Quantcast
Channel: Archives – Sekretariat Kabinet Republik Indonesia
Viewing all 380 articles
Browse latest View live

Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan (Bag-9)

$
0
0
Foto 1: Suatu Pagi di Iseh (Het schilderij ‘Iseh im Morgenlicht),  Walter Spies, 102 x 95 cm

Foto 1: Suatu Pagi di Iseh (Het schilderij ‘Iseh im Morgenlicht),
Walter Spies, 102 x 95 cm

Oleh: Kukuh Pamuji

Dua tokoh penting yang memiliki peran yang begitu besar terhadap lahirnya seni lukis modern di Bali dan karyanya menjadi koleksi Istana Kepresidenan. Kedua tokoh dimaksud adalah Rudolf Bonnet dan Walter Spies.

Johan Rudolf Bonnet yang lahir di Amsterdam 30 Maret 1895 dan meninggal pada 18 April 1978 di Laren, Belanda adalah seorang pelukis berkebangsaan Belanda yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Ubud, Bali. Ia adalah salah seorang dari banyak pelukis asing yang cukup berkontribusi pada kemajuan seni lukis di Indonesia, khususnya di Bali. Gambar dan lukisan Bonnet selalu bersifat kiasan dan kerap menunjukkan pengaruh klasik kuat.

Walter Spies lahir di Moskow 1895 dan meninggal 1942 adalah pelukis berkebangsaan Jerman yang juga merupakan musisi berpendidikan Rusia. Ia berangkat ke Indonesia untuk

Foto 2: Pertunjukan Tari di Wilayah Borobudur pada Abad ke-9 (Hofleven op Java Voor Duizen Jaar),  Walter Spies (1930), 65 x 80 cm

Foto 2: Pertunjukan Tari di Wilayah Borobudur pada Abad ke-9 (Hofleven op Java Voor Duizen Jaar),
Walter Spies (1930), 65 x 80 cm

mengembangkan keseniannya. Dari Jakarta ia singgah di Bandung dan sempat menjadi pemain piano untuk mengisi musik film bisu. Pada tahun 1925 ia menetap di Yogyakarta untuk belajar seni karawitan, namun atas permintaan Sultan Yogyakarta, kemudian ia mengajar musik Barat di dalam keraton. Gaung namanya kemudian terdengar oleh Cokorda Gde Agung Sukawati, seorang Camat di Ubud, Bali. Ketika ia berkunjung ke Yogyakarta maka diundanglah Spies ke Bali. Spies kemudian datang dan tinggal secara resmi di Bali pada tahun 1927 dan setahun kemudian (1928) Bonnet menyusulnya dan tinggal di Bali.

Dua orang perupa ini mencemaskan kondisi seni lukis Bali yang berkembang pada saat itu yang sebagian besar dilatarbelakangi oleh industri dan turisme. Mereka kemudian mencoba untuk melobi penguasa Ubud untuk memperhatikan masalah tersebut. Cokorde Gede Agung Sukawati, penguasa Ubud yang  juga mencintai seni lukis ini sepakat dengan pemikiran Spies dan Bonnet dan kemudian pada tahun 1935 mendirikan perkumpulan pelukis dan pematung Bali yang diberi nama Pitamaha.

Sebagai sebuah perkumpulan, Pitamaha berhasil menggelorakan semangat perubahan seni lukis Bali secara lebih progresif. Mereka mengembangkan lukisan yang tidak hanya bertema pewayangan, tetapi juga lukisan yang bertema kehidupan sehari-hari.

Sejarah telah mencatat bahwa dari Pitamaha itulah kemudian lahir para pelukis legendaris Bali, seperti A.A. Gde Maregeg, Ida Bagus Made Poleng,  Ida Bagus Made Wija, A.A. Gde Sobrat,  Dewa Putu Bedil, Ketut Regig dan sebagainya yang kemudian sebagian karya-karya dari pelukis tersebutmenjadi koleksi Istana Kepresidenan. Mereka berhasil melahirkan karya-karya dengan tema suasana pasar, suasana di sawah, suasana di pura, dan suasana lain yang menarik bagi mereka.

Spies pandai menstimulasi pelukis lokal Bali untuk membuat ekspresi baru dengan media karya yang baru pula. Objek yang dilukisnya adalah wajah sebuah desa yang berbukit, seperti kebanyakan daerah di Bali yang berbukit dan dikelilingi gunung. Hal pertama yang menjadi daya tarik adalah Spies pandai menciptakan perspektif ruang. Dengan kemampuan ini ia dapat melukiskan objek yang berjarak jauh dan dekat tetap bisa dilukis.

Daya tarik ini sedikit banyak dipengaruhi oleh lukisan dekoratif tradisional Bali yang juga menggambarkan jauh dekat. Unsur kedua yang sangat penting adalah pencahayaan. Di sinilah Spies memberi peran penting dan individual. Ia pandai mengontrol kontras cahaya antar objek dalam setiap sudut karya. Ia pandai menggunakan warna-warna monokrom dalam lukisan. Di satu sisi, ia memakai warna coklat kekuningan atau warna tertentu untuk memberi aksentuasi pada objek utama, seperti pada manusia dan kerbau dalam lukisan ini.

Foto 3: Penari Bali Sedang Berhias,  Rudolf Bonnet,  Crayon on paper 105 x 150 cm

Foto 3: Penari Bali Sedang Berhias, Rudolf Bonnet,
Crayon on paper 105 x 150 cm

Dengan teknik yang sedemian rupa, lukisan Walter Spies seperti ingin menggambarkan Bali yang temaram, ”selalu pagi”, mistik dan cenderung mistis. Walaupun ia sendiri terpengaruh oleh gaya seni lukis Bali, Spies ikut memengaruhi perkembangan seni lukis setempat. Utamanya dalam gaya pencahayaan dan teknik pewarnaan. Ia hampir selalu menyertakan berkas-berkas cahaya (ray of lights) dalam karya-karya lukisannya. Terdapat kesan bahwa lukisan-lukisannya itu seolah-olah menggunakan teknik dodge dan burn yang biasa digunakan dalam proses kamar gelap pada era film hitam putih dan berlanjut ke era digital sekarang. Salah satu lukisan karya Walter Spies yang paling terkenal adalah “Het schilderij ‘Iseh im Morgenlicht”.Spies juga dikenal sebagai pengembang tarian sakral yang sangat terkenal, yakni tari kecak.

Foto 4: Seorang Pengarit,  Rudolf Bonnet (1953),              Dua Orang Gadis Menyunggi Djun,                Crayon on paper, 103 x 71 cm

Foto 4: Seorang Pengarit, Rudolf Bonnet (1953), Crayon on paper, 103 x 71 cm

Pada tahun 1942 Jerman mengekspansi daratan Eropa, dan menguasai Belanda. Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia sangat marah kepada pemerintah Jerman, sehingga hal ini berdampak negatif terhadap semua warga Jerman. Demikian pula terhadap warga Jerman yang ada di Indonesia. Mereka ditangkapi dan dijadikan tawanan, untuk kemudian dibuang ke negeri lain. Spies termasuk yang terangkut kapal tawanan yang akan dibuang ke Ceylon. Namun nasibnya malang karena pada tahun itu Jepang yang berambisi menguasai Asia menyerbu Indonesia, dan kapal tawanan yang ditumpangi Spies bersama ratusan tawanan lain di bom oleh Jepang di Selat Makassar dan Spies tewas.

Karya Spies yang menjadi koleksi Istana Kepresidenan antara lain adalah Pagi Hari di Iseh yang saat ini tersimpan di Istana Kepresidenan Bogor. Iseh merupakan sebuah desa yang terletak di kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem. Desa Iseh ini terkenal dengan pemandangan alamnya yang menawan. Desa Iseh terletak sekitar 52 km dari kota Denpasar dan bisa ditempuh dalam 1,5 – 2 jam perjalanan. Lokasi ini dapat ditempuh langsung melalui Klungkung atau melalui daerah kota Amlapura. Lukisan Pagi Hari di Iseh ini memiliki nilai asset Rp 8.825.000.000.

Karya Spies yang lain adalah lukisan yang dibuat pada tahun  1930 yang berjudul: Pertunjukan Tari di Wilayah Borobudur pada Abad ke-9 (Hofleven op Java Voor Duizen Jaar). Koleksi yang saat ini tersimpan di Gedung Perkantoran Istana kepresidenan Jakarta (R. Kepala Biro Pengelolaan Istana). Berdasarkan penilaian asset yang dilakukan pada tahun 2011  lukisan ini bernilai Rp 5.234.000.000.

Foto 5: Dua Orang Gadis Menyunggi Djun, Rudolf Bonnet (1954) Crayon on paper, 55,5 X 35 cm

Foto 5: Dua Orang Gadis Menyunggi Djun, Rudolf Bonnet (1954) Crayon on paper, 55,5 X 35 cm

Bung Karno mulai menyukai lukisan Bonnet sejak pameran lukisan yang dilakukan Bonnet di Jakarta pada tahun 1951. Pada saat itu Soekarno memesan lukisan Bonnet untuk Istana Negara. Karena seringnya Soekarno datang ke studio Bonnet, hubungan keduanya semakin akrab. Sekitar 14 buah lukisan Bonnet akhirnya menambah koleksi Soekarno. Dari 14 buah lukisan tersebut beberapa diantaranya adalah lukisan yang berjudul “Penari Bali Sedang Berhias”. Lukisan ini terpasang di Istana Kepresidenan Bogor. Berdasarkan penilaian asset yang dilaksanakan pada tahun 2011 lukisan ini bernilai Rp 3.445.000.000,  selanjutnya lukisan “Dua Orang Gadis Menyunggi Djun” yang saat ini juga terpasang di Istana Kepresidenan Bogor memiliki nilai asset Rp 1.553.000.000,- dan “Seorang Pengarit” yang saat ini terpasang di Istana Kepresidenan Yogyakarta bernilai Rp 4.611.000.000.

Satu lagi karya Bonnet yang dibuatnya pada tahun 1952 yang terpasang di Gedung Utama Istana Kepresidenan Cipanas adalah “Keluarga Italia” (Famiglia d Anticoli). Lukisan itu

Foto 6: Keluarga Italia (Famiglia d Anticoli) ,  Rudolf Bonnet (1952),  Crayon on paper 148 x 180 cm

Foto 6: Keluarga Italia (Famiglia d Anticoli) , Rudolf Bonnet (1952),
Crayon on paper 148 x 180 cm

menggambarkan kehidupan sebuah keluarga Italia yang tengah sibuk dengan aktivitas masing-masing di sebuah gubuk sederhana. Seluruh anggota keluarga menggunakan busana khas warga Eropa, bergaun dan berlengan panjang. Dua laki-laki di lukisan tersebut terlihat memakai topi dengan bentuk agak kerucut berukuran panjang. Selain menggambarkan kehidupan sebuah keluarga, lukisan tersebut juga memperlihatkan bahwa manusia dan hewan mampu hidup berdampingan. Seekor anjing dan dua ekor burung berada diantara kehidupan keluarga tersebut.

Lukisan Famiglia d Anticoli cukup mengingatkan kembali akan sejarah kehidupan sang pelukis. Ketertarikan Bonnet untuk hidup sebagai seniman membawanya ke Italia pada tahun 1920, dimana dia mendapat banyak pengaruh dari lukisan-lukisan renaisans, yaitu zaman kelahiran kembali kebudayaan Yunani-Romawi di Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 M. Bonnet menetap di desan Anticoli Corrado dio sebelah selatan Kota Roma. Lukisan “Keluarga Italia” (Famiglia d Anticoli) ini bernilai Rp 4.300.000.000.

 

 


Selamat Idul Fitri 1436H, Mohon Maaf Lahir Bathin

$
0
0

Pak ArifOleh: M. Arief Khumaidi*)

Sebentar lagi lebaran tiba. Mudik, tradisi tahunan kembali kita laksanakan. Berbondong-bondong orang dari kota-kota besar, balik kembali kembali ke kampung halaman masing-masing. Kembali ke tempat asal dilahirkan, kembali ke asal mulanya, silaturahmi dengan orang tua, saudara dan bertemu dengan handai taulan. Tradisi ini sangat kental di tanah air yang jarang kita temui di negara-negara lain, termasuk di negara-negara Timur Tengah.

Perayaan Idhul Fitri tidak hanya sebuah ritual yang bernuansa keagamaan semata, namun juga menyangkut peristiwa sosial dan ekonomi. Berbondong-bondong orang-orang rela berdesak-desakan menuju kampung halaman mengejar momen berlebaran bersama. Apabila kita amati, dari tahun ke tahun pada waktu hari raya Idul Fitri, jalan raya dari Jakarta ke arah luar kota, ke arah daerah-daerah di pulau Jawa maupun arah Sumatera mengalami kemacetan. Begitu pula di Stasiun kereta api, terminal bus penuh sesak calon penumpang untuk mudik lebaran. Di pelabuhan-pelabuhan penuh penumpang, di bandara Soekarno-Hatta dengan tujuan berbagai daerah di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, penuh mengantri “take off”, bahkan tidak jarang penumpang kehabisan tiket untuk pulang menggunakan moda transportasi tersebut. Hal ini karena mudik merupakan fenomena sosial, yaitu bergeraknya manusia dari dearah satu ke daerah yang lain dalam rangka Idul Fitri.

Perayaan Idul Fitri juga merupakan peristiwa ekonomi, dimana terjadi pergerakan/aliran uang ke daerah yang luar biasa besarnya. Bank Indonesia telah mengantisipasi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadhan dan Idul Fitri Tahun 1436 H/2015 dengan mempersiapkan pelayanan sistem pembayaran tunai dan non tunai agar dapat melayani kebutuhan masyarakat. Pada setiap bulan Ramadhan dan Idul Fitri, kebutuhan uang di masyarakat baik tunai atau non tunai mengalami peningkatan secara signifikan, akibat meningkat kegiatan transaksi di masyarakat. Proyeksi Bank Indonesia bahwa kebutuhan uang (outflow) periode Ramadhan dan Idul Fitri 1436H/2015 sebesar Rp 119,1 – Rp 125,2 triliun, sedangkan realisasi outflow pada tahun sebelumnya sebesar Rp 124,8 triliun. Hal ini menunjukkan terjadilnya aliran uang dari pusat ke daerah. Uang akan beredar di daerah dan menggerakkan ekonomi di daerah, menggerakkan sektor riil, seperti usaha kue untuk oleh-oleh khas daerah dan kuliner makanan khas daerah. Tidak jarang dengan pulangnya warga ke kampung halamannya dijadikan momen untuk menggalang dana bagi pembangunan sekolah dan masjid yang pelaksanaan pembangunannya setelah  usai lebaran. Hal ini menunjukkan lebaran ikut memberikan lapangan kerja dan pendapatan kepada masyarakat.

####

Bangsa kita pandai dalam mengapresiasi ajaran agama. Masyarakat Indonesia, pandai melaksanakan ajaran-ajaran agama dengan mengemas menjadi tradisi yang baik. Seperti kecerdasan Sunan Kalijaga (salah satu wali songo di Jawa) dalam melaksanakan dakwah Islamiah dengan mengemas menjadi bentuk seni yang adiluhung, indah namun penuh makna. Sunan Kalijaga dengan cerdas menggubah lagu ilir-ilir yang penuh petuah agama dan bingkai budaya lokal Jawa. Hasil seni budaya juga nampak pada lagu Tombo Ati yang popular di pesantren dan di langgar-langgar desa yang merupakan hasil karya cipta Raden Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Bonang yang makamnya diyakini berada di Kabupaten Tuban, Jawa Timur itu. Lagu ini penuh makna agamawi yang merupakan syiir dari Ali Bin Abi Thalib. Isi syiir ini antara lain: hati menjadi tenteram hati apabila membaca al Quran dengan pelan dan mendalami maknanya, pentingnya bergaul dan mendekat dengan orang shaleh agar ikut terpengaruh kesalehannya.

Perayaan Idul Fitri muncul dalam wujud budaya yaitu tradisi mudik, shalat berjamaah Idul Fitri, sungkeman, silaturahmi atau berkunjung beranjangsana ke sanak keluarga, tetangga, dan pengumpulan zakat. Berbondong-bondong umat Islam kembali mudik untuk sungkem kepada orang tua dan silaturahmi merupakan wujud implementasi ajaran keagamaan untuk berbakti kepada orang tua (birru walidain) dan silaturahmi dengan sanak saudara. Seperti yang tersebut dalam QS al Israa’ : 23-24. “Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.” Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil”.

Dalam hadist disebutkan  “Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5983). “Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya (di dunia ini), – berikut dosa yang disimpan untuknya (di akhirat), – daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)” (HR. Abu Daud no. 4902, HR.Tirmidzi no. 2511, dan HR Ibnu Majah no. 4211).

Perayaan Idul Fitri dilaksanakan setelah sebulan penuh kita berjihad melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, sebagai wahana menggembleng diri selama sebulan penuh untuk secara maksimal menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Ibadah puasa sebagai ruang untuk latihan pengendalian diri dalam rangka mencapai derajat ketaqwaan di hadapan Allah.  Berpuasa menjadi tidak berarti apabila hanya tidak makan dan tidak minum, namun yang lebih penting adalah menahan diri dari godaan hawa nafsu yang menunjukkan diri di sekeliling kita. Godaan tersebut berupa rasa lapar dan dahaga, serta perilaku-perilaku bertabiat buruk dan tidak menyenangkan kepada orang lain, seperti iri, dengki, syirik, dan sebagainya. Kekuatan kita mengendalikan hawa nafsu tersebut menjadi bekal untuk meniti hidup di bulan-bulan berikutnya, untuk hidup  lebih baik selanjutnya di bandingkan tahun-tahun sebelum puasa. Indikator keberhasilan puasa adalah perilaku kita menjadi semakin baik, semakin bertaqwa, semakin berakhlakul karimah. Sehingga puasa yang berdampak positif adalah tidak hanya menghasilkan lapar dan dahaga saja, tetapi kulitas pribadi yang semakin taqwa.

Memang, semua Muslim di dunia menampilkan suasana ruhaniah yang sama ketika menjalankan ibadah puasa, yaitu dengan menjalankan syariat-syariat yang sama. Umat Islam menjalankan ibadah puasa ini sebagai bagian dari pembentuk jiwa keagamaan seorang Muslim, dan sebagai sarana pendidikan yang mana pengalaman di waktu kecil tersebut membekas dan berlangsung selama hidup seseorang.  Di tanah air Indonesia, pelaksanaan ibadah puasa juga dikemas dengan pemaknaan yang lebih mendalam. Perintah puasa yang terdapat dalam Quran surat al-Baqarah: 183, dilaksanakan dengan berbagai kegiatan, seperti berbuka puasa bersama dengan handai taulan, keluarga besar, atau rekan dan mitra kerja, antara lain berbuka puasa makan jenis makanan khas, seperti kolak.  Shalat tarawih yang merupakan shalat malam (lail) dilakukan secara berjamaah di masjid-masjid dan surau-surau menciptakan kesan bulan Ramadhan bulan religius, dan makan sahur bersama keluarga berperan membentuk kenangan yang mendalam pada masa kanak-kanak pada seorang Muslim.

