kemenhub) juga dapat melarang truk dan kendaraan besar melintas di wilayah tertentu selama libur panjang (seperti halnya Surat Edaran Kemenhub (SE) nomor 48 tahun 2015 tentang Pengaturan Lalu Lintas dan Larangan Pengoperasian Kendaraan Angkutan Barang Pada MasaAngkutan Natal 2015 dan Tahun Baru 2016).Informasi tersebut dapat diberikan secara langsung lewat papan pengumuman atau sejenisnya di rest area. Informasi lalu lintas juga bisa diberikan melalui media massa serta dalam pengelola tol  berkoordinasi dengan kepolisian untuk pengaturan dan rekayasa arus lalu lintas jalan.
  • Memperbanyak penggunaan angkutan massal yang berkualitas dan murah seperti angkutan bus dan kereta api adalah solusi yang paling efektif mengurangi jumlah jumlah kendaraan di jalanan. Kesadaran masyarakat mengunakan angkutan massal tidak akan terhujud selama sarana dan prasarana bagi angkutan massal yang baik belum tersedia.
  • Memperbanyak jalan alternatif  yang akan dilalui para pengendara sehingga pengendara punya berbagai pilihan jalan menuju tujuannya.
  • Sementara terkait dengan kemacetan di pembayaran pintu tol dapat dilakukan dengan memperbaiki kecepatan pelayanan antiran pintu tol serta perlu dipikirkan menggunakan secara massal teknologi perlintasan pembayaran otomatis tanpa perlu membayarmanual melalui gardu tol otomatis dengan transaksi pembayaran elektronik (e-Toll Card/e-Money dan e-Toll Pass yang melayani pengguna jalan yang menggunakan On Board Unit (OBU) atau RFID/Radio Frequency Identification (sistem identifikasi tanpa kabel yang memungkinkan pengambilan data tanpa harus bersentuhan seperti barcode dan magnetic card).
  • Dilain pihak,masyarakat juga harus mendukung dan mengikuti kebijakan pemerintah mengatasi kemacetan jalan tol.Dalam hal ini, bagi pengguna kendaraan pribadi juga harus dapat melakukan berbagai upaya antara lain;mengunakan tiket elektronik/e-money di jalan tol,   mengurangi jumlah mobil yang dibawa dengan memaksimalkan jumlah penumpang dalam satu mobil atau melakukan perjalanan rombongan (menggunakan bus), mentaati peraturan lalu lintas yang berlaku demi kelancaran berkendaraan, melakukan perencanaan perjalanan dengan baik terutama dalam memilih waktu perjalanan dan mencari alternatif jalan lain selain jalan tol.

Indonesia Menantikan Gerhana Matahari Total 2016

$
0
0

Infografis Gerhana Matahari Total 2016Oleh: Agil Iqbal Cahaya, S.AP., M.AB.)**

9 Maret 2016 merupakan waktu yang bersejarah bagi langit dan astronomiIndonesia karena di tanggal itu terjadi peristiwa langka yaitu gerhana Matahari total (GMT). Sejarah mencatat bahwa Indonesia terakhir mengalami gerhana Matahari totalpada 24 Oktober 1995.Walaupun sangat singkat hanya dua menit dan hanya melintasi pulau kecil di ujung utara Indonesia, Pulau Sangihe di Sulawesi Utara. GMT 1995 ini merupakan GMT yang terakhir yang melintas Indonesia pada abad ke-20.

Sedangkan, gerhana Matahari total 2016 ini akan melintasi sebagian besar Indonesia yaitu, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Halmahera. Waktunya juga dua kali lebih lama daripada GMT 1995.Gerhana Matahari terjadi ketika posisi bulan terletak diantara bumi dan Matahari sehingga menutup sebagian atau seluruh cahaya Matahari. Walaupun Bulan lebih kecil, bayangan Bulan mampu menghalangi cahaya Matahari sepenuhnya karena Bulan yang berjarak rata-rata jarak 384.400 kilometer dari Bumi lebih dekat dibandingkan Matahari yang mempunyai jarak rata-rata 149.680.000 kilometer.

Dari tahun 1980 – 1990, ada 3 Gerhana Matahari Total yang melewati Indonesia. Pertama tanggal 11 Juni 1983 yang jalur totalitasnya melintasi Jawa. kedua, Gerhana Matahari Total tanggal 22 November 1984 yang melintasi Papua dan ujung selatan pulau Halmahera, dan ketiga 18 Maret 1988, jalur totalitas melintasi Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Pada tahun 1983, 1984 dan 1988 masyarakat di luar jalur total bisa menikmati gerhana matahari sebagian.

Gerhana Matahari total adalah fenomena astronomi langka. Sejarah mencatat dari 115 tahun terakhir, hanya sembilan kali Indonesia dilintasi gerhana Matahari total dan hanya sekali melewati Pulau Jawa yaitu 11 Juni 1983.GerhanaMatahari total terjadi apabila saat puncak gerhana, piringan Matahari ditutup sepenuhnya oleh piringan Bulan. Saat itu, piringan Bulan sama besar atau lebih besar dari piringan Matahari. Ukuran piringan Matahari dan piringan Bulan sendiri berubah-ubah tergantung pada masing-masing jarak Bumi-Bulan dan Bumi-Matahari.Selain Gerhana Matahari Total, Gerhana Matahari itu sendiri dibagi lagi menjadi gerhana Matahari sebagian, gerhana Matahari cincin, dan gerhana Matahari hibrida (jarang terjadi).

Para ilmuwan astronomi baik dari dalam negeri Lembaga Penerbangan dan Antariksa  Nasional (LAPAN) dan Ilmuwan luar negeri akan melakukan pengamatan di sembilan titik utama gerhana Matahari total yaitu pertama, di Jembatan Ampera, Palembang, Sumatera Selatan. Kedua, di Pulau Bukulimau dan ketiga di Pantai Tambak, Kabupaten Belitung Timur. Keempat, Bukit Tangkiling, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Kelima, sampai dengan kedelapan ada di Sulawesi Tengah (Gumbasa, Desa Kalora (Poso), Parigi Moutong, dan Desa Tomoli). Kesembilan, Pulau Plum, Maba, Maluku Utara. Menurut data LAPAN pengamatan gerhana Matahari total terlama berada di Pulau Plum, Maba yaitu sekitar 3 menit 17 detik.

Gerhana Matahari maupun gerhana Bulan mempunyai makna dan mitos tersendiri bagi kehidupan manusia. Orang dahulu menakutinya sehingga muncul berbagai tradisi atau kepercayaan. Ada masyarakat yang mempercayainya sebagai peristiwa bulan/Matahari dimakan raksasa hingga orang harus memukul bunyi-bunyian untuk mengusirnya. Sebagian masyarakat juga mempercayai bahwa gerhana berpengaruh buruk hingga wanita hamil perlu bersembunyi. Masyarakat Arab dahulu percaya bahwa gerhana itu berkaitan dengan kematian seseorang.

Namun, mitos-mitos tersebut dapatdiluruskan dengan pemahaman ilmu pengetahuan yang benar bahwa gerhana Matahari merupakan peristiwa alam yang dapat dihitung dan dapat dijelaskan dengan bukti ilmiah. Pemahaman yang salah dapat menimbulkan kekeliruandan keresahan masyarakat. Khusus bagi umat Islam, ketika gerhana Matahari sedang berlangsung, umat Islam yang melihat atau mengetahui gerhana tersebut disunnahkan untuk melakukan salat gerhana (salat khusuf).

Peristiwa Gerhana Matahari Total ini sangat luar biasa daya tariknya. Beberapa konsep wisata muncul dalam kaitannya dengan fenomena langit dan antariksa seperti: Celestial Tourism, Astronomical Tourism, dan Space Tourism. Indonesia memiliki kesempatan sebagai tuan rumah pusat obyek astronomi GMT bagi turis manca negara. Hal itu, dapat dijadikan momen promosi pariwisata untuk meningkatkan devisa negara. Informasi saat ini banyak hotel-hotel di sekitar wilayah Kota Palembang, Palangkaraya, dan Halmahera sudah penuh dipesan oleh wisatawan mancanegara yang ingin melihat GMT.

Berbahayakah Gerhana Matahari Total?

GMT 1983 memberikan pelajaran bagi kita bahwa GMT tidak berbahaya. Masyarakat tidak perlu terlalu takut untuk mengamatinya bila dinikmati dengan cara yang aman. Pada dasarnya radiasi cahaya Matahari pada saat GMT dan di luar GMT sama saja. Tidak ada radiasi berbahaya yang muncul pada saat GMT. Akan tetapi, perlu diingat saat yang paling berbahaya hanyalah bila terlalu asik melihat GMT dan tanpa sadar Matahari telah muncul, walau masih sedikit. Pupil mata yang membesar pada saat kegelapan GMT dan kuatnya intensitas Matahari bisa menyebabkan cahaya yang menembus mata terlalu berlebihan yang bisa menyebabkan kebutaan.

Berikut ini dua tips penting untuk menikmati GMT.

  1. Sebelum fase total gunakan kaca mata GMT. Kaca mata GMT dibuat secara sederhana yaitu dengan cara membiarkan biarkan film hitam putih (bukan film warna) tercahayai beberapa saat lalu di “cuci” (dikembangkan). Hasilnya yang seperti klise hitam pekat itu yang dijadikan sebagai “kaca” yang ditempel pada kertas berlubang yang cukup untuk dua mata kita. Emulsi perak pada film hitam putih (yang langka pada film warna) berfungsi untuk menyaring sinar infra merah dan sinar yang menyilaukan dari Matahari. Kerusakan mata terutama akibat kuatnya intensitas cahaya infra merah yang masuk ke mata. Maka film warna tidak aman untuk dibuat sebagai kaca mata GMT.
  2. Pada fase total kaca mata GMT dapat dilepas untuk menikmati keindahan korona Matahari yang beraneka warna. Tetapi ingat jangan lupa bahwa fase total hanya berlangsung kurang dari dua menit. Setelah satu menit menikmati keindahan korona bersiap lagi dengan kaca mata GMT untuk melindungi mata pada saat Matahari mulai tersibak.

)** Kepala Subbidang Perikanan Tangkap dan Budidaya, Setkab

POTENSI BESAR PERIKANAN TANGKAP INDONESIA

$
0
0

davidDavid Setia Maradong, S.E., Analis Perekonomian pada Asisten Deputi Bidang Kelautan dan Perikanan, Deputi Bidang Kemaritiman,  Sekretariat Kabinet. 

Indonesia memiliki banyak wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil yang luas dan bermakna strategis sebagai pilar pembangunan ekonomi nasional. Selain memiliki nilai ekonomis, sumber daya kelautan juga mempunyai nilai ekologis, di samping itu, kondisi geografis Indonesia terletak pada geopolitis yang strategis, yakni antara lautan Pasifik dan lautan Hindia yang merupakan kawasan paling dinamis dalam arus percaturan politik, pertahanan, dan kemanan dunia. Kondisi geo-ekonomi dan geo-politik tersebut menjadikan sektor kelautan sebagai sektor yang penting dalam pembangunan nasional.

Khusus untuk perikanan tangkap potensi Indonesia sangat melimpah sehingga dapat diharapkan menjadi sektor unggulan perekonomian nasional. Untuk itu potensi tersebut harus dimanfaatkan secara optimal dan lestari, tugas ini merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, dan pengusaha guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan penerimaan negara yang mengarah pada kesejahteraan rakyat.