Bangsa Indonesia memiliki kekhasan dalam menyambut ibadah puasa Ramadhan ini. Di Jawa sebelum puasa terdapat tradisi saling memberikan hadiah berupa makanan-makanan ke saudara dan tetangga dekat. Di daerah Tuban Jawa Timur, tradisi ini dikenal dengan mapak poso (menyambut/menjemput puasa). Tradisi ini merupakan implementasi ajaran untuk saling memberi hadiah. Dimana hadiah dalam kehidupan sosial memiliki fungsi terwujudnya ikatan dan antar individu dalam komunitas manusia.  Dalam hadist dinyatakan “Hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al Bukhari dalam al-Adab al-Mufrid).

####

Setelah puasa ramadhan sebulan penuh menjalankan laku pengendalian diri usai, maka tibalah Hari Raya Idhul Fitri, yang bermana kembali ke asal, ke fitrah, kembali kesucian. Umat Islam berduyung-duyung saling berkunjung dari rumah ke rumah, berjabatan tangan mohon maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan. Ramainya di jalan-jalan kampung, sehingga tidak jarang bertemu rekan atau teman yang lama tidak ketemu. Terjadilah ucapan-ucapan saling memaafkan, saling mempersilahkan mampir ke rumah. Tradisi lebaran juga dilakukan dengan saling kirim ucapan melalui kartu lebaran, sms untuk memohon maaf atas kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi, disengaja atau tidak disengaja, disadari atau tidak disadari. Dimaksudnya mohon maaf setulusnya, sehingga dalam setiap orang dalam kondisi termaafkan, kondisi “zero-zero.

Dalam Idhul Fitri ini kata maaf sering kita dengarkan. Ternyata memberi maaf memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan meminta maaf. Kesediaan memaafkan orang yang bersalah merupakan kesadaran puncak untuk melepaskan belenggu dan sebagai ciri orang yang bertaqwa. Orang yang bersalah minta maaf adalah hal yang lumrah dan manusiawi, tetapi memberi maaf kepada orang yang bersalah adalah sikap yang mulia. Memberi maaf adalah menghapus kesalahan dalam file ingatan pada seseorang yang pernah berbuat salah kepada kita. Terhapuslah dosa tersebut dalam hati, bahkan sebelum mereka meminta maaf. Memaafkan orang lain adalah menghapus luka yang  ada di dalam hati. Melupakan bekas luka yang pernah tertoreh di hati seakan-akan tidak pernah ada. Sikap ini adalah jalan lurus yang memudahkan seseorang mendapatkan surga. (Ali Imron 133-134).

####

Tiada yang salah dalam tradisi yang baik-baik tersebut diatas. Dan tiada salah apabila tradisi tersebut di teruskan. Selamat berlebaran bapak ibu, kakak, adik semua, selamat hari raya Idul Fitri 1436 Hijriah. Mohon Maaf lahir bathin. “Ja alanallahu wa iyyakum minal aidzin wal faidzin, semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung”. Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum, “semoga Allah menerima amalan kita, saya dan Anda, amalan puasa saya dan amalan puasa Anda“. Selamat bergembira bertemu dengan keluarga, salam pada keluarga di rumah.

____

*) Alumnus fakultas filsafat UGM, saat ini bekerja di Sekretariat Kabinet RI

Kualitas Belanja Dan Ekonomi Lebaran

$
0
0

Mudik SeninOleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*)

Sebentar lagi masyarakat muslim di Indonesia akan segera memasuki periode lebaran. Dari sisi perekonomian, ramadhan dan lebaran selalu ditandai dengan lonjakan transaksi yang sangat signifikan. Inflasi bulanannya pun akan lebih tinggi dibandingkan inflasi bulan-bulan lainnya. Selain itu, pemberitaan negatif ramadhan dan lebaran lebih didominasi oleh cerita kemacetan mudik dan kriminalitas.

Padahal, ramadhan dan lebaran oleh banyak pakar justru dianggap menjadi salah satu mekanisme pemerataan pendapatan yang paling sempurna dari semua aspek, baik kepentingan duniawi dan surgawi, hubungan antara pemerintah dan masyarakat, hubungan antara pusat dan daerah, serta hubungan antardaerah dan masyarakat. Bahkan kalau bisa, ramadhan dan lebaran diharapkan bisa terjadi setiap bulan mengingat besarnya dampak ekonomi yang ditimbulkan.

Untuk mengantisipasi lebaran tahun 2014 lalu misalnya, Bank Indonesia jauh-jauh hari telah mempersiapkan persediaan uang tunai hingga Rp157 triliun. Nilai tersebut meningkat dari transaksi Rp84 triliun di tahun 2013 dengan konsekuensi inflasi yang juga berpotensi meningkat tajam. Pertumbuhan ekonomi bulanan diperkirakan naik hingga 7%, dengan pergerakan ekonomi secara masif di semua sektor. Ekonomi informal yang selama ini selalu menjadi persoalan pun merasakan dampak positif dari terciptanya ekonomi lebaran. Yang menjadi tugas utama bagi pemerintah selanjutnya adalah bagaimana potensi ekonomi lebaran tersebut dapat diwujudkan secara optimal.

Untuk mewujudkan potensi ekonomi lebaran, hal yang wajib dilakukan pertama adalah mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan. Ini menjadi peran utama yang wajib dijalankan oleh pemerintah. Pemerintah harus campur tangan menyiapkan segala infrastruktur yang dibutuhkan dalam upaya menciptakan ekonomi lebaran yang lebih hebat dan bermanfaat. Beberapa contoh konkret dukungan pemerintah yang dapat dilakukan adalah perbaikan infrastruktur, peningkatan kualitas pelayanan serta pemerataan pembangunan di daerah.

Dari sisi pemerintah sendiri, kemampuan untuk menciptakan dukungan tersebut sebetulnya sudah ada. Setiap tahunnya, lewat pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah memiliki alokasi anggaran belanja modal yang memang diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur, serta anggaran Transfer ke Daerah yang bertujuan mempercepat pemerataan pembangunan ekonomi di daerah. Besarannya pun sudah relatif meningkat setiap tahunnya. Dalam APBN-P 2015 misalnya, besaran belanja infrastruktur mencapai Rp290 triliun, terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia. Apabila dibandingkan dengan tahun 2009, besaran alokasi belanja infrastruktur baru mencapai Rp76,3 triliun, tahun 2010 menjadi sebesar Rp86 triliun, tahun 2011 sebesar Rp114,2 triliun, tahun 2012 sebesar Rp145,5 triliun dan tahun 2013 sebesar Rp184,3 triliun. Jika dibandingkan dengan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan, tahun 2009 alokasinya mencapai 1,4%, tahun 2010 turun menjadi 1,3%, tahun 2011 naik kembali menjadi 1,5%, tahun 2012 meningkat signifikan menjadi 2,6%, dan tahun 2013 menjadi 2%.

Transfer ke Daerah pun sudah mencapai Rp643,8 triliun. Sebagai bentuk amanat Undang-Undang (UU) Desa, sejak tahun 2014 pemerintah juga telah merealisasikan anggaran Dana Desa (DD) yang mencapai besaran Rp20,7 triliun di tahun 2015 ini. Persoalannya, dilihat dari pola realisasi belanja setiap tahunnya, alokasi belanja modal justru selalu terkendala jika dibandingkan realisasi belanja-belanja yang bersifat konsumtif. Kendala teknis selalu terkait dengan alokasi belanja modal yang dirasakan tidak sesuai dengan kebutuhan, sementara kendala administratif lebih terkait dengan persoalan prioritas yang beragam. Akibatnya kebutuhan akan penyiapan infarstruktur yang menjadi prasyarat utama optimalisasi ekonomi lebaran menjadi tidak tercapai. Dampaknya, ekonomi lebaran akan selalu didominasi persoalan kemacetan dan inflasi tinggi semata.

Efisiensi pelaksanaan program di lapangan juga menjadi tantangan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari besaran nilai ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia yang secara rata-rata masih berada di atas 5%. Artinya untuk meningkatkan PDB Indonesia 1%, dibutuhkan kenaikan investasi hingga 5%. Pendekatan ICOR ini sering digunakan sebagai salah satu indikator efisiensi ekonomi di suatu negara. ICOR suatu negara yang efisien, menurut standar internasional berkisar antara 3%-4%. Nilai ICOR yang semakin kecil menunjukkan bahwa ekonomi negara tersebut diasumsikan semakin efisien, begitu pula sebaliknya.

Berdasarkan data Komite Ekonomi Nasional (KEN) dan Badan Pusat Statistik (BPS), ICOR Indonesia dari tahun 2004-2008 sebetulnya sudah berada di bawah kisaran 4%. Tahun 2004 nilai ICOR Indonesia berada di sekitar 4,4%, tahun 2005 sekitar 4,5%, tahun 2006 sekitar 4%, tahun 2007 sekitar 3,7% dan tahun 2008 sekitar 4,2%. Namun setelah tahun 2009, ICOR Indonesia justru memperlihatkan tren semakin membesar. Hal ini seharusnya menjadi tugas utama dari pemerintahan untuk mengembalikan level efisiensi anggaran ke angka yang seharusnya.

Kendala

Berdasarkan ilustrasi di atas, menurut hemat penulis, persoalan terbesar tampaknya justru bukan pada masalah kuantitas dari alokasi anggaran pemerintah. Hal tersebut apabila dikaitkan dengan isu keterbatasan APBN, alokasi yang telah diberikan pemerintah saat ini relatif bernilai signifikan. Persoalan terbesar, justru terletak pada sisi kualitas dari belanja pemerintah itu sendiri di samping permasalahan birokrasi yang masih menghambat.

Fenomena ini sebetulnya sudah menjadi perhatian pemerintahan sekarang maupun sebelumnya. Sejak awal tahun ketika menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Pemerintah, Presiden selalu mengingatkan semua instansi baik di level pusat maupun daerah untuk mempercepat realisasi belanjanya. Penyerahan DIPA pun sudah dipercepat dari periode sebelumnya dengan harapan masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L) dapat mempercepat proses tender pelaksanaan program dan kegiatan.

Dalam arahannya, Presiden juga selalu mengingatkan pentingnya aspek transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran, sekaligus perbaikan mekanisme perencanaan sehingga output yang nantinya dihasilkan juga sesuai dengan kriteria pelayanan publik yang diharapkan. Perbaikan mekanisme perencanaan anggaran ini sejatinya dapat mereduksi pola belanja pemerintah yang selalu menumpuk di akhir tahun anggaran.

Himbauan Presiden tersebut sepertinya mulai membuahkan hasil. Menurut data Kementerian Keuangan hingga 30 April 2015, realisasi belanja negara sudah mencapai Rp498,7 triliun atau 25,1% dari pagu APBN-P 2015 sebesar Rp1.984,1 triliun. Pencapaian tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp432,7 triliun atau 23,5% dari pagu APBN-P 2014 sebesar Rp1.842,5 triliun. Sayangnya, besaran realisasi belanja modal baru mencapai Rp8,6 triliun atau sekitar 3,1% besaran pagu APBN-P 2015, sedikit menurun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp12,9 triliun atau 7,0% dari pagu Rp184,2 triliun.

Dibandingkan realisasi jenis belanja lainnya, realisasi ini boleh dikategorikan yang paling kecil. Realisasi belanja pegawai mencapai Rp83,5 triliun atau 28,5% dari target, belanja barang mencapai Rp25,5 triliun atau 10,7% dari target, pembayaran kewajiban utang mencapai Rp52,7 triliun atau 33,8% dari target, subsidi mencapai Rp69,1 triliun atau 32,6% dari besaran target serta belanja bantuan sosial mencapai Rp27,3 triliun atau 25,3% dari target APBN-P 2015.

Rendahnya realisasi belanja modal pemerintah ini, jika dianalisis lebih mendalam selalu berulang setiap tahunnya. Gejala menumpuk belanja di akhir tahun anggaran, sepertinya menjadi pola yang sudah mengakar dan sulit untuk diubah. Ke depannya, hal-hal ini yang wajib menjadi agenda reformasi utama dari pemerintah jika memang komitmen meningkatkan kontribusi investasi dalam pertumbuhan ekonomi masih menjadi prioritas. Belanja modal yang prima secara otomatis juga akan menghasilkan dukungan yang dahsyat bagi pembentukan ekonomi lebaran yang konstruktif untuk mendukung pemerataan pembangunan di seluruh daerah di Indonesia.

Dari sisi belanja transfer ke daerah, persoalan kuantitas juga bukan lagi permasalahan utama. Pada tahun 2006, pemerintah telah mengalokasikan transfer ke daerah sebesar Rp226,2 triliun, dan meningkat menjadi Rp344,7 triliun di tahun 2010. Dalam tahun 2013, pemerintah sepakat menaikkan alokasi menjadi Rp529,4 triliun, sementara di tahun 2014 alokasi menjadi Rp592,6 triliun. Ditambah alokasi DD, anggaran tersebut tentu diharapkan memberi dampak positif dalam upaya mempercepat pelaksanaan pembangunan ekonomi di daerah. Namun fakta dominasi realisasi transfer ke daerah hampir 60% habis hanya untuk belanja pegawai, tentu menjadi bukti pentingnya isu peningkatan kualitas transfer ke daerah dalam mendukung penciptaan ekonomi lebaran yang mantap dan bermanfaat. Daerah yang semakin sejahtera akan memberikan dukungan ekstra bagi pelaksanaan ekonomi lebaran yang mantap dan bermanfaat.

Akhir kata, di tengah isu keterbatasan anggaran, percepatan dan peningkatan kualitas belanja modal serta transfer ke daerah dirasa menjadi kunci utama penciptaan ekonomi lebaran yang handal dan bermanfaat. Tanpa itu semua, niscaya ekonomi lebaran yang terjadi setiap tahunnya hanya akan menyisakan cerita kemacetan dan dampak negatif lainnya, tanpa memberikan efek positif bagi percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah.

*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

 

Gagasan Pembentukan Badan yang Menangani Nilai-nilai Pancasila

$
0
0

Gd PancasilaOleh: Polhukam 2 Setkab

Akhir-akhir ini terjadi tindakan-tindakan ke arah radikalisme sebagai bentuk kebingungan nilai dan kerancuan struktur yang pada akhirnya dapat mengganggu kesatuan bangsa. Kondisi tersebut akibat dari tidak adanya nilai-nilai bangsa yang menjadi acuan bersikap dan bertindak. Beberapa tokoh menghawatirkan kondisi yang berkembang saat ini dan memberi respon positif atas upaya mengembalikan nilai-nilai Pancasila tersebut.

Pancasila yang merupakan nilai dan norma yang telah disepakati bangsa Indonesia mulai dikesampingkan sejak orde reformasi. Untuk itu, perlu langkah-langkah untuk mengembalikan nilai-nilai Pancasila untuk mengatasi kondisi saat ini. Salah satu cara yang digagas adalah membentuk badan yang menangani revitalisasi nilai-nilai Pancasila.

Idealnya, badan tersebut merupakan produk kebijakan MPR atau diatur dengan undang-undang. Dalam TAP MPR atau undang-undang tersebut diatur badan yang melaksanakan revitalisasi, tugas, susunan organisasi, keanggotaan, serta kebijakan, strategi dan metodologi.

Ketetapan MPR Nomor XVIII Tahun 1998 tentang Pencabutan TAP MPR Nomor II Tahun 1978 dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara menyatakan Pancasila adalah dasar negara dari NKRI harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Namun dalam TAP MPR tersebut tidak dinyatakan institusi yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya dan bagaimana melaksanakannya.

Tetapi, apabila kebijakan MPR atau undang-undang tersebut sulit dibuat maka alternatif yang dapat ditempuh adalah membuat konsensus di antara lembaga-lembaga tinggi negara yang menyepakati pembentukan badan tersebut. Sebelum terbentuknya badan, terlebih dahulu dibentuk tim yang beranggotakan tokoh agama dan tokoh nasional yang bertugas mengkaji perlu tidaknya suatu badan, dan apabila hasilnya positif, maka disusun desain postur badan tersebut. Tim ini dapat dibentuk dengan keputusan presiden.

Badan tersebut merupakan lembaga Pemerintah yang dapat dibentuk dengan peraturan presiden itu nantinya bertugas menggodok tugas dan fungsi, organisasi, keanggotaan, kebijakan, strategi, dan metodologi aktualisasi nilai-nilai Pancasila.Tugas utama badan tersebut lebih kepada memberikan rekomendasi kebijakan dan rekomendasi pelaksanaan. Pelaksanaan rekomendasi yang dihasilkan dilaksanakan olehinstansi pemerintah di pusat dan di daerah serta lembaga/komponen dalam masyarakat.

Tugas lain danstrategi yang dapat dilaksanakan badan tersebutmisalnya:

-     Mengupayakan masuknya istilah Pancasila dalamBatangTubuh UUD Tahun 1945;

-     Mengeluarkan manual book sebagai pegangan dalam pelaksanaan berbangsa dan bernegara yang didistribusikan kepada stakeholders;

-     Memberikan penghargaan (reward) bagi anggota masyarakat yang melakukan aktivitas luar biasa yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila;

-     Mendorong instansi pemerintah untuk membuat program-program yang ditujukan untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Wujud program tersebut dapat berbentuk rencana aksi;

-     Mendorong instansi pemerintah untuk melaksanakan program dengan target khusus, misalnya komunitas penyelenggara negara, akademisi, dan grass root, seperti komunitas pemuda, dunia kerja, dan professional;

-     Menggunakan crash program dengan melibatkan perguruan tinggi, Lemhanas, serta instansi dan badan-badan pemerintah; dan

-     Menggunakan metodologi penerapan konseptual/kebijakan, sosialisasi, implementasi, dan birokrasi.

  • Metode konseptual/kebijakan dilaksanakan dengan cara memastikan kesesuain setiap produk perundang-undangan dengan nilai-nilai Pancasila.
  • Metode sosialisasi dilaksanakan melalui implementasi kandungan nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum pendidikan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai instansi pelaksana.
  • Metode implementasi dengan menolak muatan undang-undang yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Metode pendekatan birokrasi dilakukan misalnya dengan member tambahan fungsi pada Mahkamah Konstitusi untuk menyaring undang-undang sebelum berlaku di samping fungsinya menguji undang-undang yang sudah berlaku.

Catatan Inflasi Ramadhan

$
0
0

rupiahOleh: Hendi Kristiantoro, pegawai Ditjen Perbendaharaan Negara Kemenkeu RI

Ramadhan telah usai. Euforia Lebaran dengan agenda mudik nasional juga telah berakhir. Kaum urban perlahan-lahan kembali menjejali perkotaan. Laju kehidupan kembali berputar “normal”. Namun, sebuah catatan kiranya penting diberikan tentang paradoks perekonomian yang terus berulang di tengah oase religiusitas bernama Ramadhan, yakni inflasi.

Semestinya, Ramadhan adalah bulan pengendalian diri. Tentu termasuk di dalamnya pengendalian konsumsi. Namun, fakta berkebalikan. Pertemuan momentum religi dengan tradisi budaya menjadikan Ramadhan hajatan nasional. Gairah “perayaan” menumbuhkan potensi pasar. Permintaan barang dan jasa meningkat. Uang beredar lebih banyak dan cepat. Imbasnya, nilai riil uang merosot. Harga mayoritas barang dan jasa melonjak. Inflasi tak terhindari.

Statistik empat tahun terakhir mengkonfirmasi kebenaran pola tersebut. Pada 2011 dan 2012, inflasi menjelang Ramadhan tercatat 0,67% dan 0,62%. Ketika Ramadhan (Agustus 2011 dan Juli 2012) inflasi melonjak menjadi 0,93% dan 0,70%. Tahun 2013 merupakan pengecualian dimana lonjakan inflasi sangat fantastis dari 1,03% menjadi 3,29% dikarenakan momentum Ramadhan bertemu dengan kenaikan harga BBM yang diputuskan pemerintah sebulan sebelumnya. Pada 2014, inflasi Ramadhan (Juli 2014) sebesar 0,93%, jauh lebih tinggi dari inflasi sebulan sebelumnya yang tercatat 0,43%.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kecenderungan pola ini kembali berulang. Realisasi inflasi Mei 2015, secara bulanan tecatat 0,50%. Sedangkan secara tahunan mencapai 7,15%. Pada Juni 2015, atau hampir dua minggu Ramadhan berjalan, inflasi bulanan tercatat sebesar 0,54%, sedangkan secara tahunan sebesar 7,26%. Peningkatan tipis ini juga terjadi sepanjang Juli 2015.

Fakta ini memperlihatkan dua hal. Pertama, inflasi musiman sepanjang Ramadhan disusul Lebaran hampir tak mungkin dihindari. Bahkan cenderung menjadi keniscayaan. Kedua, pemerintah pada Ramadhan dan Lebaran tahun ini ternyata mampu menekan inflasi ke titik yang sangat rendah. Dengan kata lain, pemerintah mampu mengendalikan sehingga tidak memberatkan masyarakat.

Catatan ini merupakan prestasi, mengingat kompleksitas persoalan perekonomian yang harus dihadapi pemerintah sudah terlalu rumit. Kelesuan ekonomi global dan tekanan- tekanan eksternal terbukti membuat perekonomian rentan. Berlarutnya masalah utang Yunani menyebabkan ketidakpastian ekonomi kawasan Euro. Disusul ancaman krisis ekonomi Tiongkok, membuat potensi untuk memacu pertumbuhan ekonomi menjadi tersendat. Gejolak kecil, termasuk di dalamnya sebagai akibat inflasi Ramadhan niscaya harus dihindari. Dan sekali lagi, pemerintah terbukti berhasil mewujudkannya.

Dalam ilmu ekonomi, secara garis besar dikenal dua jenis inflasi. Yang pertama adalah cost push inflation, yakni inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya. Cost push inflation terjadi terutama sebagai imbas kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, kebijakan pengurangan subsidi energi dengan menaikkan harga BBM. Kenaikan harga BBM menyebabkan biaya produksi naik. Efek karambol terjadi dimana harga barang dan jasa turut naik secara merata.

Kedua adalah demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh peningkatan permintaan dalam waktu tertentu tanpa disertai peningkatan penawaran yang memadai. Inflasi jenis ini murni akibat terganggunya keseimbangan pasar. Di saat permintaan meningkat, penawaran justru stagnan atau bahkan berkurang. Harga-harga kemudian melonjak.

Inflasi Ramadhan tergolong inflasi jenis kedua. Permintaan barang dan jasa meningkat sejak menjelang Ramadhan sampai setidaknya sepuluh hari setelah Lebaran. BPS mencatat peningkatan permintaan secara rata-rata terutama didominasi oleh barang kebutuhan pokok seperti beras, aneka daging, dan aneka bumbu. Peningkatan permintaan didorong oleh kecenderungan budaya konsumtif sesaat sebagai bagian dari semangat perayaan. Hal ini sesuai dengan teori Kotler (1995), bahwa perilaku pembelian konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial, pribadi, dan psikologis. Semangat perayaan Ramadhan merangkum empat faktor yang disebutkan Kotler.

Di luar itu, mekanisme ekonomi yang terbangun dalam sistem bernegara dan bermasyarakat juga memungkinkan terjadinya inflasi Ramadhan. Kewajiban konstitutif pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada tenaga kerja dan masifnya kiriman uang dari tenaga kerja di luar negeri menyebabkan jumlah uang yang beredar di masyarakat meningkat. Semakin banyak uang beredar akibatnya semakin turun nilai riil uang. Harga yang oleh mekanisme pasar telah naik menjadi makin terasa memberatkan karena nilai riil uang turun. Catatan BI untuk Ramadhan dan Lebaran tahun lalu perputaran uang beredar mencapai lebih Rp. 118 triliun atau meningkat sekitar 14% dibanding tahun 2013. Untuk tahun ini, peningkatan uang beredar makin bertambah mengingat pemerintah memprogramkan pencairan gaji ke-13 PNS/TNI/Polri dan pensiunan dilaksanakan di awal Ramadhan.

Mengingat karakteristik demand pull inflation, kenaikan harga tidak terjadi jika peningkatan permintaan disertai dengan peningkatan penawaran atau jumlah barang beredar. Di sinilah peran pemerintah tahun ini lebih terlihat. Pemerintah lebih sistematis menjaga struktur distribusi. Bila terjadi kemacetan, atau mata rantai distribusi yang kelewat panjang, pemerintah bisa mengaktifkan semua instrumen untuk bertindak. Pemerintah sedari awal juga menekankan perlunya peningkatan kualitas infrastruktur, baik pembangunan baru maupun perbaikan dan pemeliharaan. Hal ini menjamin proses pengangkutan tanpa gangguan.

Desentralisasi pemerintahan memungkinkan masing-masing kepala daerah lebih aktif menjaga perekonomian masing-masing daerah dari ancaman inflasi. Fungsi ini dijalankan oleh Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang kemudian bersinergi antardaerah untuk mengefektifkan sistem deteksi harga dan memperlancar jalur pasokan. Desentralisasi penanganan inflasi adalah langkah tepat mengingat karakter inflasi di masing-masing daerah tak seragam.

Hal inilah yang menjadi kunci inflasi Ramadhan tahun ini dapat lebih dikendalikan. Inflasi Ramadhan sebagai inflasi musiman memang hampir tak mungkin dihilangkan. Namun, dengan berhasil dikendalikan maka beban masyarakat terutama yang secara teoritis menjadi penanggung terberat inflasi, yaitu golongan berpendapatan tetap dan kaum penganggur yang tidak memiliki pendapatan, setidaknya dapat diringankan.

*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja 

 

Inflasi Juli 2015, Bukti Pengendalian Harga Cukup Bagus Untuk Seluruh Kota

$
0
0

Sembako-antaranews3-750x410Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin menyampaikan, bahwa pada Juli 2015 terjadi inflasi sebesar 0,93 persen. Dengan demikian, maka inflasi tahun kalender (Januari-Juli 2015) mencapai 1,9 persen, sementara inflasi tahun ke tahun (Year on Year) sebesar 7,26 persen. Sebagai informasi, nilai inflasi sebesar 0,93 persen tersebut sama seperti nilai inflasi pada Juli 2014.

Dari 82 Kota IHK, BPS mencatat hampir semua kota mengalami inflasi, hanya 2 kota saja yang mengalami deflasi, dengan deflasi tertinggi terjadi di Merauke sebesar -0,63 persen. Inflasi tertinggi terjadi di Pangkal Pinang sebesar 3,18 persen, sedangkan terendah terjadi di Pematang Siantar sebesar 0,06 persen.

Dari 82 kota IHK tersebut, seluruh kota yang terdapat di Pulau Jawa nilai inflasinya dibawah 1 persen. “Ini berarti pengendalian harga di Jawa cukup bagus untuk seluruh Kota, jelas Suryamin.

Namun demikian, baru 50 persen kota di luar Jawa mempunyai inflasi di bawah 1 persen, sisanya masih berkisar antara 1-2 persen. Ini mengindikasikan pengendalian harga untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa masih perlu ditingkatkan.

Inflasi pada bulan Juli terutama disebabkan oleh kenaikan harga pada kelompok Bahan Makanan (2,02 persen) dan kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan (1,74 persen), dengan andil terhadap pembentukan inflasi masing-masing sebesar 0,4 persen dan 0,35 persen. Sementara kelompok lainnya mengalami inflasi dibawah 1 persen.

“Transportasi cukup besar memberikan andil karena pada bulan Juli tahun ini ada ada 2 momen yang bisa mempengaruhi transportasi yaitu arus mudik dan arus balik” Ujar Suryamin.

Sedangkan jika dilihat secara umum, inflasi pada bahan makanan dapat dikatakan cukup terkendali. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari harga beras yang kenaikannya tidak terlalu tinggi, padahal dalam bulan Juli sudah tidak terjadi panen raya.

Sementara dilihat dari kelompok komponen, inflasi paling tinggi berasal dari komponen harga yang bergejolak (volatile food) sebesar 2,13 persen. Kelompok komponen kedua tertinggi adalah harga yang diatur pemerintah (administered price) sebesar 1,67 persen karena di dalamnya terdapat kelompok transportasi. Sedangkan untuk komponen inti dan komponen energi nilainya dibawah 1 persen, dengan nilai masing-masing sebesar 0,34 persen dan 0,09 persen.

“karena memang tidak ada kenaikan harga BBM sehingga inflasinya (komponen energi) sangat terkendali sebesar 0,09 persen”, tambah Suryamin.

Berikut ini adalah komoditas pendukung dan penghambat inflasi Juli 2015:

Pendukung Inflasi:

  1. Tarif angkutan udara, perubahan kenaikan harga 24,24 persen, andil terhadap pembentukan inflasi sebesar 0,2 persen, disebabkan momen arus mudik dan arus balik Idul Fitri yang terjadi dalam bulan yang sama.
  2. Tarif angkutan antar kota, kenaikan harga sebesar 11,8 persen, andil 0,1 persen, disebabkan adanya momen arus mudik dan arus balik Idul Fitri.
  3. Ikan segar, perubahan kenaikan harga sebesar 3,05 persen, andil 0,09 persen, disebabkan pengaruh cuaca yang kurang baik sehingga pasokan rendah.
  4. Daging ayam ras, perubahan kenaikan harga sebesar 6,19 persen, andil 0,08 persen, dikarenakan permintaan yang meningkat di bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
  5. Cabe Merah, perubahan kenaikan harga sebesar 14,36 persen, andil 0,08 persen, dikarenakan meningkatnya permintaan.

 

Penghambat Inflasi (yang mengalami deflasi):

  1. Bawang Merah, perubahan penurunan harga sebesar -14,77 persen, andil -0,08 persen, disebabkan pasokan yang cukup banyak.
  2. Telur Ayam Ras, perubahan penurunan harga sebesar -4,12 persen, andil -0,03 persen, disebabkan pasokan yang cukup banyak.
  3. Tomat sayur, Tomat Buah, Emas Perhiasan, dan Tarif Jalan Tol masing-masing andilnya -0,01 persen. (MH, Deputi Perekonomian Setkab)

 

***

Menilik Kehadiran Negara dalam Sengketa Hak Ulayat Masyarakat Adat

$
0
0

Hutan AdatOleh: Kuncoro, Kasubid pada Kedeputian Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Sekretariat Kabinet

Indonesia, sebagai negara kepulauan, memiliki keanekaraganan seni, budaya, suku bangsa, bahasa dan adat istiadat.  Keanekaraganan itu tak terlepas dari eksistensi masyarakat adat yang tersebar di bumi Nusantara dari Sabang sampai Merauke.

Namun  keberadaan masyarakat adat seringkali terusik oleh sengketa wilayah atau hak ulayat masyarakat adat yang terjadi diantara masyarakat adat dan masyarakat adat, maupun masyarakat adat dan pengelola hutan produksi, seperti perusahaan perkebunan maupun perusahaan pertambangan.

Disinilah peran negara dibutuhkan umtuk menyelesaikan sengketa hak ulayat. Negara sesungguhnya mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat, sebagaimana tertuang dalam dengan Pasal 18A ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945. Disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”.

Sebenar siapa yang disebut dengan masyarakat adat? Menurut pengertian AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) pada Kongres I tahun 1999 dan masih dipakai sampai saat ini adalah: “Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelolah keberlangsungan kehidupan masyarakatnya”.

Pemerintahpun terus berupaya menghadirkan negara dalam menyelesaikan sengketa hak ulayat masyarakat adat yang ada. Setidaknya terdapat tiga  tolok ukur keberadaan hak ulayat masyarakat adat.  Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Pedoman Penyelesaian masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat menyebutkan bahwa
Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila:
a.    Terdapat kelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama atau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;
b.    Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari dan:
c.    Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Setidaknya ketiga tolok ukur tersebut harus dipenuhi untuk mendapatkan pengakuan hak ulayat masyarakat adat. Untuk memberikan solusi atas persengketaan atas hak ulayat masyarakat adat, pemerintah terus berupaya untuk menghadirkan negara dalam penyelesaian hak ulayat masyarakat adat.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN telah melakukan terobosan dengan mengeluarkan sertifikat hak komunal sebagai salah satu upaya pemerintah dalan menyelesaikan permasalahan hak ulayat masyarakat adat.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan bulan Februari 2015 lalu mengungkapkan bahwa ia telah mengeluarkan lebih dari 168 sertifikat hak komunal untuk masyarakat adat di Kalimantan Tengah, agar tidak terjadi lagi perselisihan dengan pihak lain.

Lebih lanjut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN menjelaskan pemberian hak komunal kepada masyarakat adat memecah kebuntuan krusial yang ada selama ini. “Mereka tinggal setiap hari dan hidup selama puluhan tahun di sebuah kawasan, namun tiba-tiba keluar surat keputusan atau peraturan pemerintah yang menyebut kawasan mereka masuk ke dalam hutan lindung atau hutan produksi. Kondisi inilah yang pada akhirnya menjadi masalah krusial.

Pemberian hak komunal kepada masyarakat adat ini merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan hukum oleh negara atas hak ulayat bagi masyarakat adat.

Dengan demikian jika semua pihak melihat sengketa hak ulayat masyarakat adat dari perspektif dan sudut pandang yang sama, pihak-pihak terkait akan mampu menemukan solusi dan jalan terbaik dalam memecahkan kebuntuan dan polemik atas hak ulayat masyarakat adat yang ada di Nusantara. Semoga!

*)diolah dari berbagai sumber

Penguasaan Senjata Apil Oleh Masyarakat Sipil

$
0
0

PurnomoOleh: Purnomo Sucipto, Pemerhati Peraturan Perundang-Undangan

Pada dasarnya setiap orang berhak melindungi diri dan hartanya (self defense) dari ancaman pihak lain. Setiap orang juga memiliki hak untuk hidup sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Karena itu setiap orang berhak menggunakan berbagai cara dan alat untuk melindungi dirinya termasuk dengan cara menguasai (memiliki/menggunakan) senjata api.

Dalam masyarakat sederhana, seperti pada awal pendaratan bangsa Eropa di benua Amerika, setiap orang/keluarga lazim memiliki senjata api untuk bertahan dari serangan musuh dan binatang buas. Sedangkan dalam masyarakat modern yang kompleks, tidak setiap orang dapat menguasai senjata api. Penguasaan senjata api dapat menimbulkan ekses-ekses negatif, yakni bukan sebagai alat mempertahankan diri  melainkan untuk menyerang atau mengancam pihak lain. Dalam masyarakat modern, ada pembagian tugas dan spesialisasi profesi termasuk tugas pengamanan yang diserahkan kepada aparat keamanan (polisi dan tentara). Masyarakat membuat kesepakatan (dalam bentuk peraturan perundang-undangan) untuk memberi kewenangan kepada polisi atau tentara untuk menguasai senjata api dalam rangka melindungi masyarakat.

Penerapan kebijakan penguasaan senjata api oleh masyarakat sipil di berbagai negara bervariasi: Pertama, memberikan kewenangan menguasai senjata kepada polisi/tentara saja dan melarang masyarakat sipil menguasai senjata (Jepang). Kedua, masih memungkinkan anggota masyarakat sipil tertentu menguasai senjata (Indonesia). Ketiga, membebaskan masyarakat sipil untuk menguasai senjata (Finlandia).

Di Indonesia penggunaan senjata api diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api, UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonantie Tijdelijke Byzondere Straftbepalingen (Stbl. 1948 No.17), dan Perppu Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perijinan yang Diberikan menurut Perundang-undangan mengenai Senjata Api. Dari peraturan-peraturan tersebut diatur bahwa penggunaan senjata api oleh masyarakat sipil dibenarkan oleh undang-undang dengan syarat memperoleh izin dari Kepala Kepolisian Negara atau pejabat yang ditunjuknya.

Sikap pro dan kontra penguasaan senjata api oleh masyarakat sipil seringkali muncul ketika terjadi penyalahgunaan penggunaan senjata api yang dipicu oleh adanya anggota masyarakat yang menjadi korban kekerasan kejahatan bersenjata api. Banyak pihak mengusulkan untuk mempersenjatai anggota masyarakat tertentu yang karena jabatan/kekayaannya, mempunyai risiko tinggi mejadi korban kejahatan. Sementara pihak lain lebih mendorong polisi untuk  lebih keras menindak penjahat bersenjata api.

Bagaimana menyikapi hal ini?

Jawabannya harus dalam kerangka tujuan perlindungan warga masyarakat dan penciptaan keamanan yang kondusif. Sebenarnya, baik yang setuju maupun yang tidak setuju terhadap pemberian izin senjata api untuk masyarakat sipil mempunyai maksud agar masyarakat terlindungi dari tindak kejahatan dan menciptakan kondisi keamanan yang memadai.

Masalahnya adalah, manakah yang lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia dengan melihat pada kondisi yang ada. Apabila tujuan perlindungan masyarakat yang memadai diwujudkan melalui pemberian izin penguasaan senjata api oleh masyarakat sipil, maka kesulitan yang muncul adalah sebagai berikut.

  1. Siapa dan apa kriteria pemberian senjata kepada seseorang. Dalam hal ini sulit untuk mengukur siapa yang layak untuk diberi izin.
  2. Kewenangan pemberian izin oleh Kapolri, dimana Kapolri sendiri yang menentukan kriterianya akan membuka munculnya subyektivitas dalam pemberian izin itu.
  3. Perlunya pendidikan khusus tidak saja cara menggunakan dan merawat senjata api, tetapi juga kapan dan dalam keadaan bagaimana senjata tersebut boleh digunakan.
  4. Dari data yang ada, ternyata senjata-senjata yang diberi izin (sebanyak 700-1100an unit) tidak digunakan untuk membela diri. Dengan demikian berarti ancaman terhadap diri pemegang senjata tersebut tidak terbukti. Dengan kata lain, pemberian izin penguasaan senjata itu menjadi tidak berguna.
  5. Pemberian izin itu, pada kondisi keamanan seperti sekarang ini mengandung risiko untuk disalahgunakan oleh pemegangnya. Selain itu, tingkat pendidikan, kesadaran hukum, dan penegakan hukum belum memungkinkan bagi masyarakat sipil diberi kewenangan penguasaan senjata api.
  6. Angka kasus penembakan di luar negeri menunjukkan bahwa semakin longgar suatu negara memberikan izin menguasai senjata api, semakin banyak terjadinya kasus kematian karena senjata api.