DataFood Agriculture Organization (FAO) mengungkapkan bahwa pada tahun 2009, populasi penduduk dunia diperkirakan mencapai 6,8 miliar jiwa dengan tingkat penyediaan ikan untuk konsumsi sebesar 17,2 kg/kapita/tahun. Pada tahun yang sama, tingkat penyediaan ikan untuk konsumsi Indonesia jauh melebihi angka masyarakat dunia, yaitu sebesar 30kg/kapita/tahun (KKP,2009). Perlu diketahui bahwa tren laju pertumbuhan penduduk dunia menuntut peningkatan produksi ikan.

Peluang pengembangan usaha perikanan Indonesia memiliki prospek yang sangat tinggi. Potensi ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai USD 82 miliar per tahun.

Potensi lestari sumber daya ikan laut Indonesia sebesar 6,5 juta ton per tahun tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama Indonesia. Dari seluruh potensi sumber daya tersebut, guna menjaga keberlanjutan stok ikan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton per tahun.

Volume dan nilai produksi untuk setiap komoditas unggulan perikanan budidaya dari tahun 2010-2014 mengalami kenaikan, terdiri dari: (1) Udang mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 14,03%; (2) Kerapu mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 9,61%; (3) Bandeng mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 10,45%; (4) Patin mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 30,73%; (5) Nila mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 19,03%; (6) Ikan Mas mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 14,44%; (7) Lele mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 26,43%; (8) Gurame mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 17,70%; dan (9) Rumput Laut mengalami kenaikan rata-rata per tahun sebesar 27,72%.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019,pembangunan dilaksanakan dengan mengedepankan peran ekonomi kelautan dan sinergitas pembangunan kelautan nasional dengan sasaran:

  1. Termanfaatkannya sumber daya kelautan untuk pembangunan ekonomi dan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir;
  2. Terwujudnya TOL LAUT dalam upaya meningkatkan pelayanan angkutan laut serta meningkatkan konektivitas laut;
  3. Terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya hayati laut; dan
  4. Terwujudnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) kelautan yang berkualitas dan meningkatnya wawasan dan budidaya bahari, terbangunnya jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia.

Sebagai pelaksanaan dari sasaran RPJMN tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam Renstranya tahun 2015-2019 menyebutkan bahwa tercapainya kesuksesan pembangunan Indonesia sebagai negara maritim tercermin pada:

  1. Optimalnya pengelolaan ruang laut, konservasi, dan keanekaragaman hayati laut.
  2. Meningkatnya keberlanjutan usaha perikanan tangkap dan budidaya.
  3. Meningkatnya daya saing dan sistem logistik hasil kelautan dan perikanan.
  4. Meningkatnya pengawasan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan.
  5. Meningkatnya kapasitas SDM, pemberdayaan masyarakat, dan inovasi IPTEK kelautan dan perikanan.
  6. Berkembangnya sistem perkarantinaan ikan, pengendalian mutu, keamanan hasil perikanan, dan keamanan hayati ikan.

Disamping itu, untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan terutama perikanan tangkap agar tetap lestari, beberapa kebijakan telah dikeluarkan yaitu:

  1. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen-KP) Nomor 10 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/Permen-KP/2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia;
  2. Permen KP Nomor 04 Tahun 2015 tentang Larangan Penangkapan Ikan di WPP 714 (Laut Belanda);
  3. Permen KP Nomor 02 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di WPP Negara Republik Indonesia;
  4. Permen KP Nomor 01 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus pelagicus spp);
  5. Permen KP Nomor 57 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.30/Men/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP Negara Republik Indonesia;
  6. Permen KP Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di WPP Negara Republik Indonesia;
  7. Surat Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor B.622.MEN/KP/XI/2014 tentang Permohonan Kepada Seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mengelola sumberdaya secara berkelanjutan; dan
  8. Pemerintah Daerah telah menerbitkan peraturan tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan;

Dari kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut memberikan dampak positif sebagai berikut:

  1. Di beberapa daerah, terjadi peningkatan jumlah perjalanan melaut dari 2-3 perjalanan/minggu menjadi 7 perjalanan/minggu (berkurangnya jarak fishing ground dari 4 mil menjadi 2 mil). Selain itu produksi di Pelabuhan Perikanan Samudera naik 5,16% dan di Pelabuhan Perikanan naik 11,48%;
  2. Produktivitas meningkat untuk ukuran kapal <10 GT (1,9%), 10 – <30 GT (40,6%), dan 30 – 100 GT (52,4%);
  3. Penghematan Bahan Bakar Minyak (BBM) Nasional sebesar 36%;
  4. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Perikanan mencapai 8,64% (triwulan I 2015) yang dalam skala ekonomi sebesar Rp.67,08 triliun;
  5. Indonesia mendapat bebas bea masuk produk perikanan ke Amerika Serikat;
  6. Nilai ekspor mencapai USD906,77 juta pada kuartal I 2015;
  7. Diperolehnya dukungan dari negara sahabat maupun CSO Internasional berupa bantuan teknis untuk peningkatan kapasitas, kelembagaan, dan SDM kelautan dan perikanan; dan
  8. Akan dilakukan Deklarasi Bersama Indonesia – Republica Democratica de Timor Leste – Papua Nugini – Australia – Fiji untuk memerangi Illegal Fishing.

Namun demikian ada hal yang harus diperhatikan guna meningkatkan keberlanjutan usaha perikanan tangkap sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 3 yang mengamanatkan agar pemanfaatan sumber daya kelautan dilakukan secara berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang dan pada Pasal 59 mengarahkan agar pemanfaatan sumber daya kelautan ini dilakukan dengan mengedepankan penegakan kedaulatan dan hukum diperairan Indonesia, dasar laut, dan tanah dibawahnya.

 

 

Pembangunan Jalan Layang Kereta Api pertama di Luar Pulau Jawa dan Reaktivasi Jalur Kereta Api Binjai – Besitang

$
0
0

foto benniBenni Kusriyadi, S.ST Staf di Kedeputian Bidang Kemaritiman

Indonesia mempunyai empat jaringan kereta api yang satu sama lain terpisah, yaitu satu di Jawa dan tiga di Sumatera. Dan saat ini sedang dibangun jaringan kereta api di Sulawesi. Beberapa jaringan yang ada hanya track tunggal dan tidak bertenaga listrik. Komoditi yang biasanya diangkut dengan kereta api adalah batu bara, bahan bakar, bahan kimia, semen, dan bahan dasar lainnya.

Angkutan Kereta Api cukup efisien untuk mengangkut barang dengan volume yang besar dan dapat membantu mengurangi kepadatan lalu lintas jalan raya (karena mengurangi jumlah truk). Namun demikian, angkutan kereta api harus didukung dengan angkutan moda lainnya, seperti truk, karena aksesibilitasnya yang terbatas.

Sesuai RPJMN Tahun 2015-2019 sebagai strategi dalam pengembangan kawasan strategis perlu dilakukan percepatan pembangunan konektivitas/infrastruktur di wilayah pertumbuhan, antar wilayah pertumbuhan serta antar wilayah koridor ekonomi atau antar pulau melalui percepatan pembangunan infrastruktur kereta api.

Tujuan penguatan konektivitas untuk:

  1. menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi untuk memaksimalkan pertumbuhan berdasarkan prinsip keterpaduan melalui inter-modal supply chained system;
  2. memperluas pertumbuhan ekonomi dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke wilayah belakangnya (hinterland)
  3. menyebarkan manfaat pembangunan secara luas melalui peningkatan konektivitas dan pelayanan dasar ke daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan.

Upaya pembangunan konektivitas tersebut antara lain akan membangun 3.258 kilometer jalur kereta api termasuk dalam program pembangunan jalur kereta api Trans Sumatera dari Provinsi Aceh hingga Lampung.

Sesuai RPJMN tahun 2015-2019 tersebut perlu percepatan pembangunan infrastruktur yang diprioritaskan pengembangan wilayah di Sumatera Utara sebagai kegiatan strategis jangka menengah nasional dengan pembangunan Reaktivasi jalur KA antara Binjai – Besitang yang peruntukannya untuk mengangkut barang dan penumpang.

Kehadiran Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Maret 2016 dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, telah melakuan groundbreaking pembangunan jalan layang kereta api di kota Medan antara Stasiun Medan – Stasiun Bandar Khalipah dan meninjau pekerjaan reaktivasi jalur kereta api trans sumatera antara Stasiun Binjai dan-Stasiun Besitang.

Saat ini perkembangan reaktivasi Jalur Kereta Api Binjai-Besitang dapat disampaikan sebagai berikut:

  1. Kondisi eksisting jalur kereta api lintas Binjai-Besitang sebagian besar masih menggunakan rel R.25 (Rel 25 yang berarti tiap 1 meter potongan rel beratnya adalah 25 kilogram (kg)) bantalan kayu peninggalan Belanda. Lintas ini sudah tidak aktif lagi sejak Agustus 2013 dikarenakan kondisi konstruksi jalan rel dan bangunan lain (jembatan, gedung stasiun dan fasilitasi operasi) sudah tidak laik lagi baik dari segi teknis maupun dari segi keselamatan.
  2. Reaktivasi jalur kereta api Binjai – Besitang sejauh 80 km diharapkan pemasangan rel selesai pada tahun 2016, penggantian rel semula R.25 menjadi rel R.54, dan dapat dioperasikan pada tahun 2018. Dari total panjang jalur Binjai-Besitang 80 kilometer, saat ini baru mencapai Medan-Binjai sejauh 50 kilometer.
  3. Pemerintah Daerah Sumatera Utara siap mensosialisasikan masalah perlintasan dan membantu pembebasan masalah lahan milik warga agar bisa digunakan untuk pembangunan rel kereta api menuju Besitang.
  4. Anggaran pembangunan rel sebesar Rp 454 miliar yang bersumber dari dana APBN tahun anggaran 2015, sedangkan pendanaan yang dianggarkan pada tahun 2016 sebesar Rp.125 miliar.
  5. Tindak lanjut pembangunan reaktivasi jalur tersebut sampai saat ini kondisinya sudah sesuai rencana yaitu pembangunan badan jalan kereta api sepanjang 69,50 km; pemasangan rel R.54 sepanjang 55 km; pembuatan Box Culvert sebanyak 25 buah; dan pemasangan pintu perlintasan sebanyak 2 lokasi.

Jalan Layang Kereta Api pertama di Luar Pulau Jawa

Selain pembangunan reaktivasi jalur Kereta Api Binjai dan Besitang, juga akan dibangun Jalan Layang Kereta Api antara Medan-Bandar Khalipah Lintas Medan-Kualanamu, yang telah diresmikan pembangunannya oleh Presiden pada tanggal 2 Maret 2016 bertempat di Stasiun Kereta Api Binjai dan direncanakan dapat beroperasi pada tahun 2018. Pembangunan jalan layang kereta api tersebut akan menghilangkan 9 (sembilan) perlintasan sebidang di dalam kota Medan, menambah kapasitas lintas dan frekuensi, meningkatkan keselamatan perjalanan kereta api dan penggunan jalan raya, serta mempercepat waktu tempuh.