Dari sisi positif dapat dikatakan pemberian izin itu akan menambah rasa percaya diri dari pemegangnya. Pelaku kejahatan juga akan berhati-hati dalam mencari calon korbannya. Apabila tujuan perlindungan masyarakat dan penciptaan keamanan dilakukan dengan melarang masyarakat sipil memegang senjata, maka kelemahannya adalah masyarakat tertentu menjadi was-was dan tidak punya rasa percaya diri untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Masyarakat belum percaya sepenuhnya aparat keamanan dapat melindungi diri mereka.

Pemecahan untuk masalah ini ialah dengan merevitalisasi aparat keamanan dan mendorongnya dengan dukungan dana, sumber daya manusia, dan profesionalisme aparat keamanan yang memadai. Sisi positif pilihan ini adalah kontrol terhadap penggunaan senjata lebih mudah dilakukan.

Dari pertimbangan-pertimbangan di atas kiranya pilihan yang terakhir, yakni melarang masyarakat sipil untuk memegang senjata lebih tepat diterapkan di Indonesia. Apabila pilihan ini diterima, tentunya perlu adanya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penguasaan senjata api sehingga menjadi jelas dasar hukum pelarangannya. Pilihan ini tentu saja juga harus diikuti dengan aksi aparat keamanan untuk mengawasi dan mengambil tindakan tegas terhadap kejahatan dan tindakan terhadap peredaran senjata api ilegal. Dengan demikian, keinginan terciptanya perlindungan warga masyarakat dan terciptanya kondisi keamanan yang memadai lebih mungkin terwujud.

 


‘Dwelling Time’ Dan Daya Saing Ekonomi

$
0
0

CahyonoOleh: Eddy Cahyono Sugiarto, Staf Pada Kantor Kepala Staf Kepresidenan

Pembangunan sistem logistik yang efisien diproyeksikan akan menjadi kata kunci dalam meningkatkan daya saing ekonomi bagi suatu bangsa, utamanya dalam memenangkan persaingan dalam perdagangan global.

Sistem logistik yang efisien memiliki peran strategis dalam mensinkronkan dan menyelaraskan kemajuan antar sektor ekonomi,  antar wilayah, yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, menjaga kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional (national economic authority and security).

Perbaikan manajemen sistem logistik semakin diperlukan dalam era integrasi pasar ASEAN dan perdagangan global, yang menjadikan semakin tingginya mobilitas perdagangan barang melalui ekspor impor.

Demikian pula aktivitas perdagangan di lingkup kawasan ASEAN, berdasarkan prediksi Frost & Sullivan,  pertumbuhan ekonomi perdagangan di negara ASEAN diproyeksikan rata-rata sebesar 7,9%, di mana ekspor memainkan peran yang lebih besar, di samping permintaan domestik.

Bagi Indonesia,  peningkatan aktivitas ekonomi dan perdagangan tersebut sudah barang tentu perlu diikuti dengan perbaikan sistem logistiknya, mengingat masih tingginya biaya logistik di Indonesia, yang ditengarai  menjadi penyebab titik lemah daya saing ekonomi nasional.

Seberapa  efesien sistem logistik secara sederhana dapat diukur melalui Logistic Performance Index  (LPI), yang mencerminkan tingkat efisiensi logistik di suatu negara, indeks kinerja logistik secara keseluruhan dapat dicermati dari setidaknya 6 (enam) indikator, yaitu: (1) bea cukai, (2) infrastruktur, (3) pengapalan internasional (international shipment), (4) kualitas dan kompetensi logistik, (5) pelacakan dan pencatatan (tracking and tracing), dan (6) ketepatan waktu (dwelling time).

LPI Indonesia masih menunjukkan kondisi yang belum kondusif dalam meningkatkan daya saing ekonomi, merujuk pada Laporan The Logistics Performance Index and Its Indicators oleh Word Bank  tahun 2014, memposisikan Indonesia di urutan ke-53 dari 163 negara dan merupakan peringkat ke-5 di antara Negara-negara ASEAN.

Hal tersebut sejatinya menunjukkan masih rendahnya daya saing ekonomi karena biaya logistik di Indonesia masih sangat mahal, bahkan menjadi yang paling mahal di ASEAN. Biaya logistik yang mahal ini jelas tidak efisien dan karena itu menjadikan industri di dalam negeri tidak memiliki daya saing.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Bank Dunia mendapati bahwa pembeli dari luar negeri tidak terlalu memperhatikan harga produk dari Indonesia.  Sebaliknya, perhatian terbesar mereka adalah ketepatan waktu (pengiriman)/dwelling time dan keterandalan (standar dan pengendalian kualitas).

Perbaikan dwelling time  strategi memperbaiki sistem  logistik nasional

Perbaikan tata kelola sistem logistik nasional , utamanya dalam hal menurunkan dwelling time, akan menjadi isu strategis yang mengemuka dalam medio akhir-akhir ini. Pemerintahan Presiden Jokowi juga telah menjadikan penurunan dwelling time menjadi prioritas utama, agar berkorelasi dengan penurunan biaya logistik, yang saat ini masih  berkisar 24,5 % terhadap PDB, dan diharapkan dapat ditekan menjadi 19% terhadap PDB.

Komitmen dan kerja keras seluruh pemangku kepentingan dibutuhkan dalam menurunkan dwelling time, dengan fokus kepada rangkaian penyederhanaan perizinan yang terkait dengan pelayanan kapal dan pelayanan barang (cargo handling).

Penyederhanaan perizinan pada pre-custom, custom clereance dan post custom perlu diurai satu persatu sehingga dapat dipetakan  masalah  utama yang menjadi konstribusi terbesar penyebab kelambanan dwelling time. Hal ini sangat diperlukan untuk dicarikan solusinya secara cepat  guna menghindari saling menyalahkan antar instansi.

Kita tentunya berharap peningkatan kapabilitas koordinasi antar lembaga  dan “pemaksaan” penerapan Indonesia National Single Window (INSW) perlu terus diupayakan, terutama dalam membangun sistem online yang terintegrasi.

Masing-masing instansi pemerintah diharapkan dapat mendukung secara optimal implementasinya dengan melakukan pembenahan regulasi masing-masing instansi, dengan menghilangkan ego sektoral guna menghilangkan tumpang tindih dan memangkas mata rantai birokrasi di pelabuhan.

Disisi lain, diperlukan  adanya standard operation procedure (SOP) termasuk waktu penyelesaian perizinan barang kategori larangan pembatasan (lartas) oleh instansi terkait seperti Kemendag, Badan POM, Kementan maupun Badan Karantina yang terkoneksi dengan portal National Single Window (NSW).

Berbagai prioritas perbaikan tersebut di atas, diikuti dengan masifnya percepatan pembangunan infrastruktur transportasi yang mendukung sistem transportasi terpadu, diharapkan akan dapat memperpendek jarak transportasi peti kemas dari sentra-sentra produksi ke pelabuhan sehingga dapat memperlancar arus barang,  menurunkan dwelling time sehingga dapat meningkatkan  daya saing ekonomi Indonesia.

Penurunan dwelling time diharapkan juga dapat menekan besarnya kerugian yang dialami Indonesia tiap tahun, yang mencapai 250 miliar dollar AS atau setara Rp 3.125 triliun.

Dengan penurunan dwelling time daya saing logistik nasional dan daya saing produk/jasa dapat terus ditingkatkan, perbaikan tata kelola sistem logistik nasional melalui penurunan dwelling time, diharapkan dapat mereduksi ekonomi biaya tinggi, menurunkan disparitas harga antara wilayah, pemerataan pembangunan dan secara agregat meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Semoga

 

Aroma Menyengat Daging Sapi Nasional

$
0
0

OktaOleh: Oktavio Nugrayasa, SE, M.Si*)

Terjadinya pemandangan aksi mogok jualan yang dilakukan sejumlah pedagang dari Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) serta kelangkaan pasokan daging sapi yang beredar di pasar tradisional terutama di beberapa kota-kota besar di Jakarta, Jawa Barat dan Banten telah menimbulkan dampak lonjakan harga daging sapi hingga harganya mencapai Rp.130 ribu-Rp.140 ribu per kilogram.

Aksi yang sama telah dipersiapkan para pedagang daging di Jawa Timur yang mengancam akan meniru mogok jualan, jika masalah kelangkaan pasokan daging sapi tidak segera diatasi secepatnya oleh Pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi penduduk Indonesia ternyata turut berpengaruh sangat besar terhadap permintaan daging sapi nasional. Berdasarkan penelitian dari UGM dan Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Adfindo), diperkirakan pada tahun 2015 untuk konsumsi daging sapi mencapai 2,56 kilogram (kg) per kapita per tahun, maka jumlah total kebutuhan daging nasional akan mencapai 653.000 ton atau meningkat sebesar 8,5 persen dibandingkan yang telah diproyeksikan pada tahun ini sebanyak 590.000 ton. Berdasarkan kalkulasi perhitungan kebutuhan daging sapi nasional pertahun angkanya mencapai 653 ribu ton tersebut atau setara dengan 3.657.000 ribu ekor sapi, dimana rata-rata kebutuhan konsumsi masyarakat untuk daging sapi setiap bulan jumlahnya sebesar 305 ribu ekor sapi. Dari jumlah kebutuhan yang besar tersebut, angka produksi dari peternak lokal hanya mampu memenuhi sebesar 406 ribu ton atau setara dengan 2.339.000 ekor sapi.

Di satu sisi, berdasarkan jumlah perhitungan populasi sapi lokal nasional di tahun 2015 angkanya memang mencapai 17,2 juta ekor, akan tetapi dari jumlah tersebut tidak semuanya siap untuk dipotong dikarenakan banyak yang masih anak sapi dan sebagian besar merupakan sapi indukan betina yang tidak boleh untuk di potong. Sehingga yang siap dipotong hanya sekitar 2.339.000 ekor sapi, sehingga ada gap kekurangan pasokan dari sapi lokal untuk kebutuhan nasiona,l yaitu sebesar 247 ribu ton daging sapi atau setara dengan 1.383.000 ekor sapi.

Kekurangan tersebut dapat segera ditutupi bila setiap triwulan dilakukan impor sapi bakalan berdasarkan pengajuan dari feedloter angkanya mencapai 250 ribu ekor sapi. Namun pada triwulan ke-III (Juli) bertepatan dengan Hari Raya Lebaran, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mengeluarkan kebijakan untuk memperkecil angka keran masuknya impor sapi sebesar 50.000 ekor. Hal ini demi mencapai keadaan Swasembada Daging Sapi Nasional. Dengan demikian penurunan jumlah impor yang tidak dibarengi dengan peningkatan produtivitas peternak sapi lokal telah mengakibatkan kelangkaan berimbas pada lonjakan harga daging saat ini di pasaran.

Solusi Daging Sapi

Berdasarkan kejadian atas fenomena ini merupakan salah satu bukti kuat bahwa pembangunan pangan bangsa Indonesia ke depan tanpa adanya kedaulatan pangan dan tetap terikat ketergantungan pada impor dari Negara lain, seperti belum terpenuhinya kebutuhan daging nasional berharga wajar akan sangat membahayakan keberlangsungan pembangunan pangan bangsa kita.

Andaikata ini terjadi pada komoditas lain juga, apa jadinya bangsa Indonesia?. Oleh karena itu, perlu adanya perubahan strategi yang sangat mendasar untuk membangun usaha dan industri peternakan sapi di Indonesia agar dapat terhindar dari ketergantungan impor dari Negara lain. Strategi jangka panjang yang dapat dilakukan Pemerintah dengan upaya memperbaiki usaha peternakan sapi bagi sekitar 6,5 juta peternak berskala kecil yang saat ini telah menguasai lebih dari 98 persen populasi sapi di seluruh Indonesia.

Ajakan berbisnis bagi mereka secara benar dan dengan pendekatan bersifat kolektif dalam satu manajemen akan sangat memungkinkan dapat meningkatkan produksi daging nasional dalam mencapai Swasembada Daging Sapi. Pendekatan ini sangat berbeda dengan peternak dari negara tetangga Australia yang harus bersifat individualis karena kondisi alam, budaya masyarakat dan karakter peternaknya memang berbeda dengan Indonesia.

Selama ini ajakan kepada peternak kecil kita hanya diajarkan yang bersifat teknis dan sifatnya berbentuk parsial serta tidak berkelanjutan. Selain itu jumlah peternak kita yang berkesempatan belajar sangat terbatas dan lokasi tempatnya juga menyebar dihampir setiap wilayah provinsi. Ini pun masih diperburuk oleh banyak pihak mengajari mereka dengan pendekatan yang berbeda-beda, maka akibatnya biaya yang dikeluarkan sangat tinggi dan tingkat keberhasilan serta produktifitas para peternak tetap saja masih rendah.

Namun tidak semua proyek pemerintah dikatakan gagal karena beberapa proyek yang telah dikerjakan dapat melahirkan peternak baru berjiwa bisnis seperti dalam Program Sarjana Membangun Desa (SMD), namun keberhasilan program tersebut kurang berdampak secara siginifikan terhadap produktifitas daging sapi nasional.

Mencetak Kader Peternak Mandiri

Dalam rangka mendorong peningkatan produktifitas yang dihasilkan peternak di Indonesia, kuncinya harus dapat berbisnis secara mandiri melalui usaha yang bersifat kolektif dengan dibawah rangkaian satu manajemen. Pemerintah harus memfasilitasi usaha kolektif tersebut, baik dari aspek teknis maupun nonteknis serta secara terus menerus sampai pada akhirnya usaha yang mereka tekuni mampu kuat untuk dapat berjalan sendiri.

Sudah saatnya bagi pemerintah tidak lagi menyelenggarakan proyek pengadaan sapi bagi para peternak, tetapi harus lebih banyak pada penyelenggaraan aktifitas berkelanjutan yang berorientasi pada upaya peningkatan kualitas para peternak maupun perkuatan fasilitas pendukungnya. Sedangkan untuk jangka pendek serahkan urusan pemenuhan daging sapi kepada para pelaku bisnis yang memang menguasai pasar dan Pemerintah tidak ikut bermain di dalamnya. Peran pemerintah sebaiknya tetap sebagai regulator dikarenakan bisa saja niat baik untuk menurunkan harga daging sapi dengan pengadaan oleh pemerintah via Bulog dimanfaatkan kepentingannya oleh oknum tak bertanggung jawab sehingga tujuan dari niat tersebut tidak akan tercapai.

Kegaduhan terjadinya kelangkaan daging sapi dan berdampak lonjakan harga dalam beberapa minggu ini, menurut dugaan sementara mengarah kepada adanya perlawanan dari pelaku bisnis sapi kepada pemerintah dalam hal penyediaan daging sapi di Indonesia, dikarenakan pada tahun ini keran impor daging sapi diperkecil jumlahnya oleh kementan dibandingkan pada tahun lalu. Ketika para pelaku usaha diberikan kuota impor, di antara mereka sendiri akan bersaing untuk mendapatkan kuota dengan jumlah terbanyak. Segala cara dilakukan agar mendapatkan kuota besar dengan harapan mendapatkan keuntungan yang sangat besar pula. Bisa jadi diantara mereka akan “cakar-cakaran” dalam upaya memperebutkan kuota impor. Namun ketika pemerintah sendiri ikut menangani impor daging dan impor sapi siap potong via Bulog dalam rangka menurunkan harganya, para pelaku bisnis mungkin merapatkan barisan untuk kompak melawan pemerintah.

Demi kepentingan nasional, semua pihak mulai perlu bernegosiasi dengan tetap saling menghormati profesionalitasnya masing-masing, Pemerintah harus bertindak sebagai regulator dan pelaku bisnis sebagai aktor serta harus bersama bergandengan tangan dalam membantu para peternak nasional berskala kecil agar dapat lebih berdaya saing. Ketika para peternak kita menjadi besar dan maju melalui usaha kolektif yang dijalankan, serta berkolaborasi dengan perusahaan besar untuk berbisnis sapi dengan peternak dari Australia. Tentu dapat diyakini bahwa harga daging sapi akan mudah dikendalikan melalui mekanisme pasar karena para pelaku bisnis daging sapi memang sudah merupakan komunitas sendiri. Dengan demikian semua pihak harus berpikir positif untuk melahirkan hasil usaha yang berdampak positif, tentu akan terjadi keadaan yang diinginkan yaitu target Swasembada Daging Sapi di Tahun 2019 akan lebih mudah tercapai.

*) Kabid Ketahanan Pangan dan PDT, Deputi Bidang Perekonomian, Setkab RI

Percepat Eksekusi Belanja 2016

$
0
0

rupiah1-750x410Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Kementerian Keuangan RI*)

Dalam beberapa kesempatan, pemerintah terus saja menggeber berbagai kebijakan demi mencapai target penerimaan perpajakan di tahun 2015 ini. Perbaikan administrasi, perluasan basis pajak, serta pengejaran pihak-pihak pengemplang pajak tak henti-hentinya dilakukan. Terlebih jika melihat realisasi hingga Semester I tahun 2015 yang relatif masih kurang menggembirakan.

Berdasarkan data pemerintah, realisasi pendapatan negara baru mencapai 39,6% atau sekitar Rp697,4 triliun dari target APBN-P 2015. Realisasi ini sedikit mengalami penurunan jika dibandingkan periode yang sama tahun 2014 yang mencapai 43,7% atau sekitar Rp713,9 triliun dari target APBN-P 2014. Penerimaan perpajakan sendiri hingga Semester I, realisasinya mencapai Rp555,2 triliun atau 37,3% target APBN-P 2015, sementara realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp142,0 triliun atau 52,8% target APBN-P 2015. Dalam periode yang sama di tahun 2014, realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp547,4 triliun atau 43,9% sementara realisasi PNBP mencapai Rp166,1 triliun atau 42,9%.

Dari sisi belanja, hingga Semester I tahun 2015, realisasinya mencapai 39,0% atau sekitar Rp773,9 triliun, lebih rendah dibandingkan realisasi tahun 2014 yang mencapai Rp779,9 triliun atau 41,6% target APBN-P 2014. Masih seperti pola tahun-tahun sebelumnya, realisasi belanja negara didominasi oleh pos belanja subsidi sebesar 47,4% atau sekitar Rp100,4 triliun, belanja pembayaran kewajiban utang sebesar 47,7% atau Rp74,3 triliun, belanja pegawai sebesar 42,9% atau Rp125,8 triliun serta belanja sosial sebesar Rp43,1 triliun atau 40,1% target APBN-P 2015. Sementara realisasi belanja produktif investasi yang dicerminkan dari alokasi belanja modal, hingga akhir Semester I 2015 baru mencapai 11,0% atau sekitar Rp30,2 triliun target APBN-P 2015.