Kementerian Perhubungan sebagai instansi yang membidangi transportasi telah menerbitkan surat Menteri Perhubungan Nomor:KU.003/7/1. Phb.2015 tanggal 13 Oktober 2015 perihal Usul Multiyears Contract tahun anggaran 2015-2017 Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Sumatera Bagian Utara, beserta lampirannya bahwa:

  1. Dalam upaya peningkatan pelayanan transportasi perkeretaapian, Kementerian Perhubungan akan melaksanakan Pembangunan Jalan Kereta Api Layang Antara Medan-Bandar Khalipah dengan Multiyears Contract tahun anggaran 2015-2017;
  2. Pelaksanaan pembangunan jalan layang kereta api antara Medan-Bandar Khalipah membutuhkan waktu 25 (dua puluh lima) bulan dengan sumber dana SBSN (surat berharga Syariah Negara) dn total kebutuhan anggaran untuk pelaksanaan pekerjaan sebesar Rp. 2.860.000.000.000,-

Target penyelesaian pembangunan jalan layang KA selama 3 (tiga) tahun anggaran dengan tahapan pelaksanaan direncakan sebagai berikut:

Pekerjaan TA 2015:

  1. Persiapan lahan rencana lokasi pelaksanaan struktur jalan layang KA, lokasi gedung depo, lokasi stasiun baru berupa kegiatan pembersihan lahan, pengukuran dan persiapan akses ke lokasi;
  2. Secara bersamaan dilakukan penataan jalur KA eksisting dilintas raya dan emplasemen Medan.
  3. Kesiapan detail desain untuk mendukung pelaksanaan konstruksi dan rencana operasional secara menyeluruh seperti desain konstruksi depo.
  4. Selanjutnya pelaksanaan konstruksi pondasi struktur jalan layang KA, secara bersamaan dilakukan pembuatan struktur bangunan atas (box girder dipabrik), pengadaan material impor seperti pot bearing/dudukan box girder, material persinyalan dan telekomunikasi.

Pekerjaan TA 2016:

  1. Lanjutan pelaksanaan konstruksi struktur jalan layang KA;
  2. Memulai konstruksi stasiun baru, konstruksi depo, equipment room/ER dan substation;
  3. Pengadaan dan pemasangan struktur bangunan atas (box girder);
  4. Pengadaan material impor untuk bearing/dudukan box girder, material persinyalan dan telekomunikasi;
  5. Memulai pemasangan jalan rel, instalasi persinyalan dan telekomunikasi;

Pekerjaan TA 2017:

  1. Lanjutan pemasangan jalan rel dan uji coba/switch over;
  2. Penyelesaian konstruksi stasiun baru, konstruksi depo, ER;
  3. Penyelesaian instalasi persinyalan dan telekomunikasi dan commisioning.

Selain pembangunan jaringan kereta api tersebut di atas, di Pulau Sumatera dalam rencana pengembangan jaringan dan layanan perkeretaapian 2015-2019 akan dilakukan pembangunan yaitu:

  1. Reaktivasi 3 jalur kereta api (Binjai-Besitang, Pelabuhan Panjang-Bukit Tinggi-Payakumbuh, Muaro Kalaban-Muaro);
  2. pembangunan jaringan kereta api akses ke-4 bandar (Medan, Padang, Palembang, Batam);
  3. Akses ke-8 pelabuhan (Lhokseumawe, Belawan, Dumai, Tanjung Api-api, Teluk Bayur, Panjang, Bekauheni, Kuala Tanjung);
  4. Kereta Api perkotaan/regional di 5 lokasi (Medan/Mebidangro, Padang, Palembang, Lampung, Batam)
  5. Meneruskan upaya menghubungkan lintas utama Pulau Sumatera (Aceh-Sumatera Utara-Riau-Sumatera Barat, Lampung, Sumatera Selatan-Bengkulu).

Dengan kedua pembangunan jalur kereta api di Sumatera Utara, merupakan komitmen pemerintah dalam memajukan infrastruktur transportasi. Infrastruktur dan jaringan transportasi terintegrasi dapat meningkatkan kelancaran arus barang dan penumpang secara efisien dan efektif yang merupakan bagian dari konektivitas domestik yang diharapkan mampu menghubungkan masyarakat pedesaan, perkotaan (kota, kabupaten, dan propinsi), pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di dalam satu pulau atau suatu kawasan, Dengan kondisi ini diharapkan daya saing produk nasional meningkat, serta kebutuhan bahan pokok dan strategis masyarakat dapat dipenuhi dengan jumlah yang sesuai dan harga terjangkau.

Selain itu, pembangunan tersebut dapat menggunakan bahan baku lokal dari industri nasional sehingga bisa menggairahkan industri perkeretaapian nasional dan menyerap tenaga kerja lokal serta memberi efek domino yang pada aktivitas ekonomi disuatu daerah dan yang akan mendorong kreativitas dan inovasi warga masyarakat dalam usaha skala kecil dan menengah sehingga masyarakat lokal tidak hanya pasif menerima pembangunan kereta api namun aktif untuk mencari peluang ekonomi dari manfaat pembangunan tersebut. Oleh karena itu proyek pembangunan jaringan kereta api perlu dukungan dari seluruh pihak dan komponen masyarakat Indonesia agar dapat menyelesaikan pembangunan yang merata bagi seluruh Indonesia

Perlunya Audit dan Standardisasi Lembaga Penyelenggara Umroh

$
0
0

UmrohOleh: Eddy Soetjipto*)

Semenjak pemerintah memberlakukan secara total sistem kuota dalam penyelenggaraan ibadah haji, yang mengakibatkan waktu tunggu yang cukup lama bagi para ummat muslim yang ingin menunaikan ibadah haji, ibadah umroh menjadi pilihan bagi mereka yang menginginkan segera menuju Baitullah, di Mekkah Al Mukarromah.

Biaya perjalanan umroh antara Rp 17 juta – Rp 30 juta sepertinya tidak menjadi masalah bagi sebagian umat Islam di tanah air untuk bersegera melaksanakan Tawaf, Sa’i, dan melakukan Tahalul di Masjidil Haram. Karena itu, tidak mengherankan jika jemaah umroh asal Indonesia mendominasi tempat-tempat yang memiliki nilai sakral, baik di kota Mekkah maupun di Madinah sepanjang tahun sebelum masa ibadah umroh dihentikan untuk penyelenggaraan ibadah haji.

Besarnya dominasi jemaah asal Indonesia itu tidak saja bisa dilihat dari fasihnya hampir sebagian besar para pedagang di Mekkah, Madinah maupun Jeddah dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, tetapi bisa juga dilihat dari diterimanya mata uang Rupiah dalam beberapa transaksi dengan para pedagang di kota-kota tersebut dengan kurs yang lumayan. Selain itu, di beberapa tempat juga banyak restoran atau warung yang khusus menjajakan makanan khas Indonesia, seperti Rumah Makan Makanan Indonesia di Madinah, hanya beberapa meter dari Masjid Nabawi; dan Bakso Mang Oedin di Ballad, Jeddah.

Kementerian Agama mencatat sejak 1 Januari hingga 7 Mei 2015 lalu, jumlah jamaah umrah mencapai 24.869 orang. Rata-rata setiap hari sebanyak 195 jamaah umrah berangkat ke Arab Saudi, tercatat rata-rata setiap bulannya mencapai 5.602 orang. Jumlah jamaah umrah ini diprediksi semakin banyak pada selama bulan puasa, awal Idul Fitri, dan hari-hari besar keagamaan Islam lainnya, serta hari libur sekolah. Bahkan Direktur Cabang Kementerian Haji Arab Saudi, Mohammed bin Abdulrahman Albejaoa, mengatakan Indonesia berada di urutan teratasdiikuti oleh Pakistan, Turki, Mesir, Iran, Malaysia dan India, dalam mengirimkan jemaah umrohnya ke Saudi Arabia.

Tidak Semua Tentang Cerita Indah

Besarnya minat umat Islam di tanah untuk melaksanakan ibadah umroh itu, tentu saja merupakan peluang bisnis yang menggiurkan bagi perusahaan-perusahaan penyelenggara perjalanan umroh. Mereka berlomba-lomba merebut peluang tersebut dengan menawarkan berbagai kemudahan, khususnya dalam hal biaya. Beberapa biro perjalanan bahkan berani memberikan penawaran ‘tidak masuk akal’ dalam soal biaya ini, misalnya hanya dengan membayar Rp 14,5 juta bisa berangkat ke tanah suci. Tidak masuk akal karena biaya tiket Jakarta – Jeddah PP saja paling murah sudah Rp 13,5 juta, belum biaya penginapan, konsumsi, dan perjalanan Jeddah – Madinah – Mekkah – Jeddah atau sebaliknya.

Tidak mengherankan jika disamping besarnya dominasi jemaah umroh asal Indonesia, besar juga masalah yang dibawah oleh jemaah umroh Indonesia di Tanah Suci. Bukan hal aneh jika banyak penyelenggara perjalanan umroh yang melepaskan begitu saja jamaahnya setibah di Madinah atau Mekkah, tanpa adanya muthowwif atau wakil biro perjalanan yang mendampingi mereka melaksanakan ibadah umroh. Tidak itu saja, jamaah pun harus siap merogok kocek sendiri untuk memenuhi kebutuhan makanan agar bisa memenuhi standar kesehatan, dan harus bersedia tinggal berdesak-desakan di penginapan yang tidak memenuhi standar.

Beberapa biro perjalanan bahkan memberikan tiket pulang ‘abal-abal’, seolah-olah tiket pulang sudah diissued, namun pas di Bandara King Abdul Azis Jeddah ditolak oleh maskapai karena belum ada pembayaran. Akibatnya, jamaah harus rela menunda kepulangan, yang terkadang bisa beberapa hari hingga biro perjalanan di Jakarta melunasi tiket penerbangan kembali ke Jakarta. Masih beruntung jika biro perjalanan menyediakan tempat penginapan selama ‘menunggu’ kepastian terbang kembali ke tanah air itu, karena ada beberapa yang ‘menelantarkan’ jamaahnya di Bandara King Abdil Azis.

 Jangan heran pula, jika terkait tiket ini kemudian jamaah harus siap berganti maskapai, tidak sesuai yang dijanjikan penyelenggara umroh sebelumnya. Ujung-ujungnya perjalanan ke tanah air pun bisa menjadi panjang, karena beberapa maskapai tidak terbang langsung dari Jeddah ke Jakarta, tapi transit terlebih dahulu di Dubai (UEA), Doha (Qatar), Brunai Darussalam, dan bahkan Kolombo (Srilangka), entah beberapa jam lamanya.

Jangan dibayangkan lagi betapa tersiksanya para jamaah, yang sudah kehabisan tenaga melaksanakan ibadah umroh dan menghadapi cuaca yang tidak bersahabat selama tinggal di Madinah dan Makkah. Selain itu, karena sudah tahap perjalanan pulang, sebagian besar jamaah sudah tidak memiliki bekal uang yang cukup, karena telah mereka habiskan untuk belanja selama di Tanah Suci.

Sungguh menyedihkan, disamping kebanggaan melihat dominasi jamaah umroh Indonesia di tanah suci, di saat yang sama harus menyaksikan banyaknya jamaah Indonesia yang terlantar di beberapa tempat. Padahal bagaimanapun mereka adalah duta-duta bangsa yang membawa nama bangsa di manapun mereka berada.

Audit dan Standardisasi

Beberapa perusahaan penyelenggara perjalanan umroh memang tidak melakukan hal seperti itu, terutama perusahaan-perusahaan yang sudah punya nama, yang biasanya  menarik biaya sedikit lebih mahal, setidaknya di atas US$ 1600 atau sekitar Rp 25 jutaan. Namun meski sedikit lebih mahal, mereka bisa memberikan pelayanan yang sesuai dengan yang dijanjikan, mulai pesawat tepat waktu, penginapan yang sesuai dengan jarak yang terjangkau, dan menu catering yang memenuhi standar kesehatan.