Pemerintah dan DPR juga telah merampungkan pembicaraan pendahuluan terkait kesepakatan asumsi dasar ekonomi makro dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) 2016. Dalam keterangannya, Ketua DPR menyebutkan bahwa asumsi-asumsi makro yang disepakati tersebut lebih bersifat realistis dengan memperhatikan berbagai kondisi dan tantangan yang ada baik eskternal maupun internal. Secara rinci, kesepakatan yang dicapai diantaranya: pertumbuhan ekonomi disepakati pada kisaran 5,0-5-6%, inflasi 3,0-5,0%, nilai tukar rupiah disepakati Rp13.000-13.400 per dolar AS, tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebesar 4,0-6,0%, harga minyak internasional 60-70 dolar AS per barel, lifting minyak 800-830 ribu barel per hari dan lifting gas 1.100-1.300 barel setara minyak per hari.

Pemerintah juga sudah menyusun tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2016 yaitu ”Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Memperkuat Fondasi Pembangunan yang Berkualitas”. Sebagai penjabaran, disusun beberapa agenda prioritas yang mencakup Dimensi Pembangunan Manusia dan Masyarakat yang terdiri dari sektor pendidikan, kesehatan, perumahan serta mental/karakter. Juga diprioritaskan Dimensi Pembangunan Sektor-Sektor Unggulan yang terdiri dari sektor kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan, kemaritiman serta pariwisata dan industri. Berikutnya adalah Dimensi Pemerataan dan Kewilayahan baik antar kelompok pendapatan dan wilayah desa, pinggiran, luar Jawa dan Kawasan Timur. Terakhir adalah Dimensi Kondisi Perlu meliputi sektor Kepastian dan Penegakan Hukum, Keamanan dan Ketertiban, Politik dan Demokrasi sekaligus Tata Kelola Reformasi Birokrasi.

Tak ketinggalan, agenda prioritas pemerintah di 2016 lainnya adalah percepatan pembangunan infrastruktur sebagai penjabaran visi dan misi Presiden. Hal ini sekaligus memenuhi pelaksanaan road map pembangunan jalan tol 2015-2019, yang menjangkau keseluruhan pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Rencananya, di pulau Sumatera akan dibangun jalan tol sepanjang 384 km, pulau Jawa sepanjang 1.450,9 km, pulau Kalimantan sepanjang 84 km sementara di pulau Sulawesi sepanjang 39 km. Berdasarkan data Bappenas, hingga 2014, progres pembangunan yang sudah rampung baru di pulau Jawa sepanjang 188,8 km. Di tahun 2015 ini seharusnya pemerintah akan menyelesaikan pembangunan jalan tol di pulau Sumatera hingga 18,17 km, di Jawa akan ditambah 151,04 km dan di pulau Sulawesi akan dimulai pembangunan awal sepanjang 11,7 km.

Kebijakan untuk terus melanjutkan percepatan pembangunan infrastruktur tersebut telah meningkatkan besaran pagu belanja APBN 2016 menjadi hampir Rp2.200 triliun atau meningkat dibandingkan alokasi belanja di APBN-P 2015 yang mencapai Rp1.984,1 triliun. Kenaikan beban belanja APBN 2016, berdampak pula kepada peningkatan besaran target pendapatan negara menjadi Rp1.900 triliun, meningkat dibandingkan target di APBN-P 2015 sebesar Rp1.768,9 triliun. Dengan tetap menargetkan besaran defisit APBN di kisaran 1,9%-2% dari PDB atau sama dengan target defisit APBN-P 2015 sebesar 1,9% dari PDB atau sekitar Rp222,5 triliun, kondisi ini tentu menjadi tantangan yang berat bagi pemerintah. Rencananya, pemerintah masih akan mengandalkan strategi utang dalam upaya menutup defisit APBN tersebut. Kebutuhan penarikan utang 2016 diperkirakan mencapai sekitar Rp250 triliun hingga Rp300 triliun. Harap diingat bahwa persoalan utang ini adalah suatu hal yang relatif sensitif terlebih jika bersifat utang luar negeri baik bilateral maupun multilateral.

Dengan penempatan prioritas utama sektor infrastruktur, maka Kementerian Pekerjaan Umum-Perumahan Rakyat (Kemen PU-Pera) kembali menjadi ujung tombak di level implementasi. Kemen PU-Pera akan mendapatkan alokasi sebesar Rp106,4 triliun, sedikit turun dibandingkan alokasi 2015 sebesar Rp118 triliun. Penurunan tersebut merupakan dampak penguatan anggaran infrastruktur di daerah melalui mekanisme anggaran sektoral (dekonsentrasi dan tugas pembantuan) serta transfer ke daerah baik DBH, DAU dan DAK serta beberapa Dana Insentif Daerah (DID) lainnya. Meskipun demikian, jika dihitung secara kumulatif, anggaran infrastruktur di 2016 tetap mengalami kenaikan hingga Rp100 triliun dari besaran tahun 2015 yang mencapai Rp290,3 triliun.

Percepatan Eksekusi

Dari uraian tersebut, ruang gerak fiskal pemerintah sebetulnya sudah mulai menguat. Beban subsidi BBM sudah mulai lepas, subsidi listrik makin terarah, subsidi pertanian harapannya juga akan dievaluasi ulang menjadi subsidi targeted serta beberapa gebrakan reformasi lainnya. Harapan tentang masyarakat modern yang dinamis pun lambat laun mulai dikembangkan. Persoalan politik dan pemberantasan korupsi mungkin masih menjadi ganjalan yang ke depannya harus segera ditangani selain permasalahan quality spending rendahnya realisasi belanja modal.

Padahal baik secara teori maupun kesepakatan seluruh pakar menyebutkan betapa pentingnya peran belanja modal pemerintah dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di suatu negara khususnya menghadapi kondisi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih dari krisis. Untuk itulah, sekali lagi perlu ditekankan bahwa percepatan realisasi belanja modal pemerintah menjadi salah satu kunci utama kesuksesan target pembangunan nasional yang sedang digalakkan oleh pemerintahan yang baru. Jika memang target percepatan di 2015 sudah dianggap meleset, pemerintah wajib memfokuskan diri dalam pelaksanaan APBN 2016.

Untuk mengatasinya, setiap tahun sebetulnya Pemerintah tak segan-segan terus mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk percepatan realisasi anggaran. Presiden dalam beberapa kesempatan juga terus menyoroti persoalan ini. Penyerahan DIPA yang dipercepat menjadi salah satu bukti keseriusan ini. Saat menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Keuangan Daerah minggu lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengingatkan kembali betapa pentingnya percepatan realisasi anggaran baik APBN maupun APBD. Hanya percepatan realisasi anggaran yang mampu menurunkan potensi perlambatan ekonomi akibat kenaikan harga komoditas.

Sayangnya, berbagai kebijakan yang dihasilkan pemerintah sepertinya belum menyasar langsung kepada pokok permasalahan terkait eksekusi program. Padahal di lapangan, eksekusi program inilah yang akan menjadi langkah akhir sekaligus kunci utama persoalan penyerapan serta quality spending. Reformasi kelembagaan kementerian di periode pemerintahan sekarang misalnya. Merger dan perombakan beberapa kementerian/lembaga ternyata tidak diimbangi dengan kesigapan regulasi kelembagaan. Akibatnya realisasi penyerapan anggaran hingga semester I, terutama belanja modal masih sangat minim.

Ke depannya, hal-hal seperti ini memang seharusnya dapat diantisipasi sejak awal sehingga realisasi penyerapan anggaran menjadi lebih cepat. Ketika anggaran dapat diserap lebih cepat, diskusi mengenai peningkatan quality spending akan lebih pas dan terarah. Ruang fiskal yang sudah melebar seharusnya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin demi mempercepat akselerasi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Jangan sampai tujuan tersebut gagal hanya karena persoalan administrasi birokrasi yang sebetulnya berada dalam kendali pemerintah sendiri.

*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

 

Article 0

$
0
0

RAP 2016Oleh: Siko Dian Sigit Wiyanto, pegawai Setjen Kementerian Keuangan*)

Pasca dibacakannya Pidato Kenegaraan Pengantar Nota Keuangan dan RAPBN 2016, perekonomian memang tidak langsung merespon dengan cepat. Namun, harapan-harapan lain membuncah setelah menelaah lebih dalam kebijakan fiskal yang dicanangkan. Anggaran yang lebih pro rakyat yaitu yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat semakin menjadi tuntutan.

Pemerataan pendapatan dan pembangunan semakin menjadi perhatian. Permasalahan sempitnya celah fiskal yang selalu jadi kendala pada APBN 5 tahun terakhir seakan berakhir sejak RAPBN-P 2015 lalu. Banyaknya belanja earmarking dan belanja wajib membuat APBN sudah terkapling-kapling dan cenderung masih menampilkan ego sektoral. Hambatan dan tantangan lain dalam proses perencanaan anggaran adalah ruang fiskal yang masih terbatas, proses penganggaran belum optimal, dan persepsi stakeholder yang cenderung masih belum sepenuhnya mendukung kebijakan pemerintah.

Meski demikian, tahap terakhir penghilangan subsidi premium yang dimulai sejak masa pemerintahan SBY, berakhir pada awal pemerintahan Jokowi. Sebelumnya, subsidi energi merupakan satu dari sekian pos anggaran yang mengikat. Meski demikian, pos anggaran wajib yang masih ada sekarang ini antara lain belanja fungsi pendidikan dan belanja fungsi kesehatan. Belanja fungsi pendidikan sebesar minimal 20% dari total belanja dalam APBN. Hal ini sesuai dengan Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 Amandemen ke 4 mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Sementara itu, anggaran sektor kesehatan sebesar minimal 5% dari total belanja APBN sesuai dengan Undang-Undang tentang Kesehatan No.36 tahun 2009. Pada RAPBN 2016, untuk pertama kalinya amanat Undang-Undang tersebut terpenuhi.

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu semangat yang tertulis dalam nawacita Pemerintahan Jokowi yakni Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Belanja Transfer ke Daerah Diharapkan Lebih Berkualitas

Dari tahun ke tahun, Belanja Transfer Ke Daerah mengalami kenaikan. Pada APBN 2014, total Dana Transfer ke Daerah sebesar Rp592,5 triliun, pada APBN 2015 sebesar Rp637.975, dan meningkat Rp643,83 triliun pada APBN P 2015. Kemudian pada RAPBN 2016, total belanja Transfer ke Daerah meningkat menjadi Rp735,21 triliun.  Anggaran transfer ke daerah merupakan aplikasi dari peran pemerintah pusat mendorong desentralisasi fiskal. Untuk pertama kalinya Belanja Transfer ke Daerah sebesar Rp735,2 triliun, lebih besar dari total belanja Kementerian/Lembaga Pemerintah yaitu Rp780 triliun. Dana Desa yang pada APBNP 2015 masih sekitar Rp20,8 triliun meningkat menjadi Rp47 triliun pada RAPBN 2016. Diharapkan dana ini dapat meningkatkan pembangunan di daerah.

Rasa pesimis muncul saat aparat pemerintah daerah dirasa belum cukup mampu mengelola dana yang relatif besar. Di lain sisi, banyak pejabat daerah yang harus mendekam di penjara karena berbagai kasus korupsi. Isu ini menjadi salah satu alasan atas lambatnya penyerapan anggaran sampai semester II 2015 ini. Sebagai salah satu bentuk perbaikan manajemen pengeluaran pemerintah, untuk pertama kalinya Dana Alokasi Khusus yang sekarang berdasarkan proposal based. Dengan adanya proposal ini kinerja kegiatan dan perencanaan dapat lebih mudah dinilai.

Dana Kesehatan Meningkat Pesat

Anggaran fungsi kesehatan akhirnya memenuhi amanat UU Kesehatan. Prioritas anggaran kesehatan kali ini adalah untuk memperluas coverage Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan. Penerima Bantuan Iuran (PBI) meningkat dari 86,4 juta orang pada APBN-P 2015 menjadi 92,4 juta Jiwa pada RAPBN 2016. Selain itu anggaran fungsi kesehatan lebih diupayakan untuk kegiatan promotif dan kuratif seperti yang dijelaskan oleh Menteri Kesehatan.

Meski demikian, dalam tataran pelayanan juga harus diperhatikan. Meski PBI meluas, jumlah fasilitas kesehatan (faskes) juga harus meningkat. Lebih dari itu, kualitas pelayanan BPJS adalah pekerjaan utama yang harus diperhatikan. Kementerian Keuangan sebaiknya juga harus mengantisipasi kenaikan iuran BPJS, khususnya untuk PBI ini. Hal ini agar kualitas layanan kesehatan tidak menurun. BPJS kesehatan sebagai badan publik pengelola dana dari APBN dan masyarakat seharusnya memberikan keluwesan dan terbuka dalam menjalin kerjasama dengan faskes swasta.

Keterbatasan klinik swasta untuk melayani peserta PBI menjadi salah satu kendala utama. Padahal, hampir setengah dari peserta BPJS adalah PBI. KPK menemukan potensi fraud (penyimpangan) atas dibolehkannya perpindahan peserta PBI dari Puskesmas ke FKTP swasta seperti klinik. Fakta di lapangan menunjukkan, oknum petugas Puskesmas mendirikan FKTP swasta (hukumonline.com, 22/1/2015). Akibatnya, para peserta BPJS PBI malah mendapatkan pelayanan yang kualitasnya berkurang, khususnya antrian yang memanjang. Bottleneck ini tidak dilihat oleh KPK. Padahal, sebagain faskes swasta juga memiliki semangat untuk mensukseskan BPJS.

Anggaran untuk Program Ketahanan Pangan

Dalam Nota Keuangan RAPBN 2016, ketahanan pangan antara lain pengembangan asuransi pertanian, pengembangan benih yang adaptif terhadap perubahan iklim, pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dan penyakit hewan, serta penyaluran bantuan pangan pada saat terjadi bencana alam. Mahalnya sebagian komoditas ternak saat ini semakin menyatakan bahwa ketahanan pangan sudah pada kondisi yang hampir mendekati kritis. Terlebih dengan adanya el nino di tahun 2016.  Berdasarkan data pada kementerian pertanian, produksi padi juga menurun.

Menurunnya jumlah lahan produktif dan semakin tidak menariknya profesi petani menjadi hal yang harus diperhatikan. Peningkatan teknologi pengolahan lahan dan pelatihan petani seharusnya juga menjadi prioritas. Di sisi lain, jalur distribusi dan penjualan juga menjadi kendala. Petani kadang harus menjual ke tengkulak dengan harga yang rendah karena tidak memiliki alat angkut yang memadai. Itupun kalau harga tidak dimainkan para tengkulak atau pedagang besar yang menjalankan sistem kartel. Sebagai contoh, harga tomat yang sangat jatuh baru-baru ini, membuat sebagian petani tomat dengan sangat terpaksa membuangnya di jalanan. Dana untuk ketahanan pangan dapat digunakan untuk membangun koperasi petani, menjalin kerjasama dengan enduser, memperbarui teknologi pengolahan lahan pertanian, terlebih rekayasa tanah-tanah kritis agar lebih produktif.

Anggaran Infrastruktur

Infrastruktur menjadi salah satu katalis dalam pembangunan menjadi perhatian pemerintahan Jokowi. Pergeseran sebagian anggaran subsidi ke anggaran infrastruktur merupakan hal yang tepat. Belanja sektor Infrastruktur pada RAPBN 2016 senilai Rp313,5 triliun antara lain untuk peningkatan konektivitas nasional diarahkan melalui pegembangan jalan nasional dan provinsi, pembangunan jalan baru dan jalan bebas hambatan, bandara, jalur kereta api, dan peningkatan kapasitas pelabuhan utama untuk mendukung tol laut. Diharapkan mobilitas sumber daya serta komoditas antar wilayah semakin lancar sehingga biaya logistik dapat ditekan. Peningkatan ketahanan energi dilaksanakan melalui pembangunan waduk baru dan jaringan irigasi, penambahan kapasitas pembangkit listrik dan pembangunan energi baru terbarukan. Pemanfaatan energi terbarukan harus menjadi prioritas. Kurang tersedianya pembangkit listrik juga ternyata menjadi salah satu faktor utama tertundanya pembangunan smelter di Indonesia.

Pengembangan infrastruktur yang bertujuan untuk meningkatkan investasi, yang nantinya diharapkan memperbesar lapangan pekerjaan dan pada akhirnya memeratakan distribusi pendapatan juga harus didukung kejelasan prosedur perijinan dan perpajakan. Terkait dengan insentif fiskal seperti tax holiday, pemerintah pastilah sudah mengukur dampak fiskalnya terhadap APBN.

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili instansi tempat penulis bekerja

 

Inflasi Agustus 2015, Terendah Sejak Tahun 2007

$
0
0

Angkutan Umum-1Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin, menyampaikan bahwa pada Agustus 2015 terjadi inflasi sebesar 0,39 persen. Dengan demikian, maka inflasi tahun kalender (Januari-Juli 2015) mencapai 2,29 persen, sementara inflasi tahun ke tahun (Year on Year) sebesar 4,92 persen. Sebagai informasi, nilai inflasi sebesar 0,39 persen tersebut merupakan yang terendah sejak tahun 2007.

Dari 82 Kota IHK, BPS mencatat 59 kota mengalami inflasi, dan 23 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Tanjungpandan sebesar 2,92 persen, dan inflasi terendah terjadi di Sumenep sebesar 0,02 persen. Sementara itu, untuk deflasi, tertinggi terjadi di Ambon sebesar -1,77 persen.

Dalam penjelasannya, Suryamin juga mengatakan bahwa dari 59 kota IHK yang mengalami inflasi tersebut, 37 kota nilai inflasinya berada diantara 0-0,5 persen, 18 kota bernilai 0,5-1 persen, dan hanya 4 kota yang mengalami inflasi di atas satu persen. Artinya pengendalian inflasi di daerah sudah bagus,” ujar Suryamin.

Dilihat dari kelompok pengeluaran, hampir seluruh kelompok mengalami inflasi, hanya kelompok transport, komunikasi dan jasa keuangan yang mengalami deflasi. Inflasi selama bulan Agustus terutama disebabkan oleh kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga yang mencapai diatas 1 persen, yaitu sebesar 1,72 persen. “Ini karena bertepatan dengan tahun ajaran baru,” ujar Suryamin.

Sementara untuk kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan mengalami deflasi sebesar -0,58 persen, diakibatkan penurunan pada beberapa tarif angkutan, baik itu angkutan udara, darat, maupun laut.

Turunnya harga pada kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan tersebut menjadi hal yang cukup berpengaruh terhadap rendahnya nilai inflasi Agustus. Hal ini dikarenakan kelompok tersebut memiliki pengaruh yang penting dalam mengekang harga pada komoditi lainnya sehingga tidak terjadi inflasi yang tinggi.

Apabila dilihat menurut kelompok komponen, inflasi paling tinggi berasal dari komponen harga yang bergejolak (volatile food) sebesar 0,95 persen, diikuti oleh inflasi komponen inti sebesar 0,52, dan komponen energi sebesar 0,11 persen. Sementara itu, kelompok harga diatur pemerintah (administered price) mengalami deflasi  sebesar -0,45 persen.

Berikut ini adalah komoditas pendukung dan penghambat inflasi Agustus 2015:

Pendukung Inflasi:

  1. 1.       Daging ayam ras, rata-rata perubahan kenaikan harga sebesar 0,68 persen, andil terhadap pembentukan inflasi sebesar 0,08 persen, dikarenakan berkurangnya pasokan.
  2. 2.       Beras, rata-rata perubahan kenaikan harga sebesar 1,6 persen, andil 0,06 persen, dikarenakan berukurangnya pasokan akibat memasuki musim panas.
  3. 3.       Cabe Rawit, rata-rata perubahan kenaikan harga sebesar 24,01 persen, andil 0,05 persen, dikarenakan berkurangnya pasokan, dan terjadinya gagal panen di beberapa daerah.
  4. 4.       Uang Sekolah Dasar, rata-rata perubahan kenaikan harga sebesar 4,75 persen, andil 0,04 persen, dikarenakan memasuki tahun ajaran baru.
  5. 5.       Telur Ayam Ras, rata-rata perubahan kenaikan harga sebesar 4,72 persen, andil 0,03 persen, dikarenakan berkurangnya pasokan.
  6. 6.       Uang Sekolah SMP, rata-rata perubahan kenaikan harga sebesar 5,4 persen, andil 0,03 persen, dikarenakan memasuki tahun ajaran baru.
  7. 7.       Uang Sekolah SLTA, rata-rata perubahan kenaikan harga sebesar 4,11 persen, andil 0,03 persen, dikarenakan emasuki tahun ajaran baru.
  8. 8.       Mie, rata-rata perubahan kenaikan harga sebesar 1,39 persen, andil 0,02 persen, dikarenakan naiknya bahan baku mie (Gandum) akibat pelemahan nilai tukar.
  9. Nasi dan lauk, rata-rata perubahan kenaikan harga sebesar 1,1 persen, andil 0,02 persen, dikarenakan bahan baku yang naik (beras dan bahan makanan lainnya)
  10. Daging Sapi, rata-rata perubahan kenaikan harga sebesar 1,27 persen, andil 0,01 persen, dikarenakan berkurangnya pasokan.
  11. Tarif Listrik, rata-rata perubahan kenaikan harga sebesar 0,25 persen, andil 0,01 persen, dikarenakan harga yang diatur pemerintah.
  12. Uang sekolah Perguruan Tinggi, rata-rata perubahan kenaikan harga sebesar 0,57 persen, andil 0,01 persen, dikarenakan adanya tahun ajarn baru.
  13. Uang Bimbingan Belajar, rata-rata perubahan kenaikan harga sebesar 2,25 persen, andil 0,1 persen, dikarenakan memasuki tahun ajaran baru.

 

Penghambat Inflasi (yang mengalami deflasi):

  1. Bawang Merah, rata-rata perubahan penurunan harga sebesar -15,92 persen, andil terhadap pembentukan inflasi sebesar -0,08 persen, dikarenakan pasokan yang mencukupi dari sentra produksi.
  2. Tarif Angkutan Udara, rata-rata perubahan penurunan harga sebesar -4,7 persen, andil 0,07 persen, dikarenakan berkurangnya permintaan jasa angkutan udara.
  3. Tarif Antar Kota, rata-rata perubahan penurunan harga sebesar -6,08 persen, andil -0,05 persen, dikarenakan tarif yang kembali normal pasca Idul Fitri.
  4. Tomat Sayur, rata-rata perubahan penurunan harga sebesar -8,04 persen, andil 0,02 persen, dikarenakan pasokan yang cukup banyak
  5. Emas Perhiasan, rata-rata perubahan penurunan harga sebesar 1,1 persen, andilnya 0,01 persen.
  6. Tarif Kereta Api, rata-rata perubahan penurunan harga sebesar -5,46 persen, andil -0,01 persen, dikarenakan tarif yang kembali normal pasca Idul Fitri.

(MH, Keasdepan Ekonomi Makro, Penanaman Modal, dan Badan Usaha Setkab)

Saatnya Jujur Memenuhi Kewajiban Perpajakan*)

$
0
0

KuncoroOleh: Kuncoro, Staf Sekretariat Kabinet RI

Sistem perpajakan yang ada saat ini sudah dapat dikatakan sudah modern dan dapat diandalkan karena sudah dapat mendeteksi setiap transaksi legal yang dilakukan oleh setiap wajib pajak melalui Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Pajak merupakan salah satu unsur penerimaan negara yang mendukung pembangunan di  segala aspek pembangunan negeri ini. Peneriman pajak mungkin kini menjadi salah satu andalan peneriman negara di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat tekanan ekonomi global saat ini.

Hingga 31 Juli 2015, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 531,114 triliun. Dari target penerimaan pajak yang ditetapkan sesuai APBN-P 2015 sebesar Rp 1.294,258 triliun, realisasi penerimaan pajak mencapai 41,04%. Jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2014, realisasi penerimaan pajak di tahun 2015 ini mengalami pertumbuhan yang cukup baik di sektor tertentu, namun juga mengalami penurunan pertumbuhan di sektor lainnya.

Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas, sebagai satu-satunya sektor yang bertumbuh, mencatatkan pertumbuhan 13,55% dibandingkan periode yang sama di tahun 2014. Berdasarkan data yang tercatat pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sampai dengan 31 Juli 2015, penerimaan PPh Non Migas adalah sebesar Rp 293,521 triliun. Angka ini lebih tinggi 13,55% dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 dimana PPh Non Migas tercatat sebesar Rp 258,486 triliun.

Pertumbuhan PPh Non Migas merupakan suatu anomali di tengah penurunan pertumbuhan sektor pajak lainnya. Sebagai salah satu instrumen yang mencerminkan pertumbuhan kesejahteraan dan sisi kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, pertumbuhan ini cukup tinggi, sehingga menambah optimisme bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk terus berupaya mencapai target penerimaan pajak.

Pertumbuhan yang dicatatkan oleh PPh Non Migas di antaranya didukung oleh pertumbuhan PPh Non Migas Lainnya, PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi, PPh Pasal 25/29 Badan, PPh PPh Final, PPh Pasal 21, PPh Pasal 26, serta PPh Pasal 23.

Pertumbuhan tertinggi dicatatkan oleh PPh Non Migas lainnya yakni 45,03%, atau sebesar Rp 50,96 miliar dibandingkan periode yang sama di 2014 sebesar Rp 35,14 miliar.

Pertumbuhan signifikan berikutnya dicatat oleh PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi yakni 24,93%, atau sebesar Rp 3,853 triliun dibandingkan periode yang sama di 2014 sebesar Rp 3,084 triliun. Pertumbuhan ini dipicu oleh tingginya pelunasan Surat Ketetapan Pajak (SKP) buah dari keberhasilan deterrent effect penegakan hukum khususnya pencegahan ke luar negeri dan penyanderaan (gijzeling) wajib pajak.

Hingga 26 Juni 2015, DJP telah memproses 329 usulan pencegahan dan 29 usulan penyanderaan terhadap penanggung pajak. Dari pelaksanaan pencegahan tersebut, DJP dapat mencairkan utang pajak sebesar Rp 15,75 miliar dari 17 penanggung pajak. Sedangkan dari pelaksanaan penagihan, DJP dapat mencairkan utang pajak sebesar Rp 11,52 miliar dari 13 penanggung pajak yang sebelumnya disandera dan telah dilepaskan.

Kabar baik juga datang dari PPh Pasal 25/29 Badan, dengan pertumbuhan 18,12%, atau sebesar Rp 99,915 triliun dibandingkan periode yang sama di 2014 sebesar Rp 84,584 triliun. Pertumbuhan ini dipicu oleh tingginya pelunasan PPh Pasal 29 dari salah satu sektor unggulan, yakni sektor keuangan.

Pertumbuhan tinggi selanjutnya dari PPh Final yakni 17,92%, atau sebesar Rp 53,651 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 45,492 triliun. Pencapaian ini merupakan buah keberhasilan dari kebijakan pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.

Selain itu, DJP mencatat pertumbuhan PPh Final dari produk keuangan seperti bunga deposito. Lebih lanjut, DJP juga mencatat pertumbuhan PPh Final dari penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan sebagai buah kebijakan penurunan loan to value ratio yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Berikutnya, pertumbuhan yang cukup tinggi tercatat dari PPh Pasal 21 yakni 16,29%, atau sebesar Rp 69,061 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar 59,380 triliun. Pertumbuhan yang tinggi ini salah satunya disebabkan oleh pembayaran pajak atas Tunjangan Hari Raya (THR) Idul Fitri 1436 H serta kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP).

Pertumbuhan yang cukup tinggi juga dicatatkan oleh PPh Pasal 26 yakni 11,46%, atau sebesar Rp 24,123 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 21,642 triliun. DJP mencatat pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh menguatnya nilai tukar mata uang dollar AS terhadap Rupiah. Terlepas dari keuntungan akibat nilai tukar mata uang dollar AS, kepatuhan wajib pajak luar negeri melalui pembayaran PPh Pasal 26 patut disyukuri di tengah lesunya perekonomian dunia.

Pertumbuhan juga dicatakan oleh PPh Pasal 23 yakni 6,96%, atau sebesar Rp 15,844 triliun dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 sebesar Rp 14,813 triliun. Pertumbuhan ini dipicu oleh meningkatnya dividen dan royalti yang dibayarkan di tahun 2015.

Keseluruhan pertumbuhan penerimaan PPh tersebut patut disyukuri karena mencerminkan meningkatnya partisipasi masyarakat, baik wajib pajak Orang Pribadi maupun wajib pajak badan dalam membayar pajak, ditengah lesunya perekonomian dunia dan nasional (sumber www.pajak.go.id)

Namun di tengah meningkatnya partisipasi masyarakat, baik wajib pajak Orang Pribadi maupun wajib pajak badan dalam membayar pajak, mungkin masih ada wajib pajak “nakal” atau karena keikhilafannya belum mengisi SPT tahunan dengan benar.

Dengam sistem perpajakan berbasis NPWP maka seluruh transaksi legal dapat terverifikasi oleh kantor pajak melalui NPWP.

Mengisi Surat Pajak Terhutang  (SPT)  tahunan  menuntut kejujuran si wajib pajak karena pada saat mengisi SPT wajib pajak bisa mengisi dengan sejujurnya,  atau karena kekhilafanya belum mengisi seluruh kolom yang ada dengan benar. Misalnya pada kolom pinjaman tidak diisi atau dikosongkan maka bersiaplah akan ada surat dari kantor pajak ke rumah anda untuk klarifikasi data hutang anda.

Pertanyaannya kok tahu ya? Darimana? Tentunya hutang d ibank dapat diketahui oleh kantor pajak dari setoran pajak atas transaksi hutang yang dimiliki oleh wajib pajak melalui NPWPnya.

Itu hanya salah satu ilustrasi artinya setiap transaksi legal kena pajak maka otomatis akan masuk kedalam NPWP, dan di situ akan terlihat berapa banyak pembayaran pajak si wajib pajak dan berapa besaran penghasilan yang ia laporkan ketika ia mengisi SPT tahunan.

Bagaimana jika pembayaran pajaknya lebih besar dari penghasilan yang dilaporkan ?Artinya ada penghasilan yang belum dilaporkan dan harus memperbaiki SPT yang dilaporkan sebelumnya dengan dilengkapi bukti penghasilan yang sah.

Tahun 2015 ini adalah saatnya jujur bagi wajib pajak yang ingin melakulan pembetulan SPT atau atas keterlambatan pembayaran/penyetoran pajak yang dilakukan pada tahun 2015 karena akan dihapuskan sanksi administrasi keterlambatan sebagaimana Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015, dimana Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi Administrasi dalam hal Sanksi Administrasi tersebut dikenakan karena kekhilafan wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.

Selanjutnya Pasal 3 memyebutkan Sanksi Administrasi yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terbatas atas:

a. keterlambatan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa  untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya;

b. keterlambatan pembayaran atau penyetoran atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya;

c. keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak sebagaimana tercantum dalam SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya; dan/atau

d. pembetulan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan kemauan sendiri atas SPT Tahunan Paj ak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, yang dilakukan pada tahun 2015.

Akhirnya tahun 2015 saatnya jujur dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan merupakan momentum bagi wajib pajak untuk memanfaatkan penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan penyampaian SPT, atau atas pembetulan SPT atau atas keterlambatan pembayaran/penyetoran pajak yang dilakukan pada tahun 2015 dengan melakukan kewajiban perpajakan dengan benar, jelas dan lengkap demi peningkatan peneriman pajak dan tercapainya target pajak yang telah ditetapkan pemerintah tahun 2015 Rp 1.294,258 Trilliun.

————-

*) Seluruh isi tulisan adalah tanggungjawab penulis dan tidak mewakili institusi dimana penulis bekerja

 

Potret Daya Saing Logistik Indonesia

$
0
0

ekspor-impor-jict-Oleh: Yusuf Munandar*)

Pendahuluan

Berdasarkan survei Bank Dunia, pada tahun 2014 biaya logistik nasional cukup besar yaitu 24% dari Produk Dometik Bruto sehingga direncanakan turun menjadi 16% pada tahun 2019, menyamai biaya logistik nasional di Thailand. Untuk dapat mencapai angka 16% tersebut terlebih dulu harus diketahui permasalahan apa yang terjadi pada sistem logistik Indonesia. Dan salah satu cara untuk menemukan masalah pada sistem logistik Indonesia adalah dengan membandingkan kinerja logistik Indonesia dengan kinerja logistik negara lain, dimana salah satu alat untuk mengukur kinerja logistik adalah Logistics Performance Index (LPI) yang disusun oleh Bank Dunia.

LPI mengukur efisiensi on-the-ground rantai suplai perdagangan atau kinerja logistik. Rantai suplai merupakan tulang punggung perdagangan dan bisnis internasional. Sementara biaya logistik meliputi biaya transportasi, pergudangan, clearance perbatasan, sistem pembayaran dan fungsi-fungsi terkait lain. Survei untuk menghitung skor LPI sudah dilakukan 4 kali yaitu tahun 2007, 2010, 2012 dan 2014. Skor LPI memiliki skala dari terrendah yaitu nol sampai tertinggi yaitu lima.

Terdapat 6 indikator LPI yang terbagi dalam dua kategori yaitu kategori area untuk peraturan/kebijakan yang menunjukkan input utama kepada rantai suplai (supply chain) yaitu meliputi customs, infrastruktur, dan kompetensi/kualitas jasa logistik, dan kategori outcome kinerja jasa (service delivery performance outcomes) yang meliputi timeliness, international shipments dan tracking and tracing.

Indikator customs menunjukkan seberapa besar efisiensi customs (kepabeanan) dan pemeriksaan perbatasan (border clearance). Indikator infrastruktur menunjukkan kualitas infrastruktur perdagangan dan transportasi. Indikator pengangkutan internasional (international shipment) atau kemudahan dalam melakukan pengangkutan (ease of arranging shipments) menunjukkan seberapa besar kemudahan dalam melakukan pengangkutan dengan harga yang bersaing. Indikator kompetensi logistik atau kualitas jasa logistik menunjukkan seberapa tinggi kompetensi atau kualitas jasa logistik seperti pengangkutan menggunakan truk, ekspedisi atau forwarding, dan perantara kepabeanan (customs brokerage). Indikator tracking and tracing menunjukkan seberapa besar kemampuan untuk melacak dan mengikuti barang-barang dalam pengiriman. Terakhir, indikator timeliness menunjukkan frekuensi atau seberapa sering pengangkutan dapat sampai kepada tujuan (consignee) sesuai dengan waktu yang diharapkan atau dijadwalkan.

Perbandingan LPI Indonesia Dalam 4 Tahun

Apabila melihat skor LPI Indonesia selama 4 tahun (2007, 2010, 2012 dan 2014), terlihat bahwa terjadi peningkatan yaitu dari sebesar 3,01 pada tahun 2007, turun menjadi 2,76 di tahun 2010, naik sedikit dari 2007 yaitu menjadi 2,94 di tahun 2012 dan pada tahun 2014 skor LPI Indonesia adalah sebesar 3,08.

Akan tetapi apabila melihat rangking LPI Indonesia selama 4 tahun tersebut, maka terlihat terjadinya penurunan yaitu dari rangking 43 di tahun 2007, turun drastis menjadi 75 di tahun 2010, naik sedikit dari tahun 2007 yaitu 59 di tahun 2012 dan pada tahun 2014 rangking LPI Indonesia adalah 53 dari 160 negara yang disurvei. Artinya bahwa kinerja logistik Indonesia dalam jangka waktu 2007-2014 mengalami perbaikan, tetapi kinerja logistik negara-negara lain mengalami perbaikan lebih cepat atau lebih besar.

Dilihat dari indikator LPI, hanya 4 dari 6 indikator yang dalam jangka waktu 2007-2014 mengalami peningkatan skor atau perbaikan kinerja. Peningkatan kinerja logistik tertinggi jatuh pada indikator kompetensi logistik yaitu meningkat sebesar 0,31. Disusul indikator: timeliness (0,25), customs (0,14), dan infrastuktur (0,09). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa dalam jangka waktu 2007-2014 kompetensi dan kualitas jasa logistik seperti pengangkutan menggunakan truk, ekspedisi atau forwarding, dan perantara kepabeanan (customs brokerage) di Indonesia meningkat cukup pesat, demikian juga frekuensi ketepatan waktu barang sampai di tujuan dan kinerja kepabeanan dan pemeriksaan perbatasan cukup meningkat, sementara kualitas infrastruktur perdagangan dan transportasi meningkat sedikit saja.

Dua indiktor lain menurun kinerjanya yaitu tracking and tracing (-0,19) dan international shipments (-0,18) yang menunjukkan bahwa dalam jangka waktu 2007-2014 ternyata makin sulit melacak dan mengikuti barang dalam pengiriman di Indonesia dan makin sulit untuk melakukan pengangkutan barang di Indonesia dengan harga yang bersaing atau kompetitif dibanding negara lain.

Kinerja Logistik Indonesia Tahun 2014: Consistent Performers

Bank Dunia membagi skor LPI ke dalam 4 kategori: logistics unfriendly untuk skor LPI 0,00 sampai sekitar 2,35 meliputi negara-negara dengan hambatan logistik yang cukup parah seperti pada negara-negara kurang berkembang (least developed/lower income countries) yang dalam skor LPI termasuk dalam kuintil terbawah/kelima, partial performers untuk skor LPI sekitar di atas 2,35 sampai 2,90 meliputi negara dengan tingkat hambatan logistik pada negara-negara lower dan upper middle income contries yang dalam skor LPI termasuk dalam kuintil ketiga dan keempat, consistent performers untuk skor LPI di atas 2,90 sampai sekitar 3,50 meliputi negara-negara dengan tingkat kinerja logistik lebih tinggi dari negara lain dalam kelompok pendapatan yang sama yang dalam skor LPI termasuk dalam kuintil kedua, dan logistics friendly untuk skor LPI 3,50 sampai 5,00 meliputi negara-negara dengan kinerja logistik tertinggi dari negara-negara dengan pendapatan tertinggi (high income countries) yang dalam skor LPI termasuk dalam kuintil teratas. Demikian, dengan skor LPI total Indonesia sebesar 3,08 maka Indonesia termasuk kategori consistent performers.