Tidak seperti perusahaan-perusahaan penyelenggara umroh yang menawarkan biaya sekitar Rp 14 juta – Rp 19 juta. Perusahaan-perusahaan ini biasanya tidak memberikan jadwal yang pasti tentang jadwal keberangkatan, kepulangan, dan selama perjalanan di Madinah atau di Mekkah. Tempat penginap pun biasanya ditulis, misalnya hotel bintang tiga/setaraf. Namun sesampai di Mekkah atau Madinah, yang dipilih bukan hotel yang ditulis, tapi yang dikedepankan adalah yang “setaraf”. Bahkan rencana perjalananpun bisa berubah mendadak, dari yang semula Jeddah – Madinah – Mekkah menjadi Jeddah – Mekkah – Madinah.

Karena ini menyangkut 195 ribu jemaah yang berangkat setiap hari, yang berarti 6 juta lebih per tahunnya, sudah sewajarnya negara harus hadir menata dan memberikan perlindungan kepada warganya yang menunaikan ibadah umroh. Tidak sepantasnya negara membiarkan urusan berjuta-juta warganya kepada perusahaan-perusahaan penyelenggara perjalanan yang tidak berorientasi bisnis semata, namun juga lebih besar unsur spekulasinya dibandingkan dengan perhitungan bisnis yang rasional.

Kehadiran negara bisa dilakukan dengan menetapkan standarisasi dalam penyelenggaraan perjalanan umroh, mulai dari kekuatan modal, ketersediaan tenaga pendamping yang berkualitas, hingga pelayanan minimal, serta biaya minimal (batas atas dan batas bawah). Soal modal minimal harus ditekankan untuk menghindari upaya spekulasi dari perusahaan penyelenggara perjalanan umroh, dan menjamin kenyamanan jamaah dalam melaksakanakan ibadah umroh. Jika memang perusahaan tersebut tidak memiliki modal minimal, pilihannya hanya dua, mundur teratur atau bergabung (merger( dengan perusahaan lain.

Jika standarisasi sudah dilakukan, maka selayaknya pemerintah melalui Kementerian Agama melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan penyelenggara perjalanan umroh, dan memberikan sanksi keras bagi perusahaan yang terbukti tidak bisa memberikan pelayanan terbaik pada jemaahnya. Tidak ada pilihan bagi perusahaan-perusahaan yang secara rasional tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah, maka mereka harus mundur, dan memberikan kesempatan kepada mereka yang mampu. Soal kemungkinan munculnya perusahaan-perusahaan yang dominan, hal ini tidak bisa dihindari karena pemerintah harus menomorsatukan perlindungan bagi calon jamaah umroh.

Dengan audit dan pemberlakuan standarisasi, maka bisa dijamin hanya perusahaan-perusahaan yang memenuhi persyaratan saja yang bisa masuk dalam bisnis penyelenggaraan umroh. Meskipun mungkin tidak ada lagi tarif yang ‘merakyat’, namun dengan standarisasi maka jamaah umroh akan memperoleh jaminan pelayanan yang baik, dan potensi keterlantaran mereka selama di Tanah Suci akan bisa diminimalisir.

Selanjutnya, dengan pelayanan yang baik dan minimalnya potensi keterlantaran jamaah, maka jamaah umroh dan perusahaan penyelenggara umroh akan bisa menjaga nama baik bangsa dan negara selama di Tanah Suci.

                                                —————————–

*) Asisten Utusan Khusus Presiden bidang Perbatasan Maritim RI – Malaysia. Namun tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi.


Listrik Dari Sampah, Kapan Bisa Dinikmati ?

$
0
0

HamidiOleh : M. Hamidi Rahmat

Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Demikian bunyi pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sampah memang mempunyai potensi energi biomassa yang dapat dikonversi menjadi energi lain, diantaranya menjadi energi listrik.

Mengacu kepada norma pasal 4 undang-undang tersebut, pada tanggal 7 Desember 2015, Presiden Jokowi kembali menegaskan bahwa tujuan pengelolaan sampah adalah lingkungan menjadi bersih, Indonesia bersih dari sampah, dan kesehatan masayarakat menjadi lebih baik. Sedangkan pemanfaatan pengelolaan sampah menjadi generator listrik, pupuk organik (kompos), dan sebagainya merupakan nilai tambah atau bonus dari pengelolaan sampah yang baik dan benar.

Selanjutnya, Presiden Jokowi menyampaikan tiga arahan terkait pengelolaan sampah menjadi listrik. Pertama, menyederhanakan regulasi dengan menyusun Peraturan Presiden (Perpres) tentang percepatan proyek pembangkit listrik 35.000 MW dan pengelolaan sampah untuk listrik. Kedua, tarif akan diperjelas agar pemerintah kota/kabupaten, investor, maupun PLN mempunyai kejelasan terkait keuntungan dan risiko yang akan ditanggung. Ketiga, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) akan menentukan lokasi proyek percontohan PLTSa agar mudah diawasi dan dimonitor dengan baik.

Sebagai tindak lanjut arahan Presiden dimaksud, sejak pertengahan Desember 2015, Menteri LHK, Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri bersama kementerian dan lembaga terkait lainnya telah menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Percepaan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar.

Sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) alasan kenapa Perpres ini perlu diterbitkan. Pertama, untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pengelolaan Sampah, karena sampah selama ini merupakan sumber utama pencemaran lingkungan hidup. Jika sampah sudah dapat dikelola dengan baik, apalagi kalau hasil pengelolaan tersebut tanpa menyisakan sampah sedikitpun, tentu sangat membantu dalam penyehatan lingkungan hidup, dan Indonesia akan lebih indah dan lebih asri tanpa timbulan sampah.

Kedua, dalam rangka mengubah sampah yang selama ini menjadi problem serius di berbagai kota, terutama kota-kota besar, menjadi sumber listrik, guna memenuhi kebutuhan energi listrik sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)Tahun 2015-2019. Sampai saat ini Indonesia masih kekurangan pasokan listrik, sehingga sering terjadi pemadaman bergilir, sebagaimana sering diwartakan oleh berbagai media massa. Artinya keandalan supply tenaga listrik, terutama di desa-desa, masih rendah.

Ketiga, sebagaimana dikemukakan oleh Menteri ESDM, Sudirman Said, bahwa banyak investor yang tertarik untuk menggarap proyek pembangkit listrik tenaga sampah. Namun regulasi yang ada sekarang dinilai belum berpihak kepada investor di sektor energi ini. Lebih lanjut, Sudirman mengatakan bahwa proyek PLTSa ini merupakan upaya pemerintah untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025. Selain itu, pengelolaan sampah kota yang kerap menimbulkan masalah juga dapat diatasi (Bisnis.com. 7/12/2015).

Menteri ESDM menyebut angka definitif sebesar 23%, sedangkan dalam Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, target bauran energi baru terbarukan lebih dari 17 %. Rinciannya, biofuel atau bahan bakar nabati lebih dari 5%, panas bumi lebih dari 5%, energi baru terbarukan lainnya lebih dari 5%, dan batubara yang dicairkan lebih dari 2%. Untuk lebih jelasnya dapat dibaca pada tabel berikut :

 Target Bauran Energi Nasional Tahun 2025

Minyak Bumi < 20%   Panas Bumi > 5%
Gas Bumi > 30%   EBT Lainnya > 5%
Batubara > 33%   Batubara Yang Dicairkan > 2%.
Biofuel / BBN > 5%      

Penetapan Lokasi

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi Kementerian Dalam Negeri, maka terpilihlah 7 (tujuh) lokasi tersebut di atas sebagai proyek percontohan. Penetapan lokasi dimaksud dengan mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain kesiapan Pemda, ketersediaan sampah minimal 1.000 (seribu) ton per hari, kecuali kota Surakarta. Menurut Menko Perekonomian, Darmin Nasution, kota Surakarta yang menghasilkan sampah sekitar 200 – 250 ton per hari tetap dimasukkan sebagai proyek percontohan untuk kota-kota menengah lainnya (Pikiran Rakyat Online, 5/2/16).

Penetapan ketersediaan sampah sebesar 1.000 ton perhari diperoleh dari berbagai hasil kajian, bahwa investasi dan biaya pemeliharaan proyeknya akan mencapai nilai keekonomian apabila membakar sampah minimal 1.000 ton perhari.

Jika Pemerintah Kota Surakarta menganggap jumlah sampahnya tidak mencukupi untuk mencapai nilai keekonomian proyek PLTSa, maka dapat dilakukan kerjasama dengan kabupaten-kabupaten sekitarnya, seperti Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri, Sragen, dan Klaten.

Dari tujuh lokasi yang menjadi proyek percontohan, menurut Walikota Bandung, Ridwan Kamil, kota Bandung termasuk yang paling siap. TPA Gedebage dengan luas sekitar 5-6 hektar sudah siap menjadi lokasi PLTSa. Disamping itu, juga sudah ada Peraturan Daerah (Perda) dan pemenang tender yang akan melaksanakan proyek tersebut. Sekarang ini, Pemkot Bandung masih mengkaji teknologi yang akan dipakai. Jika tidak ada halangan, tahun ini Bandung bergerak lagi sesuai arahan presiden (Pikiran Rakyat Online, 5/2/16).

Listrik Dari Sampah

Mungkin ada yang bertanya, apakah sudah ada masyarakat yang menikmati listrik dari sampah sebelum Perpres ini diterbitkan ? Jawabannya : Sudah Ada. Berikut contoh listrik dari sampah yang sudah dinikmati masyarakat.

Pemerintah Kota Baubau Sulawesi Tenggara telah mengolah sampah di TPA Wakonti hingga menghasilkan energi listrik sebesar 5.000 watt. Kapasitasnya akan ditambah menjadi 7.000 watt, dan dapat dinikmati warga sekitar (Kompas.com, 5/1/2016)

Pemerintah kota Surabaya juga telah memulai pengembangan tempat pembuangan sampah yang mampu mengolah sampah menjadi energi listrik. Terdapat tiga TPA yang sudah berhasil mengolah sampah menjadi energi listrik yaitu TPA Bratang, TPA Jambangan, dan TPA Tenggilis. Masing-masing TPA tersebut dapat menghasilkan energi listrik sebesar 4.000 kilowatt. Saat ini TPA Bratang yang sudah beroperasi, sedangkan TPA Jambangan dan Tenggilis baru akan mulai beroperasi (www.olahsampah.com).

Pemerintah DKI Jakarta juga sudah memiliki PLTSa berkapasitas 26 MW dari TPST Bantar Gebang.  Potensi listrik dari TPST Bantar Gebang ini sudah menjadi pembangkit listrik oleh PT Godang Tua Jaya sebagai pengelola TPST Bantar Gebang. Jika masing masing rumah rata-rata membutuhkan daya 1.000 watt listrik, maka melalui TPST Bantar Gebang ini mampu memenuhi kebutuhan listrik  dari 26.000 rumah (www.olahsampah.com).

Pemerintah kota Palembang juga telah memanfaatkan sampah sebagai sumber pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas 500 kilowatt di Sukawinatan. PLTSa ini telah menerangi sejumlah rumah warga di sekitar lokasi. Menurut Direktur Operasional PT Sarana Pembangunan Palembang Jaya (SP2J), Ahmad Novan, bahwa pembangkit ini telah siap beroperasi penuh paling lambat pada akhir 2015 (www.republika.co.id, 18/9/2015)

Menurut data ISWA (International Solid Waste Association), negara yang sudah banyak memakai teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)  adalah Eropa dan Amerika. Setidaknya ada  431 unit PLTSa di Eropa pada tahun 2005 dan 89 unit PLTSa di Amerika pada tahun 2004. PLTSa yang terbesar bernama ‘Ironbridge’ berkapasitas 740 MW, terletak dikota Seven Gorge, Inggris (finance.detik.com,08/11/2015). Menurut berbagai sumber, di Asia juga sudah banyak PLTSa, seperti di Jepang ada di 23 lokasi dan di Singapura ada 6 lokasi serta di Thailand.

Kalau sudah banyak kota yang membangun PLTSa, buat apa lagi Presiden mengeluarkan Perpres percepatan pembangunan PLTSa ?    Begini, PLTSa yang sudah ada sekarang ini pada umumnya menggunakan teknologi pengambilan gas metan yang keluar dari timbulan sampah. Gas metan tersebut digunakan untuk menggerakkan generator listrik. Permasalahannya adalah sampah yang ada tidak terurai, jumlahnya tidak berkurang atau tidak akan habis. Baunya menyebar kemana-mana dan air lindinya mencemari tanah. Disamping itu tanah yang berada dibawah tumpukan sampah tidak bisa dimanfaatkan. Makin lama makin luas tanah yang dibutuhkan untuk menumpuk sampah. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan teknologi incinerator yaitu dengan membakar sampah sehingga relatif tanpa sisa. Dengan demikian diharapkan kota akan menjadi bersih, lingkungannya indah, dan listriknya dapat dinikmati masyarakat.

Apakah semua sampah akan dibakar ? Tentu saja tidak. Sampah akan dipilah-pilah terlebih dahulu. Alangkah rancaknya kalau sampah sudah terpilah sebelum kita membuangnya ke tong sampah di depan rumah kita, sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Kegiatan 3R, reduce, reuse and recycle merupakan upaya pertama yang harus dilakukan. Sampah yang diangkut ke TPA adalah sampah sisa yang sudah sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Kota Makassar sudah mempraktekkan sistem pengelolaan sampah seperti ini. Dan sekarang kota Makassar ikut dalam proyek percontohan PLTSa untuk membakar sampah sisa setelah kegiatan 3 R.

Apakah semua sampah sisa akan dibakar ? Jawabannya, juga tidak. Bahan-bahan yang mengandung chlorine seperti poly vinil chloride (PVC), styroform, poly chlorinated biphenyl (PCB) dan poly bromide biphenils (PBB), tentu saja tidak akan dibakar karena dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk mencegah pencemaran dioxin dan furans yang bersifat carcinogenic (menimbulkan kanker), maka operasional PLTSa harus diatur dengan suhu tinggi, diatas 1.000 (seribu) derajat celcius, sehingga dioxin dan furans tidak terbentuk.

Target Penyelesaian Proyek

Setelah Perpres Nomor 18 Tahun 2016 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 13 Februari 2016, Pemerintah dan Pemda segera mengapikasikannya, dan diharapkan selesai pada tahun 2018. Pemda segera menugaskan badan usaha milik daerah (BUMD) atau menunjuk badan usaha swasta (BUS) untuk membangun proyek PLTSa dimaksud di daerahnya masing-masing.

Untuk memperlacar pelaksanaan pembangunan proyek oleh BUMD yang ditugaskan atau BUS yang ditunjuk, maka Pemda : (1) memastikan ketersediaan sampah dengan kapasitas minimal 1.000 (seribu) ton per hari; (2) memastikan ketersediaan lokasi pembangunan PLTSa dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota; dan (3) menyusun studi kelayakan pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah yang meliputi studi aspek hukum, kelembagaan, pendanaan, sosial budaya, dan teknologi.

BUMD atau BUS tidak perlu khawatir, karena listrik yang dihasilkan pasti dibeli oleh PLN. PLN mendapat penugasan dari Menteri ESDM untuk membeli listrik PLTSa yang dihasilkan oleh BUMD atau BUS, dengan harga yang ditetapkan oleh Menteri ESDM. Menurut Darmin Nasution, Menko Perekonomian, bahwa sekarang dibuat mekanisme dan perhitungan yang jelas. Kalau terlalu mahal, maka pemerintah akan membantu (Pikiran Rakyat Online, 5/2/16).

Sumber pendanaan pembangunan PLTSa berasal dari APBN, APBD, dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Disamping itu, Pemerintah dapat memberikan bantuan biaya pengolahan sampah kepada Pemda. Dukungan lain yang diberikan Pemerintah adalah pengadaan tanah untuk pembangunan PLTSa oleh Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan dampak ekonomi berganda, maka pembangunan PLTSa mengutamakan penggunaan produk dalam negeri.

Untuk mendukung pelaksanaan percepatan pembangunan PLTSa, dibentuk Tim Koordinasi Percepatan Pelaksanaan Pembangunan PLTSa yang mempunyai tugas melakukan koordinasi dan pengawasan serta memberikan bantuan yang diperlukan untuk kelancaran percepatan pelaksanaan pembangunan PLTSa. Tim Koordinasi tersebut dibentuk dan diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebagai Wakil Ketua serta menteri/pimpinan lembaga terkait sebagai anggota. Tim Koordinasi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan koordinasi percepatan pembangunan PLTSa tersebut kepada Presiden secara berkala setiap 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

Jika yang direncanakan dan diatur dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2016 ini dapat berjalan lancar, maka pada tahun 2018 proyek-proyek ini telah selesai. Pada akhir tahun 2018 atau di awal tahun 2019, rakyat Indonesia telah bisa menikmati listrik berbasis sampah ini. Kita tunggu !!!

Komitmen Pemerintah Dalam Penyediaan Infrastruktur: Perpres Nomor 3 Tahun 2016 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2016?

$
0
0

Pengadaan-TanahMuhamad Zulfikar Ali *)

Pada tanggal 8 Januari 2016 Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan Inpres Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, penerbitan Perpres dan Inpres tersebut dimaksudkan untuk akselerasi pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam menghadapi era pasar bebas, dan mewujudkan Nawacita yang menjadi kebijakan Presiden yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019.

Intinya dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 bertujuan untuk mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional guna memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan melakukan upaya simplikasi dan kemudahan perizinan dan nonperizinan, penyelesaian tata ruang dan kepastian penyediaan lahan, pemberian jaminan atas risiko perubahan kebijakan Pemerintah, penugasan kepada BUMN, percepatan pengadaan barang/jasa Pemerintah, pemberian diskresi dalam penyelesaian hambatan dan perlindungan hukum bagi aparatur pelaksana proyek strategis nasional, serta daftar proyek infrastruktur yang mencapai 226 proyek yang terdapat diseluruh Indonesia.

Sedangkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2016, intinya memberikan instruksi kepada stakeholder terkait untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan dan/atau memberikan dukungan percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang mencakup penyiapan PSN, pengadaan lahan/tanah PSN, pendanaan PSN, perizinan dan nonperizinan PSN, pelaksanaan pembangunan fisik PSN, pengawasan dan pengendalian PSN, pemberian pertimbangan hukum dalam pelaksanaan PSN, dan/atau mitigasi risiko hukum dan non hukum dalam pelaksanaan PSN.

Sekilas Perpres Nomor 3 Tahun 2016 memberikan obat generik atas berbagai permasalahan penyediaan infrastruktur di Indonesia dengan menyediakan solusi dan fasilitas sebagai debottlenecking atas lambatnya proses birokrasi dan prosedur penyediaan infrastruktur yang menjadi penghambat ketersediaan infrastruktur, padahal infrastruktur merupakan merupakan gerbang bagi konektivitas antar wilayah, daya tarik investasi, dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2016 juga seolah-olah Pemerintah bersikap permisif terhadap dugaan/sangkaan tindak pidana yang kadang menyertai pelaksanaan pembangunan infrastruktur.

Namun sedianya Perpres Nomor 3 Tahun 2016 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2016 harus didudukkan sebagai upaya dan niat tulus Pemerintah untuk mengejar ketertinggalan penyediaan infrastruktur guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Perpres dan Inpres tersebut merupakan rangkuman kebijakan pemerintah yang telah ada sebelumnya dengan mempertegas ketentuan-ketentuan yang telah ada sebelumnya dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, dengan tetap berada pada koridor norma hierarki peraturan perundang-undangan lex superiori derogate legi inferiori.

“Rangkuman” ketentuan dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 dipandang sebagai terobosan pemerintah dalam ”menjamin” terlaksananya PSN dan tidak menjadikan PSN hanya sebagai rencana pembangunan, namun juga sebagai perwujudan cita-cita mensejahterakan masyarakat dengan PSN sebagai lokomotif kesejahteraan tersebut. Oleh karena itu, disadari bahwa perpaduan “rangkuman” kebijakan pemerintah dan peraturan perundang-undangan dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 belum sepenuhnya sempurna untuk menutup celah bagi potensi hambatan dalam penyediaan infrastruktur, maka pemerintah telah pula menerbitkan Inpres Nomor 1 Tahun 2016, yang dalam salah satu Diktumnya menginstruksikan untuk melakukan penyelesaian masalah dan hambatan dalam pelaksanaan PSN atau untuk memberikan dukungan dalam percepatan pelaksanaan PSN, antara lain dengan mengambil diskresi dalam rangka mengatasi persoalan yang konkret dan mendesak, menyempurnakan, mencabut, dan/atau mengganti, ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak mendukung atau menghambat percepatan pelaksanaan PSN, dan menyusun peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan yang diperlukan untuk percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Sebagai sebuah “rangkuman”, bukan berarti Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tidak ada nuansa baru dalam pengaturannya. Hal baru dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 adalah antara lain perluasan kriteria penunjukkan langsung untuk jasa konsultansi yang menjadi maksimal Rp.500 juta, “diresmikannya” pengadaan berulang dimana pengguna dapat menunjuk kembali penyedia yang berkualifikasi baik pada tahun anggaran selanjutnya, dan dalam penyelesaian kontrak/pekerjaan dalam hal pekerjaan tidak selesai pada akhir Tahun Anggaran akibat kahar pekerjaan dilanjutkan pada Tahun Anggaran berikutnya. Begitupula akibat kesalahan yang dilakukan oleh penyedia ataupun kelalaian yang dilakukan pengguna, maka pekerjaan dapat diteruskan pada Tahun Anggaran berikutnya dengan sebelumnya tetap mengalokasikan anggaran untuk Tahun Anggaran dimaksud, dan pemberian sanksi denda bagi penyedia sesuai kontrak.

Selain itu, dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 juga diperkenalkan metode check list bagi pemenuhan persyaratan perizinan dalam penyediaan infrastruktur, penormaan penugasan bagi Badan Usaha Milik Negara dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur strategis nasional, dan penegasan ketentuan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yakni mendahulukan proses administrasi pemerintahan tanpa mengesampingkan proses pidana.

Dalam daftar PSN yang merupakan lampiran dari Perpres Nomor 3 Tahun 2016 terdapat beberapa infrastruktur yang sedang dalam pengerjaan dan hampir selesai, serta infrastruktur yang pengejaannya telah ditetapkan Perpres Penugasan antara lain Perpres Nomor 100 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 117 Tahun 2015, dan Perpres Nomor 98 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit (LRT) terintegrasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi. Dimasukkannya proyek infrastruktur yang telah dikerjakan oleh BUMN melalui mekanisme penugasan merupakan bagian dari “jaminan pemerintah” (baca: komitmen) atas keberlangsungan proyek, sehingga manakala BUMN yang mendapatkan penugasan dianggap sudah tidak mampu menyelesaikan proyek penugasan, maka pemerintah akan mengambil alih penyelesaian proyek tersebut melalui mekanisme penugasan, kerjasama dengan swasta, atau APBN.

Pendahuluan proses administrasi dibandingkan dengan proses hukum untuk penyelesaian masalah dan hukum dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2016, harus dipandang bukanlah sikap permisif terhadap penyimpangan atau penyelewengan, namun lebih kepada upaya untuk kepastian penyelesaian PSN. Mengingat proses hukum atas laporan penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan saat penyelesaian PSN, berpotensi menghambat atau menghentikan penyelesaian PSN yang berdampak pada tertundanya penyelesaian PSN atau bahkan PSN tidak dapat diselesaikan. Meskipun demikian, Pemerintah tetap mendorong penyelesaian secara hukum setelah dilakukannya kategorisasi kesalahan yakni kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara, kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara, atau tindak pidana yang bukan bersifat administratif.