Perbandingan LPI Indonesia dengan LPI Jerman

Apabila dibandingkan dengan Jerman yang memiliki skor LPI total tertinggi pada tahun 2014 yaitu 4,12 (rangking 1 dari 160 negara), maka Indonesia bisa belajar dalam hal indikator infrastruktur (skor 4,32 rangking 1) dan tracking and tracing (skor 4,17 rangking 1) yang memiliki skor dan rangking tertinggi. Untuk indikator customs dan kompetensi logistik, Indonesia dapat mengacu kepada Norwegia karena memiliki skor dan rangking tertinggi yaitu skor 4,21 rangking 1 (customs) dan skor 4,19 rangking 1 (kompetensi dan kualitas logistik). Sementara untuk indikator international shipments dan timeliness, Indonesia dapat mengacu kepada Luksemburg dimana skor untuk international shipments adalah sebesar 3,82 (rangking 1) dan skor timeliness adalah sebesar 4,71 (rangking 1).

Perbandingan LPI Indonesia dengan LPI Negara Asia Timur dan Pasifik

Apabila dibandingkan secara regional (Asia Timur dan Pasifik/ATP), maka Indonesia memiliki kinerja logistik lebih baik dibandingkan dengan kinerja logistik rata-rata negara-negara di Asia Timur dan Pasifik. Skor LPI total Indonesia adalah 3,08 sementara skor LPI negara-negara ATP adalah 2,85. Demikian juga untuk seluruh indikator LPI, Indonesia memiliki skor yang lebih tinggi dibanding skor rata-rata negara-negara ATP, yaitu: (a) customs, Indonesia:2,87, ATP:2,69, (b) infrastruktur, Indonesia:2,92, ATP:2,74, (c) international shipments, Indonesia:2,87, ATP:2,87, (d) kompetensi logistik, Indonesia:3,21, ATP:2,79, (e) tracking and tracing, Indonesia:3,11, ATP:2,84, (f) timeliness, Indonesia:3,53, ATP:3,17.

Perbandingan LPI Indonesia dengan LPI Lower Middle Income Countries

Sementara apabila dibandingkan dengan negara-negara pada kelas pendapatan yang sama yaitu lower middle income countries (LMIC), maka skor LPI total Indonesia lebih tinggi yaitu 3,08, sementara skor LPI total rata-rata LMIC adalah 2,59. Demikian juga untuk seluruh indikator LPI, Indonesia memiliki skor yang lebih tinggi dibanding skor rata-rata negara-negara LMIC, yaitu: (a) customs, Indonesia:2,87, LMIC:2,40, (b) infrastruktur, Indonesia:2,92, LMIC:2,38, (c) international shipments, Indonesia:2,87, LMIC:2,62, (d) kompetensi logistik, Indonesia:3,21, LMIC:2,56, (e) tracking and tracing, Indonesia:3,11, LMIC:2,64, (f) timeliness, Indonesia:3,53, LMIC:2,91.

Perbandingan LPI Indonesia dengan LPI Negara-Negara ASEAN

Berdasarkan data dari The World Bank (2014): Connecting to Compete 2014 – Trade Logistics in the Global Economy: The Logistics Performance Index and Its Indicators, kinerja logistik Indonesia berada di tengah di antara negara ASEAN-tanpa Brunei Darussalam. Skor rata-rata LPI negara ASEAN-tanpa Brunei Darussalam sangat mendekati skor LPI Indonesia yaitu 3,07. Lima negara yaitu Malaysia, Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Filipina berada pada kategori consistent performers sementara Kamboja dan Laos berada pada kategori partial performers. Dua negara dengan kinerja logistik sangat timpang adalah Singapura (kategori logistics friendly) dengan skor LPI 4,00 dan rangking 5 dari 160 negara dan Myanmar (kategori logistics unfriendly) dengan skor LPI 2,25 dan rangking 145.

Penutup

Beberapa fakta di atas menunjukkan kurangnya proses konvergensi di antara negara-negara ASEAN khususnya di bidang logistik sehingga menjadi tantangan dalam mencapai cita-cita menciptakan negara ASEAN yang adil, makmur dan sejahtera yang hendak dicapai salah satunya melalui wadah Asean Economic Community (AEC). Bagi Indonesia, angka-angka di atas menunjukkan bahwa kinerja logistik tahun 2014 mengalami perbaikan dibanding tahun-tahun sebelumnya tetapi perbaikan tersebut kurang cepat, kurang besarannya dan kurang menyeluruh dibuktikan dengan indikator tracking and tracing dan international shipments yang menurun.

*) Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan sikap instansi tempat penulis bekerja.


Mengenai TEPRA

$
0
0

ProyekOleh: Muhamad Zulfikar Ali, Staf Pada Deputi Bidang Perekonomian, Setkab

Pada tanggal 7 September 2015, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 20 Tahun 2015 tentang Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Keppres tersebut intinya mengatur pembentukan Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi APBN dan APBD (TEPRA), yang tugasnya antara lain memfasilitasi penyelesaian terhadap hambatan-hambatan yang terjadi dalam realisasi anggaran dan program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pasal 2 Keppres Nomor 20 Tahun 2015).

Selain itu, Keppres juga memberikan kewenangan kepada TEPRA untuk berkoordinasi dan meminta kepada para Menteri, pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Panglima Tentara Nasional Indonesia,  pimpinan Sekretariat Lembaga Negara Gubernur, dan Bupati/Walikota menyampaikan segala informasi, dokumen, dan data yang diperlukan oleh TEPRA dalam menjalankan tugas evaluasi dan pengawasan dimaksud (Pasal 4 Keppres Nomor 20 Tahun 2015).

Pembentukan TEPRA dimaksud merupakan kelanjutan Tim Evaluasi Penyerapan Anggaran (TEPA) yang dibentuk oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II. Menjadi berbeda karena TEPA yang diketuai oleh Kepala UKP4 mendasarkan pembentukkannya pada arahan Presiden tanggal 20 Desember 2012, sewaktu menyerahkan DIPA Kementerian/Lembaga kepada masing-masing Menteri/Kepala Lembaga di Istana Presiden, Jakarta.

Memperhatikan keberhasilan TEPA dalam mengawal penyerapan APBN/APBD, dan sebagai upaya memperkuat dan menegaskan pelaksanaan tugas evaluasi dan pengawasan realisasi APBN/APBD, Presiden memandang perlu menetapkan TEPRA dalam Keputusan Presiden.

TEPRA terdiri atas Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Tim Pengarah diketua oleh Menteri Keuangan, dan Sekretaris Kabinet sebagai Wakil Ketua, serta beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Jaksa Agung, dan Kepala Staf Kepresidenan.

Sedangkan Tim Pelaksana diketuai oleh Wakil Menteri Keuangan, dengan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai Wakil Ketua, serta Deputi I Kantor Staf Presiden sebagai Sekretaris, dan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara sebagai Wakil Sekretaris, dengan anggota para pejabat eselon I terkait.

TEPRA diharapkan dapat menjadi alat guna mempercepat penyerapan anggaran, dan memastikan APBN/APBD tepat sasaran sesuai dengan perencanaan yang tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional. Selain itu, TEPRA juga diharapkan dapat meminimalisir masalah dan hambatan yang menghambat penyerapan anggaran di kementerian/lembaga/pemerintah daerah.

Dengan tujuan demikian, TEPRA tidak hanya ‘beroperasi’ di lingkungan Pemerintah Pusat, namun TEPRA akan juga dibentuk di Pemerintahan Daerah sebagai perwakilan TEPRA di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota. Sehingga diharapkan dengan penyerapan anggaran sesuai dengan perencanaan pembangunan nasional, roda perekonomian dapat bergerak dan kesejahteraan masyarakat terus meningkat sesuai dengan salah satu cita-cita dalam nawa cita bahwa Negara hadir dalam kehidupan warga negaranya.

===end===

 

Tantangan Ketahanan Pangan Indonesia

$
0
0

OktavOleh: Oktavio Nugrayasa, SE, M.Si*)

Dewasa ini ketahanan pangan merupakan isu strategis dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat karena akan menentukan kestabilan ekonomi, sosial, dan politik dalam suatu negara. Pemenuhan kebutuhan pangan menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan.

Letak geografis dan luas wilayah Indonesia menjadi penyebab adanya perbedaan kondisi tanah dan kecocokan terhadap jenis-jenis tanaman termasuk sumber pangan yang dihasilkan. Perbedaan budaya bercocok tanam dan makanan pokok antar daerah juga ikut andil mempengaruhi pilihan masyarakat dalam memilih komoditas pangan yang akan di konsumsi.

Secara umum potensi sumber pangan yang dimiliki Indonesia sebagai pilihan konsumsi masyarakat terbilang cukup banyak, yaitu ada 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayur-sayuran, 110 jenis rempah-rempahan dan bumbu-bumbuan, 40 jenis bahan minuman serta 1.260 jenis tanaman obat. Hal ini membuktikan bahwa bangsa kita sebenarnya merupakan negara yang sangat kaya akan biodiversitasnya atau biasa disebut keanekaragaman hayati mencakup gen, spesies tumbuhan, hewan dan mikroorganisme serta ekosistem dengan proses ekologi dari bentuk kehidupan yang merupakan bagiannya.

Akibat belum maksimalnya pengelolaan hasil komoditas pangan menyebabkan kondisi ketahanan pangan nasional saat ini dirasakan masih jauh dari yang diharapkan. Diperkuat penilaian dari Para Pakar Ekonomi yang tergabung dalam Forum Economis Intelligence Unit (EUI) tahun 2014, bahwa perkembangan indeks ketahanan pangan (IKP) global Indonesia menempati posisi pada urutan 64, angka tersebut jauh di bawah Malaysia (33), China (38), Thailand (45), Vietnam (55) dan Philipina (63).

Meskipun setiap tahunnya angka produktivitas padi Indonesia selalu ada peningkatan antara 1-3 persen atau selama 30 tahun terakhir produksi panen padi telah meningkat dua kali lipat, bahkan untuk produksi jagung bisa meningkat sampai empat kali lipat.

Sehingga pencapaian prestasi tersebut masih dirasakan belum signitifikan, mengingat berdasarkan hitungan angka yang dihasilkan dari impor beberapa komoditas bahan pangan yang masuk ke Indonesia, tercatat cukup tinggi angka peningkatan dari tahun ke tahun, hal ini menunjukan gambaran bahwa bangsa kita sebenarnya masih mengalami permasalahan di sektor ketahanan pangan.

Peningkatan Nilai Ketahanan Pangan Nasional

Keragaman sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang kita dimiliki adalah merupakan keuntungan yang sangat besar dalam rangka mendukung peningkatan konsumsi masyarakat menuju ketahanan pangan yang beragam dan bergizi seimbang. Berbagai sumber pangan lokal dan makanan tradisional yang saat ini dimiliki oleh seluruh wilayah, masih dapat terus dikembangkan untuk memenuhi keanekaragaman pangan masyarakat pada wilayah yang bersangkutan.

Sejak tahun 2005 hingga 2014, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah menemukan dan melepas berbagai jenis benih tanaman pangan untuk dapat dibudidayakan oleh masyarakat petani Indonesia dengan jumlah varietas baru yang terdaftar sebesar 844 Jenis.

Berbagai program pendukung juga telah dilakukan Pemerintah Pusat dan Daerah untuk mendokrak hasil produksi tanaman pangan Indonesia, seperti kegiatan penyediaan benih bersubsidi, peningkatan jumlah produksi benih unggul yang bersertifikasi serta melakukan kegiatan sosialisasi perbenihan pertanian di pedesaan.

Sementara itu, tingkat pendidikan masyarakat yang semakin tinggi juga merupakan peluang sebagai modal dasar bagi percepatan proses peningkatan kesadaran konsumsi pangan dan bergizi, sehingga diharapkan dapat mengubah perilaku atas konsumsinya dengan tercapai tingkat status gizi yang semakin baik.

Dalam hal perkembangan teknologi informatika serta strategi komunikasi publik, dapat menyediakan peluang yang tinggi untuk mempercepat proses, serta memperluas jangkauan upaya pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran gizi masyarakat. Peluang ini akan lebih memberikan hasil apabila disertai proses penyadaran kepada mereka atas pentingnya mengkonsumsi pangan dengan gizi yang seimbang, baik untuk kesehatan, produktivitas maupun bagi kecerdasan anak-anak generasi penerus bangsa.

Saat ini, negara-negara maju semakin gencar mengembangkan masalah di bidang pangannya dikarenakan sektor ini dianggap mempunyai nilai yang penting dalam kehidupan masyarakatnya seperti halnya penguasaan dalam sektor energi, dimana pada waktu itu negara-negara berkembang sangat berperan memasok berbagai kebutuhan pangan bagi negara maju sebagai eksportir bahan pangan, namun saat ini keadaannya justru menjadi terbalik mengimpor bahan pangan dari negara maju.

Pengembangan Kemitraan Ketahanan Pangan

Tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini dan ke depan adalah bagaimana mengembangkan pola kerja sama (kemitraan) antara Akademisi, Pebisnis, Government plus Lembaga Masyarakat yang akan memperkuat integrasi pencapaian ketahanan pangan nasional yang lebih kuat, sehingga bisa berjalan lebih efisien dan efektif disertai adanya jaminan atas ketersediaan pasokan komoditas pangan di pasar, dengan harganya yang  terjangkau serta mempunyai kualitas gizi yang baik untuk di konsumsi oleh masyarakat.

Dengan pola pengelolaan yang terintegrasi, diharapkan nantinya dapat memaksimalkan potensi (resources) yang terdapat pada masing-masing pelaku, sehingga produksi kebutuhan pangan pokok dapat ditingkatkan dan memberikan nilai tambah kepada petani/nelayan, kelompok tani/nelayan ataupun kepada masyarakat.

Disamping itu, tahapan pembangunan ketahanan pangan dapat diarahkan berkelanjutan serta di fokuskan pada bidang pengembangan teknologi dan inovasi, hal ini sangat diperlukan untuk memperbaiki sistem budidaya tanaman, penanganan pasca panen, pengolahan pangan dan penanganan distribusi agar semakin lebih produktif.

Dukungan peranan para akademisi merupakan faktor kunci utama dalam hal pengembangan dan inovasi produk pangan sehingga dapat memacu peningkatan nilai tambah (value added), daya saing (competitiveness), dan keuntungan (profit/benefit) bagi produk pangan nasional yang akan dihasilkan melalui penerapan aplikasi teknologi yang terukur dengan jaminan kualitas produk pangan yang terstandar serta mampu memenuhi kriteria nilai kuantitas yang diharapkan.

Oleh karena itu, peningkatan ketahanan pangan bagi pengembangan produksi komoditas pangan dalam negeri menjadi prioritas sebagai upaya bersama seluruh pelaku untuk mewujudkannya, apalagi kita harus bersiap menghadapi era pasar global pada akhir tahun 2015 dengan menghasilkan produk beragam pangan yang berkualitas dan berdaya saing diperkuat jalinan kerjasama lintas sektoral secara terintegrasi dari hulu sampai ke hilir.

*) Kabid Ketahanan Pangan, Deputi Bidang Perekonomian, Setkab RI

Santunan Raja Di antara Duka dan Berkah

$
0
0
Menteri Agama Lukman Hakin Saifuddin menjenguk jemaah yang luka-luka akibat musibah jatuhnya crane, di RS An Nur, Jeddah, Sabtu (12/9)

Menteri Agama Lukman Hakin Saifuddin menjenguk jemaah yang luka-luka akibat musibah jatuhnya crane, di RS An Nur, Jeddah, Sabtu (12/9)

Awan kelabu mungkin masih menyelimuti keluarga korban yang meninggal dalam peristiwa alat berat jatuh di jantung kota Mekkah, yaitu Masjidil Haram, pada Jumat sore, 11 September lalu.  Masjid yang dibangun pertama kali oleh Nabi Ibrahim itu kini semakin populer seiring dengan sorotan dunia atas musibah yang menewaskan sedikitnya 111 orang dan melukai lebih dari 300 jamaah dari mancanegara.

Tidak hanya cidera fisik, jamaah dan keluarga korban mungkin juga masih banyak terluka dan menyimpan duka mendalam ketika orang yang mereka cintai wafat dalam peristiwa yang tak terduga. Ada yang bisa menerima kenyataan itu dengan ikhlas dan mungkin banyak juga yang belum bisa menerima ditinggal begitu cepat oleh orang yang mereka cintai.

Erni Sampe Dosen misalnya. Istri Darwis Rahim Cogge, masih tidak menyangka suaminya kini telah tiada.
Ia bersama suami, serta ayah dan adiknya tiba di Mekkah pada Jumat (11/9) dini hari dan langsung umrah qudum (kedatangan) sampai subuh. Suka cita sampai di Tanah Suci membuat mereka kembali Masjidil Haram untuk ibadah Shalat Jumat hingga Ashar.

Ibu tiga anak tidak menduga dalam berapa jam kemudian sebuah bayangan gelap yang belakangan diketahui pecahan crane roboh, menghempas nafas kehidupan suaminya.

“Saat itu juga saya yakin suami saya terkena pecahan itu, saya terus mencarinya meski saya juga mengalami luka saat itu,” kata Erni.

Darwis merupakan salah satu dari 11 jamaah Indonesia yang menjadi korban musibah di Masjidil Haram. Selain itu, ia sementara ini menjadi jemaah meninggal yang terakhir terindentifikasi.

Sama dengan keluarga korban lainnya, Erni berusaha ikhlas dan pasrah menerima kenyataan kepala keluarganya telah diambil Yang Maha Kuasa, di tempat yang mulia, Tanah Suci, Mekkah Al Mukarammah, dan di hari Jumat.

Penyejuk

Selain Erni, ratusan keluarga lain korban crane roboh juga pasti mengalami kegetiran yang sama. Ada orang tua yang kehilangan putra-putra mereka, ada juga suami yang kehilangan istrinya.

Angin spiritual yang bisa menyejukkan keluarga korban (mungkin) adalah pernyataan Ulama dan Imam Besar Saudi, Syeikh Suud bin Muhammad bin Ibrahim As Suraim. Dalam akun twitter resminya ulama besar yang lebih dikenal Syeikh Suraim mengatakan “Mereka yang meninggal tertimpa reruntuhan Masjidil Haram kita anggap mereka adalah syuhada.”

Syeikh Suud mengatakan demikian karena alasan Nabi Muhammad SAW menggolongkan korban reruntuhan (shahibul hadmi) adalah Syahid, dengan mengutip Hadist Bukhari dan Muslim. Bagi umat Islam, hal itu tentu kabar yang menggembirakan karena ada jaminan masuk surga bagi mereka yang mati syahid.  Salah satu Hadist juga menyebut “ibadah haji adalah jihad, sama dengan berperang di jalan Allah.”

Tidak saja hanya penyejuk spiritual. Selang beberapa hari setelah peristiwa itu, Raja Salman sebagai Khadimul Haramain atau “Pelayan Dua Tanah Suci” mengumumkan pemberian santunan kepada ahli waris korban musibah crane.

Tidak hanya kepada ahli waris korban meninggal, namun korban yang cidera baik luka yang menyebabkan cacat fisik maupun luka ringan mendapatkan santunanyang tidak bisa dibilang kecil.