Terkait pembiayaan PSN dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 ada 3 (tiga) skema pembiayaan yakni melalui APBN/APBD, penugasan BUMN, dan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (KPBU). Tugas pemerintah adalah “memasarkan” PSN kepada investor dengan menawarkan fasilitas dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 agar investor tertarik sehingga penyelesaian PSN tidak melulu tergantung dengan ketersediaan alokasi anggaran dalam APBN/APBD. Pemerintah kiranya perlu membuat skala prioritas penggunaan APBN untuk penyelesaian PSN, tentunya dengan memperhatkan dan mempertimbangkan letak strategis PSN dan wilayah PSN, karena untuk wilayah barat Indonesia (khususnya Jawa) pembangunan PSN akan banyak menarik minat investor, sehingga pembiayaan pembangunan PSN dapat dilakukan melalui skema penugasan atau KPBU. Sedangkan untuk wilayah timur Indonesia yang masih minim infrastruktur dan konektivitas (baca: layak secara ekonomi dan tidak layak secara finansial atau bahkan tidak layak secara ekonomi dan tidak layak secara finansial), peran APBN lebih dibutuhkan dalam pembangunan PSN. Sehingga memberikan ruang lebih luas bagi kebijakan alokasi fiskal negara yang tidak hanya dialokasikan untuk penyediaan infrastruktur.

Saat ini sudah kewajiban bagi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah untuk pemenuhan komitmen mewujudkan 226 daftar PSN menjadi kenyataan bagi kesinambungan konektivitas antar wilayah, peningkatan daya tarik investasi, dan pemenuhan kesejahteraan masyarakat, agar tidak adalagi disparitas pembangunan wilayah di Indonesia berdasarkan dekat tidaknya wilayah dengan pusat negara, dan khususnya agar warga negara di timur Indonesia dapat merasakan menjadi Indonesia, karena Indonesia adalah dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Mianggas sampai Pulau Rote.

*) Pemerhati Kebijakan dan Hukum

ORGANISASI KERJA SAMA ISLAM (OKI) DAN DEKLARASI JAKARTA

$
0
0

03 Keterangan pers usai KTT OKI di JCCOleh: Ihsanira Dhevina E, M.A*

Bagi seorang, yang pernah hampir sepuluh tahun memegang amanah sebagai analis kebijakan mengenai hubungan internasional, rasanya Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT-LB) Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) – atau Islamic Organization Conference (IOC) – yang berlangsung pada tanggal 7 dan 8 Maret baru-baru ini, merupakan peristiwa yang luar biasa. Bukan semata penyelenggaraannya namun, diluar dari pada itu adalah segala yang dihasilkan oleh konferensi itu sendiri, yaitu berupa pemikiran-pemikiran dan komitmen seluruh negara anggota dan berhasil dituangkan ke dalam suatu rumusan yang disebut dengan DEKLARASI JAKARTA.

Deklarasi Jakarta merupakan wujud dari komitmen kuat dari kesadaran untuk mengakhiri adanya hak-hak tertindas suatu bangsa yang dilakukan oleh bangsa lain. Hal ini sudah berlangsung sekian lama dan hingga saat ini belum tampak adanya titik terang yang semakin terang ke arah berakhirnya suatu penindasan atau ketidakadilan.

OKI merupakan organisasi dunia kedua terbesar setelah PBB, dengan keanggotaannya yang terdiri dari 57 negara Islam atau berpenduduk Islam – tentu diharapkan upaya-upaya yang telah dilakukan OKI dapat memberi warna pada situasi politik dan keamanan di tingkat global. OKI didirikan atas prakarsa Raja Hussein II (Maroko) dan Raja Faisal (Arab Saudi) pada tanggal 25 September 1969 berdasarkan Deklarasi Rabat (Maroko) dan memiliki Sekretaris Jenderal yang berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi.

Adapun yang menjadi latar belakang didirikannya OKI adalah peristiwa bersejarah  yaitu pembakaran Masjid Al Aqsa saat terjadinya pendudukan Al-Quds (Yerusalem) oleh Israel pada bulan Agustus 1969. Hal ini menimbulkan keprihatinan internasional dan mendorong para  pemimpin sejumlah negara Islam mengadakan Konferensi di Rabat, Maroko, pada tanggal 22 – 25 September 1969, serta menyepakati Deklarasi Rabat yang menegaskan dibentuknya Organisasi kerja sama atas dasar agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan hak asasi manusia.

Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) ini memiliki tujuan-tujuan yang diarahkan bagi tegaknya ikatan persaudaraan diantara negara-negara anggotanya serta hak keberadaan suatu bangsa untuk berdaulat. Secara garis besar tujuan dimaksud yaitu:

  • Meningkatkan kerja sama dan solidaritas antar negara anggota OKI;
  • Menghapus perbedaan rasial, diskriminasi, dan kolonialisme;
  • Mengupayakan perlindungan bagi tempat-tempat suci Islam; dan
  • Mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk mendapatkan hak pembentukan negara merdeka dan berdaulat.

Adanya KTT-LB baru-baru ini jelas membuktikan kuatnya komitmen sekaligus adanya keprihatinan diantara negara-negara anggota atas peristiwa demi peristiwa yang dihadapi oleh bangsa Palestina. Perjuangan rakyat Palestina  belum mengarah kepada hasil yang diharapkan, rasa kemanusiaanpun terusik, bukan untuk mencari siapa yang salah dan yang benar namun, ditengah kegentingan situasi, rasa keadilan atas hak azasi bagi suatu bangsa mutlak ditegakkan.

Persoalan di Palestina bukan hanya persoalan agama tetapi juga persoalan sosial dan politik. Bukan hanya persoalan dua bangsa yang memperebutkan suatu wilayah namun juga telah menjadi persoalan dunia dan melibatkan banyak bangsa di dunia untuk mengambil peran bagi penyelesaian persoaan ini.

Tak terhitung perundingan antar negara dilakukan, tak terhitung pula resolusi damai  disepakati namun proses perdamaian belum terasa berarti. Terciptanya perdamaian di wilayah Palestina perlu diupayakan serta didukung secara nyata oleh banyak negara, dan tidak hanya oleh kedua bangsa yang bertikai. Oleh karenanya, dukungan dari para anggota OKI yang tertuang dalam Deklarasi Jakarta tentu merupakan langkah yang sangat berarti.

KTT-LB OKI di Jakarta yang dihadiri oleh lebih dari 600 anggota delegasi dari 55 negara, termasuk 49 negara anggota OKI, dua negara peninjau, lima anggota permanen Dewan Keamanan PBB, dua negara kuartet negosiasi Palestina-Israel, dan dua organisasi internasional (PBB dan Uni Eropa) – telah menghasilkan tidak hanya Deklarasi Jakarta (Jakarta Declaration)  tapi juga resolusi yang menegaskan komitmen OKI untuk mendukung Palestina dan Al-Quds Al-Sharif.

Deklarasi Jakarta yang memuat 23 butir komitmen sebagai bagian dari upaya konkrit OKI, adalah sebagai berikut:

  1. Menyatukan upaya untuk mengakhiri pendudukan Israel sejak tahun 1967.
  2. Meningkatkan dukungan penuh politik, diplomatik, dan upaya legal melindungi hak-hak dasar rakyat Palestina.
  3. Melindungi kesucian dan status Al-Quds Al-Sharif dengan mengambil aksi yang memungkinkan untuk mengakhiri pendudukan Israel.
  4. Mengambil semua tindakan yang memungkinkan untuk mendukung keteguhan rakyat Palestina di wilayah pendudukan dan secara khusus di al-Quds al-Sharif (Timur Yerusalem) untuk melanjutkan perlindungan identitas sejarah dan budaya di Kota Suci.
  5. Mendukung semua upaya Saudi Arabia, di bawah kepemimpinan penjaga dua Masjid Suci, Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, untuk menjaga situs suci Al-Quds Al-Sharif.
  6. Mendukung upaya, Raja Yordania Raja Abdullah II Ibn AL-Hussein dalam melindungi Al-Quds dan situs suci dalam konteks sejarah perwalian Hashemite terkait situs suci Muslim dan Kristen di Yerusalem. Kesepakatan ditandatangani di Amman pada 31 Maret 2013.
  7. Menyerukan semua tindakan untuk mengakhiri pendudukan Israel di Al-Quds Al-Sharif, melindungi hak eksklusif Muslim sesuai sejarah status quo Masjid Al-Aqsa untuk melakukan ibadah.
  8. Mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mempertanyakan pendudukan ilegal Israel yang mengancam solusi dua negara dalam upaya perdamaian dan menyediakan perlindungan internasional terhadap rakyat Palestina dan menyerukan anggota OKI yang berada di DK PBB untuk melanjutkan upaya
  9. Mengakui peran penting Dewan Hak Asasi Manusia, menyerukan peningkatan upaya mempertanyakan kekerasan terhadap hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan internasional di wilayah pendudukan.
  10. Mangambil langkah penting untuk menjamin persatuan negara-negara Muslim, menghindari perbedaan dalam internasional forum.
  11. Memperluas dukungan untuk penyelenggaraan konferensi perdamaian internasional yang membangun upaya internasional baru untuk solusi dua negara atas dasar posisi sebelum 1967.
  12. Meningkatkan bantuan finansial dan program pembangunan kapasistas oleh negara anggota OKI dan anggota komunitas internasional lainnya, untuk mendukung pembangunan dan penguatan insititusi nasional Palestina.
  13. Pengembangan organisasi hukum antarpemerintahan untuk membantu advokasi Palestina di lembaga-lembaga international dan mekanisme hukum lain.
  14. Mendukung upaya penempatan komite Al-Quds pada kepemimpinan Raja Mohamed VI dan mengajak negara anggota memberi kontribusi untuk Bayt Mal Al-Quds Agency.
  15. Menghidupkan kembali kontribusi finansial untuk Al-Quds Fund dan Waqf. Mengajak semua Muslim untuk menyumbangkan satu dolar.
  16. Menyerukan masyarakat internasional mendukung boykot terhadap produk yang dihasilkan di permukiman ilegal.
  17. Mempromosikan upaya di jalur dua, termasuk dialog antar-agama, untuk mendorong upaya yang bertujuan mencapai solusi dua negara.
  18. Memperkuat dukungan media untuk Palestina untuk memobilisasi dan membangun kesadaran opini publik internasional terhadap Palestina
  19. Menekankan penguatan persatuan dan solidaritas di antara para anggota OKI sebagai dukungan bagi Palestina.
  20. Mendorong para pemimpin OKI, untuk memobilisasi upaya lebih luas guna mendukung Palestina dan al-Quds di forum internasional juga menindaklanjuti deklarasi ini.
  21. Melanjutkan upaya Ministerial Contact Group dalam melindungi kota Al-Quds dari Systematic Judaization.
  22. Menyerukan persatuan dalam mendukung rakyat Palestina.
  23. Mengintensifkan upaya terpadu untuk mendukung rekonsiliasi nasional Palestina, di bawah kepemimpinan Presiden Mahmoud Abbas sebagai kontribusi untuk meningkatkan persatuan rakyat Palestina dalam menghadapi mesin perang Israel dan rencananya untuk kekuasaan dan ekspansi.

(Sumber: http://kemlu.go.id/lembar-informasi/Pages/jakarta-declaration.aspx).

Butir-butir  pada Deklarasi Jakarta yang merupakan gagasan dari Indonesia, mencerminkan  upaya nyata yang juga sejalan dengan amanat UUD 1945 untuk menghapuskan penjajahan berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial – itulah makna terdalam dari  Deklarasi Jakarta.

Perjalanan menuju perdamaian kawasan memang masih panjang, namun yang tidak kalah penting adalah hendaknya OKI dapat mengelola seluruh potensi yang dimiliki oleh masing-masing anggota agar dapat mengemban amanat setiap butir dalam Deklarasi Jakarta.

Jika memungkinkan, dalam menjamin setiap butir terlaksana, OKI dapat menentukan negara-negara mana saja sebagai penanggung jawab implementasi dari setiap butir dalam deklarasi. Bagaimanapun, komitmen yang dibuat menuntut adanya tanggung jawab yang sesungguhnya demi solidaritas negara-negara anggota dan kehormatan OKI sebagai organisasi.

*) Widyaiswara Kemensetneg, mendalami bidang komunikasi massa, gender dan pembangunan

Tindak Lanjut Kesepakatan Global Perubahan Iklim COP21 Paris

$
0
0

2011_logoMurni Titi Resdiana

Pada bulan Desember 2015 lalu, Presiden Jokowi menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim dunia yang biasa disebut UNFCCC COP21 Paris dan mengumumkan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan hingga 41% dengan bantuan dan kerjasama internasional. Komitmen tersebut diukur dari proyeksi Business as Usual (BAU).

COP21 di Paris mengadopsi Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang bertujuan untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata tidak mencapai 2oC di atas suhu sebelum masa Revolusi Industri dan mengupayakan lebih lanjut hingga tidak lebih dari 1,5oC. Kesepakatan Paris juga merupakan basis legal implementasi sehingga pengendalian perubahan iklim di tingkat internasional menjadi universal dan harus dilaksanakan oleh serta mengikat secara legal semua Negara Pihak.

Selain itu, COP21 di Paris juga menekankan pentingnya peran semua pemangku kepentingan untuk menjamin tercapainya tujuan mulia tersebut. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengajak peran serta non state actors, yaitu pemerintah daerah, pelaku bisnis, Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi dan peneliti, semaksimal mungkin.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, perlu menindaklanjuti Kesepakatan Paris tersebut dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Tindak lanjut yang dimaksud dapat dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok utama, yaitu 1) aspek legal, 2) aksi mitigasi, 3) aksi adaptasi, 4) dukungan aksi terhadap upaya implementasi, 5) pelaporan dan transparansi, 6) peran non state actors dan 7) lobi global. Secara umum ketujuh kelompok tersebut dapat dijelaskan seabgai berikut:

  1. Aspek Legal

Dalam aspek legal, berikut adalah beberapa aksi yang perlu dilakukan:

  • Indonesia perlu menandatangani Kesepakatan Paris pada tanggal 22 April 2016 di New York.
  • Sebagai dukungan terhadap Kesepakatan Paris, maka proses ratifikasi perlu dilakukan sebagai payung pengembangan peraturan lainnya.
  • Pengembangan Undang-Undang Pengendalian Perubahan Iklim sebagai dasar hukum untuk memastikan keberlanjutan implementasi pengendalian perubahan iklim jangka panjang di Indonesia.
  1. Aksi Mitigasi

Untuk kelancaran pelaksanaan aksi mitigasi, maka perlu dilakukan penyesuaian atau pengembangan berbagai kebijakan dan peraturan yang berdasarkan kajian berbasis sains, diantaranya:

  • Kajian dan analisis untuk penetapan baku mutu emisi GRK untuk semua sektor, dan dimulai dari sektor yang telah memiliki basis data historis emisi seperti sektor migas dan industri.
  • Kajian dan analisis mengenai pencapaian target penurunan emisi sebesar 26/41 pada tahun 2020 sehingga dapat menjadi basis yang kuat dalam implementasi penurunan emisi sebesar 29/41 paska 2020 hingga 2030 nanti.
  • Kajian dan analisis mengenai target yang disampaikan Indonesia untuk tahun 2025.
  • Kajian dan analisis mengenai target 2025 dan 2030 untuk mendapatkan kesepakatan bersama di tingkat domestik termasuk dari berbagai sektor dan pemangku kepentingan.
  • Kajian dan analisis potensi aksi mitigasi yang dapat dilakukan bersama (cooperative approaches), baik antara pemangku kepentingan di tingkat domestik maupun potensi di tingkat regional (seperti ASEAN, Asia-Pasifik) dan internasional.
  • Mendorong dan memastikan berlanjutnya berbagai kegiatan Clean Development Mechanism (CDM) yang telah berlangsung di Indonesia.
  • Kajian dan analisis untuk membangun sistem dan mekanisme fleksibilitas dalam pelaksanaan mitigasi di dalam negeri termasuk mekanisme perdagangan karbon maupun performance based payment yang berdasarkan pada sistem cap-and-trade dan juga sistem baseline-and-credit.
  • Kajian dan analisis untuk mempersiapkan peran Indonesia dalam mekanisme fleksibilitas di tingkat global selain di bawah Protokol Kyoto.
  1. Aksi Adaptasi dan juga Loss and Damage

Pemerintah perlu melakukan penyesuaian atau pengembangan berbagai kebijakan dan peraturan perundangan melalui berbagai kajian, analisis, dan penyusunan basis data, antara lain:

  • Kajian dan pembuatan basis data mengenai kerentanan di seluruh wilayah Indonesia dan di semua sektor ekonomi dan sosial serta budaya.
  • Kajian dan pembuatan basis data mengenai kelembaman (resilience) di seluruh Indonesia dan di semua sektor ekonomi, sosial, dan budaya.
  • Kajian dan analisis serta pembuatan basis data mengenai berbagai dampak yang telah terjadi, baik dampak yang terjadi dalam waktu pendek dan mendadak maupun yang terjadi dalam waktu panjang dan perlahan; serta berdasarkan tingkat kejadian (frekuensi dan magnitude).
  • Kajian dan analisis serta identifikasi dan pembuatan basis data berbagai aksi adaptasi yang perlu dilaksanakan di Indonesia. Hal ini akan membantu Indonesia mengakses dana yang tersedia, seperti Adaptation Fund (AF), Green Climate Fund (GCF) maupun jenis pendanaan lainnya dari berbagai entitas yang ada.
  • Kajian dan analisis serta pembuatan basis data berbagai pendekatan, teknologi, dan kearifan tradisional untuk mengatasi dampak.
  • Kajian dan analisis mengenai berbagai mekanisme asuransi, mekanisme fiskal dan pendanaan lainnya untuk membantu mengatasi dampak.
  • Kajian dan analisis potensi kerjasama tingkat domestik, regional, dan internasional.
  1. Dukungan Aksi terhadap Upaya Implementasi (means of implementation)

Kegiatan ini merupakan “enabling environment” yang akan membantu terlaksananya aksi di tingkat pusat dan subnasional. Untuk itu diperlukan dukungan kajian dan penguatan institusional sebagai berikut::

  • Penguatan dan operasionalisasi National Designated Authority (NDA) dari GCF sehingga Indonesia dapat mengakses dana GCF secara efektif termasuk melalui keberadaan National Impementing Entity (NIE) yang harus segera diwujudkan.
  • Kajian dan analisis mengenai nilai karbon (bukan harga karbon) untuk mendukung penerapan polluters pay principle yang efektif.
  • Kajian dan analisis mengenai kebutuhan pendanaan untuk implementasi aksi mitigasi dan adaptasi serta identifikasi peluang sumber pendanaan, baik domestik (APBN dan non-APBN lain) maupun kerjasama internasional.
  • Kajian dan analisis serta pembuatan basis data mengenai penguasaan teknologi yang telah ada (termasuk teknologi berbasis tradisional) serta kebutuhan teknologi untuk mendukung implementasi aksi mitigasi dan adaptasi.
  • Kajian dan analisis mengenai peluang kerjasama riset dan pengembangan teknologi, baik di tingkat domestik, regional maupun internasional, selain peluang kerjasama penguasaan teknologi dari pihak lain.
  • Kajian dan analisis serta pembuatan basis data berbagai kegiatan penguatan kapasitas (know-how) yang telah dilakukan di Indonesia sebagai bagian dari mekanisme pelaporan.
  • Kajian, analisis, identifikasi dan pembuatan basis data berbagai know-how yang dimiliki oleh berbagai pemangku kepentingan di Indonesia, terutama yang berdasarkan kearifan lokal dan tradisional sehingga dapat menjadi tawaran bagi Indonesia untuk menjadi provider know-how bagi South-South/trilateral cooperation
  1. Pelaporan dan Transparansi

Indonesia sebagai negara berkembang diharapkan dapat menyampaikan laporan komitmen penurunan emisi atau upaya peningkatan kapasitas yang sudah dilakukan. Berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan untuk mendukung pelaporan dan transparansi:

  • Kajian dan analisis berbagai metodologi pengukuran, penghitungan dan inventarisasi emisi GRK sejalan dengan kondisi sektor yang bersangkutan dan sejalan dengan proses yang berjalan di tingkat internasional.
  • Penentuan dan penetapan metodologi yang dapat digunakan oleh pihak terkait di Indonesia berdasarkan kajian dan analisis yang telah dilakukan.
  • Penentuan dan penetapan mekanisme dan prosedur pelaporan serta pemantauan yang harus dilakukan oleh masing-masing pelaku, baik pelaku di sisi pemerintah, pemerintah daerah, pelaku bisnis maupun pemangku kepentingan lainnya.
  • Kajian dan analisis mengenai berbagai lembaga independen yang dapat berperan sebagai lembaga verifikasi yang dilanjutkan dengan dorongan dan dukungan untuk melakukan pendaftaran dan akreditasi di tingkat internasional.
  1. Peran Non State Actors

Berikut adalah beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan peran serta non state actors dalam aksi perubahan iklim:

  • Pelaku bisnis memiliki peran yang besar bukan hanya dalam pelaksanaan aksi tetapi terutama dalam investasi baik secara langsung melalui investasi bisnis rendah emisi ataupun melalui penyaluran dana corporate social responsibility (CSR).
  • Pemerintah Daerah. Berbagai program yang dibuat di tingkat nasional akan dilaksanakan di tingkat subnasional dan lokal sejalan dengan programpembangunan daerah. Hal ini perlu diatur dalam perundangan yang berlaku.
  • LSM dan lembaga non pemerintah lainnya. LSM diharapkan memberikan pendampingan kepada masyarakat untuk upaya aksi di tingkat tapak, antara lain: penyediaan energi terbarukan berskala mikro, pengembangan mekanisme pendanaan yang inovatif, hingga upaya penanganan bencana dampak perubahan iklim.
  • Akademisi, pakar dan peneliti. Peran akademisi, pakar dan peneliti menjadi kunci dalam mendukung pengembangan basis data, pengembangan model dan skenario yang berdasarkan basis ilmiah.
  1. Lobi Global dan Promosi Aksi Indonesia di Tingkat Internasional

Adopsi Kesepakatan Paris dalam COP21 bukanlah akhir dari proses global dan tantangan di perundingan selanjutnya tidaklah lebih ringan. Hal ini disebabkan karena perundingan paska Paris akan terfokus pada detil aturan, prosedur, mekanisme dan modalitas untuk memastikan implementasi yang efektif. Bersamaan dengan itu, peran dan partisipasi aktif Indonesia dalam berbagai perundingan internasional di bidang ini sangat diharapkan oleh berbagai pihak. Untuk itu penyiapan dan penetapan posisi dasar Indonesia yang mengedepankan kepentingan nasional dapat dilakukan dengan penguatan delegasi RI. Selain proses perundingan dan lobi, Indonesia perlu pula melakukan promosi kepada dunia internasional mengenai berbagai upaya yang telah maupun yang akan dilakukan terkait dengan penanganan dan pengendalian perubahan iklim.