Ahli waris dari korban meninggal dan cacat fisik mendapat santunan sebesar 1.000.000 riyal atau sekitar Rp3,8 miliar dan mereka yang terluka mendapat santunan sebesar 500.000 riyal atau sekitar Rp1,9 miliar.

Bahkan Raja yang baik hati itu juga memerintahkan agar pemerintah Arab Saudi memprioritaskan dua ahli waris untuk beribadah haji tahun depan.

Kepastian titah Raja itu, juga disampaikan Dubes Arab Saudi untuk Indonesia, Mustafa Bin Ibrahim Al Mubarak di Jakarta, Jumat (18/9).

Setiap kejadian selalu ada hikmahnya, setidaknya itu diucapkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Mereka yang meninggal dalam musibah crane roboh, kata Menteri, tidak hanya mendapat penilaian sebagai syahid, tapi juga keluarga yang ditinggalkan mendapat santunan yang besar. “Jadi ini sebuah musibah atau berkah?” ujarnya.

Tuntutan

Pada ksempatan bertemu dengan pers Indonesia, Mustafa juga mengungkapkan musibah crane roboh tidak lepas dari kesalahan teknis perusahaan kontraktror perluasan Masjidil Haram, yaitu Grup Bin Ladin.  Kelalaian tersebut terkait standar operasional yang diabaikan seperti ketika crane tidak digunakan, maka penahan derek utama harus diturunkan.  Selain itu, seharusnya crane juga tidak diarahkan ke tempat jamaah sedang shalat.

Kontraktor pun dinilai tidak memperhatikan peringatan cuaca yang disampaikan lembaga meteorologi dan perlindungan lingkungan Arab Saudi. “Pengembang dan konsultan bertanggung jawab sebagian atas peristiwa ini. Hasil penyelidikan sudah kami limpahkan ke Jaksa Penuntut Umum untuk diproses sesuai hukum yang berlaku,” kata Mustafa.

Oleh karena itu pula, Pemerintah Arab Saudi mempersilahkan bila ada keluarga korban ingin menuntut secara khusus perusahaan Bin Ladin tersebut.

“Yang Mulia Raja Salman menyampaikan, meskipun para korban telah mendapat santunan, tapi itu tidak menggugurkan hak (korban dan keluarganya) untuk mengajukan tuntutan haknya secara khusus (al-haw alkhos) kepada pengadilan yang menangani masalah tersebut,” ujar Mustafa.

Kabar itu, tentu saja menggembirakan keluarga korban, meskipun tidak mungkin menghidupkan kembali orang-orang yang mereka cintai. Namun setidaknya, empati dan kebaikan Raja serta keterbukaan dan keadilan yang coba ditegakkan Pemerintah Arab Saudi merupakan obat pelipur lara mereka yang berduka.

Pemerintah Indonesia sendiri langsung melakukan gerak cepat. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin langsung mengumumkan pemerintah melalui Perwakilan di Arab Saudi akan mempelajari kemungkinan melakukan tuntutan khusus kepada perusahaan kontraktor yang mengoperasikan crane roboh tersebut.

Bahkan, bila dianggap perlu, pemerintah akan menyewa pengacara untuk melakukan tuntutan tersebut, “Kalau dipandang perlu, kita akan lihat bagaimana kebutuhan terkait (menyewa pengacara) itu,” ujar Ketua Amirul Hajj itu.

Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengajukan nama-nama jamaah yang meninggal dan luka pada peristiwa tersebut dan berjanji akan memfasilitasi realisasi santunan Raja itu. “Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agama, akan bahu membahu dalam menindaklanjuti pencairan santutan tersebut,” ujar Lukman.

Secara khusus, Menteri Agama juga menyampaikan apresiasi atas itikad baik Raja Salman bin Abdul Aziz yang telah bermurah hati mengulurkan santunan yang terbilang tidak kecil itu.

“Mudah-mudahan ini bagian tersendiri, tidak hanya dari Pemerintah Arab Saudi, tapi juga Raja dan kerabatnya dalam berempati kepada keluarga korban yang berduka sangat dalam,” ujar Lukman.

(Oleh: Risbiani Fardaniah, Kantor Berita Antara)

Rara Mendut dan Daulat Negeri Kretek

$
0
0

Roro MendutOleh: Dewanto Samodro*)

Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, Kadipaten Pati yang dipimpin Adipati Pragola memberontak kepada Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Pemberontakan Pati itu berhasil dihancurkan oleh pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung bersama Tumenggung Wiraguna. Adipati Pragola tewas, dan seluruh harta, termasuk istri-istrinya menjadi rampasan perang.

Salah satu rampasan perang yang diperoleh dari Pati adalah Rara Mendut, selir kesayangan Adipati Pragola. Rara Mendut diserahkan kepada Tumenggung Wiraguna. Namun, Rara Mendut menolak untuk menjadi selir Tumenggung Wiraguna.

Sakit hati dengan penolakan Rara Mendut, dengan dalih menegakkan harga diri Mataram yang telah berhasil menumpas pemberontakan Pati, Tumenggung Wiraguna mengharuskan Rara Mendut membayar pajak yang tinggi.

Tak memiliki harta karena seluruh kekayaan Pati telah dirampas Mataram, Rara Mendut tidak kehabisan akal. Berbekal kecantikan dan kemolekannya, Rara Mendut mencari uang dengan menjual rokok yang dia rekatkan dengan ludahnya dan telah dia hisap.

Kaum laki-laki yang tergila-gila dengan perempuan itu pun rela membeli mahal rokok bekas lidah dan hisapan Rara Mendut. Kisah erotisme Rara Mendut dengan rokoknya itu masih dikenal hingga saat ini.

Bahkan, saat ini “Rara Mendut” masih digunakan industri rokok untuk memasarkan produknya. Sudah jamak ditemui, sebuah stan promosi rokok pasti akan diisi oleh “sales promotion girl” (SPG) yang menggoda meskipun, tentu saja, gadis-gadis pemasar itu tidak menjual rokok bekas hisapan mereka.

Dan, sebagaimana sifat industri yang kapitalistik, industri rokok pun terus berupaya melestarikan bisnisnya dengan membuat orang-orang terus merokok, meskipun ditentang kalangan kesehatan. Bahkan, industri rokok mulai menyasar perokok-perokok baru, yaitu anak-anak dan remaja yang penuh rasa ingin tahu.

Kapitalisasi rokok

Di negara asalnya, yaitu Amerika Serikat, bila kita menganggap bahwa tradisi menghisap tembakau yang dibakar untuk ritual dilakukan pertama kali oleh suku Indian, industri rokok sudah tidak mendapat tempat. Akibat tekanan kalangan kesehatan dan litigasi konsumen korban rokok semakin banyak, konsumsi rokok di Amerika Serikat semakin menurun. Pemerintah Amerika Serikat pun kemudian menyarankan industri rokok untuk berusaha di negara-negara berkembang.

Mengapa negara-negara berkembang? Negara-negara dunia ketiga itu dipilih karena pengetahuan tentang bahaya rokok masih rendah. Selain itu, nyaris tidak ada regulasi tentang konsumsi rokok di negara-negara tersebut. Dan, ini yang paling penting, secara demografis di negara-negara berkembang banyak kelompok media dan anak-anak yang bisa menjadi sasaran untuk menjadi perokok. Karena itulah, pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Ronald Reagan pada 1985 membujuk negara-negara Asia untuk membuka pasar dan investasi bagi industri rokok Amerika Serikat.

Apakah berhasil? Meskipun disepelekan, pemerintah di negara-negara berkembang tidak semuanya bodoh. Thailand misalnya, yang menolak untuk membuka pasar untuk rokok Amerika Serikat hingga akhirnya digugat ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan justru menang. Begitu pula dengan Jepang yang menolak investasi industri rokok asing masuk ke negaranya, tetapi kemudian memberikan kemudahan bea masuk yang murah bagi rokok dari Amerika Serikat.

Dan Indonesia, justru menerima dengan senang hati investasi dari industri rokok asing untuk masuk karena menganggap itu sebagai sesuatu yang membanggakan.

Kini, industri-industri rokok besar di Indonesia sudah bukan lagi milik pribumi secara keseluruhan. Sampoerna telah dibeli Philip Morris, Bentoel menjadi milik British American Tobacco (BAT), Djarum serta Wismilak dimiliki Japan Tobacco International (JTI) dan Gudang Garam dikuasai Imperial Tobacco.

Meskipun bersaing secara bisnis, industri rokok internasional bersatu dalam memerangi musuh bersama mereka, yaitu isu pengendalian tembakau, khususnya di negara-negara berkembang.

Industri rokok internasional selalu berupaya memengaruhi pemerintah negara-negara yang berupaya membatasi konsumsi rokok, misalnya terjadi pada Australia yang diadukan ke WTO karena aturan kemasan rokok polos dan Uruguay yang digugat ke pengadilan internasional terkait aturan peringatan kesehatan bergambar hingga 80 persen pada kemasan rokok.

Begitu pula dengan Indonesia. Sejarah mencatat intervensi industri rokok asing terhadap penyusunan regulasi pengendalian tembakau sudah terjadi di Indonesia sejak 1990-an. Dalam memengaruhi pemerintah Indonesia, industri rokok asing selalu menggunakan petani, buruh dan kegiatan sponsor serta tanggung jawab sosial perusahaan sebagai tameng.

Hasilnya, pasal yang menyebutkan nikotin sebagai zat adiktif dibatalkan pada peraturan kesehatan yang pertama kali dimiliki Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Ketika Indonesia sebagai anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terlibat dalam penyusunan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC), industri rokok asing juga memengaruhi pemerintah sehingga Presiden mencegah Menteri Kesehatan menandatangani konvensi tersebut.

Kini, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Pasifik dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang belum meratifikasi dan mengaksesi FCTC, meskipun terlibat aktif dalam penyusunannya.

Hanya ada sembilan negara di dunia yang belum meratifikasi dan mengaksesi FCTC, yaitu Indonesia, Andora, Republik Dominika, Eritrea, Liechtenstein, Malawi, Monako, Somalia dan Sudan Selatan.

Yang cukup membuat heboh adalah kasus hilangnya ayat tentang tembakau sebagai zat adiktif pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Padahal, dalam paripurna yang membahas rancangannya, pemerintah dan DPR bersepakat untuk memasukkan ayat tentang tembakau.

Undang-Undang Kesehatan itu pun akhirnya diundangkan setelah memasukkan kembali ayat tentang tembakau. Itu pun masih digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) hingga akhirnya hakim konstitusi menyatakan bahwa dari asalnya tembakau memang merupakan zat adiktif.

Koalisi industri rokok internasional juga berupaya memengaruhi penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan serta menghambat pelaksanaannya. Dan yang terbaru adalah pengajuan RUU Pertembakauan dan ayat kretek dalam RUU Kebudayaan.

Budaya dan Daulat Negara

Selain isu perlindungan petani dan buruh, isu budaya dan kedaulatan negara juga menjadi tameng bagi industri rokok internasional dan para pendukungnya dalam mengintervensi pemerintah Indonesia.

Mereka berargumen bahwa pengendalian tembakau akan mematikan petani tembakau dan buruh industri rokok, tidak melestarikan budaya Indonesia menghisap kretek serta merusak kedaulatan negara dengan menghambat industri lokal berkembang dan akan membuka industri asing masuk. Padahal, justru petani tembakau selama ini selalu ditekan oleh industri rokok. Mereka dipaksa menjual hasil tembakau kepada industri rokok dengan harga yang sudah ditetapkan. Harga tembakau petani berlapis-lapis karena ditetapkan seenaknya oleh “grader”.

Fakta lain yang sama sekali tidak menunjukkan kepedulian terhadap perlindungan petani adalah tembakau impor dari Tiongkok saat ini sudah mencapai 50 persen dari total produksi tembakau dalam negeri.

Maka pertanyaan yang muncul adalah benarkah pelestarian rokok di Indonesia untuk melindungi petani lokal atau jangan-jangan untuk melebarkan jalan bagi tembakau impor dari Tiongkok?

Begitu pula dengan buruh industri rokok yang selalu menjadi tameng kelompok kontrapengendalian tembakau dengan menyatakan pengendalian tembakau telah merugikan industri rokok sehingga harus memutushubungankerjakan buruhnya.

Padahal, fakta yang terjadi dalam PHK besar-besaran buruh rokok adalah karena industri melakukan mekanisasi, yaitu perubahan produksi sigaret kretek tangan (SKT) menjadi sigaret kretek mesin (SKM) yang tidak perlu lagi menggunakan tenaga buruh pelinting.

Jadi, benarkah pelestarian rokok di Indonesia untuk melindungi buruh rokok atau jangan-jangan supaya industri mendapatkan keuntungan semakin banyak karena biaya produksi mereka menurun?

Isu menghisap kretek sebagai budaya Indonesia juga sangat lemah untuk dikedepankan. Dari begitu banyak budaya yang positif dari seluruh Indonesia, mengapa harus kretek? Mengapa bukan karapan sapi dari Madura, misalnya, yang dimasukkan ke dalam RUU Pertembakauan?

Isu kedaulatan negara pun sangat tidak masuk akal untuk dikedepankan. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, industri rokok asing telah membeli sebagian besar industri rokok lokal.

Sampoerna, Bentoel, Djarum, Gudang Garam dan Wismilak yang saat ini menguasai 83,7 persen pangsa pasar rokok Indonesia, telah dibeli industri asing. Maka, kedaulatan siapa sebenarnya yang ingin diperjuangkan?

*) Wartawan LKBN Antara, penerima Medco-Paramadina Fellowship for Political Communication

Wisata (Apa) Yang Baru Di Batu

$
0
0

HMS_4061_1Oleh : Edi Nurhadiyanto, S.S, M.Si *)

« Kami juga akan meningkatkan daya saing ini akan memanfaatkan potensi yang belum tergarap dengan baik tetapi memberi peluang besar untuk meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional, yakni Industri manufaktur, industri pangan, sektor maritim, dan pariwisata »  Presiden Jokowi dalam Dokumen Visi-Misi Nomor 6 (enam).

Jika mencari melalui mesin pencari di internet tentang wisata apa yang wajib dikunjungi di Jawa Timur, janganlah kaget apabila rekomendasi yang diberikan adalah tempat wisata yang ada di Kota Batu. Mungkin banyak pula yang belum mengetahui bahwa Batu yang dahulu merupakan bagian dari Kabupaten Malang. Namun sejak tanggal 21 Juni 2001 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Batu, Presiden Abdurrahman Wahid mengesahkan hal tersebut yang kemudian dicatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 91.

Apa Saja Pesona Wisata Di Kota Batu ?

Beberapa tempat wisata akan diusulkan kepada para tamu oleh masyarakat sekitar yang letaknya tidak berjauhan antara tempat yang satu dengan yang lain. Beberapa tempat tersebut adalah :

  1. Jatim Park 1

Jatim Park 1 yang berada di Kota Batu memiliki aneka wahana untuk dinikmati. Fokus tempat wisata ini mengusung konsep taman bermain dan belajar.

  1. Jatim Park 2

Tempat wisata ini berbeda dengan Jatim Park 1 karena lebih dikenal dengan sebutan Batu Secret Zoo. Hal ini disebabkan karena hiburan utamanya adalah kebun binatang.

  1. BNS (Batu Night Spectacular)

Kelebihan tempat wisata ini yakni memiliki aneka pilihan wahana dan beragam permainan.

  1. Alun-alun Kota Batu

Alun-alun ini dirancang sebagai sarana rekreasi, edukasi dan olahraga di Batu dengan tanpa pungutan biaya apapun. Satu-satunya wahana yang dikomersialkan di tempat ini adalah bianglala.

  1. Taman Rekreasi Selecta

Fokus wahana wisata yang ditawarkan adalah Kolam Renang Sejarah, Water Park, Perahu Columbus, hingga Arena Pacuan Kuda.

  1. Agrowisata di Kota Batu

Fokus tempat wisata ini adalah tamu yang datang dapat dengan bebas memilih dan memetik buah apel langsung dari pohonnya. Konsep agrowisata, ini menawarkan hal positif bagi pendidikan dan pengetahuan.

  1. Museum Angkut Kota Batu

Fokus pengembangan yang dilakukan oleh Jawa Timur Park Group untuk memberikan sumbangan pengetahuan dengan melihat perkembangan alat angkut. Untuk itulah, Museum Angkut dan Movie Star Studio ini didirikan. Museum ini diklaim merupakan yang terlengkap dan terbesar di Asia.

Museum Angkut dan Movie Star Studio ini didirikan pada tanggal 9 Maret 2014 dengan luas area sekitar 3,8 hektar yang berisi perkembangan berbagai macam alat angkut dari seluruh penjuru dunia mulai dari yang tradisional hingga modern, yang tidak bermesin hingga yang bermesin. Terkemas menarik dengan paduan koleksi luar biasa dan latar belakang kota-kota asal alat angkut.

  1. Hutan Kota

Lokasi wisata ini ada di depan Jatim Park dan di sebelah Stadion Brantas. Berada di pinggir jalan dan setiap pengunjung tidak perlu mengeluarkan uang untuk bisa menikmati udara segar. Untuk yang senang membaca, disediakan pula perpustakaan gratis.

  1. Pasar Parkiran

Pasar Parkiran merupakan tempat wisata berkonsep pasar malam dengan sentuhan modern. Pasar parkiran ini merupakan tempat wisata yang mulai dibuka pada tanggal 14 Mei 2015. Di tempai ini, para tamu dapat menemukan berbagai macam kuliner, hiburan musik keroncong dan dangdut, wahana bermain, sampai pedagang baju dan segala macam aksesoris.

Tentunya masih ada beberapa tempat wisata di kota Batu serta tempat lainnya di Indonesia yang dapat menyumbang pariwisata, yang menurut Menteri Pariwisata, ke depan sektor pariwisata diharapkan akan menjadi penyumbang terbesar devisa.

Inovasi berbagai penambahan wisata tersebut yang terkini, menurut penulis, dilakukan penambahan lokasi wisata adalah pembuatan Pasar Parkiran, menjadi salah satu prasyarat pengembangan Kota Batu sebagai Kota Wisata. Namun demikian, tentunya masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki.

Dua (2) hal yang perlu diperbaiki, menurut penulis, adalah :

  1. Ketersediaan dan penyebaran informasi melalui teknologi informasi atau media online. Alamat website yang mudah diakses oleh publik; dan
  2. Penambahan kelengkapan sarana prasarana yang sudah digratiskan kepada rakyat misalnya penambahan buku perpustakaan, lahan parkir, dan toilet umum.

Berbagai tawaran wisata ini tentunya menjadikan Kota Batu layak menyandang jargon sebagai kota wisata. Dengan demikian, siapapun yang akan dan sedang berkunjung ke Jawa Timur umumnya atau Kota Batu khususnya akan selalu berkata, « Wisata (Apa) Yang Baru Di Batu…? »

*) Penulis adalah Kepala Subbidang Pelayanan Informasi, Keasdepan Bidang Hubungan Masyarakat dan Protokol.

Viewing all 380 articles
Browse latest View live