MENANTI KEPASTIAN ARAH PENGELOLAAN BMKT

$
0
0

khusnulKusnul Nur Kasanah, Keasdepan Bidang Kelautan dan Perikanan, Kedeputian Bidang Kemaritiman, Sekretariat Kabinet

Letak geografis Indonesia yang strategis, antara benua Asia dan Australia, antara samudera India dan Pasifik, menjadikan wilayah perairan Indonesia sejak zaman VOC menjadi jalur lalu lintas pelayaran internasional yang sibuk, menghubungkan kawasan Eropa, Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Timur.

Disamping letaknya yang strategis, Indonesia juga terkenal sebagai penghasil rempah-rempah, yang pada saat itu merupakan komoditas berharga bagi masyarakat di Kawasan Eropa dan Timur Tengah.

Kekayaan alam Indonesia inilah yang menarik pedagang dari berbagai negara berdatangan ke Indonesia, sehingga tidak mengherankan apabila wilayah perairan Indonesia dikenal sebagai salah satu wilayah perairan yang dipenuhi ratusan hingga ribuan kapal karam, terutama di jalur pelintasan dan sekitar pusat-pusat perdagangan. Dalam kapal-kapal karam tersebut terdapat muatan berupa logam mulia, batuan berharga, keramik, dan benda lainnya yang diperkirakan memiliki nilai ekonomi tinggi.

Berdasarkan hasil survei, seperti disampaikan Sekretaris Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Muatan Kapal Tenggelam Indonesia (APPP BMKTI) di wilayah perairan Indonesia disinyalir terdapat 464 titik lokasi kapal tenggelam. Dari semua lokasi yang terdeteksi itu, diperkirakan terdapat harta karun bernilai ekonomi yang mencapai sekitar USD 12,7 miliar atau setara dengan Rp 127,6 triliun. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri merilis, terdapat sedikitnya 134 lokasi kapal tenggelam di Pelabuhan Ratu dan 37 lokasi di Selat Malaka. Jumlah tersebut diperkirakan jauh lebih banyak, karena berdasarkan hasil penelitian UNESCO, terdapat sekitar 20 ribu kapal dari berbagai negara di dunia pernah berlayar ke Selat Malaka dan diketahui tidak pernah kembali ke negara asalnya, kapal-kapal tersebut diduga kuat tenggelam di perairan Indonesia.

Banyaknya kapal karam di wilayah perairan Indonesia mengundang banyak tindakan penjarahan dan pencurian BMKT, yang paling fenomenal adalah pencurian yang dilakukan Michael Hatcher atas BMKT dari kapal Geldermalsen yang kemudian melelangnya di balai lelang Christi’e, Belanda dengan nilai 17 Juta USD, dan Indonesia tidak mendapat bagian sama sekali. Guna merespon banyaknya tindakan illegal terhadap BMKT, serta dalam rangka mempercepat proses pemanfaatan, agar pengelolan BMKT lebih optimal dan terkoordinasi, Presiden melalui Keppres No. 19 Tahun 2007 sebagimana telah diubah dengan Keppres No. 12 Tahun 2009 membentuk Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT (PANNAS BMKT) yang diketuai Menteri Kelautan dan Perikanan dan beranggotakan Pejabat Eselon 1 dari Kementerian/Lembaga terkait. PANNAS BMKT bertugas:

  1. mengkoordinasikan kegiatan departemen dan instansi lain yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan BMKT;
  2. menyiapkan peraturan perundang-undangan dan penyempurnaan kelembagaan di bidang pengelolaan BMKT;
  3. memberikan rekomendasi mengenai izin survei, pengangkatan, dan pemanfaatan BMKT kepada Pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  4. menyelenggarakan koordinasi kegiatan pemantauan, pengawasan, dan pengendalian atas proses survei, pengangkatan dan pemanfaatan BMKT;
  5. menyampaikan laporan tertulis pelaksanaan tugas paling sedikit 1 (satu) tahun sekali kepada Presiden.

Sepanjang Tahun 2000 sampai dengan 2011, PANNAS BMKT telah mengeluarkan izin survei pengangkatan dan pemanfaatan BMKT di 75 lokasi. Namun sejak tanggal 11 November 2011 sampai dengan saat ini, PANNAS BMKT memberlakukan moratorium pemberian rekomendasi izin survei dan izin pengangkatan BMKT. Langkah moratorium ini merupakan tindak lanjut terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dimana BMKT dikategorikan sebagai benda cagar budaya bawah air yang pengelolaannya menjadi kewajiban Pemerintah, dimana selama ini pengangkatan BMKT dilakukan bersama antara Pemerintah dan badan usaha swasta berdasarkan persetujuan bisnis. Disamping itu dalam UU No. 11 Tahun 2010 tersebut, diatur juga bahwa BMKT sebagai benda cagar budaya tidak dapat dimiliki warga negara asing/badan hukum asing dan tidak dapat di bawa keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, padahal sebagian besar peminat dari BMKT adalah konsumen luar negeri.

Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), selain telah mengeluarkan Peraturan Menteri terkait perpanjangan moratorium izin pengangkatan BMKT, dalam proses revisi Perpres Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (Perpres Daftar Negatif Investasi/DNI) mengusulkan bahwa bidang usaha pengangkatan BMKT yang semula merupakan bidang usaha yang terbuka dengan syarat khusus diusulkan menjadi tertutup dengan alasan kapal-kapal tenggelam merupakan warisan peradaban dan kebudayaan Indonesia sehingga harus dijaga dan dirawat bagi pengembangan sejarah dan ilmu pengetahuan.

Terkait dengan perlindungan terhadap warisan budaya bawa air, pada tahun 2001 PBB menyelenggarakan konvensi dan menghasilkan Konvensi UNESCO 2001 yang secara umum mengatur antara lain: perlindungan terhadap warisan budaya bawah air dan dimanfaatkan untuk kepentingan umat manusia; Cagar budaya bawah air dilarang untuk di eksploitasi secara komersil untuk perdagangan dan spekulasi; dan Prinsip-prinsip pelestarian insitu. Sampai dengan saat ini, Indonesia belum meratifikasi hasil konvensi tersebut, tentu saja keputusan untuk meratifikasi atau tidak perlu dikaji secara mendalam manfaatnya bagi kepentingan nasional, karena ada konsekuensi yang harus ditanggung, seperti antara lain: menghentikan perizinan yang telah dikeluarkan termasuk mengembalikan kepada investor segala biaya yang sudah dikeluarkan dalam rangka perizinan; menyusun roadmap/rencana aksi pengelolaan warisan budaya bawah air; menyiapkan segala sarana dan prasarana penunjang termasuk kelembagaan pengelolaanya, seperti balai pelatihan, museum maritim, dan pengembangan sumber daya manusianya; serta harmonisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan BMKT untuk disesuaikan dengan ketentuan dalam Konvensi UNESCO 2001.

Apabila merujuk pada aturan dalam UU No. 11 Tahun 2010, arah pengelolaan BMKT adalah untuk kepentingan konservasi, mengingat BMKT memiliki nilai sejarah dan ilmu pengetahuan yang sangat tinggi. Namun sayang, hal ini tidak diperkuat oleh UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang mengatur bahwa kegiatan pengangkatan BMKT merupakan pemanfaatan sumber daya kelautan yang akan dikembangkan sebagai salah satu bentuk jenis industri jasa maritim. Ketidakjelasan terhadap kelembagaan pengelolaan juga berpotensi terjadi jika melihat dalam UU No. 27 Tahun 2007 sebagimana diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 yang mengatur bahwa izin pengelolaan kegiatan pengangkatan BMKT merupakan kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan, sedangkan jika merunut pada UU No. 11 Tahun 2010 yang mengatur BMKT sebagai benda cagar budaya, maka yang berhak melakukan pengelolaan adalan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan.

Kurang harmonisnya Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang BMKT, serta belum terbitnya peraturan pelaksanaan dari UU No. 11 Tahun 2010 tersebut, menyulitkan berbagai pihak terutama pelaksana teknis ditingkat Pemerintah Daerah dalam melakukan langkah-langkah baik dalam pengelolaan maupun tindakan terhadap pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sebagai akibat kurangnya sosialisasi dan pemahaman terkait status BMKT. Sebelum terbitnya UU No. 11 Tahun 2010, terdapat 13 kegiatan pengangkatan BMKT oleh swasta yang sampai dengan saat ini Kementerian Keuangan tidak dapat memproses hasil pegangkatan BMKT tersebut (untuk dijual) karena masih menunggu kepastian hukum.

Apabila arah pengelolaan BMKT murni ditujukan untuk konservasi, maka konsekuensinya adalah Pemerintah harus menyiapkan baik aspek teknis maupun penganggaran, mengingat kegiatan pengangkatan dan pemeliharaan BMKT membutuhkan anggaran yang besar, karena terkait dengan kebutuhan teknologi dan SDM profesional. Untuk proses mulai survei hingga pengangkatan, selama ini masih menggunakan pihak ke tiga dengan sistem bagi hasil. Sebagai contoh, anggaran untuk survei hingga pengangkatan satu lokasi di perairan laut Jawa (Utara Cirebon) menghabiskan dana sekitar USD 10 juta, hasil temuan tersebut sedianya dilelang dan ditaksir senilai USD 80 juta, akan tetapi tidak laku karena tidak ada peminat yang mendaftar, sehingga setelah diambil sebagian sebagai koleksi negara, pemerintah membagi rata dengan pihak ketiga yang mengeksekusi BMKT tersebut. Saat ini BMKT yang menjadi bagian Pemerintah masih tersimpan di Warehouse Cileungsi Jawa Barat. Pemeliharaan untuk BMKT yang sudah diangkat juga memakan biaya mahal karena membutuhkan perlakuan khusus, termasuk apabila diputuskan untuk melakukan konservasi insitu.

Satu hal yang juga perlu diperhatikan ketika konservasi menjadi arah pengelolaan BMKT adalah penetapan lokasi kapal tenggelam (BMKT) sebagai kawasan cagar budaya, maka hal ini terkait dengan penataan ruang (zona kawasan), sehingga menjadi sangat penting untuk Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan mengeluarkan penetapan kawasan-kawasan cagar budaya bawah air untuk dapat diakomodasi dalam Rencana Tata Ruang Laut Nasional (RTRLN) yang saat ini sedang disusun Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dengan masuk dalam pengaturan RTRLN, maka peruntukan ruang bagi kawasan cagar budaya bawah air akan diarahkan agar tidak menggangu fungsi konservasi cagar budaya. Namun, konsekuensinya adalah bahwa titik-titik lokasi dimana BMKT itu berada akan terpublikasi ke publik, sehingga pemerintah harus menyiapkan dengan matang aspek pengawasannya untuk menghindari tindakan pencurian.

Untuk itu, kiranya Pemerintah perlu segera memutuskan dan mengambil langkah-langkah guna memberikan arah yang jelas dalam pengelolaan BMKT (mutlak dikonservasi atau dapat dikomersialisasikan/diperjualbelikan). Hal ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi semua pihak, termasuk kepastian berusaha bagi para investor, mengingat bahwa Pemerintah sedang membangun iklim investasi yang kondusif, jangan sampai permasalahan ketidakpastian hukum ini akan menjadi tendensi negatif juga bagi sektor usaha secara umum.

Viewing all 380 articles
Browse latest View live